Senin, 02 Desember 2019

WAYAH LABUH "OWKP






WARUNG KOPI PENDEKAR
“WAYAH LABUH”


    Sore masih menyisakan terik matahari, hari tidak hujan atau di warnai dinginya gerimis, langit biru cerah, wukir Mahendra nampak gagah, udara kering mangsa labuhan dimaksimalkan penduduk di sekitar gunung Lawu untuk menjemur berbagai barang, baik pakaian kerja yang lama belum kering karena guyuran hujan setiap saat.
   Juga penjemuran alat-alat pertanian maupun benih serta biji yang dikering mataharikan agar daya tumbuhnya menjadi sempurna.
   Di masa lalu, mangsa labuh adalah musim gencatan senjata, para prajurit ditarik dari garis depan medan perang.
  Mereka diperintah untuk kembali menjadi petani, mengolah lahan dan mempersiapkan benih padi yang diproses dan dirawat di bedeng-bedeng persemaian agar menjadi bibit yang baik, sehingga padi yang akan dipanen bisa bernas, berisi dan sehat, padi sebagai bahan makanan pokok seluruh penghuni kerajaan.
   Mangsa Labuh, jerami kering di masukkan ke dalam ruangan khusus, agar tetap kering dan bisa dipakai alas tidur kuda perang dan sekaligus campuran pakannya.
  Bahan jerami jenis padi dan ketan yang dikeringkan di musim kemarau, dipakai alas tidur kuda-kuda perang pilihan milik senopati dan perwira tinggi.
   Jerami yang jika kotor terkena air kencing kuda dan tainya bisa diproses menajdi pupuk kandang yang berkualitas tinggi, sehingga bisa makin menyuburkan lahan pertanian.
   Musim hujan adalah musim perdamaian, tanah Jawa yang dihajar musim kemarau sehingga kering berdebu, retak-retak serta mengering mata airnya, kembali menjadi sangat hijau, subur dan siap ditanami bibit padi, sayur-mayur dan berbagai jenis bahan makanan
  Wayah Labuh tanah Jawa kembali kejatidirinya, bumi indah yang gemah ripah dan loh jinawi.
   Para penduduk dan prajurit kerajaan bahu membahu meperbaiki saluran air, membuat jalan baru guna memudahkan pedati mengangkut pupuk, bibit dan peralatan bercocok tanam seperti garu, luku dan lain sebagainya.
  Sehingga proses panjang menanam padi makin dipermudah dengan akses jalan yang diperbagus, dan kegiatan kerja bhakti gugur gunung gotong royong itu akan berlangsung sampai musim panen.
  Musim panen yang akan menjadi puncak kesibukanya, sebab berlipat-lipat banyaknya berbagai macam ragam kegiatan, upacara adat merti dusun, tradisi miwiti panen, dan tradisi lain di gelar dengan meriah, semua bersuka cita akan karunia Sang Pemberi Kesuburan sehingga tanaman bisa maksimal, dan panen melimpah ruah mendatangkan kemakmuran kepada seluruh negeri.
  Mangsa labuh adalah musim nambut talining akrami, saat terbaik untuk menikah, prajurit yang sudah memiliki calon isteri bisa melangsungkan pernikahan itu dengan tak kalah meriah.
  Jajaran petinggi prajurit kerajaan, perwira tinggi dan senopati bahkan raja yang turut berbahagia akan memberi hadiah pernikahan yang bisa di pakai bekal mendirikan rumah dan mengisinya dengan berbagai macam perabotan.
  Itu semua sebagai tanda terimakasih segenap kawula rakyat kerajaan dan raja sendiri kepada sang prajurit atas jasa-jasa pengabdianya dalam berdharma bhakti menjaga keamanan dan keutuhan seluruh kedaulatan kerajaan di mana ia bertugas.
    Dari tradisi ini lahirlah adat mahar nikah, pitukon, simbol kesiapan secara lahir batin mempelai pria yang siap menjadi seorang suami dan kepala rumah tangga, siap secara ekonomi dan secara spiritual.
   Bela Negara dan wajib militer berhenti total, seluruh kerajaan di gugusan kepulauan nusantara memasuki masa bercocok tanam, kegiatan gladhen perang juga di hentikan total, seluruh tenaga dan pikiran di kerahkan untuk bercocok tanam menyambut datangnya musim hujan di wayah labuh.
   Gagang tombak dibersihkan, mata tombak disarungkan kedalam pelindung kain khusus, demikian juga keris, pedang, anak panah dan endong serta busurnya, serta jenis-jenis senjata lain, semua dirawat dengan njlimet dan penuh adat tradisi, karena akan diistirahatkan sampai musim panen, disimpan di gedong pusaka keraton bagi pataka dan pusaka keramatnya, pataka serta pusaka yang akan diambil jika di butuhkan kelak.
   Semua senjata perang istirahat total, sampai musim panen selesai yang ditandai datangnya kembali musim kemarau yang akan mengembalikan anak-anak muda dan prajurit itu kembai gladhen berlatih gelar perang, berlatih teknik tangan kosong, olah berbagai macam jenis-jenis senjata, kanuragan dan berbagai macam taktik di garis depan medan laga.
   Pekatik dan juru rawat kuda perang sibuk merawat sang kuda dengan segala aksesorisnya yang sudah tua dan rusak diganti dengan yang baru.
   Dan semua di beri perhatian khusus, tapal/sepatu kuda yang rusak diperbaiki dan diganti, kuda yang bulunya suram di rawat agar kembali cemerlang, gigi kuda yang memanjang di pangur dan di rapikan agar bagus, semua bekerja dengan keras di wayah labuh, musim hujan, musim datangnya kesuburan di bumi nuswantara.
   Mpu pembuat senjata kerajaan melebur kembali wesi aji, baik berupa pedang, mata tombak, mata panah, keris, cundrik dan lain sebagainya yang rusak akibat di pakai di medan laga, semua bahan itu di lebur, di cetak ulang dengan ditempa dengan teknik metalurgi yang sangat purba, yang hanya di kuasi oleh para mpu yang ahli membuat senjata perang dan pusaka keramat, para mpu yang sudah sangat terlatih dan mumpuni.
   Para Mpu yang karyanya abadi sampai era Milenial ini, yang keris hasil karyanya diakui sebagai warisan peradaban budaya dunia oleh UNESCO.
   Raja dan pejabat istana rajin turun ke daerah dan padukuhan yang bahkan paling terpencil, untuk memantau dan melihat kehidupan segenap rakyatnya, yang dimasa pak presiden Jokowi di sebut budaya Blusukan.
   Dimasa inilah konsep manunggaling Kawula dengan Gustinya bisa benar-benar ajur dan ajer manjing sampurna dan nyawiji, sehingga era Kutai, Pajajaran, Kadiri, Sriwijaya, Singhasari sampai Demak, Pajang dan Mataram tetap lestari.
   Dan bahkan kejayaan peradaban itu masih juga tetap dilestarikan segenap generasi selanjutnya dengan masih adanya kehidupan kebudayaan di empat projo kejawen di tanah Jawa, Hamengkubuanan dan Pakualaman di DIY, Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta, yang merupakan representasi dan refleksi kejayaan peradaban masa lalu kerajaan nusantara di era lampau.
  Mongso labuhan, musim hujan, musim lelabuh, mengabdi buat mengolah tanah, menyuburkan kembali bumi, menanam bibit, menabur benih, merawatnya sehingga bisa di panen dengan hasil yang memuaskan, sehingga sandang, pangan serta papan mampu tercukupi dan rakyat akan berbahagia, sehingga pula segenap penghuni kerajaan akan makmur sejahtera.
   Kolonialisme masa lalu dan neo kolonialisme milenial menghancurkan kebudayaan wayah labuh, mangsa labuhan, musim hujan, wayah labuh musim hujan saat ini hanya dianggap sebagai musim bercocok tanam, tradisi di tinggalkan, manusia modern hanya mengejar hasil yang ingin serba cepat, instan dan kontan.
   Garu, luku, cangkul dan garpu diganti dengan traktor pengolah lahan, bibit unggul didatangkan menyingkirkan bibit lokal, pari ulu punah, yang ada padi modern yang keras nasinya karena berumur pendek dan cepat panen.
   Pupuk kimi meracuni tanah pertania di pulau Jawadwipa, tanah makin keras dan kehilangan kesuburannya.
   Hama penyakit tanaman makin menggila, biaya pengadaan obat dan racun hama sangat mahal, petani makin sulit mencari nafkah dari sawah, tegal dan kebunya.
   Manusia modern makin serakah, membuat sumur genset, musim kemarau nekad nanam padi, lahan tidak diberi waktu istirahat, digenjot terus produksinya, sehingga pupuk kimia itu makin besar-besaran dicurahkan, sehingga racun-racun dari semua bahan kimia itu makin besar sisa residunya, menumpuk dan menyatu dengan lahan, menyatu dengan hasil panen, menyatu dengan manusia nusantara yang memakan hasil panenanya.
  Racun yang bahkan tidak mudah hilang, mempengaruhi daya dan kekuatan tubuh manusia, dan bahkan petani yang masih kuat dan berusia muda, sehabis makan nasi begitu kenyang langsung ngantuk, malas kerja, lemas, mudah sakit flu, mudah malas beraktifitas dan susah bangun pagi, DNA dan sel-sel tubuh makin rapuh, berawal dari gila-gilaanya pemakain obat hama penyakit dan pupuk kimia yang bertujuan menggenjot jumlah hasil panen.
   Beras dari hasil panen sudah tak senikmat jaman kerajaan dahulu kala, beras sekarang sangat keras saat sudah jadi nasi, mudah basi dan tidak enak, padi lokal yang asli warisan leluhur nuswantara sudah punah sejak revolusi hijau di era Orde Baru.
   Revolusi Hijau yang gila-gilaan mendatangkan bibit unggul dari luar negeri, satu paket dengan pupuk dan obat kimia, sehingga paska orede baru, nuswantara tidak berdaya berswasembada pangan, beras impor, kedelai impor, jagung impor semua impor, masa depan pertanian semakin gelap, suram dan muram karena meninggalkan peradaban dan tradisi wayah Labuh.
   Nuswantara melupakan kedigdayaan senopati perang putri tangguh dari kadipaten Purabaya, raden ayu Retno Djumilah, pendekar perempuan pilih tanding anak gadis panembahan Madiun yang menitipkan sang anak terkasihnya di padepokan dan di didik dengan baik oleh jajaran pendekar pilih tanding bumi Monconegari.
  Putri adipati yang sejak kanak-kanak suka menunggang kuda, masuk desa keluar kampung, menyusuri jalanan di area persawahan, ladang dan kebun.
   Menempa diri dengan berbagai olah kridha yudhaning ajurit sehingga kelak bisa membuat kocar-kacir pasukan khusus Mataram pimpinan Panembahan Senopati yang ingin manyatukan Jawa di bawah panji-panji Kasultanan Mataram.
  Pendekar putri pilih tanding hasil didikan budaya wayah Labuh, putri yang ajur ajer bergaul dengan kawula alit sehingga tanpa jarak dengan rakyatnya, belajar salto di pematang sawah, berlatih jurus silat di hamparan indah persawahan, lembah pegunungan Wilis, sungai-sungainya yang bening gemericik dengan batu-batu besar berserakan, melatih kanuragan di deru deras serta indahnya air terjun di bumi Purabaya yang subur makmur dan sampai era Milenial ini masih menjadi lumbung pangan nasional, bumi Madiun.
   Pakdeh Wiro bercerita panjang lebar pada anak-anak muda yang kini sudah menjadi warga Madya, pakdeh Wiro mengisahkan sejarah budaya peradaban rakyat jawa nuswantara masa lalu saat mengahdapi datangnya msuim hujan.
   Wibowo yang baru datang segera bergabung, membawa karung yang isinya cukup berat, ia gendong di punggung seperti kuli pelabuhan, karung yang ia ambil dari mobil pick upnya yang ia parkir di sisi kanan warung kopi pakdhe Wiro.
  Pakdhe Wiro bergegas membuat racikan kopi special buat Wibowo yang baru masuk, sambil ngopi di sore yang cerah itu, mereka asyik berkisah tentang tradisi wayah labuh di masa lalu hingga masa kini.
   “benar pakdhe, sekarang lahan bengkok yang paling loh saja hanya menghasilkan padi sedikit, tanah mudah kering dan keras, dipupuk sedikit tanaman tidak subur, dipupuk banyak, pupuknya mahal, untung saya masih ada stok banyak pupuk kandang, sehingga setahun saya aplikasikan, sekarang lahan bengkaok jatah istri saya sebagai kades makin baik kesuburanya, dan hasil panen kemarin masih ada di lumbung kami, tidak seperti lima tahun yang lalu pakdhe”
   Lalu Wibowo menyerahkan amplop tebal dan sekarung beras lima puluhan kilo ke pakdhe Wiro, beras sekarung hasil panen bengkok lurah yang ia garap siang malam dengan teknologi garu luku dari sepasang sapi betina yang setahun lalu ia beli, sepasang sapi yang lebih meguntungkan dibanding sebuah traktor bajak yang rusak melulu dan sekarang ia jual sebagai besi tua.
  Pakdhe Wiro kaget, saat dibuka isi amplop tebal itu uang sepuluh juta rupiah, kata Wibowo itu uang urunan, saat silaturahmi temu kangen warga Madya angkatan 2018/2019 di rumahnya kemarin.
   Uang sepuluh juta yang memang sengaja akan diberikan kepada pakdhe Wiro, sang penjaga Warung Kopi Pendekar di padepoakn PSCP Pusat sebagi ucapan terimaksih segenap warga Madya hasil tempaan beliau tahun lalu.
  “Waduh sembah nuwun saestu Anakmas, beras sudah habis, dan dengan kanugrahaning Gusti Allah, panjenengan ngasih glondong pagareng-areng mas picis rojo brobo, juga sekarung beras buat modal hidup saya sebulan, hehehee, saya ambil secukupnya saja buat syukuran nanti malam, sisa uangnya buat pedepokan PSCP lho anakmas, atapnya sudah waktunya diganti dengan yang baru agar tak bocor lagi, tentu saja dana ini hanya tambahan, sisanya tentu dai kas padepokan anakmas”
  “itu ndak seberapa pakdhe, panjenegan kan guru pendamping Mbah Man saat kami semua masih calon Warga Madya kemarin, sekarung beras dan uang saku buat beli baju itu ndak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang sudah di turunkan padepokan PSCP pusat buat angkatan kami pakdhe”
    Sebagai rasa syukur atas bebungah dari muridnya yang kini semuanya sudah sukses dan mukti, pakdhe Wiro menyembelih beberapa ayam kampung, membuatnya jadi ingkung dan malamnya semua warga Madya angakatan 2018/2019 diundang syukuran, mensyukuri Krunia-Nya masih di beri umur dan usia dimana kehidupan mereka terasa serba dimudahkan segalanya.
     WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PEGASTUTI.
RUMONSO HANDARBENI HANGRUNGKAPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia