WARUNG KOPI PENDEKAR
“WAYAH LABUH”
Sore masih menyisakan terik matahari, hari
tidak hujan atau di warnai dinginya gerimis, langit biru cerah, wukir Mahendra
nampak gagah, udara kering mangsa labuhan dimaksimalkan penduduk di sekitar
gunung Lawu untuk menjemur berbagai barang, baik pakaian kerja yang lama belum
kering karena guyuran hujan setiap saat.
Juga penjemuran alat-alat pertanian maupun benih serta biji yang dikering
mataharikan agar daya tumbuhnya menjadi sempurna.
Di masa lalu, mangsa labuh adalah musim gencatan senjata, para prajurit
ditarik dari garis depan medan perang.
Mereka diperintah untuk kembali menjadi petani, mengolah lahan dan
mempersiapkan benih padi yang diproses dan dirawat di bedeng-bedeng persemaian agar
menjadi bibit yang baik, sehingga padi yang akan dipanen bisa bernas, berisi
dan sehat, padi sebagai bahan makanan pokok seluruh penghuni kerajaan.
Mangsa Labuh, jerami kering di masukkan ke dalam ruangan khusus, agar
tetap kering dan bisa dipakai alas tidur kuda perang dan sekaligus campuran
pakannya.
Bahan jerami jenis padi dan ketan yang dikeringkan di musim kemarau,
dipakai alas tidur kuda-kuda perang pilihan milik senopati dan perwira tinggi.
Jerami yang jika kotor terkena air kencing kuda dan tainya bisa diproses
menajdi pupuk kandang yang berkualitas tinggi, sehingga bisa makin menyuburkan
lahan pertanian.
Musim hujan adalah musim perdamaian, tanah Jawa yang dihajar musim kemarau
sehingga kering berdebu, retak-retak serta mengering mata airnya, kembali menjadi
sangat hijau, subur dan siap ditanami bibit padi, sayur-mayur dan berbagai
jenis bahan makanan
Wayah Labuh tanah Jawa kembali kejatidirinya, bumi indah yang gemah
ripah dan loh jinawi.
Para penduduk dan prajurit kerajaan bahu membahu meperbaiki saluran air,
membuat jalan baru guna memudahkan pedati mengangkut pupuk, bibit dan peralatan
bercocok tanam seperti garu, luku dan lain sebagainya.
Sehingga proses panjang menanam padi makin dipermudah dengan akses jalan
yang diperbagus, dan kegiatan kerja bhakti gugur gunung gotong royong itu akan
berlangsung sampai musim panen.
Musim panen yang akan menjadi puncak kesibukanya, sebab berlipat-lipat
banyaknya berbagai macam ragam kegiatan, upacara adat merti dusun, tradisi miwiti
panen, dan tradisi lain di gelar dengan meriah, semua bersuka cita akan karunia
Sang Pemberi Kesuburan sehingga tanaman bisa maksimal, dan panen melimpah ruah
mendatangkan kemakmuran kepada seluruh negeri.
Mangsa labuh adalah musim nambut talining akrami, saat terbaik untuk menikah,
prajurit yang sudah memiliki calon isteri bisa melangsungkan pernikahan itu
dengan tak kalah meriah.
Jajaran petinggi prajurit kerajaan, perwira tinggi dan senopati bahkan
raja yang turut berbahagia akan memberi hadiah pernikahan yang bisa di pakai
bekal mendirikan rumah dan mengisinya dengan berbagai macam perabotan.
Itu semua sebagai tanda terimakasih segenap kawula rakyat kerajaan dan
raja sendiri kepada sang prajurit atas jasa-jasa pengabdianya dalam berdharma
bhakti menjaga keamanan dan keutuhan seluruh kedaulatan kerajaan di mana ia
bertugas.
Dari tradisi ini lahirlah adat mahar nikah, pitukon, simbol kesiapan
secara lahir batin mempelai pria yang siap menjadi seorang suami dan kepala
rumah tangga, siap secara ekonomi dan secara spiritual.
Bela Negara dan wajib militer berhenti total, seluruh kerajaan di
gugusan kepulauan nusantara memasuki masa bercocok tanam, kegiatan gladhen
perang juga di hentikan total, seluruh tenaga dan pikiran di kerahkan untuk
bercocok tanam menyambut datangnya musim hujan di wayah labuh.
Gagang tombak dibersihkan, mata tombak disarungkan kedalam pelindung
kain khusus, demikian juga keris, pedang, anak panah dan endong serta busurnya,
serta jenis-jenis senjata lain, semua dirawat dengan njlimet dan penuh adat
tradisi, karena akan diistirahatkan sampai musim panen, disimpan di gedong pusaka
keraton bagi pataka dan pusaka keramatnya, pataka serta pusaka yang akan diambil
jika di butuhkan kelak.
Semua senjata perang istirahat total, sampai musim panen selesai yang
ditandai datangnya kembali musim kemarau yang akan mengembalikan anak-anak muda
dan prajurit itu kembai gladhen berlatih gelar perang, berlatih teknik tangan
kosong, olah berbagai macam jenis-jenis senjata, kanuragan dan berbagai macam
taktik di garis depan medan laga.
Pekatik dan juru rawat kuda perang sibuk merawat sang kuda dengan segala
aksesorisnya yang sudah tua dan rusak diganti dengan yang baru.
Dan semua di beri perhatian khusus, tapal/sepatu kuda yang rusak
diperbaiki dan diganti, kuda yang bulunya suram di rawat agar kembali
cemerlang, gigi kuda yang memanjang di pangur dan di rapikan agar bagus, semua
bekerja dengan keras di wayah labuh, musim hujan, musim datangnya kesuburan di
bumi nuswantara.
Mpu pembuat senjata kerajaan melebur kembali wesi aji, baik berupa
pedang, mata tombak, mata panah, keris, cundrik dan lain sebagainya yang rusak
akibat di pakai di medan laga, semua bahan itu di lebur, di cetak ulang dengan
ditempa dengan teknik metalurgi yang sangat purba, yang hanya di kuasi oleh para
mpu yang ahli membuat senjata perang dan pusaka keramat, para mpu yang sudah sangat
terlatih dan mumpuni.
Para Mpu yang karyanya abadi sampai era Milenial ini, yang keris hasil
karyanya diakui sebagai warisan peradaban budaya dunia oleh UNESCO.
Raja dan pejabat istana rajin turun ke daerah dan padukuhan yang bahkan
paling terpencil, untuk memantau dan melihat kehidupan segenap rakyatnya, yang
dimasa pak presiden Jokowi di sebut budaya Blusukan.
Dimasa inilah konsep manunggaling Kawula dengan Gustinya bisa benar-benar
ajur dan ajer manjing sampurna dan nyawiji, sehingga era Kutai, Pajajaran,
Kadiri, Sriwijaya, Singhasari sampai Demak, Pajang dan Mataram tetap lestari.
Dan bahkan kejayaan peradaban itu masih juga tetap dilestarikan segenap
generasi selanjutnya dengan masih adanya kehidupan kebudayaan di empat projo
kejawen di tanah Jawa, Hamengkubuanan dan Pakualaman di DIY, Kasunanan dan
Mangkunegaran di Surakarta, yang merupakan representasi dan refleksi kejayaan
peradaban masa lalu kerajaan nusantara di era lampau.
Mongso labuhan, musim hujan, musim lelabuh, mengabdi buat mengolah
tanah, menyuburkan kembali bumi, menanam bibit, menabur benih, merawatnya
sehingga bisa di panen dengan hasil yang memuaskan, sehingga sandang, pangan
serta papan mampu tercukupi dan rakyat akan berbahagia, sehingga pula segenap
penghuni kerajaan akan makmur sejahtera.
Kolonialisme masa lalu dan neo kolonialisme milenial menghancurkan
kebudayaan wayah labuh, mangsa labuhan, musim hujan, wayah labuh musim hujan
saat ini hanya dianggap sebagai musim bercocok tanam, tradisi di tinggalkan,
manusia modern hanya mengejar hasil yang ingin serba cepat, instan dan kontan.
Garu, luku, cangkul dan garpu diganti dengan traktor pengolah lahan,
bibit unggul didatangkan menyingkirkan bibit lokal, pari ulu punah, yang ada
padi modern yang keras nasinya karena berumur pendek dan cepat panen.
Pupuk kimi meracuni tanah pertania di pulau Jawadwipa, tanah makin keras
dan kehilangan kesuburannya.
Hama penyakit tanaman makin menggila, biaya pengadaan obat dan racun
hama sangat mahal, petani makin sulit mencari nafkah dari sawah, tegal dan
kebunya.
Manusia modern makin serakah, membuat sumur genset, musim kemarau nekad
nanam padi, lahan tidak diberi waktu istirahat, digenjot terus produksinya,
sehingga pupuk kimia itu makin besar-besaran dicurahkan, sehingga racun-racun
dari semua bahan kimia itu makin besar sisa residunya, menumpuk dan menyatu
dengan lahan, menyatu dengan hasil panen, menyatu dengan manusia nusantara yang
memakan hasil panenanya.
Racun yang bahkan tidak mudah hilang, mempengaruhi daya dan kekuatan
tubuh manusia, dan bahkan petani yang masih kuat dan berusia muda, sehabis
makan nasi begitu kenyang langsung ngantuk, malas kerja, lemas, mudah sakit flu,
mudah malas beraktifitas dan susah bangun pagi, DNA dan sel-sel tubuh makin
rapuh, berawal dari gila-gilaanya pemakain obat hama penyakit dan pupuk kimia
yang bertujuan menggenjot jumlah hasil panen.
Beras dari hasil panen sudah tak senikmat jaman kerajaan dahulu kala,
beras sekarang sangat keras saat sudah jadi nasi, mudah basi dan tidak enak,
padi lokal yang asli warisan leluhur nuswantara sudah punah sejak revolusi
hijau di era Orde Baru.
Revolusi Hijau yang gila-gilaan mendatangkan bibit unggul dari luar
negeri, satu paket dengan pupuk dan obat kimia, sehingga paska orede baru,
nuswantara tidak berdaya berswasembada pangan, beras impor, kedelai impor,
jagung impor semua impor, masa depan pertanian semakin gelap, suram dan muram
karena meninggalkan peradaban dan tradisi wayah Labuh.
Nuswantara melupakan kedigdayaan senopati perang putri tangguh dari kadipaten
Purabaya, raden ayu Retno Djumilah, pendekar perempuan pilih tanding anak gadis
panembahan Madiun yang menitipkan sang anak terkasihnya di padepokan dan di
didik dengan baik oleh jajaran pendekar pilih tanding bumi Monconegari.
Putri
adipati yang sejak kanak-kanak suka menunggang kuda, masuk desa keluar kampung,
menyusuri jalanan di area persawahan, ladang dan kebun.
Menempa diri dengan berbagai olah kridha yudhaning ajurit sehingga kelak
bisa membuat kocar-kacir pasukan khusus Mataram pimpinan Panembahan Senopati
yang ingin manyatukan Jawa di bawah panji-panji Kasultanan Mataram.
Pendekar putri pilih tanding hasil didikan budaya wayah Labuh, putri
yang ajur ajer bergaul dengan kawula alit sehingga tanpa jarak dengan
rakyatnya, belajar salto di pematang sawah, berlatih jurus silat di hamparan
indah persawahan, lembah pegunungan Wilis, sungai-sungainya yang bening
gemericik dengan batu-batu besar berserakan, melatih kanuragan di deru deras
serta indahnya air terjun di bumi Purabaya yang subur makmur dan sampai era
Milenial ini masih menjadi lumbung pangan nasional, bumi Madiun.
Pakdeh Wiro bercerita panjang lebar pada anak-anak muda yang kini sudah
menjadi warga Madya, pakdeh Wiro mengisahkan sejarah budaya peradaban rakyat
jawa nuswantara masa lalu saat mengahdapi datangnya msuim hujan.
Wibowo yang baru datang segera bergabung, membawa karung yang isinya
cukup berat, ia gendong di punggung seperti kuli pelabuhan, karung yang ia
ambil dari mobil pick upnya yang ia parkir di sisi kanan warung kopi pakdhe
Wiro.
Pakdhe Wiro bergegas membuat racikan kopi special buat Wibowo yang baru
masuk, sambil ngopi di sore yang cerah itu, mereka asyik berkisah tentang
tradisi wayah labuh di masa lalu hingga masa kini.
“benar pakdhe, sekarang lahan bengkok yang paling loh saja hanya
menghasilkan padi sedikit, tanah mudah kering dan keras, dipupuk sedikit
tanaman tidak subur, dipupuk banyak, pupuknya mahal, untung saya masih ada stok
banyak pupuk kandang, sehingga setahun saya aplikasikan, sekarang lahan
bengkaok jatah istri saya sebagai kades makin baik kesuburanya, dan hasil panen
kemarin masih ada di lumbung kami, tidak seperti lima tahun yang lalu pakdhe”
Lalu Wibowo menyerahkan amplop tebal dan sekarung beras lima puluhan
kilo ke pakdhe Wiro, beras sekarung hasil panen bengkok lurah yang ia garap
siang malam dengan teknologi garu luku dari sepasang sapi betina yang setahun
lalu ia beli, sepasang sapi yang lebih meguntungkan dibanding sebuah traktor
bajak yang rusak melulu dan sekarang ia jual sebagai besi tua.
Pakdhe Wiro kaget, saat dibuka isi amplop tebal itu uang sepuluh juta
rupiah, kata Wibowo itu uang urunan, saat silaturahmi temu kangen warga Madya
angkatan 2018/2019 di rumahnya kemarin.
Uang sepuluh juta yang memang sengaja akan diberikan kepada pakdhe Wiro,
sang penjaga Warung Kopi Pendekar di padepoakn PSCP Pusat sebagi ucapan
terimaksih segenap warga Madya hasil tempaan beliau tahun lalu.
“Waduh sembah nuwun saestu Anakmas, beras sudah habis, dan dengan kanugrahaning
Gusti Allah, panjenengan ngasih glondong pagareng-areng mas picis rojo brobo,
juga sekarung beras buat modal hidup saya sebulan, hehehee, saya ambil
secukupnya saja buat syukuran nanti malam, sisa uangnya buat pedepokan PSCP lho
anakmas, atapnya sudah waktunya diganti dengan yang baru agar tak bocor lagi,
tentu saja dana ini hanya tambahan, sisanya tentu dai kas padepokan anakmas”
“itu ndak seberapa pakdhe, panjenegan kan guru pendamping Mbah Man saat
kami semua masih calon Warga Madya kemarin, sekarung beras dan uang saku buat
beli baju itu ndak ada apa-apanya dibandingkan ilmu yang sudah di turunkan
padepokan PSCP pusat buat angkatan kami pakdhe”
Sebagai rasa syukur atas bebungah dari muridnya yang kini semuanya sudah
sukses dan mukti, pakdhe Wiro menyembelih beberapa ayam kampung, membuatnya
jadi ingkung dan malamnya semua warga Madya angakatan 2018/2019 diundang
syukuran, mensyukuri Krunia-Nya masih di beri umur dan usia dimana kehidupan
mereka terasa serba dimudahkan segalanya.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING
PEGASTUTI.
RUMONSO HANDARBENI HANGRUNGKAPI NGULAT
SARIRO HANGROSO WANI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar