OWKP
Obrolan Warung Kopi Pendekar
“Ki Lurah Monconagari”
Bulan Desember sudah tiba, musim hujan pun resmi mengubah daratan bumi
Jawadwipa, dari semula kering, kerontang dan panas, kini sejuk, segar, menghijau
oleh rerumputan, pupus baru tanaman dan dedaunan muda pepohonan yang subur
bertumbuh, petani pun sibuk dari dini hari sampai kadang larut malam di tegal,
kebun dan sawahnya, lahan yang sudah gembur basah siap diolah.
Pakdhe Wiro, penjual warung kopi dan gorengan itu tak kalah sibuk, sejak
pagi buta sudah bersiaga, langganan warung kopinya kadang memesan gorengan dan
nasi bungkus, dua item yang paling laku bulan ini, gorengan singkong plus sego
jotos, bekal buat para pejuang kehidupan itu sarapan di sawah mereka.
Bahkan, nasi jotos lima ribuan yang dititip embok-embok bakul penjual nasi
keiling, yang pagi buta lewat depan rumahnya, menitipkan sebagian barang
dagangannya itu di warung pakdhe Wiro, sekresek penuh nasi bungkus berisi
sekepal nasi dan sepotong daging ayam plus sejumput sambal trasi dan secuil
tempe, nasi atau sego jotos karena sebesar kepalan tangan, embok bakul yang
nitip memberi harga empat ribu, pakdhe Wiro menjual lima ribuan, untung seribuan
dikali sekresek yang jumlahnya lima puluh bungkus mendapat untung lima puluh
ribu sehari, hanya dari orang yang nitip nasi bungkus saja, belum barang dagangan
yang lain.
Bulan sibuk, bulan bercocok tanam, semua makanan yang dijual di
warungnya kini selalu ludes sebelum matahari terbit, diborong para petani yang
tak sempat menyiapkan makan pagi di rumahnya masing-masing, karena berpacu
dengan waktu, benih padi sudah cukup umur, saatnya segera di pindah ke lahan
sawah, musim tandur sudah tiba.
“kulonuwun, pripun, sudah habis belum pakdhe, saya mau pulang dulu,
sudah ditunggu putu-putu, hari ini mereka turun gunung semua, mau lihat
coblosan lurah dibalai desa”
Seorang perempuan paruh baya memasuki warung Pakdhe Wiro, menanyakan
barang daganganya yang tadi ditititipkan di warung itu.
“wah, njanur gunung mbakayu, jam sementen sampun wangsul, ini artonipun,
tadi sudah habis selepas panjenengan sampai di tikungan jalan prapatan, lha
enten sing mborong, dados mpun telas sedaya”
Pakdhe Wiro memberikan sejumlah uang, kemudian perempuan itu minta diri.
“wah kok kesesa, jam pinten niki mbakayu, paling-paling panitia coblosan
masih tidur, berapa calonya di dusun njenengan ingkang njago lurah”
“masalahnya memang mumpung taksih enjing pakdhe Wiro, lha pripun,
lare-lare sedaya mumet sirahipun, cumpleng, dua jago lewat botoh-botohnya tadi
malam ngasih uang saku buat membeli dukungan kami pada jagonya, uang itu kan
sudah dimantrai, dodoai, dikaromahi, diberi pujosaji, nek mboten nyoblos
dua-duanya takut kami kalau ada apa-apanya, mungkin nanti kami semua nyoblos
dua jago yang maju, ah wes embuhlah, lha nek jago kalih nyukani sedaya pripun,
kulo piyambak kadang suka bingung pakdhe, dua-duanaya ngasih uang saku buat
nyoblos”
“sampun bingung, ngantos cumpleng sirahipun mbakayu, jaman sakniki
sedaya wantun pinten, wani piro, kata leluhur mpun pleg, jer basuki mowo beyo,
kalau lurah mau menang yang harus ngasih uang saku, buat bekal beli bensin,
ngopi di warung dan membelikan jajanan dan mainan anak putu yang ikut mangayubagyo
pemilihan kepala desa, walaupun sebagai pemilih kita kadang bingung, kayak di desa mantu saya itu, keluarga
mantu saya ada 7 hak suara yang bisa nyoblos, satu rumah di beri uang amplop
semua oleh 2 jago, ada 7 hak pilih, ya suaranya di bagi separuh-separuh, satu
keluarga di bagi 2 grup buat menyoblos 2 gambar biar adil, siapapun yang menang
toh orangnya masih sedulur tunggal mbah jadi ya tetep di bagi adil suaranya”
“ya itu pakdhe, kami bingung, dua jago saudara kami semua, salah satu
malah masih dulur cer dari suwargi bapak saya, manggil saya budhe, kalau
satunya dulur cer suami saya, manggil pakne si Miran Pakpuh, tadi malam semua datang
mohon doa dan dukungan, kami sebagai orang tua ya cuman mengiyakan, kami tulus
memberikan doa dan dukungan, tapi kalau kami cobos semua salah, kami bagi suara
dan salah satu kalah juga salah, makanya cumpleng niki sirah kulo pakdhe”
“wah, njenengan kok ketingal pucet Mbakayu, sebentar saya masuk dulu,
silahkan duduk dulu”
Pakdhe Wiro memapah perempuan paruh baya itu untuk duduk di lincak bambu
depan warungnya, perempuan yang mendadak pucat dan gurat kesakitan nampak dari
kernyit dahinya yang terlipat-lipat, mendesis dan memegangi kepalanya, kepala
yang pening tingkat dewa karena memikirkan coblosan pilihan lurah di desanya,
pusing dan pening karena dua jago itu masih ada hubungan saudara.
Pakdhe Wiro masuk ke warung, mengambil segelas air putih, ia memejamkan
mata, memberi doa-doa pada gelas berisi air yang ada di tangan kananya,
kemudian ia tiup tiga kali permukaan air di gelas itu, bergegas ia keluar lagi.
“ini mbakayu, minum dulu biar sembuh kronowelah kemawon, ndilalah kok
belum pergi njenengan wau, kalau ambruk di tengah jalan kan repot kalau ndak
kepulung piyantun ingkang ngonangi”
Perempuan itu membenahi duduknya, rambutnya yang kusut memutih ia seka
sehingga anak-anak rambut yang memutih dan kusut dan agar kotor berdebu itu
menyibak di atas daun telinganya.
Seraut wajah sepuh, wajah kuyu yang didera sulitnya mencari sesuap nasi
demi perut anak-anaknya bahkan sejak mereka masih bayi sampai mereka menikah
dan beranak pinak, masih sesekali mampir meminta sekedar makan kalau di rumah
mereka belum ada makanan.
Harap maklum, hidup di bumi Panekan, hasil sawah, kebun dan ladang tidak
setiap hari bisa di panen, sehingga harus berani rekoso kerja serabutan asalkan
halal, kalau malu akan kelaparan tidak makan, bahkan di bumi Panekan, lembah
gunung Lawu yang subur dan indah itu, rakyat miskin masih bertebaran mudah di
temui di sudut desa, kampung dan jalanan, tanah keramat, bumi Jawadwipa yang
subur itu pun sampai hari ini belum bisa memberi rasa kenyang kepada perut
anak-anaknya.
Pakdhe Wiro membimbing perempuan sepuh paruh baya yang masih pucat pasi
itu, musim pilihan lurah, semua karomah, azimat keramat, doa-doa ulama, kyai,
habib, ustadz sampai dukun jor-joran membanjiri dimensi ruang dan waktu.
Kekuatan magis supranatural yang mengerikan, daya hitam, daya merah,
daya kelabu, daya putih dan daya-daya sewu manca warna berjibaku, bersirobok
saling silih ungkih, berusaha menjadi yang terkuat, klenik purba bumi keramat
Jawadipa, yang bagi calon pemimpin bahkan setingkat Lurah pun, harus memakainya.
Membangunkanya lagi daya magis itu, demi sebuah posisi orang nomor satu
di desanya, dan hari itu, Panekan menjalani pesta pemilihan umum langsung
kepala desa di 16 lokasi, dan daya magis dari desa-desa itu menyatu,
berpendar-pendar, bahkan sampai membuat perempuan paruh baya itu kehilangan
daya kekuatan.
Dan tubuh ringkihnya merintih lirih, tulang keroposnya tak mampu
menopang tubuhnya yang mulai aus dimakan sang waktu, dan kekuatan keramat
klenik itu membuat tubuhnya sedemikian maha hebat merasakan penderitaan, derita
suksma dan raga, komplit dan kontan, demi ambisi edan sosok-sosok yang ingin
menjadi orang nomor satu di 16 desa di kecamatan yang menjadi pusat Padepokan
Pencak Silat Cempaka Putih.
Pakdhe Wiro bukan penjual gorengan dan penyaji minuman kopi cangkir
biasa, ia adalah asisten sang Dwija Wagiman Wasana manakala menempa calon-calon
warga Madya, sehingga mata bathin pakdhe Wiro, sudah bisa tahu, sejak tadi di
sekitar tubuh perempuan paruh baya itu penuh dengan wujud-wujud semu, energi
spiritual.
Energi yang mewujud wadag, menjadi bentuk-bentuk badan halus yang sangat
mengerikan, bertaring, bertanduk, berbau busuk menjijikkan, ilmu pakiwan dan
tengen, ilmu hitam dan putih yang berbenturan saat minuman itu sudah diteguk perempuan
sepuh itu mulai nampak hasilnya.
Wujud-wujud itu, dalam
penerawangan Pakdhe Wiro satu demi satu lenyap, menjadi asap, terbang terbawa
angin lenyap, dan berangsur-angsur perempuan itu pun bisa duduk dengan tegak,
wajahnya sudah tak sepucat tadi, wajah yang mulai sumringah bersemu merah.
“nuwun sewu Mbakayu, tolong panjenegnan
pejamkan mata, atur nafas, kawulo pijet sirah njenegan, nuwun sewu nggeh”
Pakdhe Wiro memegang kepala perempuan itu, ia salurkan energi murninya,
udara hangat menyapu batok kepala perempuan paruh baya itu, dan sesaat kemudian
perempuan itu merasakan badanya sudah lebih baik, tidak seperti tadi, semua
rasa sakit, sesak di dada, kaki berat melangkah dan sejuta penderitaan itu kini
seakan bagai awan yang tersingkap oleh datangnya semilir angin, sehingga langit
kembali biru megah, bukan lagi angkasa yang muram terselimuti awan kelabu.
Pakdhe Wiro membuatkan kopi tubruk jenis kopi nongko dari Ngrayudan,
sang perempuan sepuh itu menikmati suguhan minunam lezat itu dengan penuh rasa
syukur.
Sang pemilik warung gorengan itu mempersilahkan agar racikan kopi
nongkonya segera diminum mumpung masih panas, dan dengan penuh syukur sang
perempuan menyeruputnya, hangat menjelajahi kerongkongan hingga lambung,
energinya bangkit kembali, energi prajurit estri sejati, pejuang pantang
menyerah di medan perang kehidupan.
Perempuan sepuh itu tak mengira, masih ada yang peduli kepadanya, kalau tadi
ia memakai BPJS ke Puskesmas, yang ada wajah-wajah judes petugas yang asyik
main gempabji, petugas yang masih anak-anak muda seumuran cucunya yang
kehilangan subasita dan tatakrama adab sopan kepada pasien miskin, tua renta
dan kumal seperti dirinya, dan pakdhe Wiro, asisten Sang Dwija Wasana, Pendekar
Gunung Lawu paling senior itu kini menyembuhkan dan menyelamatkanya tuntas lahir
batin, bahkan dokter terhebat di negeri inipun tak akan bisa mengusir sakit akibat
daya klenik keramat tanah Jawa purba, dokter hanya bisa ngasih resep yang harus
ia tebus dengan mahal, obat mahal yang malah membuat sesak nafasnya kian hebat.
Obat mahal yang tumpul tak berguna, karena itu artinya ia harus
kelaparan lebih hebat lagi, karena hutang di warung masih menumpuk, uang yang
ia simpan itu harus terpakai buat beli obat mahal, ah, mendadak air mata pedih tak
terasa menetes di pipinya yang keriput di makan kejamnya zaman.
Pakdhe Wiropun bukan tukang warung kaleng-kaleng, ia adalah sesepuh
padepoakan PSCP yang menyamar menjadi penjual kopi tubruk dan gorengan, ia
ingin lebih lama menjalani tapa ngrame.
Menjalankan laku, lebur di jagad gumelar, tidak nikmat baginya menikmati
usia senja dengan ongkang-ongkang kaki di rumah, makan enak tidur nyenyak yang
membuatnya malah tersiksa lahir batin, tulangnya sakit dan makin ringkih jika
hidup seperti cara itu, bahkan anak-anaknya yang hidup kaya dan sukses pun tak
bisa membuatnya betah duduk manis di rumah, orang tua yang masih gentur
menjalani sebuah laku!.
Dan pakdhe Wiropun tahu, musim pilihan lurah adalah musim orang sakit
hati, sakit jiwa dan sakit batin, semua yang tak masuk akal menjadi lumrah dan
niscaya.
Zaman ia kecil, lurah diangkat keluarga atau pejabat keraton trah ngarso
dalem ing Bumi Mentaram, sehingga tak menimbulkan huru hara antar botoh dan
pendukung.
Zaman Belanda diadakan pilihan sistem voting, warga dikumpulkan di
lapangan desa, calon lurah duduk di beberapa tempat yang berjauhan, bagi
pemilih yang datang langsung berbaris rapi di sisi jago yang ia pilih, praktis
dan tak menghabiskan tinta dan kertas dan biaya tetek bengek yang miliaran jika
dihitung seluruh kabupaten Magetan, berapa Te biayanya jika seluruh Indonesia
makek cara sekarang.
Zaman sekarang kayaknya makin ancur, pakek kampanye, visi misi, nempel
selebaran dan poster, nyari dukungan, ngemis simpati, kehilangan kewibawaan,
padahal Lurah adalah representasi dan refleksi sosok seorang senopati pinunjul
Lurah adalah tetunggul agul-aguling ajurit yang digdaya, mahir menuggang
kuda, memiliki wesi aji keramat, piawai olah senjata dan mumpuni di
spiritualisme, sehingga mampu menjadi pengayom, paring pengadilan bagi yang
bertikai, menjadi pemimpin bagi segenap kawulo desanya.
Lurah adalah refleksi kekuasaan
sekaligus kepemimpinan ngarso dalem ing bumi Mentaram.
Dan tragisnya kini Lurah adalah orang kaya berduit yang dengan gagah
bilang, pilih aku, ini duitnya, ini uangnya, dan pemilih dengan senang menerima,
dan dengan curang bilang wani piro pada jago yang lain, yang juga ngasih duit,
dan dengan cerah wajah sumringah ia terima, lumayan, rejeki seragan malam
sampai fajar.
Sehingga hari ini adalah puncak dari perjalanan Zaman Edan, masa
pemerintahan Ki Lurah era milenial adalah masa kisruh, lurah yang baru selalu diawali
dengan perang batin, masa kelam, masa bertikai antar botoh tim sukses dan
pendukung, tetangga tak akur, istri cerai dari suami, menantu berantem dengan
mertua, anak nyatru bapaknya, saudara saling berselisih paham, orang punya
hajat dan undangn kenduripun tak didatangi.
Warga desa terbelah menjadi 2 kelompok yang saling berhadapan head to
head setiap hari, bahkan sampai lebaran kuda belum rukun dan rujuk, masih
kisruh, masih nyatru, masih saling ancam dengan senyuman sinis menjijikkan dan
memuakkan, cuiihhh!.
Kelompok yang satu dengan yang lain saling ancam, yang berkhianat tak
nyoblos jagonya di beri sangsi, di seng, di kucilkan, dibuli di hina
martabatnya, bila perlu dikirim tenung biar mati dengan cara paling mengerikan,
wong jowo ilang kamanungsane, kekacauan yang kelak pasti akan memakan korban
jiwa, tumpahnya darah kental yang amis dan anyir di bumi keramat nusantara.
Gunung Mahendara, masih kokoh, tegak, diam lir tugu sinukarto, masih
setia menjadi saksi bisu, saksi peristiwa lima tahunan, pilihan Lurah di
desa-desa di seluruh kaki, lembah hingga lerengnya, saksi bisu dari polah
tingkah nakal anak-anak kehidupan yang kadang lupa untuk sekedar bersyukur bisa
hidup di kesuburan lembah indah yang gagah setia ia jaga mata airnya tetap
ajeg.
Mata air yang tetap ada, masih bening gemericik mengalir bahkan sampai
hari ini masih menghidupi mereka yang hari ini sejenak lupa akan besarnya karunia
itu, dan jika bisa ngomong curhat sang Wukir Lawu hanya bisa berbisik sedih: “saatnya
wong Panekan menjadi pelopor perubahan dari keributan ini, jangan bertengkar
karena pilihan LURAH…!!!”
WIRO YUDHO
WICAKSONO
SURO DIRO
DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
RUMONGSO
HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar