Senin, 02 Desember 2019

Pendekar Gunung Lawu


PENDEKAR GUNUNG LAWU

BAGIAN I
TURANGGA JURIT
“DEFILE”
   Di masa senja sesepuh Pendekar Gunung Lawu, sang Dwija Wasana, perguruan pencak silat Cempaka Putih sudah menjadi sangat besar, anggota perguruan sudah hampir merata membuka cabang – cabang baru di gugusan pulau negeri khatulistiwa nusantara, dari Ibukota Negara bahkan sampai pelosok-pelosok daerah-daerah pemekaran wilayah baru, baik di Zona-zona Propinsi maupun Kabupaten, Kecamatan, Desa, Kampung dan Kelurahan di seluruh NKRI.
   Di masa inilah kisah epos dunia pendekar milineal ini di tulis oleh seorang perantau asal tanah kelahiran PSCP yang bertualang turun gunung jauh meninggalkan bumi kelahiran, tanah kampung halaman.
  Ia melanglang buana mengabadikan setiap momen penting sejarah perkembangan PSCP baik Pusat, Wilayah maupun Cabang, bahkan Ranting dan Sub Ranting, goresan tinta emas sejarah PSCP agar menjadi pustaka kesatria maha utama, sebuah prasasti cita-cita yang entah kapan bisa di wujudkan dalam kasunyatan, bukan hanya goresan ide hitam di atas putih belaka.
   Dari detik ke menit, jam hari, makin lama makin berkembang makin mekar, buah perjuangan maha panjang pendekar gunung Lawu, buah manis jerih payah sang Dwija Wasana sejak peralihan peradaban orde lama ke orde baru bahkan sampai masa-masa reformasi, semangat sang sesepuh pendekar gunung Lawu itu tak pernah pudar walau sandyakala usia lanjut sudah tiba di hari-hari bapak pendiri PSCP pusat ini.
   Patah tumbuh hilang berganti, sepeninggal sosok-sosok sesepuh kawan seiring sejalan seperjuangan sang Dwija Wasana, tokoh-tokoh perintis perguruan, seperti Mbah Achmad Nidom Wasana, Mbah Soemarmo Wasana dan Mbah Purdjito Wasana membuat tokoh-tokoh paling senior di pusat semakin berkurang, dan ini membuat sang legenda Pendekar Gunung Lawu mengambil langkah cerdas.
  Sang Dwija Wasana memutuskan hal yang kelak akan mengubah sejarah PSCP, sang Dwija sangat mengubah sejarah perkembangan PSCP dengan memberi kuasa kepada para pendekar perintis Wilayah, Cabang dan Ranting bahkan Sub Ranting menjalankan pendadaran latihan calon warga Madya di daerah, bukan lagi terpusat di Padepokan Wiro Yudho Wicaksono..
   Dengan adanya pendadaran calon Warga Madya yang kelak tentu akan di persiapkan menuju warga Wasana yang kini direkomendasikan sang pendiri PSCP atas amanah beliau dapat di laksanakan di Wilayah domisili masing-masing pendekar yang terpanggil dan terpilih.
  Terpanggil jiwa perjuanganya dan terpilih di komunitasnya untuk segera naik tataran setelah tentu saja memenuhi segala persyaratan baik secara administratif, fisik dan mental spiritual.
   Sejak itulah sejarah Pencak Silat Cempaka Putih telah berubah total, dari padepokan klasik tradisional, berubah menjadi organisasi modern namun tetap masih mengusung semangat kearifan lokal budaya nusantara.
   Organisasi para pendekar yang tumbuh besar dan menjelma menjadi salah satu kekuatan yang kian meraksasa, raksasa kanuragan di tanah air tercinta, jangkar sekaligus mercusuar yang menentukan arah perjuangan kesatria pendekar dalam mengabdikan ilmunya demi kesejahteraan umat manusia, bangsa dan negeri tercinta, Indonesia.
   Artinya pendidikan dan latihan calon warga Madya bisa di laksanakan di propinsi atau wilayah serta cabang, dan ini berarti ribuan bahkan jutaan warga Purwa muda sampai senior yang masih yunior sampai yang sudah sepuh dan tersebar di gugusan kepulauan Nusantara bisa naik ke tataran dari Purwa ke Madya tanpa harus sowan ke padepokan pusat, inilah kecerdasan sang Dwija, dan ini hanya salah satu hal yang menjadi pertimbangan sang Dwija mengapa hal itu dilaksanakan.
   Itulah sebabnya, pusat mengirimkan mentor/guru ke daerah/wilayah guna mengadakan diklat calon warga Madya, salah satu hal ikhwalnya adalah karena sangat menyangkut hal-hal yang bersifat teknis.
   Tahun 2017 silam, Mbah Narno Wasana dan beberapa orang utusan PSCP Pusat, mengemban amanah sang Dwija untuk menyeberangi laut Jawa menuju bumi Kalimantan Timur.
  Dan di Ibukota Propinsi Kalimantan Timur itulah, telah di bina dan di gembleng pendekar-pendekar Purwa wilayah propinsi Kaltim dari berbagai angkatan sekaligus di sahkan sebagai warga Madya setelah menyelesaikan segala materi yang hanya bisa diberikan kepada sosok-sosok pendekar Purwa terpercaya.
   Dan sejarah PSCP berubah, pendekar-pendekar pinilih itu bahkan kini telah mampu membuat warna sejarah cemerlang di dunia persilatn Milenial di bumi Kalimantan Timur khusunya dan nusantara umumnya.
   Pendekar Gunung Lawu Bagian I Turangga Jurit sub episode Defile, kisah fiksi khas dunia kependekaran Milenial yang biasanya kami sajikan dalam bentuk Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat – Kaltim.
   Jejak perjuangan sosok-sosok Pendekar Gunung Lawu itulah yang kami angkat sebagai refleksi penghargaan yang setinggi-tingginya untuk mengapresiasi dan menghargai jiwa relawanisme sosok-sosok tangguh perintis PSCP dari Pusat sampai daerah-daerah yang bahkan menjangkau zona yang sangat-sangat terpencil jauh dari kemegahan kehidupan modern yang penuh fasilitas penunjang menjalani kehidupan sehingga serba instan, mudah dan cepat.
   Pendekar Gunung Lawu, simbolisme dari proses laku yang sangat panjang, dari individu yang manakala baru mengenal kanuragan sampai ia dinyatakan sebagai pendekar dan aktif di kegiatan warga sehingga naik dari Purwa ke Madya dan seterusnya.
   Sebuah proses lelaku sejak sabuk polos sampai tataran tertinggi akan selalu diuji oleh berbagai hal, baik manis, pahit, susah senang bahkan seram menakutkan khas atmosfir kebatinan yang terkandung dalam budaya kearifan lokal pencak silat kanuragan nusantara.
  Dan karena semua ujian itu menjadi suatu bagian dari proses manakala sang senior dan guru memberi kepercayaan kepada generasi penerusnya agar amanah dan tidak menyalah gunakan keilmuannya itu untuk berbuat kejahatan, semua itu tak lebih titipan dari-Nya untuk menebar segala bentuk kebaikan demi sesama dan semesta alam raya.
   Maka kesimpulan besarnya adalah bahwa semua goresan taklimat kisah Pendekar Gunung Lawu sejak Bagian I sampai Penutup merupakan sebuah pesan moral agar seluruh keluarga besar pencak silat Cempaka Putih senantiasa menjalankan sumpah pendekar Purwa, Madya dan Wasana, yakni Panca Setia, Sapta Prsasetia dan Tri Prasetia secara tulus tanpa pamrih dalam setiap tingkah laku, setiap tingkah perbuatan kita di kehidupan sehari-hari.
Selamat berpetualang!
Sejiwa raga
WIRO YUDHO WICAKSONO.

PENDEKAR GUNUNG LAWU

BAGIAN  TURANGGA JURIT
“DEFILE”
   Dengan sekali sentak pada kekang talinya, kuda coklat kemerahan yang tinggi besar itu meringkik-ringkik diikuti sang tuan yang memberi aba-aba agar sang kuda tenang.
   Tak lama sang kuda berhenti, mengibas-ibaskan surai ekornya yang lebat panjang menghitam, kepalanya menggeleng-geleng mengusir serangga dan nyamuk yang beterbangan mengiang-ngiang bising dekat kepala dan kupingnya, lalu sang kuda dan penunggangnya memasuki pekarangan sebuah rumah.
   Rumah yang di buat khusus untuk kegiatan yang istimewa, di lereng gunung Lawu, lereng yang damai, indah dengan tanah yang subur di penuhi berbagai vegetasi tanaman, baik padi, palawija, sayur-mayur, tanaman obat bahkan bunga potong dan tanaman hias lain serta rimba larangan yang terjaga kelestariannya, kawasan indah dan subur yang menjadi aset daerah Magetan sebagi kabupaten tujuan wisata nasional dan internasional.
  Maka demikianlah, kesenyapan itu menjadi pecah, menjadi riuh rendah, dan manakala teriakan penunggang kuda yang diikuti teriakan-teriakan para penunggang kuda yang lainnya yang baru tiba di depan rumah itu bahkan membuat keheningn lereng gunung yang sepi itu mendadak seronok bahkan berisik oleh teriakan manusia dan ringkik kuda yang bersirobok saling meningkahi suara yang satu dengan yang lain, suara dari kuda dan manusia penunggangnya yang ratusan jumlahanya bahkan lebih.
   Dan dengan lincahnya, satu demi satu para penunggang kuda dari  serombogan besar itu, yang jumlahnya ratusan lebih, para penunggang kuda yang gesit dan cekatan, dengan kuda-kuda yang tegap dan gagah, satu persatu melompat turun dengan sigap menuntun kuda-kuda yang telah tenang itu memasuki halaman depan rumah itu.
  Dan satu persatu pula mereka memasuki pekarangan rumah itu, tak lama waktu, maka rombongan penunggang kuda itu telah masuk semua, masuk sebuah rumah yang nampaknya sudah menunggu kedatangan orang-orang itu, sebuah rumah sederhana namun cukup bersih dan terawat baik, rumah yang bahkan telah di tandai oleh sang pemiliknya.
     Rumah yang kini telah di pasangi sebuah obor bambu yang nyalanya tenang, sebuah obor di jalan pintu masuk pekarangan rumah itu, yang bahkan telah dinyalakan apinya sejak matahari belum sempurna terbenam di ufuk barat manakala kembali ke peraduanya.
  Obor yang dari batang bambu jenis pring Apus, bersumbu janggel Jagung yang dikeringkan lalu di balut kain  dengan bahan bakar minyak jarak dan minyak kelapa yang di campur sedikit minyak tanah, tumbuhan penghasil bahan bakar dan bahan pangan bahkan obat yang bahkan khusus di tanam sang penjaga rumah itu untuk bahan bakar pengganti penerangan listrik.
   Generator sederhana penghasil listrik dari tenaga air mikro hidro yang turbinya mampu berputar maksimal dari aliran air yang bersumber dari mata air yang keluar dari sela-sela akar sebatang pohon Waringin hutan yang menjulang puluhan meter saking besar pohonya, pohon yang rindang tumbuh subur di sisi tebing barat dekat rumah itu di pakai listriknya jika ada kepentingan khusus yang menyangkut pengolahan hasil panen saja, yang mesin-mesin sederhananya secara tepat guna di hasilkan bahkan oleh penjaga-penjaga rumah itu yang bukan penjaga biasa, mereka ahli di bidang masing-masing.
    Dan semua alat sederhana serba tepat guna itu di rakit, diinisiasi dan di fungsikan oleh generasi milenial yang jenuh dengan hingar bingar kehidupan modern dan mengabdikan waktu berharganya menjadi bagian dari sebuah kegiatan yang mengusung semangat prajurit perang masa lalu, semangat juang Wiro Yudho Wicaksono di saat negeri ini akan di bawa ke arah yang menuju kehancuran perang saudara oleh kelompok-kelompok radikalisme ekstrim kanan pengusung ideologi khilafah Islamiyah yang ingin mebentuk negara Islam di Nusantara.
   Obor yang kini berfungsi menjadi penerang sekaligus penanda tempat sebagai pos peristirahatan sekaligus merawat kuda-kuda itu agar tetap baik keadaan tenaga dan penampilanya bahkan sampai di titik ketinggian seribu meter di atas permukaan laut yang senja itu sudah bersuhu 15 derajat Celsius, suhu yang atis bagi sebagian besar rombongan berkuda itu.
   Kuda-kuda pilihan yang tegap dan gagah itupun di bawa pengurus rumah yang lebih dari sepuluh orang itu menuju halaman belakang, halaman luas membentang di lereng gunung Lawu, dimana kandang-kandang kuda sederhana namun terawat menjadi tempat para binatang yang luar biasa itu di beri pakan rumput dan minuman, makanan dan minuman yang sudah di beri perlakuan sedemikian rupa untuk kuda-kuda terbaik.
    Kuda-kuda hasil persilangan jenis Sumbawa yang gesit, lincah dengan daya adaptif tinggi terhadap cuaca tropis dengan kuda eropa yang tinggi, tegap dan gagah yang hasil keturunan dari persilangan itu melahirkan generasi kuda tunggangan yang tegap, gagah namun gesit dan lincah, ciri-ciri yang sangat-sangat khas kualifikasi  kuda perang terbaik, kuda kaveleri prajurit beahula sampai milenial, bahkan di adegan film klasik, medan perang tanpa kuda ibarat sayur tanpa garam. 
   Seorang penunggang kuda terakhir nampak di kejauhan merapat ke tempat itu, penunggang kuda yang bahkan tangan kirinya nampak kokoh memegang tombak yang digunakan sebagai tiang bendera, tombak yang ujung sisi tajamnya di bungkus kain merah.
   Bendera dengan sulaman benang perak, menggambarkan dua ekor harimau putih dengan sikap bersiap setengah milar mengapit simbol kelopak kembang kantil yang setengah mekar, bendera hitam dongker dengan tulisan Sardulo Seto Wiro Yudho Wicaksono.
   Kuda yang di pacu makin cepat saat ujung tombak itu diputar sedemikian rupa sehingga bendera itu memutar terlipat, sambil mengendalikan sang kuda yang masih terus berlari ia ikat dengan simpul hidup, lalu ia ikat lagi sang tombak di sisi kiri tubuh sang kuda, ia simpul di beberapa tempat agar tombak yang sekaligus tiang bendera itu tak jatuh saat sang kuda makin cepat ia pacu.
   Sesaat ia melirik ke sisi timur, bias senja terakhir akan benar-benar tiba, sebelum kegelapan malam menyelimuti lereng gunung Lawu, ia mengulang kegemarannya, memacu maksimal laju kuda kesayanganya, sekan-akan mengejar bayangan malam yang akan menyelimuti angkasa yang kini di labur warna merah saga.
   Ia tarik kekang kudanya kuat-kuat saat masih sayik memacu larinya, sang kuda berhenti mendadak, meringkik tinggi dengan kaki menendang-nendang, lalu sekali sentak lebih kuat dan cepat ia hela dengan teriakan agar sang kuda bersiaga lari cepat dengan maksimal, sebuah sikap sebelum memulai maju menggebrak dengan sikap melompat jauh-jauh ke depan dan berlari bagiakan terbang.
   Dan debu tipis mengepul di udara senja, diantara bayangannya yang berlari sangat cepat, bayangan yang bahkan membentuk siluet, siluet hitam meremang di bias merah saga senja terbenam, bayangan yang melaju secepat busur panah lepas dari endongnya.
   Kepulan debu di udara senja saat derap kaki kudanya menggebrak-gebrak jalan setapak di lereng gunung yang makin gelap itu, suara derap kaki kuda yang berlari sangat kencang bagaikan terbang tak lagi menapak di atas muka bumi.
   Sang penunggang kuda yang memacu laju kudanya sedemikain rupa bahkan memberi aba-aba, teriakan sambil menghentak-hentak kekang kuda itu dan sesekali kedua tumit kakinya di hantam-hantamkanya di sisi tubuh sang tunggangan, sehingga kuda itu makin menggila, bagai disengat lebah pantatnya, melesat bagaikan kilat, dengan debu yang mengepul di belakangnya.
   Kepala sang penunggang menunduk bahkan sejajar hampir menyentuh leher kuda yang memanjangkan kepalanya ke depan saat berlari sekencang-kencangnya bagai terbang, tas bawaan di punggung penunggang kuda itu ikut arah merunduknya sang penunggang kuda.
   Sebuah tas perbekalan dengan tiang bendera pendek seukuran semeter kurang lebihnya di ikat erat di sisi tas itu, tas dimana sebuah panji melilit ujungnya, panji kecil berwarna hitam dengan tepian bersulam bordiran benang perak bermotif naga nglagi.
 Sebuah panji segitiga memanjang dengan gambar sepasang keris berwarna emas berluk leres saling menyilang dan tulisan huruf kuno palawa berbunyi Wira Cakti Turangga Yudha itu berkibar-kibar dengan kibaran bagai terhempas angin badai saking kencangnya laju sang kuda yang derapnya bahkan menggema di dinding-dinding tebing gunung Lawu.
   Bayangan sang kuda dengan penunggangnya menyatu, hanya nampak sosok siluetnya saja di antara temaram senja di lereng gunung Lawu, berlari amat kencang bagikan terbang, melaju bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
  Kuda gagah yang melaju dengan derap langkah yang menyisakan debu-debu tipis yang mengepul samar di antara siluet bayangannya yang terbias temaram warna seronok merah saga senja yang kian meremang.
   Sesampainya di depan rumah itu, di tariknya kekang dengan kencang, sang kuda meringkik tak kalah kuat-kuat, kedua kaki depanya terangkat tinggi-tinggi menendang-nendang keras dan cepat berulang-ulang ke arah depan, lalu kedua kaki itu menapak ke tanah, kaki depan baik kaki kanan dan kiri menggaruk-garuk tanah berdebu, kepalanya menganguk-angguk.
   Kini sang kuda yang nafasnya mendengus-dengus sehabis memacu lari kencang itu seakan masih ingin melanjutkan derap lajunya lebih lama lagi, dengan cekatan sang penunggang kuda mengelus-elus lehernya, sambil menunduk membisikkan kata-kata helaan di telinga sang kuda kesayangan.
 Sang tuan yang nampak sangat-sangat mengenal serta memahami karakter kudanya itu tidak buru-buru turun.
 Dan saat semua penunggang kuda itu satu demi satu telah masuk kerumah, ia yang bahkan baru tiba tetap tegak mematung di atas kudanya yang berdiri, kadang berputar setengah lingkaran dengan kaki di hentak-hentak ke tanah, bunyi hentakan kaki kuda yang terbaik, menimbulkan bunyi berdebum-debum, tanah bergetar, sang penunggang menenangkan tungganganya, di tepuk-tepuknya leher sang kuda, mulutnya berdecak-decak, sesaat kemudian sang kuda tenang, berdiri terdiam, mematung sama seperti sang tuan.
  Kuda dan penunggangnya itu sesaat lamanya tegak terdiam, mata dan perhatianya asyik melihat ke arah sisi timur lereng Lawu, sisa bias matahari masih samar di lembah yang luas membentang dari ujung ke ujung.
  Kuda dan sang tuan yang berada di sisi tebing sebelah timur dari gunung paling terkenal sebagi pusat spiritualisme kebatinan di tanah keramat, bumi Jawadwipa, ia terdiam, tegak terpaku, nampknya ia sedang memikirkan sesuatu hal yang sangt pelik. 
   Hal itu nampak dari wajahnya yang berubah sunguh-sungguh yang sesekali mengambil nafas panjang, lalu di hembuskanya lewat mulut kuat-kuat, seakan hal itu bahkan sedikit bisa memberi ketenangan bahkan walau hanya sedikit mengurangi kegalauan hatinya.
   Seraut wajah yang penuh guratan ketegasan dari sosok yang nampaknya kenyang di tempa kerasnya perjuangan kehidupan, wajah bersahaja, dengan ikat kepala gadung melati dan seragam kebesaran sebuah pasukan khsusus dari sebuah padepokan pencak silat yang dapat di lihat dari lambang-lambang yang melekat pada seragam kependekarannya itu.
   Sosok yang dengan sorot mata memandang jauh ke lembah bawah, pandangan tajam, memandang lekat-lekat pada hamparan luas bentangan panorama alam di sisi timur lembah gunung Lawu saat senja terakhir masih menyapa.
   Wajah yang masih tetap asyik menikmati sisa senja dengan siluet bayangan lembah yang indah sebelum benar-benar sempurna di selimuti sang malam
  Sisi tebing dari sebuah padukuhan yang nampak rumah-rumah penduduknya satu dua sudah di terangi nyala listrik. Tebing yang di pisah dataran landai yang sangat subur karena memiliki sumber mata air yang deras mengalir di sisi-sisi kontur gunung yang megah menjulang di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
   Dataran landai yang sisi terluarnya langsung mengarah ke jurang curam, sehingga lembah bawah yang juga mulai nampak hidup lampu-lampu perumahanya nampak berkelap-kelip bagaikan ribuan kunang-kunang yang sedang berkumpul memenuhi lembah indah antara Wilis dan Lawu, lembah maha luas antara gunung Wilis dan gunung Lawu, dua gunung yang lembahnya sejak era sang maharaja Airlangga sampai ngarso dalem perintis Kasultanan Islam tanah Jawa, kesultanan Mataram, sang Panembahan Senopati.
   Sebuah lembah yang sudah menjadi medan laga adu perang tanding dan ketangkasan kuda-kuda perang tertangguh dengan keahlian penunggangnya yang ngedab-edabi luar biasa bahkan sejak di era peradaban kerajaan-kerajaan masa lalu di tanah nusantara.
   Kuda-kuda prajurit kavaleri terbaik di masanya, perang mengadu strategi manakala mengalahkan lawan-lawannya dalam sebuah perang tanding mematikan memperebutkan hegemoni kekuasaan atas tanah keramat, Jawadwipa.
  Semilir angin selatan memanjakan dedaunan dan rerumputan, bergoyang-goyang gemulai bak lambaian lembut penari jelita Bedaya Ketawang Pura Mangknegaran, warna merah saga menghias langit sebelum maharani kegelapan merampasnya dengan mudah.
   Warna yang sangat merah sebelum benar-benar meremang dan gelap datang dengan jumawa mengusir raja siang untuk ia sendiri bisa bertahta, namun sang Purnamasidhi mengambil alih kuasa Hyang Raditya menjadi raja angkasa, sang kegelapan tak sendirian memegang tampuk kuasa.
   Dan kini dengan mesra penuh harmoni mereka menyatu menjadi penanda sang waktu, malam tiba dengan bulan purnama sempurna, sepanjang lembah sampai Lereng Lawu larut dalam kedamaian suasana yang kini berselimut remang cahaya Sang Hyang Candra.
   Sosok itu teringat sesuatu hal yang luar biasa, menarik nafas puas dan lega, sisa kebanggan nampak dari sorot matanya yang berbinar cemerlang, sesaat tadi baru saja gegap gempita menyusuri lembah bawah sana yang kini di penuhi gemerlap kelap-kelip lampu-lampu rumah dan lalu-lalang kendaraan.
   Adegan yang sangat-sangat menggemparkan masyarakat kota Manunggaling Rasa Suka Hambangun, manakala sepasukan khusus kavaleri berkuda PSCP mengambil bagian di Kirab Budaya Nusanatara di Magetan.
  Manakala defile pasukan ribuan pendekar Kaveleri Berkuda Pencak Silat Cempaka Putih melintasi panggung kehormatan para pejabat pemerintah daerah tingkat dua, TNI, Polri, ulama dan tokoh pemuda dan tokoh adat serta masyarakat umum di kota wisata di ujung Barat Jawa Wetan.
   Defile dengan mengendarai kuda-kuda yang gagah dan tegap, segenap khalayak yang hadir menyemut menyorakinya dengan tepuk tangan disertai tempik sorak yang meriah menggelegar bergemuruh membuat langit kota Magetan seakan-akan hendak runtuh.
  Penunggang kuda terdepan, sepasang pendekar yakni seorang pendekar perempuan dari pasukan Srikandi Cempaka Putih dan seorang pendekar dari Kesatuan Pasmatih, sepasang pendekar penunggang kuda yang gagah dan tegap dengan seragam kebesaran pendekar gunung Lawu memegang panji getih-getah samudra dan gula kelapa sang Merah Putih.
   Di belakang sepasang pendekar Srikandi Cempaka Putih dan Kesatuan Pasmatih berjarak dua tombak di susul kuda yang ditunggangi sepuluh pendekar Madya membawa panji dengan lambang-lambang Kabupaten Magetan, lambang-lambang budaya nusantara dan juga panji-panji berwarna-warni yang menggambarkan tahun-tahun angkatan para kesatria itu di wisuda menjadi pendekar Madya.
   Panji-panji para kesatria terpilih, sosok-sosok Pendekar didikan padepokan Wiro Yudho Wicaksono yang sudah selesai di tataran dasar, Purwa, sehingga kemampuan dasar yang terasah itu bahkan justru makin di asah, di pertajam dan di tambah lagi tingkat dan jenisnya, sebuah kualifikasi pokok dari kemampuan dasar prajurit perang di masa lalu.
   Lalu di susul penunggang kuda perwakilan siswa bersabuk Polos, Kuning, Hijau, Biru dan Putih Kecil yang semua menunggangi kuda kavaleri yang kuat, gagah dan tegap sambil tangan kirinya membawa panji-panji IPSI serta panji-panji Pencak Silat Cempaka Putih berbagai warna dan dengan logo-logo khusus yang mencerminkan pasukan-pasukan pendekar itu darimana asal kesatuannya.
  Defile kavaleri berkuda pendekar gunung Lawu yang menunggangi kuda-kuda yang tegap dan gagah, dan yang ditungganginya adalah kuda-kuda pilihan yang terlatih, kuda para prajurit kesatria pendekar pilih tanding yang dengan kebanggan penuh melintasi panggung kehormatan, dimana Bupati duduk berdampingan dengan sang Dwija Wasana beserta ketua DPRD Magetan dan segenap pimpinan tertinggi Muspika Daerah tingkat II Kabupaten Magetan.
   Pancaran mata sepuh legenda hidup Pendekar Gunung Lawu itu berkaca-kaca, terharu, pancaran mata penuh syukur kepada sang Khalik, penuh syukur karena disaat usia senja masih di beri waktu dan kesempatan yang demikian baik dan berharga.
   Rasa syukur sekaligus doa tulus, agar segenap anak-anak, cucu-cucu pewaris perguruan dari jalur ilmu padepokan Wiro Yudho Wicaksono mampu berjuang dengan gagah berani dan bijaksana, karena hanya keberanian dan kebijaksanaan dari para kesatria dan generasi mudanya mampu menjadikanya sosok-sosok generasi itu menjadi sosok-sosok tangguh pewaris cita-cita perjuangan leluhurnya.
    Cita-cita suci yang dilandasi ketulusan yang akan mampu menjadikan seluruh negeri menjadi rumah yang damai sejahtera bagi para penghuninya, anak-anak, remaja, generasi muda, generasi yang akan membawa negeri ini kembali menjadi mercusuar peradaban dunia, bahkan lebih cemerang dari era Sriwijaya dan Wilwatikta.
  Doa dari sang Dwija Wasana, agar pendekar Gunung Lawu bahkan di era modern yang memudahkan seluruh Negara dan bangsa-bangsa berbagai macam budaya masuk berinteraksi membawa peradaban negeri mereka.
    Peradaban masyarakat belahan dunia yang semuanya ingin masuk dan menajdi bagian dari negeri zamrud khatulistiwa, negeri di mana kepingan surga diturunkan agar meajadi berkah kepada segenap umat manausia.
   Peradaban asing yang tidak semua bisa diterima, bahkan bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia yang ramah tamah penuh persaudaraan, toleransi dan gotong - royong.
   Budaya luar yang kebanyakan justru ingin merubah budaya kearifan lokal, agar mereka bisa masuk dan menjadi tuan tanah menguasai sendiri kekayaan alamnya, menjadi penguasa di negeri nusantara ini, serbuan budaya yang berbahaya itu kini berwujud intoleransi beragama, radikalisme pengusung semangat mengubah Pancasila menjadi sistem Khilafah Islamiyah, melanjutkan ide pemberontakan DI/TII di Jawa Barat di era negeri ini masih berjuang lepas dari kolonialisme bangsa Eropa.
    DI/TII yang kemudian 16 tahun membawa kekacauan di wilayah kulon, bumi Jawa Barat, yang meluas sampai Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, dan di milenial ini kembali datang dalam bentuk penyusupan budaya, bukan lagi serbuan senjata, namun efeknya sudah nyata mencabik-cabaik rasa kamanusiaan dan persatuan rakyat yang bahkan budaya intoleran itu menyusup di ajang Pilkada dan Pilpres.
   Membentuk aliansi, membentuk opini, menguasai dunia cyber sehingga seakan-akan gerakan penghapusan budaya lokal yang menajdi kearifan lokal bangsa ini adalah sebuah Jihad.
   Setiap ajakan memilih pemimpin harus seiman, dan untungnya, muslim nusantara sudah mulai menabuh bahkan melancarkan perang brubuh, dengan adanya muktamar NU yang mengubah istilah kafir menjadi non muslim.
   NU adalah implementasi kearifan beragama umat muslim di masa Majapahit, dan para penyebar agama Islam di nusantara itu harus menyebarkan kedamaian, menghindari mengutip ayat-ayat perang yang bisa memprovokasi umat beragam lain di nusantara kala itu.
  Kata-kata takfiri, kafir di masa itu sudah di jinakkan kitab Negara Kertagama, UU Kerajaan Majapahit yang menjadikan semua pemeluk agama harus menghindarkan diri dari ujaran kebencian dan merendahkan agama lain, dan di perkuat dengan kitab sosial budaya Sutasoma, sehingga, semua pemeluk agama itu hidup berdampingan penuh kerukunan dan toleransi, dan kitab Negara Kertagama serta kitab agung Sosial Budaya Sutasoma itulah di peras intisarinya menjadi falsafah ideologi NKRI yang bernama PANCASILA.
   Pancasila yang di hari-hari senja sang Dwija Wasana hendak di hancurkan kembali, ambisi nekad pengusung Khilafah itu sama persis seperti niat jahat PKI di tahun 1948 dan 1965, tahun-tahun di mana sang Dwija Wasana bersama saudara-saudara seperguruan dari Padepokan Mardi Anoraga Sakti turun gunung menghancurkan pemberontakan komunis itu dengan kekuatan kanuragan pencak silat.
    Perang saudara berdarah-darah, mayat-mayat berserakan telah membuat mayat-mayat itu dibuang dan mengambang di sungai-sungai negeri ini, mayat tanpa kepala, mayat lelaki dan perempuan yang tak beridentitas, mayat tak di kenal.
   Perang saudara dengan cipratan dan semburan darah yang bahkan menggenangi sungai-sungai yang berbulan-bulan berwarna merah dengan bau anyir amis darah.
   Dan para pengusung khilafah itu rindu perang seperti itu bisa muncul kembali di bumi pertiwi, perang saling penggal kepala dan bisa mereka opinikan dan unggah di medsos dengan penuh kebanggaan dan klaim sepihak akan mendapat bidadari di surga karena membantai habis penjaga Pancasila, dan semua itu hanya dengan embel-embel atas nama agama Allah, bagi mereka itu kata Pancasila tidak tercantum di Quran dan Sunah, sehingga manusia yang cinta Pancasila wajib untuk di habisi, ditumpahkan darahnya, seperti kemudahan meneyembelih seekor ayam belaka.
  Sang Dwija Wasana sangat sedih, membayangkan perang saudara itu memaksa para pendekar gunung Lawu kembali turun gunung, sama seperti saat ia muda turun gunung menumpas pemberontakan PKI, sangat sedih membayangkan pendekar-pendekar muda pilih tanding didikanya sendiri yang kini menjelma menjadi pasukan penuh kemegahan yang bahkan kini defile kavaleri berkudanya melintas penuh kebanggaan akan kembali menjadi ujung tombak, garda terdepan NKRI dan Pancasila yang bahkan akan dirobohkan anak-anaknya sendiri yang sudah mabuk ayat-ayat dan hadis-hadis asal comot dari para petualang jihadis yang haus darah ingin mendirikan Negara Islam di dunia.
   Kelompok paling kurang ajar yang bernama jihadis dan teroris dengan puluhan bahkan ratusan nama kelompok, dimana kelompok-kelompok yang membonceng ajaran agama demi kepentingan mereka itu rajin mencari simpatisan, anggota dan kombatan via dunia maya, simpatisan dan anggota yang siap jihad menghancurkan bangsa dan saudara sendiri, nusantara akan di buat medan perang baru, kalau bisa lebih berdarah-darah mengerikan dari negeri timur tengah yang setiap hari rakyatnya mati terhantam rudal dan peluru nyasar.
   Kelompok yang berjuang di dunia maya menguasai opini medsos, di dunia nyata mengadakan penyusupan ke sekolah-sekolah, kampus-kampus, pengajian-pengajian, arisan-arisan ibu-ibu, juga ormas-ormas keagamaan yang sekiranya bisa mereka susupi, rebut dan kuasai sehingga berbelok opininya menghantam dasar negara Pancasila yang berdasarkan kalimat semboyan agung bangsa Indonesia, semboyan pemersatu nusantara, Bhinneka Tunggal Ika.
 Negeri ini hendak di rebut paksa, bermula di hapuskannya budayanya, Indoneisa harus di hapuskan namanya, dirubah menjadi khilafah yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menyalahgunakan kalimat atas nama agama Allah oleh kelompok-kelompok jihadis itu agar mereka bebas berbuat bahkan hendak menghancurkan nilai-nilai yang sudah menjadi karakter asli bangsa Indonesia.
   Dan bagi mereka itu, yang menghalangi adalah musuh, thogut yang boleh dan harus di bunuh, ditumpahkan darahnya, semudah membunuh sosok fiksi di gempabji, main tusuk, tikam, tembak, bom dengan enteng tanpa rasa takut dan tanpa perikemanusiaan hanya karena mabuk doktrin atas nama Agama Allah, sebuah konsep yang tak mewakili dan mencerminkan semangat rahmatan lilalamin mayoritas muslim di negeri ini, umat Islam nusantara.
   Sang Dwija Wasana yakin, manakala PKI berulang kali hendak mengancurkan Panacasila dan NKRI, PKI lah yang hancur dan Pancasila justru makin sakti, juga manakala DI/TII memberontak, rakyat dan prajurit penjaga Pancasila selalu dengan mudah menghancur leburkan niat jahat itu.   
   Sang Dwija Wasana yakin, yakin dan percaya bahwa negeri ini akan selalu dijaga dan dipertahankan dari rongrongan dan ancaman, baik ancaman senjata maupun ancaman budaya, karena negeri ini masih mencintai budaya Pencak Silat, budaya anak kandung dari filosofi Pancasila itu sendiri.
   Budaya para kesatria agung yang kenyang pengalaman di medan perang, budaya yang melestariakan warisan agung leluhurnya.
   Budaya pertahanan semesta sekaligus budaya penempaan karakter, akhlakul karimah, budi pekerti yang luhur, budaya yang di tempa dalam pendidikan maha berat di padepokan Wiro Yudho Wicaksono, di mana lulusanya pasti akan senantiasa mengembangkannya agar lestari menjaga negeri ini.
   Budaya kearifan lokal,  utamanya budaya beladiri yang telah menjaga ibu pertiwi dari era peradaban, peradaban dari masa ke masa, sejak masa silam kerajaan-kerajaan nusantara sampai NKRI hari ini akan senantiasa menjadi urat daging nadi dan detak jantung sosok-sosk pendekar gunung Lawu.
   Kembali sang Dwija menarik nafas lega penuh syukur, masih di beri kesempatan dan waktu yang tak terlupakan di usia senjanya, waktu dan kesempatan untuk menyaksikan gelar pasukan kaveleri berkuda dari anak didik, anak asuh, siswa siswi, sampai pendekar hasil tempaan maha keras padepoakan Wiro Yudho Wicaksono.
   Paling ujung defile, pasukan berkuda yang membawa panji-panji perguruan PSCP dan IPSI, penunggang kuda yang terdiri dari pendekar-pendekar muda berbagai angkatan yang nampak gagah berwibawa manakala membawa panji-panji perguruan.
   Di belakang kaveleri berkuda pasukan utama dari pasukan pendekar tempaan padepokan lembah Lawu tersebut, ribuan siswa berbagai tingkatan sabuk dan pendekar berbagai tataran mengiringi barisan panjang juga dengan sikap yang sama, sikap pasukan yang mengkuti defile kavaleri berkuda dengan segenap kemegahan pasukan para warga dan siswa PSCP dengan panji-panji kesatuan yang berwarna warni di atas ribuan ekor kuda masing-masing, sebuah defile pasukan pendekar berkuda yang paling megah di sepanjang sejarah NKRI berdiri.
  Semua mendapatkan sambutan antusias baik dari masyarakat, bahkan anak-anak, ibu-ibu sampai gadis-gadis yang berteriak-teriak heboh sambil tangannya memegang gadged.
  Publik Magetan mengabadikan momentum langka itu guna mereka unggah di media sosial, dunia maya yang penuh dengan berbagai hal berseliweran siang malam tiada henti, dan laskar rakyat didikan PSCP yang teruji kerelawanannya menjadi bintang paling bersinar di kirab budaya nusantara hari itu, kirab di tanah kelahiran PSCP Pusat, Magetan Jawa Timur.
   Unggahan foto-foto devile puluhan ribu kavaleri berkuda yang mengibarkan panji-panji Wiro Yudho Wicaksono itu langsung menjadi trending topik nasional.
  Unggahan dan cuitan yang bahkan mengalahkan tanpa ampun hingar bingar gerakan kaum radikal kanan militan pendukung Indonesia menjadi negeri Khilafah dan NKRI bersyariah.
  Gerakan memakai niqab cadar bagi perempuan muslimat dan celana cingkrang bagi lelaki muslim yang menjadi pintu masuk pasukan budaya trans nasional penghancur peradaban budaya karifan lokal nusantara.
  Sebuah gerakan massif yang mengancam lestari tegaknya NKRI dan Pancasila yang rohnya adalah budaya kearifan lokal nusantara, budaya kearifan lokal yang oleh kelompok pro NKRI bersyariah dan Indonesia ber-Khilafah itu akan di gusur, di eradiaksi, di hapuskan agar hancur lebur musnah dari muka bumi, tanah pertiwi Indonesia tercinta.
  Gerakan yang sangat sistematis, massif, terstruktur, terorganisasi secara matang dan rapi, dengan tujuan utama generasi milenial tak cinta budaya nenek moyang leluhur bangsa Indonesia dan menggantinya dengan budaya asing yang memanipulasi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin demi ambisi mereka mendirikan Negara Khilafah Islamiyah di tanah Nusantara.
   Hal utama yang bahkan Dwija amanatkan menjadi sebuah pegangan atau maklumat darurat, maklumat darurat saat membekali pasukan defile PSCP itu sebelum bergerak menuju ibukota kabupaten Magetan.
   Sebuah amanat suci bahwa perjuangan sang Dwija Wasana dan saudara-saudara seperguruannya dari Mardi Anoraga Sakti saat merintis PSCP adalah mengancurkan kekuatan kiri pro Komunis yang anti keberagaman Budaya dan Agama yang berdasarkan ideologi Pancasila.
   Amanat sang Dwija Wasana yang paling penting dan menjadi mandat utama sang sesepuh Pendekar Gunung Lawu, bahwa segenap pendekar generasi Milenial tempaan PSCP wajib hukumnya menghancurkan ideologi dan kekuatan wadag dari penganut ajaran radikalis kanan yang ingin menumbangkan ideologi Pancasila menjadi ideologi Khilafah Islamiyah di kepulauan nusantara.
   Perjuangan yang bahkan lebih berat dan rumit, karena mereka menjadi musuh dalam selimut bangsa ini, memanipulasi agama mereka yang di KTP-nya tertullis beragama Islam, dan kelompok kurang ajar ini makan minum di NKRI namun tidak mau menjadikan Panacasila sebagai ideologinya.
   Jaringan terorganisir rapi dan berteknologi cyber dari kelompok mereka yang mengklaim paling berhak masuk surga, klaim paling berhak mendapat bidadari jelita alam nirwana, paling berhak menentukan siapa yang benar dan salah seenak udel mereka sendiri, kuda yang tak ber-udel saja tak punya nyali mengklaim paling benar dan paling berhak untuk masuk dan menjadi penghuni surga abadi.
   Kelompok yang jualan utamanya surga, komoditas andalan kaum yang berideologi trans nasional, dimana pahala Surga bagi setiap penganutnya, kelompok yang merekrut artis ibu kota dan tokoh-tokoh muda kampus yang berhasil mereka radikalkan dan menghancurkan Resimen Mahasiswa di kampus-kampus negeri ini sejak rezim Orde Baru tumbang.
   Kelompok di mana tokoh-tokoh muda dan tokoh-tokoh dakwah kampusnya sudah menjadi sosok-sosok penting di ASN, Militer baik TNI maupun POLRI, bahkan DPR dari daerah sampai pusat, juga KPK, MUI dan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat ana-anak PAUD sampai mahasiswa pasca sarjana bahkan professor, sebuah keadaan yang bahkan nyaris sama sebelum PKI meberontak dengan ujung senjata.
  Sebuah bahaya laten yang bahkan lebih mengerikan dari bahaya partai terlarang, PKI dengan komunis marxisme dan leninismenya yang bahkan lebih empuk dan renyah buat di ganyang, di identifikasi dan di hancur leburkan dari muka bumi nusantara, kelompok jihadis ini lebih ekstrem dan berbahaya daripada PKI.
   Kelompok yang sangat-sangat berbahaya, ancaman nyata buat NKRI dan Pancasila, ancaman nyata dari radikalis kanan yang memanipulasi ajaran Agama demi ambisi hitam dan jahat mereka, ambisi musuh dalam selimut.
   Sesosok tubuh itu teringat amanat keramat yang maha berat dari sang Dwija Wasana, ia kini diam mematung di atas punggung kudanya.
  Sosok yang tidak tergesa-gesa turun dari punggung kudanya itu tetap tenang, tegak terdiam, sama seperti juga sang kuda tunggangan sang majikan sepertinya ikut-ikutan tenang dan takzim menikmati momentum terbenamnya matahari di lereng gunung keramat tanah Jawadwipa, wukir Mahendra, gunung Lawu, kuda dan penunggangnya sama-sama terdiam mematung, sikap yang bahkan sama seperti sikap wadag sang tuan di tunjukkan sang kuda tunggangan yang nampak garang, gagah dan tegap, namun kini terdiam mematung bak arca diorama Napoleon Bonarparte singa dari darataan Eropa saat menakllukan ras kaum Arya.
   Udara di lereng gunung Lawu berangsur berubah drastis dari nyaman hangat sejuk ke dingin atis, suasana yang berubah dari  sejuk ke rasa dingin, perbawa atis dan tintrim, sebuah suasana senyap yang bahkan membuat  kelepak kelelawar yang baru keluar dari sarangnya sayup-sayup mampir singgah di telinga sang penunggang kuda misterius itu, yang masih berdiri mematung di atas punggung kuda tungganganya itu.
  Ia tidak segra turun dan masuk ke rumah di mana kawan-kawan serombongannya bahkan sudah menikmati suguhan minuman kopi jahe hangat dan rebusan singkong gurih asin yang bagi perut meraka yang kaliren, merupakan makanan surga yang langsung masuk perut yang bahkan sudah berbunyi pertanda kelaparan tingkat dewa.
   Ia tersenyum geli, membayangkan pasukan khsusus itu kelaparan dan makan singkong rebus gurih asin dan sesekali minum kopi jahe, hidangan minuman serta makanan sederhana itu laksana makanan surgawi di saat perut kelaparan tingkat dewa.
    Saat sang penunggang kuda masuk, seluruh yang hadir terdiam, tegang, kaget dan tersenyum geli, karena tak menyadari kalau anggota mereka ada yang tertinggal dan baru tiba bahkan justru saat hidangan ubi rebus gurih asin itu hampir habis.

WIRO YUDO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
MELU HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI.


#WiraCaktiTuranggaYudha, #SarduloSetoWiroYudhoWicaksono


PENDEKAR GUNUNG LAWU

BAGIAN TURANGGA JURIT
“PESANGGRAHAN”

    Pendekar Gunung Lawu, bagian 1 Defile yang lalu mengisahkan pergerakan besar-besaran pasukan kavaleri berkuda pendekar PSCP Pusat saat unjuk kekuatan dengan pengerahan puluhan ribu gabungan pendekar keluarga besar PSCP  Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur manakala mengkuti Kirab Budaya Nusantara di alun-alun Magetan.
   Puluhan ribu kuda-kuda kavaleri yang sepuluh tahun lamanya berhasil di kembang biakkan sebagai bagian program nasional, wana wisata, desa wisata, kota wisata dan daerah Wisata kawasan cagar budaya Taman nasional Gunung Lawu dan sekitarnya.
   Sebuah pembangunan pegembangan sekaligus pelestarian cagar budaya di mana ternak kuda sebagai sarana transport dan bagian dari perlengkapan perang yang utama.
   Kuda perang yang di jadikan ikon penarik para wisatawan agar mengunjungi destinasi menarik di zona gunung Lawu dan sekitarnya.
   Destinasi yang memiliki banyak pilihan jenis-jenisnya, baik wisata alami seperti air terjun, wana wisata, desa wisata, kuliner ndeso, ekspedisi ndeso dan bumi perkemahan, area permainan alam bebas dan lain-lain yang di kemas sedemikian rupa dengan kuda terbaik sebagai sarana transportasi mengunjungi zona yang menarik minat dari titik satu dengan titik yang lain yang dikemas menjadi sebuah paket wisata di mana pemandunya dari jajaran pendekar PSCP, baik warga Purwa maupun pendekar Madya.
   Kuda yang oleh para pendekar-pendekar muda itu disewakan yang besar sewanya sudah ditentukan oleh pemerintah daerah, utamanya dinas pariwisata, kuda sewa yang memiliki kualifikasi sebagai kuda perang tunggangan para pendekar gunung Lawu bahkan di era Milenial itu bahkan di kawasan wisata menjadi destinasi tersendiri, bahkan menghasilkan pemasukan rupiah yang bahkan tidak bisa di bilang sedikit.
  Wilayah tepung gelang sejak  Batu Jamus di Sragen , Srambang di kabupaten Ngawi , pesarean Pangger di desa Sokowidi Panekan Magetan yang berada tepat di sebelah barat Padepokan PSCP Pusat, juga tak kalah menarik destinasi unik dari desa-desa wisata serta candi-candi purba sejak jaman pra sejarah yang terserak tersebar di sepanjang kaki dan lereng Gunung Lawu sampai puncaknya, Hargo Dumilah di ketinggian 3.265 meter diatas permukaan laut.
   Program yang saat pertama kali dilounching banyak disepelekan serta ditertawakan oleh kaum yang sinis, karena bagi mereka itu di saat teknlogi modern yang serba mesin, apalah gunanya mengembangbiakkan kuda sebagai salah satu bagian dari paket destinasi wisata di kabupaten pemilik Telaga Pasir, Sarangan, yang terletak di indah damai sejuknya kaki gunung Lawu, perbatasan Jawa  Tengah dengan Jawa Timur.
   Namun warga Madya angkatan tahun 1977-an s/d 1980-an, yang berdomisili di sepanjang lerang gunung lawu, yang tinggal di padukuhan-padukuhan itu sejak wilayah Magetan, Ngawi, Sragen, Karanganyar sampai Surakarta membuktikan bahwa kemampuan mereka itu bukan hanya di tataran kanuragan.
   Namun bukan demi meraup rupiah belaka ambisi paket wisata alam bebas, sejarah, spiritualisme, kuliner lokal dan berkuda itu dikemas sedemikian rupa, namun tujuan intinya adalah penyelamatan roh budaya leluhur, karena makin hari makin dilupakan pewarisnya, kaum generasi muda di era peradaban Milenial.
   Dan manakala budaya peradaban diancam akan di eradikasi agar hancur dan lenyap, kuda perang yang di masa lalu adalah salah satu bagian terpenting dari kejayaan dan simbol keperkasaan pasukan khusus kerajaan-kerajaan sejak era tatar Sunda di masa purba sampai Mataram Islam harus di bangkitkan dari tidur panjangnya yang sangat lelap, demi menghadapi wacana perang budaya oleh kelompok pro Khilafah yang rajin mengadakan ajang kompetisi memanah dan menunggang kuda demi indoktrinasi NKRI Bersyariah yang ujungnya adalah deklarasi Negara Khilafah Islamiyah di nusantara.
  Dan semua ide penyelamatan budaya leluhur yang sangat-sangat gemilang itu lahir dari sosok-sosok militan warga Madya didikan langsung sang Dwija Wasana saat PSCP baru di inisiasi di pusat, warga angkatan awal yang bahkan kenyang asam garam berbagai pengalaman dan menjadikan mereka pendekar-pendekar kanuragan penyintas sejarah terkelam negeri ini.
    Sejarah beradarah-darah tawuran massal, drop-dropan ribuan oknum pendekar, serbuan-serbuan, serta pengepungan-pegepungan dari sekali lagi beberapa “oknum pendekar” yang akibat provokasi-provokasi kekuatan “tak kasat mata” itu sanggup mengerahkan ribuan pendekar terlibat laga adu tanding yang bahkan bukan mencerminkan jiwa kesatria pendekar sejati.
   Sebuah tradisi menjijikkan yang bernama tawuran yang kelak di lestarikan remaja megapolitan sebagai budaya rusuh, budaya tawuran antar pelajar sekolah, baik SMP, STM bahkan SMA sampai Mahasiswa dari generasi ke generasi yang tetap lestari sampai generasi milenial, luar biasa.
   Benturan kata-kata serta vandalisme jalanan antar oknum-oknum pesilat dari perguruan di kawasan Lembah Gunung Wilis sampai gunung Lawu, yang bahkan sering memaksa mereka berkelahi secara terstruktur, masif dan masal, hal sepele yang bahkan juga seringkali mampu menyeret mereka bertarung hidup mati dengan fanatisme terhadaap perguruan mereka secara brutal dan gelap mata, fanatisme tingkat dewa dengan korban jiwa sia-sia para pendekar mudanya.
    Dan bahkan bentrokan itu telah diprovokasi sedemikian rupa oleh tangan-tangan tak terlihat kian hari kian bikin cemas.
   Keadaan yang bahkan sangat-sangat memaksa sang Dwija Wasana yang masih muda saat itu memberikan bekal kanuragan pencak hadiran dan pusaka-pusaka keramat sebagai azimat, gembolan dan bekal bagi anak-anak muda didikan PSCP di tahun-tahun awal dirintis di pusat.
   Bekal pusaka keramat dan teknik terlarang pencak hadiran yang diturunkan sang dwija Wasana dengan amat sangat terpaksa sekali kepada anak-anak muda didikan PSCP Pusat saat awal mula diinisiasi itu masih menajdi legenda tutur dari pendekar senior kepada adik-adik seperguruan mereka.
   Peristiwa bersejarah yang menyangkut diturunkannya pusaka dan teknik keramat dari para guru besar PSCP kepada anak didiknya.
   Dan hal itu terpaksa dilakukan sang sesepuh pendekar gunung Lawu agar bisa sekedar tak membuat warga serta siswa-siswi PSCP selamat, terhindar dari bahaya, tidak terluka dan bahkan kehilangan nyawa akibat terhisap di pusaran puting beliung kisruh geger celeng di kawasan monco negari wetan akibat dari konflik perang saudara akibat tragedi berdarah-darah itu.
   Tragedi yang dipicu peristiwa Gerakan Tigapuluh September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau sejarah kelam negeri ini mencatatnya sebagai pemberontakan G.30.S/PKI tahun 1965.
   Dan imbasnya sampai di tahun-tahun 1970-an masih sangat terasa, tahun di mana PSCP mulai di rintis serta diinisiasi kelahirannya, yang kelak akan lahir di tanggal keramat yang sangat bersejarah, tanggal 18 Juli 1974 di Magetan, Jawa Timur.
   Tragedi nasional, yang bahkan mampu secara brutal memaksa Dwija Wasana muda, sosok Pendekar Gunung Lawu paling senior untuk turun gunung menumpas aksi sepihak kesewenang-wenangan kekuatan kiri Komunisme yang bersiaga hendak membantai secara biadap lawan-lawan politik mereka, lawan politik dan kekuatan-kekuatan lain yang pro NKRI dan Pancasila yang mereka anggap penghalang utama mereka untuk mendirikan Negara komunis di Indonesia.
   Kekuatan dan pengaruh dari tokoh adat, Ulama dan kyai serta santri-santri di Magetan, Madiun, Ponorogo dan sekitarnya, yang ribuan banyaknya ingin mereka singkirkan.
   Bila perlu di lenyapkan nyawanya, akan di penggal kepalanya dan jasadnya akan di timbun di sumur-sumur tua di tengah hutan-hutan jati dan ladang-ladang kosong yang sepi kering kerontang musim kemaru di bulan September, rencana yang ingin mereka laksanakan tepat lewat tengah malam yang tintrim, sama persis seperti kebiadaban mereka tahun 1948 saat pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso Monawar, anak kesayangan seorang ulama, seorang kyai kharismatik dari Kediri Jawa Timur yang tersesat menjadi penganut ideologi Komunismenya Stalin dan Lenin dari Rusia.
   Tahun 1948, tahun penuh penghianatan, dimana membuat jasad putra-putri terbaik bangsa di bantai Pasukan PKI yang baru saja mendeklarasikan Negara Soviet Indonesia di Madiun Jawa Timur.
   Jenazah syuhada yang termutilasi yang bergelimpangan di hutan dan ladang-ladang kerontang musim kering di tanah keramat, bumi Jawadwipa membuat pemerintah dengan  tegas menumpasnya dengan kekuatan senjata modern dan kanuragan tradisi khas bangsa Indonesia, pencak silat.
   Tragedi Penghianatan PKI Madiun merupakan bagian dari sejarah hitam negeri ini, benturan fisik dan senjata yang bahkan menjadi perang saudara pertama paska prokalmasi 17 Agustus 1945, sesama anak bangsa saing bunuh dan tikam demi sesuatu yang fundamental sangat mendasar, sebuah Ideologi, Jalan Hidup, Nafas Kebangsaan, dan ideologi komunisme yang anti agama sangat tidak bisa ditolerir kekuatan yang cinta NKRI dan Pancasila.
   Perang saudara antara kekuatan bersenjata PKI yang mendirikan Negara komunis di Madiun melawan segenap kekuatan yang pro Pancasila yang cinta NKRI, meminta korban yang tak terbilang jumlahnya, baik korban dari pemberontak maupun korban para pejuang dan masyarakat sipil, ulama, santri, tokoh pemuda dan kekuatan lain.
   Perang saudara sudah dimulai saat revolusi bersenjata mengusir penjajah masih kuat berkecamuk, yang membuat Eyang Mursyid turun tangan sendiri menumpas pasukan PKI dan simpatisanya bersama TNI dan POLRI.
    Eyang Mursyid adalah salah satu guru sang Dwija Wasana yang kenyang pengalaman perang, sosok penyintas sejarah perang sejati, dimana sudah di mulai benturan bersenjata antara sekutu melawan pejuang Indonesia saat pengurus Nahdlatul Ulama mengeluarkan seruan/resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 yang membuat Eyang Mursyid memenuhi panggilan Jihad mengusir bala tentara Sekutu yang di dalamnya ada tentara kerajaan Belanda yang datang dengan jumawa penuh kesombongan hendak menginjak-injak kemerdekaan yang baru di proklamasikan 17 Agustus 1945.
   Situasi dan hal yang memaksa Eyang Mursyid ikut gerilya dan sampai di kaki gunung Lawu, daerah maha indah dan subur, yang membuatnya kerasan sehingga bisa mendidik remaja dan anak-anak muda di sekitarnya yang akan beliau persiapkan jika sekiranya perang melawan penjajah eropa berkepanjangan puluhan tahun, pendekar-pendekar muda itu akan maju digaris depan head to head berhadapan dengan tentara kerajaan Belanda.
   Dan anak-anak muda yang punya bekal bela diri itu akan jadi laskar rakyat yang akan menghadapi kesombongan tentara penjajah Belanda yang didukung Sekutu yang baru saja menang perang mengalahkan tentara Jerman dan Kekaisaran Jepang.
   Tahun 1948 pemberontakan PKI yang berafiliasi dengan Rusia, yang dipimpin Muso Monawar memaksa TNI menghancurkannya tak lebih sebulan, pemberontakan yang kembali di lakukan PKI tahun 1965, yang memaksa anak didik Eyang Mursyid turun gunung untuk menumpas PKI Magetan dan Madiun yang sangat berdekatan dengan padepokan Mardi Anoraga Sakti pimpinan beliau.
   Tahun-tahun kelam di perjalanan negeri ini dimana Dwija Wasana baru menginjak umur 20 tahun, usia yang terbilang masih muda belia untuk kalangan Milenial sekarang, usia dimana baru selesai ditempa berbagai ilmu kanuragan oleh sang guru di padepokan Mardi Anoraga Sakti.
   Pemberontakan PKI 1965 adalah hasil arahan dan didikan kekuatan revolusi komunisme di RRC, yang dendam kesumatnya akan di puaskan pemberontak anti agama dan anti Pancasila itu karena gagal memberontak tahun 1948, dan dendam itu di tahun 1965 di lakukan dengan terlebih dulu membunuh perwira Tinggi AD di Jakarta, DIY dan beberapa wilayah lain di tanah air.
   Gerakan senyap yang bahkan sangat-sangat sistemastis, massif, terstruktur dan massal sebelum tanggal 30 September 1965, yang bahkan mereka sudah menyiapkan lubang-lubang galian yang lebar dan dalam di desa-desa dan perkampungan-perkampungan di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bisa memuat mayat-mayat yang ratusan ribu dan bahkan jutaan jasad wadag dari para lawan politik PKI tahun 1965.
   Lubang-lubang pembantaian yang hendak dipakai mengubur jasad musuh utama PKI, baik TNI, POLRI, anggota dan pimpinan Parpol, Guru Sekolah, PNS bahkan juga Ulama dan santri serta lawan politik PKI dari Pelajar dan Mahasiswa yang di pulau Jawa saja diperkirakan ada 35 Juta jiwa bahkan lebih yang hendak di penggal kepalanya.
   Jika doktrin PKI yang berbunyi, jika Indonesia tinggal memiliki sepertiga penduduk karena perjuangan mendirikan Negara komunis mengharuskan membunuh mereka yang anti komunis, maka hal itu menjadi sah bahkan keharusan.
   Tahun 1965, jumlah penduduk Indonesia 100 juta lebih, jika sepertiganya pro komunis maka ada angka 33 juta jiwa pro Negara komunis, dan sisanya77 juta yang anti komunis alias pro Pancasila, sehingga 77 juta penduduk Indonesia harus di bunuh demi cita-cita mereka ingin mendirikan Negara Komunis di nusantara, sangat biadab.
   Gerakan pemberontakan PKI di tahun 1965 telah menyiapkan pasukan khsusus pemburu kepala lawan-lawan mereka itu, head hunter pemenggal kepala yang terdiri dari Gerakan Pemuda Rakyat yang terlatih ilmu bela diri pencak silat dan mengoperasikan senjata api, baik senapan serbu, pistol, meriam dan jenis senjata api lainnya, karena PKI berhasil menyusup di tubuh TNI dan Polri sehingga sering mengikuti pelatihan semi militer dalam rangka politik Negara untuk mengganyang Malaysia.
   Tahun 1965 mereka ingin kembali membantai, namun gagal dan di habisi kekuatan yang pro NKRI dan Pancasila, keadaan yang bahkan nyaris sama seperti tahun 1948, kekuatan yang cinta Pancasila dan Pro NKRI menghajar pemberontakan biadab itu dengan tak kalah brutal berdarah-darah.
    Simpatisan dan kekuatan utama kaum pemberontak itu di identifikasi, di tangkapi, di kejar-kejar siang malam 24 jam, yang melawan di basmi, jasad yang hampir hancur tertembus peluru dan senjata tajam itu di buang di sungai, mayat tanpa kepala yang membuat warna air sungai-sungai di Jawa Tengah dan Jawa Timur merah dan berbau anyir dan amis  darah berbulan-bulan.
     Pasukan sipil PKI yang menyerah di identifikasi ulang lagi, dikumpulkan dan di penjara, dalam penjara politik mereka di bina mentalnya, di beri indoktrinasi cinta Pancasial dan NKRI dan harus memeluk salah satu Agama dan kepercayaan di Indoesia, tidak boleh ada orang atau kelompok athesis komunis di negeri Pancasila ini.
   Dan di era penangkapan-penangkapan pasukan senyap bawah tanah binaan PKI, penangkapan pasukan pemberontak baik oleh TNI, POLRI maupun milisi dan pendekar pro Pancasila terhadap kekuatan besar pasukan bayangan PKI baik Gerakan Pemuda Rakyat dan lain-lain itulah PSCP mulai bersiap akan lahir tahun 1974, dengan misi membumikan Panca Setia PSCP di bumi nusantara, yang salah satu doktrinnya adalah SETIA KEPADA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG BERDASARKAN KEPADA PANCASILA DAN UUD 1945.
     Pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan G.30.S/PKI tahun 1965 adalah tragedi paling kelam negeri ini.
  Tahun 1965 kebiadaban mereka membunuh perwira tinggi AD dan jasadnya mereka timbun di sumur Tua Lubang Buaya Jakarta adalah titik/rencana awal yang merupakan/hanya pintu gerbang menuju pembantaian masal.
    Pembantaian masal terhadap kekuatan yang cinta Pancasila yang bahkan akan meminta tumbal korban puluhan Juta di seluruh negeri, bisa dibayangkan jika kekuatan pro Pancasila kalah, puluhan juta jasad tanpa kepala akan mudah di temui di seluruh muka bumi tanah air, jasad pendukung Negara Pancasila yang di mutilasi oleh PKI.
   Dan di tahun-tahun kelam itulah telah lahir kekuatan pendekar yang digdaya dan tangguh, kekuatan dari sosok-sosok muda tangguh bergelar Pendekar Gunung Lawu yang bahkan baru menyelesaikan pendadaran di kawah candradimuka perguruan Mardi Anoraga Sakti dengan gurunya Eyang Mursyid, inisiator laskar pemuda, yang merupakan cikal bakal lahirnya sosok-sosok hebat dari kekuatan muda perintis PSCP Pusat.
   Sang Dwija Wasana dan kawan-kawan seperguruan beliau di MAS menjadi makin tangguh karena peristiwa kelam tragedi 1965 yang didalangi PKI, karena saat pulang dari berlatih, di tengah jalan sering di cegat sosok-sosok musuh bercadar hitam yang menyerangnya dengan senjata tajam bahkan api.
   Dengan kanuragan tingkat tinggi, senjata api dan tajam itu tak bisa melukai kulit daging sang guru besar PSCP dan kawan-kawan seperguruan beliau di MAS, karena mereka sudah di gembleng sedemikian rupa untuk berhadapan dengan kekuatan hitam laskar pendekar PKI yang sudah kamanungsan meninggalkan kemanusiaanya tega membantai umat manusia yang tak searah pandangan politik dengan mereka.
   Seringkali mereka kaget dan lari ketakutan manakala letusan bedil dan bacokan pedang itu mental dan bahkan hancur.
   Pedang yang bahkan sering kali patah saat di babatkan sekuat tenaga dengan kecepatan tak kasat mata dan manakala menyentuh tubuh sang Dwija Wasana patah berkeping-keping bagai kaca tipis membentur dinding baja yang kokoh dan kuat.
   Sebuah benturan yang sangat mencengangkan mata awam yang tak memahami kanuragan pencak silat, saat dimana senjata tajam yang bahkan patah dan hancur menjadi serpihan besi, hancur saat menyentuh tubuh pendekar muda yang kokoh dan kuat digdaya dari sosok pendekar Gunung Lawu di masa mudanya.
   Dan kini tibalah saat usia senja sang pendekar gunung Lawu, ada sebuah pesan dan tengara serta pertanda alam akan adanya gerakan yang anti Pancasila itu kian kuat menggema kembali, bukan dari PKI, namun sebuah gerakan pro Negara Islam, gerakan pro Khlafah Islamiyah yang anti NKRI dan kebhinekaan negeri ini.
    Sehingga di sisa waktunya, segenap tokoh-tokoh utama pendiri PSCP mendidik warga Purwa agar memiliki bekal kanuragan di tataran warga Madya, agar kelak siap sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk menghancurkan kekuatan yang anti Pancasila, gerakan kekuatan pro Negara Islam, kekuatan anti NKRI yang sangat-sangat pro Khilafah Islamiyah.
    Sebuah gerakan kaum radikalis teroris, kelompok-kelompok jihadis yang masuk dan numpang hidup di Indonesia.
     Kelompok yang kalah dan terusir dari kekacauan Timur Tengah ke nusantara dan ingin negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ini menjadi Negara Islam.
   Dan dengan alasan, hanya Negara Islam di Indonesia yang sanggup membuat rakyat hidup sejahtera, negara Pancasila hanyalah negaranya kaum kufur dan kafir, kaum thogut anti Islam yang penuh karuptor, jadi harus di hancurkan.
   Dan generasi milenial, sejak pendidikan dasar usia dini sampai perguruan tinggi harus mulai direkrut sejak hari ini agar lima, sepuluh duapuluh tahun yang mendatang sudah siap menjadi bagian dari kekuatan yang pro Khilafah dan anti Pancasila.
   Anak muda mulai pelajar sampai mahasiswa bahkan professor yang tidak tahu budaya dan peradaban nenek moyang leluhur Nusantara dengan gegap gempita penuh gairah kini sudah bergabung dengan kekuatan hitam yang bahkan akan menghancurkan kekuatan pro-Pancasila dan NKRI itu tanpa ampun, lebih kejam dan biadab dari PKI.
   Biadab dan sangat manipulator karena mereka menggunankan simbol-simbol Agama sehingga anak muda yang buta sejarah, buta hadis kagetan ayat suci dengan gembira suka rela bergabung dengan mereka agar bisa masuk surga dengan 72 bidadari yang rupawan.
   Ingin masuk surga dengan memenggal kepala, menyembelih, menggorok leher, membunuh, menikam, menumpahkan darah yang mereka halalkan, juga mengebom dan membantai dengan berbagai kreatifitas tingkat dewa kepada lawan-lawan politik/kekuatan yang anti Negara Khilafah versi kelelompok mereka itu, bagi mereka yang anti Negara Islam harus di habisi sampai akar-akarnya
   Bahkan sebelum melepas pasukan kavaleri berkuda pasukan PSCP Pusat di kegiatan Kirab Budaya Nusantara itu, sang Dwija sudah memberikan amanat khusus kepada segenap pendekar muda itu, pendekar gunung Lawu sepuh itu menekankan agar segenap warga PSCP tetap waspada dan habis-habisan menjaga Pancasila dan NKRI,
    Karena mereka telah di persiapkan untuk itu, dan puncaknya sewaktu mereka di sumpah saat pelantikan warga Purwa.
   Kekuatan Kavaleri Berkuda Pendekar Gunung Lawu yang puluhan ribu itu berkat dukungan masyarakat di sekitar wilayah Lawu dan Wilis yang dengan suka cita memelihara Kuda tunggangan bagi kepentingan wisata sejarah dan alam, dan bonusnya adalah terpenuhinya pengadaan pupuk kompos organik bagi kesuburan dan kesuksesan hasil pertanian di wilayah Mataraman yang merupakan lumbung pangan Nasional.
   Hasil panen yang menyisakan sumber daya limbah pertanian dari sisa hasil panen, sisa hasil panen yang bahkan di olah oleh para generasi muda kreator dari sosok-sosok sederhana namun tangguh, generasi para warga Madya PSCP Pusat untuk menjadikan limbah sisa hasil panen pertanian dan peternakan serta perikanan itu menjadi pakan ternak kuda kavaleri.
   Kuda kavaleri yang bibit pertamanya di sumbangkan oleh TNI AD khususnya Datasemen Kavaleri Berkuda TNI AD yang perwira tingginya sangat respek dengan kekuatan muda pendekar Gunung Lawu yang kedigdayaannya mereka kenal saat HUT TNI setiap tahunnya.
   Unjuk kekuatan kanuragan saat atraksi pematahan benda keras di Jakarta, di mana didikan PSCP ikut serta memeriahkan acara itu, prajurit TNI AD didikan PSCP yang bersumpah setia menjaga NKRI yang berdasarkan pada Ideologi Pancasila yang anti ideologi teror khas pendukung kaum radikalis yang pro Negara Khilafah.
   Pesan dan amanat suci dari sesepuh pendekar gunung Lawu kepada anak didiknya itu di terima dengan kesungguhan hati, mendarah daging menyatu dalam jiwa raga para pendekar gunung Lawu.
    Sehingga pasukan kavaeri berkuda PSCP Pusat itu menjadi salah satu wujud menjalankan amanah sang Dwija Wasana, amanah menjaga budaya dan mengembangkan kelestarian tradisi pencak silat yang menjadi bagian dari peradaban dan budaya prajurit perang era kerajaan-kerajaan di nusantara.
  Teknik, jurus dan beragam ilmu kanuragan yang di masa lalu merupakan bagian dari kekuatan utama prajurit kerajaan dalam melindungi wilayahnya itu tetap di jaga, di lestraikan dan dikembangkan.
   Kanuragan khas kekuatan paling dasar dari kualifikasi sosok prajurit kerajaan yang pasukan dan prajurit terbaiknya menunggang kuda perang yang juga terbaik.
   Sebuah pasukan kavaleri berkuda yang sukses di perbanyak jumlahnya dengan teknologi inseminasi buatan, sehingga tak sampai satu dasawarsa, puluhan ribu kuda perang terbaik sudah siap di latih, di tunggangi dan di gunakan sebagian untuk kuda sewa di wilayah zona tujuan wisata.    
   Kuda yang tegap,tinggi gagah dan cekatan yang di karyakan, yang disewakan, dan uang hasil persewaan itu bahkan lebih dari cukup untuk membesarkan jumlah dan kualitas pasukan khusus yang tergabung di bawah panji-panji Pasmatih dengan panji agungnya, panji Sardulo Seto Wiro Yudho Wicaksono, dan dengan tetenger khusus bagi pasukan kavaleri berkudanya dengan panji Wira Cakti Turangga Yudha bagi pasukan terbaiknya.
   Pasukan pilihan, pasukan inti, pasukan yang menunggang kuda perang dengan semua keahlian menunggang kuda dan olah senjata perang yang ngedab-edabi.
    Jika ingin hidup dalam perdamaian bersiaplah menghadapi sebuah peperangan.
    Selamat membaca, Pendekar Gunung Lawu Bagian I Turangga Jurit Pesanggrahan.

PENDEKAR GUNUNG LAWU
BAGIAN TURANGGA JURIT
PESANGGRAHAN

   Dengan tergopoh-gopoh, salah seorang pengurus rumah yang sudah menganggapnya seperti  tempat tinggalnya sendiri itu meminta diri, segera keluar dari lingkaran yang padat, lingkaran dimana kumpulan besar itu asyik menikmati hidangan sederhana, kumpulan dari mereka yang takzim duduk bersila saling merapat sambil sibuk bercerita.
   Ia segera bergegas kebelakang dan tak lama di tangannya telah membawa baki berisi sepiring singkong yang masih panas mengebulkan asap yang menebarkan aroma bumbu gurih asin di temani segelas kopi jahe yang masih panas, mengepulkan asap, menebar harum wangi sari jahe yang sangat khas, minuman dan hidangan yang segera di berikan kepada yang baru saja masuk.
   “wah nuwun sewu sanget rakamas, ini jatah panjenengan, mohon maaf tadi belum kebagian suguhan, informasinya panjenengan ada di padepokan pusat, tidak naik ke pesanggrahan malam ini, sehingga kami-kami tidak sempat menghitung ulang jatah kopi gelas dan singkong rebus, untung jatah saya tetap utuh, belum saya makan karena saya masih menjalani puasa mutih, jadi anggap saja ini rejeki buat rakamas, monggo, langsung saja di nikmati, tolong diberi jalan adik-adik buat mas kita ini, biar kita bisa duduk bareng-bareng”
    Serempak semua yang rata-rata masih muda yang memenuhi ruangan dan kini duduk di atas hamparan tikar pandang gunung itu bagai dikomando, menempelkan kedua tapak tangannya di depan dada mereka sambil mengangguk hormat, memberikan salam serempak:
  “Assalamualaikum, selamat malam, sejiwa raga Wiro Yudho Wicaksono”
  “Walaikum salam warahmatulahi wabarakatuh, sugeng ndalu ugi selamet malem, wiro yudho wicaksono”
   Dengan sikap yang sama, lelaki muda yang baru tiba itu menyambut dengan penuh subasita.
   Lalu ia memperbaiki posisinya, dengan sigap berdiri tegak, menyatukan kedua tapak tangan di depan dada, membalas salam sambil membungkuk dalam-dalam, lalu ia mengambil tempat, manakala anak-anak muda di depannya sudah menyibak memberi kesempatan ia duduk menyatu dengan seluruh yang hadir di ruangan itu.
  Dengan penuh subasita, lelaki setengah sepuh yang merupakan pengurus rumah tangga padepokan bayangan yang oleh penghuni tempat itu sering disamarkan dengan sebutan pesanggrahan.
   Pesanggrahan tempat penempaan calon-calon pendekar yang naik tataran dari dasar ke tataran yang lebih tinggi, tataran pendekar Purwa yang naik setingkat ke tataran Warga Madya.
   Tak lama, tamu yang baru merapat itu memberi sandhiyudha kepada sesepuh di pesanggrahan itu agar bisa bicara empat mata, yang membuat mereka bergegas keluar dari lingkaran di ruangan itu, mereka masuk gandok tengen, menyelarak pintunya lalu bicara dengan hati-hati.
   “wah kok malah ngrepoti panjenengan, saya jadi ndak enak mas, oh ya mas Ageng Sepah, mbah Man kirim salam buat semua panitia pendidikan latihan calon warga Madya, beliau mungkin malam ini akan naik, tetapi tentu saja setelah lewat tengah malam, bersamaan turunnya embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan di lereng Lawu”
   “Pucuk-pucuk gegodongan wus samekta, terimakasih, salam balik walaikum salam rakamas, senang mbah Wagiman malam ini bisa naik, semoga embun-embun akan turun membasahi pucuk-pucuk daun malam ini”
   Kedua orang yang bicara dengan kalimat sandiyudha itu saling berjabatan tangan.
   Dengan pelahan dan hati-hati yang baru datang menyerahkan segulung surat, surat dari kulit kambing yang di keringkan, surat yang tinta khususnya segera bisa dihapus dengan air panas yang diusap-usapkan dengan sehelai kain khusus.
   Nawala sinandhi, sebuah surat rahasia tentang sesuatu yang membuat sang penerimanya tersenyum, lalu raut wajahnya berubah dan lebih tegas, wajah yang kini nampak bersunguh-sungguh, wajah yang berubah serius.
   Sosok yang ramah dan terukur kalimat-kalimatnya manakala mempersilahkan kepada yang baru datang dengan sangat hormat, kalimat yang penuh subasita.
   Sebuah  sambutan yang penuh keramah-tamahan kepada yang baru datang, dan sang tamupun dengan yang juga tak kalah ramah menanggapi semua kalimat percakapan yang penuh subasita itu, sebuah kalimat percakapan yang sangat tak biasa di dengar kaum muda di era milenial.
   Setelah dirasakan pembicaraan itu selesai, kedua orang itu, yang lebih sepuh yang di panggil mas Ageng Sepah dan tamunya yang membawaan pesan padepokan pusat untuk pengurus padepokan bayangan itu bergabung kembali dengan segenap yang masih asyik berkisah sambil menikmati suguhan sederhana di pendopo utama.
   Dari ruangan belakang, suara mereka terdengar masih bergumam-gumam saling meningkah, sambil menikmati hidangan sederhana, makanan dan minuman yang bahan-bahannya dipenuhi sendiri dari hasil bercocok tanam di kebun pesanggrahan yang merupakan hibah pemerintah pusat lewat BUMN Perum Perhutani Daerah Jawa Timur.
    Lahan luas yang lebih dari 40 hektar memanjang di sepanjang lereng gunung Lawu bagian timur, lahan hibah pinjam pakai agar dipergunakan dan diolah untuk menjadi bagian dari lokasi penempaan generasi muda milenial agar bisa menjadi kader penerus pengisi kemerdekaan yang kuat, tangguh dan berakhlak mulia, didikan PSCP yang tak diragukan lagi komitmen kebangsaannya.
   Dan semua yang hadir di ruang utama pesanggrahan itu nampak puas di saat malam mulai merayap menuju tengah, malam yang cukup menyenangkan hati walaupun mengisi waktu yang suasananya mulai atis dengan hanya menikmati suguhkan hidangan yang sangat sederhana.
    Rumah sederhana itu jika diamati merupakan replika dari padepokan PSCP pusat, yang merupakan lokasi kawah candradimuka calon-calon warga Madya.
   Pesanggrahan yang juga dipergunakan sebagai pusat pengembangbiakan, pemeliharaan serta pelatihan kuda-kuda terbaik dan sekaligus rumah tinggal bagi calon-calon warga Madya selama menjalani pendadaran.
   Bahkan setelah disahkan menjadi warga Madya, bukan seorang dua orang dari mereka masih bergabung dan bekerja di padepokan bayangan itu, yang dari hasil kerja sebagai pemandu wisata berkuda itu cukup untuk mengumpulkan modal usaha.
   Modal usaha dari uang yang mereka kumpulkan saat bekerja menjadi pengurus kuda dan pemandu wisata alam dan sejarah, kerja yang bahkan mampu menghasilkan uang yang sekedar lebih dari cukup bagi kehidupan pendekar muda yang belum berkeluarga, tanpa anak istri alias mereka yang masih lajang.
   Sebuah replika bayangan bangunan padepokan pusat, bangunan yang bersoko gurukan kayu jati jawa tua, dengan model limas joglo dan bangunan utamanya beratapkan ijuk aren, atap ijuk yang lapisan paling dasar dilapis lagi dengan terpal tebal warna merah sebagai cara agar rembesan air hujan tidak bisa menembusnya.
   Dinding dari papan pinus, dan di beberapa tempat di pasang dinding dari anyaman bambu jenis pring apus yang liat dan tahan hama bubuk.
   Semua bahan pesanggrahan itu telah diberi semacam perlakuan khusus yang sedemikian rupa, sebuah perlakuan yang njlimet dan penuh nuansa kearifan lokal leluhur nusantara manakala hendak membangun bagunan suci.
   Ritual adat budaya yang dilanjutkan dengan perlakuan perendaman selama setahun lebih yang hari saat mula pertama pemiihan bahan kayu dan bahan-bahan lainya dipilih hari yang terbaik, yang tentu saja di dahului ritual dan doa-doa kepada Tuhan YME agar diberikan kebaikan dan dikabulkan semua cita-cita luhur dari prosesi pembangunan pesanggrahan itu.
   Diharapkan dari semua prosesi adat budaya itu akan membuat pesanggrahan tetap dan terus kuat konstruksi fisiknya, bebas marabahaya bagi yang menghuninya dan paling utama bisa berguna bagi pelestarian peradaban tradisi adat budaya leluhur nusantara, yakni budaya pencak silat.
    Pesanggrahan yang sederhana namun kuat dari perubahan cuaca ekstrim sekalipun,  sehingga ditargetkan belum perlu di ganti selama seratus tahun lamanya, bangunan sederhana namun sangat otentik merefleksikan bangunan padepokan di era peradaban nusantara lama.
     Padepokan dengan gerbang utamanya yang merupakan bentuk pintu gerbang belah bentar khas Wilwatikta dari bahan batu gunung jenis andesit yang keras dan tahan gempuran perubahan cuaca panas dan dingin yang menjulang dan nampak gagah, elegan namun tetap bernuansa magis serta klasik.
   Dan di belakang gerbang utama itu berdiri bangunan regol semacam gerbang selamat datang, sekaigus pos pemeriksaan kepada tamu yang singgah di hari-hari tertentu.
   Regol yang selalu terang samar-samar dari cahaya nyala dua buah obor bambu yang jika malam sudah tiba menjadi sumber cahaya utama di gerbang selamat datang pesanggrahan itu, sebuah banguan refleksi atau replika padepokan pusat pencak silat Cempaka Putih dengan beberapa bangunan tambahan yang berderet memanjang ke sisi kanan Pendopo Ageng, pendopo yang berdiri gagah sepuluh tombak dari pintu gerbang utamanya.
  Obor bambu yang bahan bakarnya sebagian di olah sendiri, bahan bakar dari minyak Jarak dan minyak Kelapa yang di campur minyak Tanah dengan perbandingan sedemikian rupa sehingga bisa menghasilkan api dengan nyalanya yang cukup awet sehingga setia menjadi pelita di gerbang utama dari bangunan para kesatria didikan pencak silat Cempaka Putih itu.
   Satu ruas bambu itu, jika diisi penuh campuran ketiga materi bahan bakar, minyak jarak, minyak kelapa dan minyak tanah, bahkan bisa menyala sampai lewat tengah malam dengan nyala api yang besar, jika nyalanya kecil bisa sampai pagi hari.
   Sepasang obor yang di pasang regol, yang setiap sehabis senja dinyalakan apinya, jika nyala makin kecil diganti obor yang baru, sedang obor yang lama di isi kembali dengan bahan bakar sampai penuh, serta tak lupa di ganti sumbunya jika dirasa makin pendek.
   Sumbu janggel atau galih buah jagung yang sudah dikeringkan kemudian dilapisi lilitan kain bekas handuk yang bisa menyerap bahan bakar cair secara intens, sehingga walau angin bertiup kencang, nyalanya mampu bertahan dan tidak mati terkena hembusan angin ribut sekalipun.
   Dan setiap beberapa jam sekali pengurus rumah tangga padepokan bayangan itu dengan tekun berkeliling bergantian satu orang dengan yang lain, mengecek segala sesuatunya untuk memastikan semua sebagaimana mestinya.
   Kerja mereka cekatan, kerja cepat dan terukur dari pengurus sebuah bangunan yang dimasa lalu melahirkan senopati dan kesatria pilih tanding yang bahkan menjadi benteng sekaligus ujung tombak penjaga serta pengamanan kerajaan-kerajaan era nusantara purba.
    Sekeliling lahan itu ditanami pohon peneduh, berupa macam-macam jenis buah-buahan lokal yang bisa terus menerus di panen sejak bulan Januari sampai Desember sambung menyambung musim panennya antar buah yang satu berbeda dengan jenis buah yang lainya.
   Sehingga segenap penghuni padepokan setiap bulan berganti jenis buah lokal yang di konsumsi, kecuali yang menjalani laku ngrowot bisa puas menikmati lezatnya buah-buahan yang di pelihara dengan perlakuan khusus.
   Perlakuan tanaman yang organik dan alamiah, perlakuan yang bebas dari aplikasi bahan kimia sehingga rasanya lebih manis dan tahan penyakit, buah-buah lokal, yang hidup alami di lereng gunung Lawu, buah yang khasiatnya bahkan ikut memperkuat sel dan menyempurnakan pembentukan DNA para calon pendekar pilih tanding, para kesatria Madya.
    Sehingga kelak garis keturunan didikan padepokan lereng gunung Lawu itu diharapkan akan semakin baik, berintegritas tinggi, berkualitas bagus secara lahiriah dan batiniah, kokoh, tanggon dan ngedab-edabi kemampuan kanuraganya tanpa harus meninggalkan kerendahan hati dan budi pekerti luhur yang akhlaqul karimah, sebuah sikap yang sangat lembah manah.
   Sementara malam dengan cepat berlari makin mendekati ke tengahnya, senyap dan gelap pekat membuat seluruh penghuni di pesanggrahan yang merupakan replika bayangan padepokan PSCP Pusat di lereng gunung Lawu itu makin sepi.
   Satu dua orang anak-anak muda yang duduk memenuhi ruang depan pendopo pesanggrahan itu segera pamit dan bersiap untuk beristirahat, guna esok kembali meneruskan latihan yang sudah menunggu, latihan berat yang membutuhkan kekuatan lahiriah dan batiniah.
    Biasanya setelah terbenam matahari, selepas sembahyang fardhu, latihan sudah di mulai sampailewat tengah malam, namun karena hari ini seluruh penghuni pesanggrahan itu mengikuti defile dalam rangka HUT Kabupaten Magetan, jadwal latihan di gantikan di hari yang lain.
   Satu dua orang masih bertahan, mereka anak-anak muda yang masih larut dalam euphoria kebanggaan manakala defile pasukan kavaleri berkuda pendekar gunung Lawu melintas di panggung utama kehormatan, anak-anak muda yang masih asyik berkisah.
   Seakan-akan membuat mereka tidak ingin segera istirahat, karena satu orang bercerita, yang lain akan menyambung, bahkan sampai saat menjelang tengah malam mereka masih asyik berkisah dengan teman-temannya itu.
   “sebaiknya adimas semua segera bersiap tidur, karena besok kita masih ada kegiatan yang tentu saja sangat memerlukan kekuatan, kalau malam ini adimas semua tidak istirahat, tentu besok kegiatan yang berat memerlukan tenaga ekstra itu tidak bisa kita selesaikan dengan baik”
    Tak diketahui bagi yang masih asyik berkisah, orang yang dipanggil mas Ageng Sepah itu sudah naik di ruang utama pendopo pesanggrahan.
   Suara yang sedemikian tiba-tiba membuat kaget anak-anak muda yang masih sibuk bercerita, anak muda yang lebih dari sepuluh orang.
     Suara sesepuh pembimbing para pendekar muda itu terdengar sangat lembut, suara sareh seorang yang diseniorkan diantara kumpulan anak-anak muda itu, suara santun dari sang sesepuh pesanggrahan.
   “kawulo namung ngengetaken, mbok bilih malam ini adimas semua sebaiknya segera istirahat di ruang belakang, karena sebentar lagi waktu sudah akan tengah malam, sayang kan jika adimas semua asyik begadang, besok bangun malah kesiangan dan tidak tepat waktu berlatih, kawula namung ngengetaken, sekedar mengingatkan andika sekalian, mohon maaf jika kurang berkenan, karena nampaknya adimas semua masih asyik berkisah sepulangnya dari kota hehehehe..”
    “iyaaa mas Ageng, maaaf, kami mohon pamit, maaf, kami terlalu bersemangat jadi malah lupa istirahat, sekali lagi mohan maaf jika sudah melanggar intruksi penjenengan mas Ageng”
   Seseorang dari mereka meminta maaf karena belum juga beranjak dari pendopo pesanggrahan.
    Setelah semua selesai menjabat tangan kepala pesanggraahan itu, mereka satu persatu lenyap di tikungan kanan pendopo, masuk ke bilik mereka yang kamarnya di buat sedemikian rupa dalam sebuah banguan memanjang yang sambung menyambung menjadi lebih dari sepuluh bangunan, yang sebuah bangunannya bahkan sanggup menampung serataus orang.
   Bangunan yang sambung-menyambung, bangunan yang setiap pintu masuknya di beri nama-nama khusus, bangunan yang beratapkan ijuk aren yang tebal, sehingga suhunya tetap stabil walau dini hari di lereng lawu sangat atis udaranya.
   Dan mereka segera membubarkan diri, satu persatu sampai orang terakhir meninggalkan ruangan yang luas itu sampai benar-benar kosong, ruangan yang kini obarnya di matikan, lalu di ganti dengan obor yang lebih kecil nyalanya.
    Mas Ageng Sepah lalu mentutup pintu gesernya, pintu yang dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak perlu di kunci, tinggal di selorok dari dalam pendopo utama sudah terkunci dengan rapat dan susah di buka, walau dengan cara paksa sekalipun.
   Tak lama, sesudah seluruh penghuni pesanggrahan itu mamasuki bilik mereka masing-masing, sesaat senyap dan di keremangan sinar bulan yang samar akibat terhalang awan tipis di angkasa malam.
   Kini segenap penghuni pesanggrahan bersiap untuk beristirahat setelah memanjatkan doa puja syukur kepada sang pemberi hidup, senantiasa mensyukuri karunia-Nya karena masih diberi hidup dan kesadaran untuk berbuat amal kebaikan di muka bumi.
    Nyala obor itu kini bahkan cahaya suramnya masih mampu menjilat daratan area pesanggrahan di lereng gunung Lawu, dan kini nampaklah seseorang mengendap-endap keluar dari bangunan rumah yang khusus pengurus rumah tangga padepokan bayangan.
   Sosok yang kini berjalan pelahan-lahan setelah keluar dari ruangan yang dibangun khusus buat tempat istirahat senior pelatih, nampak sekali ia sangat berhati-hati melangkah sangat terukur pelahan-lahan, sehingga bunyi langkahnya tidak terdengar.
   Sosok yang melangkah semakin mendekati komplek bangunan penginapan calon warga Madya, sosok yang baru keluar dari pringgitan rumah utama.
   Sebuah sosok manusia berseragam serba hitam mengenakan cadar, sosok yang kini berjalan menuju penginapan anak-anak muda yang masih menjalani pendadaran kawah candradimuka Pencak Silat Cempaka Putih di kesenyapan alam lereng gunung Lawu.
    Sebuah pesanggrahan yang oleh masyarakat di sekitar banguan itu sering di sebut sebagai padepokan bayangan, namun penghuninya sendiri lebih sering menyebutnya sebagai pesanggrahan.
   Tempat mesanggrah, tempat tinggal sementara untuk belajar keillmuan kanuragan nusantara, mengasah ketajaman batin, membuka cakrawala jasad wadag dan mengasah kekuatan jiwani sehingga diharapakan semua siswa akan mampu mencapai tataran mati sakjeroning urip.
   Bau wangi semerbak kembang kopi harum menyergap indera penciuman, sepanjang lereng gunung Lawu diselimuti wangi bunga kopi.
    Bau kembang kopi yang pohonya tumbuh subur di petak-petak terasiring perkebunan warga dan tanah negara yang dikelola Perum Perhutani Lawu DS  menjadi lahan pengembangan komoditas andalan berupa panenan buah kopi dari tanaman yang jenisnya dari persilangan lokal dan unggul yang sangat terkenal, sehingga menjadi salah satu komoditas andalan segenap penduduknya yang mayoritas petani pekebun di sepanjang wilayah area lereng gunung Lawu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
   Wangi dari tanaman yang buahnya selalu eksis menemani budaya ngelinting tembaku bahkan sejak di era masa lalu dan tetap ada sampai era milenial hari ini.
   Sosok misterius itu duduk bersila, mengatur parnafasan dan menyatukan segenap konsentari nalar budinya, ia tengah menengkan diri dengan teknik meditasi sambil duduk di atas hamparan rumput yeng mulai dibasahi embun.
   Dan setelah beberapa tarikan nafas teratur, sampailah manakala ia mencapai keheningan di pusat energinya yang kini ketenanagn itu pecah seiring kekuatan yang mulai muncul.
   Sebuah kekuatan yang bagaikan menggelegak di seluruh aliran darah di jasad wadagnya yang kini penuh tenaga cadangan yang sudah di tataran yang cukup mapan, tersalur dan berputar cepat di sekujur urat nadi dan aliran darahnya, berputar dan membuat pori-porinya berkeringat di tengah udara dingin lereng gunung Lawu.
   Energi murni yang di salurkan lewat olah bathin, pernafasan, dan olah kesadaran jiwani, mendadak keheningan itu berubah, saat hembusan kuat semilir angin berputar-putar berkumpul mengelilingi wujud yang masih duduk bersila itu.
   Pelahan ia bangkit, dengan kuda-kuda sempurna, ia memutar telapak tanganya, ia gesek-gesek telapak tanganya itu dengan intens, makin lama pusaran angin itu kian kuat, sehingga seragam yang ia pakai berkibar-kibar.
    Sabuk mori yang ia kenakan ujungnya berkibar-kibar seakan lambaian tangan seorang ibu yang memanggil-manggil sang buah hati yang bermain di tepi telaga, panggilan yang kuat disertai lambaian tangan yang cepat, takut sang buah hati celaka tercebur di kedalaman air telaga.
   Kini angin pusaran yang kian kuat menyelimuti tubuh sosok yang wajahnya disembunyikan dengan memakai cadar hitam dari sebuah ikat kepala bermotif gadung melati, ikat kepala udeng khas pasukan soreng yang dililit sedemikian rupa sehingga menyembunyikan raut wajahnya.
    Energi yang sudah terkumpul dan sangat mapan itu kini menyatu di telapak tangan wadagnya, kemudian dengan gerakan yang tak kasat mata, ia arahkan telapak tangannya yang terbuka itu kepada nyala obor-obor yang berjajar-jajar di setiap muka pintu penginapan itu.
    Begitu telapak tangannya berayun, ada seleret samar berwarna putih seperti asap keluar dari telapak tangannya, seleret asap yang disertai letupan angin yang kuat melesat berbentuk putaran puting beliung.
    Pusaran angin yang sangat cepat dan seketika tak sampai satu tarikan nafas satu demi satu dan bahkan hampir berbarengan nyala obor itu bergoyang cepat lalu padam serempak, seperti tertiup angin yang mendadak menghantamnya dengan sangat kuat dan tiba-tiba.
   Dan akhirnya seluruh obor yang berjajar-jajar di depan pintu-pintu masuk penginapan para pendeker muda itu semua telah ia padamkan dengan sikap khusus.
   Sebuah sikap dasar yang mengunggah teknik dan jurus dasar pengerahan tenaga cadangan yang sumber kekuatannya dari kekuatan prana udara, diolah menjadi kekuatan angin sedemikian rupa.
    Olah nafas dan olah jiwa yang menyerap inti dan menggunggah energi udara menjadi kekuatan angin berpusar yang bahkan kekuatanya mampu mengeluarkan wujud seleret asap disertai lesatan kuat ledakan pusaran udara bergulung-gulung yang mematikan nyala obor-obor itu tidak sampai satu tarikan nafas.
   Setelah gelap menyelimuti area penginapan itu, sosok itu kemudian mengeluarkan bungkusan dari balik bajunya, sebuah kantong berisi pasir sungai yang sudah dijemur dan dibersihkan dari serpihan ranting, daun dan kerikil.
   Ia segera mengambil segenggam, sesaat lamanya matanya terpejam, diam kini ia hening larut dalam bacaan mantram penyirepan tingkat tinggi, kemudian ia tabur-taburkan pelahan sambil berjalan.
   Pasir sungai itu ia sebar sepanjang jalur penginapan calon warga Madya itu, sosok yang wajahnya tertutup cadar hitam itu terus mengitari seluruh bangunan yang digunakan menginap para pendekar yang sudah semua masuk ke biliknya masing-masing, berjalan sambil menaburkan pasir sirep.
   Satu dua suara orang berbicara, walaupun dengan berbisik masih terdengar suaranya itu  satu dua dari dalam penginapan yang kini sudah gelap.
    Suara berbicara yang satu demi satu hilang, senyap dan sesaat kemudian pecah oleh dengkuran yang sambung menyambung, dengkuran manusia yang menjadi pertanda betapa nyenyak dan lelap ia tidur.
   Sosok itu kemudian bersuit nyaring, suitan dari tiupan ujung jari telunjuk dan ujung jempol yang dilipat di mulutnya, ia tiup kuat sehingga suitan nyaring itu menyeruak senyap di pesanggrahan yang kini sudah lewat tengah malam.
   Beberapa sosok berseragam hitam dengan cadar penutup wajah berlompatan dari kegelapan, sosok yang serempak mendekat, mereka berbincang singkat, lalau berpencar, masuk ke penginapan para pendekar muda yang kini sudah lelap terkena aji penyirepan.
    Segenap yang masuk itu menggeledah satu demi satu bilik-bilik tidur mereka, dan dengan cepat mereka menemukan pelanggaran berat, satu dua orang tertidur dengan masih memegang handphne yang masih menyala layarnya, tak sempat mereka matikan terlanjur pulas tertidur diterjang mantram penyirepan tingkat tinggi.
   Hape itu segera dikumpulkan, dibawa keluar dan diserahlkan kepada mas Ageng Sepah yang menunggu di halaman penginapan para pendekar muda itu, dan kini semua alat komunikasi canggih itu ia masukkan di sebuah kantong kain, lalu di bawa oleh salah satu senior di pesanggrahan itu, sosok yang menyembunyikan wajahnya, sosok berseragam hitam-hitam dan bercadar.
  Kantong kain berisi hape yang ia terima dari tangan mas Ageng Sepah, ia masukkan lagi ke dalam tas ransel kecil yang kemudian ia pakai di punggung.
   Mendadak terdengar suara menggelegar auman harimau menggema, auman yang sambung menyambung seperti ribuan ekor jumlahnya, auman mahluk pemakan daging yang sedang marah, auman yang memukul-mukul isi dada mereka yang tertidur akibat ilmu sirep.
   Segenap yang terlelap bangun, tersadar dan terlompat kaget serta linglung, ketakutan dan bingung ada suara auman harimau yang ribuan ekor jumahnya mengguncang-guncang udara pesanggrahan, suara auman yang menggelegar bagai mampu merontokkan isi dada manusia yang masih cetek tenaga cadangannya.
    Pendekar muda yang bangun itu segera mengenakan seragam, diarahkan oleh senior pelatih berkumpul di halaman penginapan.
   Satu dua yang tak bangun dibiarkan masih mendengkur dengan keras, betapa menandakan kuatnya aji penyirepan itu menidurkan mereka dengan sedemikian rupa, bahkan auman harimau itu tak kuasa membangunkan kesadaran mereka.
  Setelah semua berkumpul, seorang yang berseragam hitam dengan cadar ikat kepala melati gadung menghampiri mas ageng Sepah yang sudah hadir di tempat itu.
   Sosok anak muda yang berseragam serba hitam-hitam itu rapat-rapat menyembunyikan wajahnya dengan cadar yang warnanya juga hitam dari ikat kepala gadung melati khas pasukan soreng itu takzim menunggu perintah mas Ageng Sepah.
    Tak lama seseorang membawakan seekor kuda yang sudah disiapakan, kuda kavaleri yang gagah dengan pelana dan perbekalan.
    Kuda gagah yang sudah disiapkan untuk ditunggangi, kuda yang sudah bertahun-tahun sudah terlatih untuk berlari di kegelapan malam sama cepatnya seperti saat berlari siang hari.
  “sampaikan salam buat padepokan pusat, hari ini dari pesanggrahan kami kirimkan lebih kurang tiga puluh hape, semoga kita semua tetap sabar dan bisa memberi arahan agar anak-anak muda yang melanggar ketentuan itu sadar dan bisa melanjutkan pendidikan di pesanggrahan ini, membawa hape adalah pelanggran berat yang bisa menyebabkan kenaikan tingkat mereka ditunda setahun lagi”
“baik mas Ageng, kawula nyuwun pamit rumiyin, semoga bisa sampai di padepokan pusat sebelum kokok ayam jantan pertama menggema di padukuhan terakhir sebelum padepokan pusat”
“hati-hati dimas Argo, semoga perjalananmu selamat sampai tujuan dan kembali tak kurang satu apa, sekali lagi selamat jalan”
“baik mas Ageng, saya berangkat”
“hati-hati adimas Argo, doa kami menyertai perjalanan andika dan Kyai Cemeng, semoga kalian berdua selamat tak kurang satu apa, dan kini pendekar-pendekar muda itu biar kami urus, mbah Man nampaknya sudah membangunkan tidur lelap mereka akibat sirepmu tadi dimas Argo”
  Mas Ageng Sepah tersenyum geli, membayangkan sirep yang menidurkan para pendekar muda itu di hapus sedemikian heboh oleh sang guru besar PSCP Pusat dengan suara auman harimau yang menguncang-guncang penuh lontaran kekuatan cadangan yang sangat mapan. 
  “Dan saya yakin mereka kini masih bingung ada suara macan membangunkan nyenyaknya mereka dengan mimpi indah yang harus pudar mendadak akibat mbah Man hadir diantara kita heheheee, saya titip salam buat teman-teman di padepokan pusat”
 Argo tersenyum, menganggk hormat kepada mas Ageng Sepah, kemudian ia tepuk-tepuk punggung Kyai Cemeng.
   Ia dan kudanya adalah sepasang kekuatan yang tak bisa bahkan dipandang dengan sebelah mata, ia seorang senior di pesanggrahan yang ahli turangga jurit dengan dukungan kuda pilihan serta kemampuan kanuragan di atas rata-rata sehingga dipercaya menjadi instruktur pelatih pendidikan calon warga Madya walau masih muda usianya.
   Dan kini kuda perang itu, kyai Cemeng nampak gembira, ekornya dikibas-kibaskan, dan kepalanya menganguk-angguk, kaki depannya bergantian memukul-mukul tanah dan antusiasme nampak dari gerak tubuhnya yang ingin segera berpacu bersama sang tuan.
   Itulah naluri terlatih seekor kuda perang, kuda jantan gagah yang kuat berlari berjam-jam tanpa kenal lelah.
   Dengan satu lompatan kecil, ia sudah duduk dengan nyaman di atas punggung Kyai Cemeng, ia ambil kekang dari tangan penuntun kuda di sisi kanannya.
  Ia tarik kekang di sisi kiri, Kyai Cemeng memutar tubuhnya ke arah kiri, lalu dengan decakan ia arahkan Kyai Cemeng untuk melangkah seiring kekang kuda itu ia sentak lembut sambil kedua tumit-tumit kakinya menendang-nendang pelahan berulang-ulang sisi tubuh kuda itu.
   Kuda dan penunggangnya segera lenyap di kegelapan malam dengan derap kecil, bulan muram di angkasa tertutup sempurna, tengah malam sudah melewati puncak, embun sudah makin merintik turun di lereng gunug Lawu.
   Suasana atis dan dingin udara menyergap, menambah makin lelap dan puas segenap manusia yang nyenyak tertidur dibuai mimpi-mimpi indahnya.
   Sekali lagi dari kejauhan terdengar auman harimau menggema kian mendekat ke pesanggrahan, menggetarkan dinding-dinding lerang gunung Lawu, ribuan auman-auman yang bahkan mampu merontokkan segenap isi dada.
    Suara auman-auman menggelegar dari ribuan ekor harimau yang kini menguncang-guncang kesadaran mereka yang masih tersisa di bilik-bilik sederhana penginapan itu.
   Mereka yang terkena ilmu sirep dan masih asyik mendengkur, tidur lelap, seperti bayi tertidur akibat terkena aji penyirepan.
   Dan kini suara auman yang menggetarkan lebih kuat dan makin kuat itu seperti memukul-mukul isi dada. mereka yang masih tidur terlompat bangun kebingungan karena mendengar auman itu bahkan seperti di dekat kendang telinga saat mereka pulas tidur berbaring.
   Pengurus pesanggrahan membuka semua pintu, sisa-sisa pendekar-pendekar muda yang baru bangun itu diinstruksikan berkumpul di halaman dengan seragam kependekaran lengkap, seragam pendekar gunung Lawu.
   Tak menunggu waktu lama, semua lengkap kini berkumpul.
   Seratus lebih warga pesanggrahan itu sudah semuanya terkumpul dengan sisa wajah bingung, antara kantuk dan panik karena mendengar suara ribuan auman-auman harimau yang menguncang-guncang isi dada mereka, auaman yang menggelegar menggema suaranya memukul-mukul dinding-dinding tebing lereng gunung Lawu.
  “adimas semua,  harap yang lengan kirinya ditandai kain kuning berkumpul di sisi  paling kiri, ada sesuatu pengumuman buat kalian, karena baru saja ditemukan hape di tempat istirahat kalian, itu melanggar aturan kami di pesanggrahan ini”
   Mas Ageng Sepah membuka suara dengan sebuah perintah, dan sontak semua yang berbaris meraba dan menengok ke arah lengan kiri mereka, yang merasa ada lilitan kain kuning segera bergegas berlari-larian berkumpul membentuk barisan di sisi kiri lapangan yang membentang luas itu.
    Sesosok tubuh mendekat, membuka topeng ikat kepala bercorak melati gadung yang menyembunyikan raut wajahnya, sosok yang mereka sangat kenal, sosok sepuh sang Dwija Wasana dari padepokan pusat, yang kini tiba-tiba sudah hadir di hadapan segenap pendekar muda yang berbaris di halamnan penginapan di pesanggrahan itu dengan dada yang masih menyisakan debar-debar yang menegangkan akibat pengaruh auman-auman harimau yang misterius itu.  
  Sosok sang legenda hidup pendekar gunung Lawu yang sangat mereka kenal kisah-kisahnya, kisah kehidupan penyintas sejarah dunia pendekar saat-saat negeri ini mengalami peristiwa kelam yang meminta korban nyawa begitu banyak putra-putrinya akibat perang saudara.
   Sosok sesepuh PSCP pusat yang kini berdiri dan masih terdiam, menunggu semuanya hadir di tempat itu.
   Udara atis kian menggigit, cahaya suram bulan di langit sesekali menjilat daratan manakala awan yang menyelimutinya tersibak saat begerak tertiup angin.
  Lalu gelap lagi, udara dingin yang kini beku memeluk erat suasana lereng gunung Lawu, pesanggrahan itu semakin senyap, walau penghuninya masih berbaris rapi di halaman utama padepokan bayangan, diam berdebar-debar ingin mendengar suara sang Dwija Wasana.
   Semua terdiam, suara auman harimau yang baru saja membebaskan mereka dari pengaruh ajian sirep itu masih membuat kesadaran mereka belum pulih, dan kini berdiri dengan memegang tongkat sang legenda pendekar gunung Lawu, Dwija Wasana.
   Sosok sepuh itu kemudian menyapa segenap yang ada dengan salam yang khas, suara yang memberi instruksi agar segenap yang berbaris melakukan beberapa gerakan dengan binaan pernafasan yang beliau pimpin sendiri sekaligus memberi contoh singkat.
   Dan tak lama kemudian pendekar-pendekar muda itu sudah mampu membebasakan diri mereka dari sisa sisa pengaruh aji sirep dan auman harimau itu dengan bimbingan sang Dwija Wasana sendiri.
   Sehingga barisan pendekar muda itu kini sudah bebas sepenuhnya dari pengaruh sirep dan suara auman-auman ribuan ekor harimau yang misterius itu.
    Serempak yang hadir mambalas salam sang guru besar, sang Dwija seperti biasa memberi wejangan-wejangan dan utamanya kepada pendekar muda yang melanggar aturan membawa hape di pesanggrahan, pendekar bandel yang malu menundukkan kepala dalam-dalam.
   Yang diberi nasehat menunduk malu dan menyesal, karena kenakalan mereka kini sudah ketahuan dan kini siap menghadapi sanksi.
   Pendekar muda yang melanggar aturan itu diberi nasehat agar mampu menahan diri dari godaan duniawi, karena pendekar-pendekar muda itu kini sampai pada tataran mematikan dan megendalikan hawa nafsu yang memanjakan kesenangan hidup yang bahkan menutup ketajaman mata bathin seorang kesatria pendekar dalam berdharma bhakti menjalankan sumpah pendekar mereka.
   Pendadaran maha berat yang merupakan bagian dari latihan calon warga Madya, latihan yang tujuan utamanya mengasah ketajaman bathin segenap pendekar muda itu.
   Sebuah laku spiritual dunia kanuragan nusantara yang mana pendadarannya sangat berat dan panjang, ibarat menempa besi dan baja yang diproses sedemikian rupa, di bakar, di proses terus menerus di panasnya kawah candradiumuka padepokan bayangan pencak silat Cempaka Putih.
   Proses penempaan yang panjang berliku-liku, agar cikal bakal besi dan baja itu lebur dan dapat di bentuk ulang, di tempa, dibakar, dicelupkan air, dibakar lagi, di tempa lagi dan dibentuk ulang lagi wujud kasarnya agar semakin tajam dan halus dan indah.
   Dan ketajaman itu akan muncul seiring laku yang maha berat,  ketajaman sebuah pusaka ampuh yang tajam yang terus menerus di asah sehingga menjelma menjadi sebilah  sebuah pusaka keramat yang ngedab-edabi, pusaka keramat dan tagguh tanggon serta limpat.
   Pendadaran yang akan mengubah kemalasan menajdi etos juang yang militan, sehingga segenap didikan padepokan bayangan itu sudah siap sedia lahir batin saat turun gunung utuk habis-habisan berjuang demi terciptanya harmoni serta keindahan dan kesejahteraan hidup, konsep inti dari semboyan agung kehidupan manusia nusantara, hamemayu rahayuning bawana langgeng.
  
#WiraCaktiTuranggaYudha
#SarduloSetoWiroYudhoWicaksono
#AjiPenyirepan
#AumanMacanSewu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia