PENDEKAR GUNUNG LAWU
BAGIAN PENDEKAR PENDAKI
Foto: Gunung/Wukir
Mahendra, Gunung Lawu, 3265 meter di atas permukaan laut, dengan suhu ekstrim
menjelang dini hari turun drastis dari 17 derajat menuju titik rendah nol
derajat yang membekukan embun menuntut setiap pendaki untuk bisa beradaptasi
dan bertahan dari udara dingin, lalu bagaimana kisah benturan udara beku itu
dengan kanuragan dari padepokan Wiro Yudho Wicaksono yang sumber utamanya berasal
dari penempaan kanuragan yang cakra energinya berwujud secara kewadagan berupa
panas dari jalur ilmu/teknik Brajamusti, ikuti selengkapnya, hanya di “PENDEKAR
GUNUNG LAWU BAGIAN 2 PENDEKAR PENDAKI”
Rombongan pendekar muda dari Kutai Barat, setelah lulus seleksi administrasi
fisik dan mental serta menjalani pendadaran di Kawah Candradimuka calon warga
Madya, mengikuti wisuda pengukuhan di padepokan Wiro Yudho Wicaksono di pusat.
Dalam perjalanan itulah mereka menemui berbagai macam kejadian yang
menjadi jejak pengalaman yang tergurat pada sebuah prasasti kehidupan.
Dan setelah usainya semua prosesi di padepokan selesai, dan dengan
dipandu seniornya, anak-anak muda dari pedalaman Kalimantan Timur itu, yang
sebagaian besar masih keturunan etnis Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengadakan
misi pendakian ke puncak gunung Lawu.
Misi yang sebenarnya sangat berbahaya dan sangat memerlukan perhitungan
yang sangat matang, namun dengan tekad sebagai bagian dari semboyan Wiro Yudho Wicaksono, sebuah semboyan perang untuk
mengalahkan segenap tantangan, hambatan dan halangan, mereka berhasil
menyatukan tekad, menuju ke puncak Lawu, titik 3265 m dpl.
Anak-anak muda ini adalah sebuah generasi
milenial, anak-anak muda yang tidak sembarangan, beda dengan pemuda-pemuda
kebanyakan yang menghabiskan waktu 24 jam main gem pabji, selama lima tahun
mereka telah di beri bekal senior-senior mereka di latihan dan pendidikan yang
sangat berat sebagai pondasi dasar kelak jika mereka sudah naik ke tataran
warga Madya.
Selama lima tahun mereka menempa diri setiap malam Minggu, sejak
matahari terbenam sampai jelang terbit sang fajar, fisik mereka di tempa, di
gembleng di asah sedemikian rupa, bagai menempa dan mengasah pusaka keramat sehingga
mereka kelak diharapkan sang senior-senior itu untuk tetap tegak teguh tatag
dan bisa bermanfaat bagi sesama.
Siaga selalu menjaga, megamankan dan melindungi tanah tumpah darahnya
dari berbagai aral rintangan gangguan dan ancaman baik nyata maupun tak kasat
mata.
Pendekar Gunung Lawu, Bagian 2, Pendaki Pendekar, fokus mengisahkan
petualangan anak-anak muda pemberani itu manakala menginjakkan kaki di titik
mula gerbang pendakian jalur Jawa Timur yang walau dengan trek tajam namun
dengan fisik yang prima bisa ditakklukkan dalam 4 sampai 7 jam saja, namun bagi
pendaki yang bersemboyan alon-alon watone kelakon, bisa 12 jam bahkan lebih,
alias setengah hari terseok-seok mendaki kontur tajam yang juga bahkan lebih
dari sudut 45 derajat kemiringannya.
Di setiap pos, baik pos utama maupun bayangan, anak-anak muda pendekar
pilihan ini selalu bertemu dengan bidadari gunung, srikandi gunung Lawu, hantu
rimba yang elok rupawan, baik yang datang dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun
kalangan lelembut alias hantu.
Pengalaman spiritual yang sangat memerlukan kemapanan dan kematangan
batin tingkat yang sudah mencapai tahapan tekan atau sampai pada pemahaman
esensi inti kebatinan dan spiritualisme kanuragan nusantara.
Dan semua itu harus diuji di sini, dimana roh semangat semboyan agung Suro
Diro Jayaningrat bakale Linebur Dening Pangastuti itu harus benar-benar mereka
jalani dengan tekad kuat namun tulus dan ikhlas.
Satu persatu pendekar muda itu diuji dengan kecantikan gadis-gadis
gunung Lawu, gadis-gadis khas era Majapahit menjelma ke berbagai sosok jelmaan yang sanggup membuat lebur dan leleh bahkan
sebuaah gunung Es raksasa!.
Selamat berpetualang via medsos, sengaja hal-hal yang berbau rahasia
perguruan kami cut karena di dunia maya semua isi fiksi yang bersumber fakta
kanuragan tingkat menengah.
Hal
ini menjadi bagian pendidikan karakter bagi warga Purwa yang siap naik ke
tataran Madya, dan rahasia-rahasia ini harus dijaga.
Dan andaikan rahasia-rahasia itu di ketahui publik umum non pelaku dunia
persilatan di pelajari dan di salah gunakan lewat jalur yang salah bisa
berakibat fatal.
Dan yang utama, semua kalangan dunia persilatan golongn putih yang
tentunya senantiasa ngemban dawuh semangat Sapta Wiraga Ikatan Pencak Silat
Indonesia yang jurus ke tujuh-nya bertaklimat: KAMI PESILAT INDONESIA ADALAH
KESATRIA YANG TAHAN UJI DALAM MENGHADAPI COBAAN DAN GODAAN.
Dan
sekali lagi, jika rahasia-rahasia itu diwedar/diungkapkan dan diketahui orang
awam serta di salahgunakan maka hal itu akan berbahaya jika disalah gunakannya
untuk berbuat kejahatan, kejahatan dari para pelaku pakiwan, pemuja nafsu
angkara murka.
Jadi bagian yang masih sinandi atau ditutupi itu hanya khusus untuk
intern warga PSCP yang sudah diuji kesetiaanya dalam ber-Panca Setia di tataran
Purwa, sehingga pula potongan sinandi itu bisa di temukan sisa-sisa puzzle-nya di
edisi Cetak Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat
Kaltim Edisi bulan November 2019, hanya di Pendekar Gunung Lawu Bagian 2,
Pendaki Pendekar, selamat membaca.
PENDEKAR PENDAKI
Hari masih pagi, Gerbang Pendakian jalur
Jawa Timur masih senyap, serombongan pendaki
yanag baru datang melepaskan bawaannya dan berkumpul di gerbang
pendakian, mendaftarkan segenap anggotanya.
Seorang petugas yang mengenakan seragam
Paguyuban Giri Lawu, turun, mengecek bawaan semua pendaki, ia agak heran saat
melihat sesuatu yang tak biasa.
“Maaf, ini apa mas, kok baunya harum bunga, maaf jika saya sok tahu,
sebaiknya berhati-hati, kain yang diberi wewangian tertentu dilarang di bawa
naik ke puncak mas, nanti malah tersesat dan kami harus susah payah mengirimkan
SAR buat para pendaki yang hilang”
Petugas itu bertanya keheranan pada pemilik tas gunung yang membuatnya
menaruh syak wasangka, ada bungkusan kain yang menebarkan bau harum bunga
setaman, bunga khas para penghayat aliran kebatinan nusantara, spiritualisme
kejawen, aliran kepercayaan yang setiap 1 Suro memadati zona pendakian.
Zona spiritualisme kebatinan kejawen yang membuat Gunung Lawu diselimuti
harum dupa, kemenyan, hio, bunga telon, dan aneka uba rampe sasajian khas
kearifan lokal nusantara lainnya dan di setiap tikungannya di letakkan/di
berikan beragam sesajian untuk memberi energi serta makanan roh-roh, wewujudan astral
dan lelembut yang sudah membuat harmonisasai antara dunia orang hidup dengan
dunia ghaib sehingga bumi nusantara tetap bisa menjadi patok pancer peradaban
yang mampu melebur dan di lebur dalam pandalungan budaya peradaban beraneka
ragam dengan semangat Bhinneka Tunggal
Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Seorang yang diseniorkan di rombongan
itu hanya tersenyum dengan santun ia menjawab pertanyaan petugas yang masih
sangat belia itu, petugas yang masih unyu-unyu, petugas yang berseragam kaos
bertuliskan Paguyuban Giri Lawu.
“niku namung sabuk sakral lare-lare silat mas, biasa, untuk gladhen
wonten ing redi Lawu”
Jawaban yang membuat sang petugas mengangguk hormat, ia tak berani
bertanya lebih jauh, karena kalau berurusan dengan kanuragan, silat, ataupun pendekar
yang muncak, bukan SAR yang di kerahkan menolongnya, namun para pendekar itu
yang dikerahkan membantu SAR mencari korban hilang yang lenyap tersesat kalap
di alam lelembut, alam tak kasat mata, alam Ghaib.
Dengan takzim dan hormat, sang petugas menyalami semua rombongan itu
dengan membungkuk-bungkuk.
Sangat menghormati, dan terkesan mengistimewakan sehingga segenap yang
di salami menjadi salah tingkah dan risi dengan perlakuan bak seorang hamba
sahaya kepada ndoro pangeran di istana klasik yang penuh keadaban, sopan dan
sangat jarang ditemui sikap itu di kehidupan milenial anak-anak muda itu.
Setelah semua mengisi daftar hadir di pos pendaftaran Cemoro Sewu,
mereka breafing khas anak-anak muda PSCP jika akan mengadakan kegiatan.
Seorang yang diseniorkan membuka kalimat breafing dengan salam:
“selamat pagi rekan-rekan semua,
Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarokatu, salam sejiwa raga, Wiro Yudho
Wicaksono”
Serenpak yang dilingkaran breafing menjawab.
“pagi mas Agus, Walaikum salam warahmatulahi
wabarokatu, Wiro Yudho Wicaksono!”
“terimaksih, tetap semangat, tetap
hidup, selamat datang di gerbang pendakian jalur Jatim, inilah lokasi yang
bernama Cemoro Sewu, Cemoro artinya pohon cemara sewu bermakna seribu, jadi di
lokasi ini saking banyaknya kanopi habitat tumbuhan jenis pinus dan cemara
berbagai kultur yang hidup menjadi bagian dari Zona Tangkapan Air untuk
masyarakat Monco Negari Wetan, baik Magetan, Ponorogo, Madiun, dan sekitarnya”
Ia melanjutkan kata-katanya setelah mengambil nafas, seulas senyum
menghias wajah sang senior, senyum penuh misteri, senyum yang malah berkesan
menyembunyikan sesuatu hal rahasia yang pelik.
“sebentar lagi, mas-mas semua akan menjalani berbagai macam pengalaman
dalam jalur-jalur pendakian yang panjang, nanti kalau ada apa-apa seperti
breafing kita semalam di padepokan, semua harus mentaati petunjuk teknis dan non
teknis seperti apa yang sudah kita latih, jangan sampai kalian malah gagal
muncak gara-gara godaan dari semua elemen hawa nafsu penggoda, jangan sampai
gagal kalian atasi rayuan-rayuannya, karena harus di ingat, di punggung kita
ini, di tas pendakian kita alias tas karier kita terselip sabuk sakral mori
pembungkus jenazah, hati-hati, karena semua energi ghaib akan mengikuti kita
sejak kaki kita masuk gerbang pendakian jalur Jawa Timur ini”.
Sesudah salah satu pendaki pendekar itu memimpin doa yang lumayan lama,
mereka menutupnya dengan gerakan khas jurus yang mencrminkan perguruan mereka
di PSCP, sebuah gerakan khas pendekar Gunung Lawu.
Semua tangan menyatu di tengah lingkarn, sang senior memimpin yel-yel
penyemangat:
“CEMPAKA PUTIIIIHHH…….JUUAAAYAAAA!!!!”
Rentetan yel-yel yang di ulang-ulang sampai tiga kali, sehingga gelegar
suara bariton yang menggema di lembah gerbang pendakian itu membuat terkejut
sekawanan burung Tekukur rimba yang saling berebut terbang saking kagetnya
mereka, bersirobok sesama kawan berebut mengepakkan sayap panik dan terbang
meninggalkan rimbunnya kanopi cemara hutan di mana mereka bertengger, kemudian
menghilang di kerimbunan Rimba Larangan, Hutan Lindung kawasan gunung Lawu yang
angker, lalu senyap.
Dan sesaat kemudian terdengar suara deru desau angin terdengar
menyayat-nyayat hati, suara angin yang mengiringi turunya kabut Lawu yang tebal
bergulung-gulung, dalam satu tarikan nafas, mereka kehilangan jarak pandang.
Setelah itu mereka bergerak, melangkah pelahan, matahari tertutup kabut,
sinarnya lemah meremang, sehingga bagi anak-anak muda Kubar itu, malah
mengingatkan bencana alam kabut asap di tanah mereka saat ada pembakaran lahan dan
hutan.
Namun ini bukan kabut asap, ia kabut megandung air yang atis, dingin dan
membuat menggigil, waduh, batin mereka sedikit mengeluh, baru juga mulai
mendaki di pintu gerbang sudah menggigil, gimana jika sudah di puncak yang
minus derajat suhunya, bisa beku jadi es batu, batin mereka menggumam-gumam.
Dan kini ada ketakutan yang tersembunyi, pendekar adalah manusia biasa,
ketakutan besar membuat otak tetap waras dan bisa berfikir untuk tetap hidup
dan menjadi seorang survivor sejati, menjadi penyintas yang tetap hidup, berani
hidup dan meraih tujuan hidup, itulah pendekar kehidupan yang sejati.
Dan di tanjakan pertama, mereka sudah
menemukan wajah-wajah yang enak dilihat, pendaki perempuan dengan tas karier
penuh muatan, pendaki perempuan yang tersenyum ramah setiap mereka mengangguk
ke arahnya, pendaki perempuan yang membuat anak-anak muda pedalaman Kaltim itu
cengengesan dan saling memandang dengan muka aneh pada sesamanya, muka-muka
penuh niat jahil yang hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu apa makna di balik
tawa cekikikan mereka itu.
Namun seseorang meneriakkan
sebuah kalimat:
“TAHAN GODAAN!”
Semua terdiam, fokus mengatur nafas, melangkah pelahan, hembusan nafas
di hidung keluar asap, udara ekstrim membuat bias uap air menjadi nampak
seperti asap, setiap berbicara, uap air berbentuk asap itu keluar dari mulut
dan hidung mereka.
“wah, gak ngrokok metu keluke, ngrokok metu keluke, enake ya ngerokok
saja”
Seseorang nyeletuk, merasa lucu dengan uap air berbentuk asap yang
setiap mereka berbicara deras menyembur dari mulutnya, seperti sensasi
menikmati makanan dingin bernitrogen.
Lalu ia menyalakan sebatang filter, menghembuskannya di udara, sama saja
wujud asap rokok asli dan uap air dari mulutnya, teman-temannya geli dengn
polah konyol teman karib mereka dari RJB itu.
“wah-wah Mam, cangkemu metu keluke padahal rokoknya ndak di isap,
hehehehe”
Seseorang nyeletuk sepontan, dan semua tertawa
berbarengan, tawa renyah menggema di sela rimbun kanopi pohon raksaa rimba
gunung Lawu. Kemudian mereka
melanjutkan langkah, satu-satu mengatur nafas, mensinkronkan gerak pikiran,
gerak langkah dengan pengaturan nafas yang masuk di hidung keluar di hidung dan
di seling sesekai masuk hidung di hembus di mulut dan sebaiknay, di hirup di
mulut dan di hembus di hidung secara intens, sehingga tak sampai lima menit
melangkah, tubuh mereka berpeluh, pakaian mereka basah, dan udara dingin yang
menyengat itu kini tak terasa lagi.
Imam masih asyik dengan rokok filternya, ia terkejut saat ada suara
muncul dari balik kabut.
“Mas, maaf bisa minta tolong difotoin ndak”
Imam terkejut, seorang gadis sudah berdiri di sisinya, karena ia di ujung
barisan, teman-temanya yang masih asyik mengobrol terdengar samar-samar di
depan, mereka tak tahu jika Imam berhenti karena dimintai tolong seorang gadis
untuk memotretnya.
Ia Jepret dua tiga kali, biar gadis itu memilih sendiri mana-mana hasil
jepretannya yang mungkin akan segera ia unggah di WA grup atau beranda efbinya
atau di stori instagramnya, maklum, gadis milenial, kapanpun dan dimanapun
selalu bikin apdet status, biar eksis di medsos berbagi aplikasi, biar punya
polower dan di sabskrib penggemarnya, dan jika punya jutaan penonton dan sabskriber
akan ada nilai ekonominya, jutaan bahkan em-eman dari endores berbagai prodak
dan iklan.
“sembah nuwun mas, njenengan kok sendirian, biasanya pendaki kan
rombongan”
“Iya mbak, kulo wau nggeh sak rombongan,
rencange mpun mlampah riyen, saya paling buntut, jadi harus cepat cepat nyusul”
Imam antara ragu dan senang, ragu, ingat Pesan mas Agus Melak, jika pos
pertama adalah pos godaan, baik kewadagan maupun tak kasat mata, terus ingat
tujuan kalian, dan tetap TaCoGo, Tahan Cobaan dan Godaan.
Gadis itu mengucapkan terimaksih, dan memberikan sebuah permen karet.
“ini mas buat mut-mutan, biar enak ngatur nafasnya, punya saya masih
banyak”
“matur nuwun mbak, ini punya saya juga masih banyak mut-mutannya, saya
bawa lebih banyak, maukan sampeyan”
Gadis itu tersenyum geli, ditawari mut-mutan, cowok yang memakai karier
di depannya juga nawarin mut-mutan, mut-mutan sang gadis permen karet dan
mut-mutan Imam nano-nano, permen kuno yang manis asem asin jadi satu rasanya,
permen kuno yang melambangkan cita rasa kehidupan yang ndak manis melulu.
Imam senang, harum segar pinus hutan menyatu dengan semerbak wangi sang
gadis yang sangat ramah mencoba mengajaknya ngobrol.
Gadis dari Salatiga, sedang menunggu temanya yang masih di gerbang bawah,
karena masih belanja beberapa kebutuhan, gadis yang mendadak akrab dengan Imam,
Imam Fachrozi, Warga Purwa yang kini naik tataran ke Madya, dan kini harus
segera menyusul tim pendaki pendekar Kubar menuju Hargo Dumilah di titik 3.265
m dpl, dan kini ia terjebak di titik 1.200 m dpl bersama gadis yang baru
dikenalnya, ingat tahan cobaan dan godaan, kalimat itu terngiang-ngiang di
gendang telinganya.
Imam berhasil keluar dari situasi yang bikin enak sekaligus tak enak itu,
dingin-dingin ngobrol asyik dengan gadis manis di pos pertama pendakian, susah
payah ia pamitan mau menyusul, walau sang gadis itu memohon-mohon agar jangan
ditinggal sendirian.
Wah, serba salah, diajak naik bareng masih nunggu temannya, di tinggal
katanya takut, Imam menghiburnya, bahwa ia yakin teman sang gadis akan segera
tiba dan itu pasti.
Kata-kata menghiburnya pada si gadis yang baru saja memberikan beberapa
biji permen karet, dan sang gadis harus melepaskannya, begitu bebas, kini malah
Imam setengah melompat-lompat mengejar rekan-rekanya yang suara-suaranya bahkan
kini sudah benar-benar lenyap, kabut di pos pertama makin menebal, udara makin
dingin, atis dan beraura mistis ndak ada kata romantis abis.
Imam kembali melanjutkan langkah, dinyalakannya sebatang filter, ia
isap-isap cepat seraya bergerak, satu dua melangkah, agak dipercepat, ia
tergesa menyusul rombogan, sudah beberapa saat ia tertahan oleh gadis yang bertahi
lalat di bibir kanan atas yang bahkan sempat memberinya permen karet.
“maaf mas, apakah panjenengan tadi
melihat teman saya, dia makek jaket Coklat, berkerudung warna krem, dan memakai
kaca mata sama seperti punya saya ini”
Dan tiba-tiba, berbarengan suara itu melintas cepat sesosok bayangan,
ternyata tubuh seorang gadis yang juga sangat tiba-tiba sekali sudah melompat
di tengah jalur landai dimana di tumbuhi rimbun rumput menghijau, jalur dimana
Imam tersengal-sengal nafasnya akibat banyak menghisap nikotin beracun,
paru-parunya panas, dan kini tiba-tiba muncul mahluk lain, seorang gadis yang
juga nampak akan membuatnya semakin kehilangan waktu sehingga jaraknya dengan
rombongan pendekar RJB itu akan makin melebar jauh, dan ia sedikit cemas.
Dalam hati Imam ngudarasa, ah ini pasti gadis manusia biasa yang juga
sama seperti saya, mas Agus melak bilang, jika sosok lelembut atau jin, mulut,
mata, hidungnya atau bagian wadag yang lain nampak agak janggal dan tidak
sesimetris jasad wadag manusia jika kita perhatikan dengan seksama dengan
pikiran yang meneb.
Imam memejamkan mata sejenak, mengatur jalan nafas, memusatkan titik
tertinggi kesadaran aura cakranya, mencoba mendeteksi sosok di depannya, apakah
gadis dari dunia manusia atau dari alam ghoib.
Gadis di depannya tegak mematung, di antara gumpalan kabut yang tebal,
sosok itu meremang-remang dan seakan-akan wujud maya yang samar, namun ia
melangkah, mendekati Imam yang kini berdebar menahan gejolak perasaan yang
membuncah.
Imam berkalkulasi, si gadis bertahi lalat di bawah tadi, yang ciri-cirinya
sama seperti yang di tanyakan sosok gadis di depannya itu menunggu temannya
yang masih di gerbang pendakian bawah sana, kok ini yang muncul lain lagi, dari
atas tanjakan lagi, wah, jangan-jangan, Imam menelan ludah, ada yang bergetar
hebat di dadanya, Glek, ia menulan ludah, mencoba menata rasa mengatur nafas.
“wah, ada mbak, sampeyan turun, di tikungan bawah tadi teman mbak sudah
nunggu, ia sempat minta tolong saya memotretnya karena nunggu teman ndak
muncul, lalu siapa pula mbak ini”
Gadis itu makin dekat, wangi pandan kuburan menyengat tajam, Imam hafal
bau itu, sekian lama terjun di kesenian Kuda Lumping, ia sangat hafal bau-bauan
yang beraroma mistis itu, dan bau itu begitu kuat keluar dari tubuh gadis di depannya.
Gadis dengan celana gunung coklat tanah, kaos hitam di dada kiri ada
logo tengkorak putih, tangan kiri memakai tali benang telon dan jam tangan
cewek warna hitam, jelas sudah, ini bukan bangsa manusia, Imam menelan ludah panik,
Glek!.
Ia yakin, tanda tengkorak putih di dada kiri gadis itu isyarat bahwa
sosok di depannya bukan bangsa manusia biasa, pasti lelembut seperi pesan mas
Agus melak, cari tanda yang ganjil, dan tanda itu dua kali ia temukan, harum
wangi pandan kuburan dan tanda tengkorak putih, Imam yakin, dan ia harus bisa
lolos dari lokasi ghaib ini.
Imam berdiri tegak, sebelum sosok itu benar-benar mendekat tepat di
depannya, ia menarik nafas, memejamkan mata, memohon kekuatan Sang Maha
Pengasih dan Penyayang, mohon kekuatan agar lepas terhindar dari mara bahaya,
ia memusatkan sebuah titik konsentrasi, berusaha mendengarkan suara hembusan
angin yang membelai hutan cemara di pos I.
Usahanya tak sia-sia, harum pandan kuburan itu tak lagi membuatnya
pening, dan pelahan-lahan ia membuka matanya saat suara angin yang menggoyang
dedaunan hutan cemara itu bahkan telah mengusir kabut tebal yang
bergumpal-gumpal menutup jarak pandang, sosok gadis berkerudung dan ada tanda
tengkorak putih di dada kirinya itu benar-benar lenyap, ia hanya melihat seekor
Tekukur rimba yang terbang dari hadapannya, terbang tingi lalu lenyap di
rerimbunan rimba Lawu.
Imam melanjutkan perjalanan, samar-samar terdengar teriakan dan tawa
teman-temannya di ujung tikungan, ia benahi tali kariernya, kemudian bergegas
memacu langkah, berharap segera menyusul teman-temannya yang sudah beberapa
saat terpisah darinya.
Di kejauhan, ia melihat seorang gadis lagi, sosok gadis yang susah payah
meletakkan kamera DSLR-nya pada sebatang pohon tumbang, rupanya ia ingin berswa
poto, karena tak ada tongsis dan tripot, ia taruh kameranya di pohon tumbang,
lalu ia berlari lagi melihat hasil fotonya itu.
Imam takut, itu hantu gunung, ia waspada, ayat-ayat suci yang kebetulan
ia ingat ia baca banyak-banyak, berulang-ulang, berharap sosok di depannya segera
lenyap saja.
Semakin dekat sosok itu makin jelas, makin jelas, sinar matahari cerah,
rambut sosok yang ternyata seorang gadis itu berkilau terang karena cuaca
mendadak makin cerah makin cerah.
Imam lega, tadi kabut melulu, sekarang agak hangat, udara sangat cerah, gabungan
hawa sejuk dan hangat membuatnya nyaman melangkah, saat tiba di dekat sang
gadis, malah ia bingung sendiri, karena dialog di pos bawah tadi seperti
terulang namun dengan logat berbeda, namun sama persis.
Si gadis minta tolong di fotokan, Imam segera membantu, di zoomnya
kamera itu dekat-dekat, namun kali ini sang gadis cepat-cepat memakai kaca
matanya saat Matahari makin silau bersinar.
“tunggu mas, saya pakai tas saya, biar keren jadinya nanti, maaf, tunggu
bentar”
Lalu ia memakai tas kariernya, Imam menikamti lagi sesi zoom, mengamati
sekaligus mencari keganjilan, jika ia sosok ghaib, tentu ia segera tahu seperti
saat ia menemukan gambar tengkorak putih di dada kiri gadis hantu di bawah
tadi.
Ia ambil beberapa gambar menjepret cepat dua tiga pengambilan yang
presisi, sesosok gadis yang tersenyum dengan latar tebing anak gunung Lawu di
ketinggian 1500 m dpl, lalu ia zoom ke arah bajunya, kaos putih dengan tonjolan
dada yang membuatnya menahan nafas.
“sudah mbak, baik saya lanjutkan lagi ya, ini kameranya mbak, saya
lanjut naik lagi ya”
“tunggu-tunggu mas, saya lihat dulu
hasilnya’
Sang gadis segera menyerbu ke arah Imam Fachrozi, anak muda RJB yang
sedang menjalankan misi ke titik 3265 m dpl.
Gadis itu merapat ke Imam, melihat dengan antusias hasil jepretan dari
pemuda yang ia mintai tolong, Imam mati kata mati gaya, hanya diam saja, parfum
sang gadis wangi wajar, bukan bau wangi mistis.
Tak sengaja kejadian itulah titik mula yang membuat darah Imam bergolak,
manakala sang gadis merapatkan tubuh, hal mana membuat Imam menelan ludah panic,
mak glek, dan tubuh gadis itu makin kuat menekan bahunya yang masih memegang
kamera DSLR yang lumayan berat, lalu terdengar lirih suara ludah tertelan glek,
glek dua kali lagi menelan ludah.
Bahunya di tekan dada sang gadis yang gambar besarnya sudah berhasil ia
zoom barusan tadi, tonjolan dada yang beberapa saat lalu dilihatnya di hasil
pengezoomaan maksimal sehingga nampak amat sangat-sangat jumbo itu kini menghantam
bahunya, kelembutan hangat menyeruak, membuat darah mengalir cepat, wangi gadis
dengan rambut terurai, dimana sisi bagian tubuh indahnya menghimpit sedemikian
rupa, TAHAN GODAAANNN!.
Dalam hati Imam berteriak sekuat tenaga,
lalu sang gadis mengambil kameranya, diceknya foto-foto itu, di lihatnya
sekilas-sekilas, ia tertawa dengan tertahan, nampak senang dengan hasil
jepretan Imam yang ia anggap sesuai dengan ekspetasinya.
“maaf mas, aku janji ini terakhir, sekarang
aku foto makek kaos komunitas saja, pliiss ya mas, tolong banget, masnya keren,
bisa ngambil angelnya mantul”
Imam tak kuasa, ia bagai kerbau di cocok hidungnya, menerima kembali
DSLR itu, di ambilnya lagi beberapa gambar, lalu ia Zoom ke arah yang sama,
mencari sesuatu yang membuatnya senang, kesenangan mata lelaki yang sedang
mendaki puncak gunung, kesenangan mata iseng melihat puncak yang lain!.
Mendadak Imam tak bisa bernafas, saat ia Zoom dekat, di kaos sang gadis
tergurat gambar tengkorak putih, lebih kaget lagi kaos putihnya berubah jadi
hitam, ia arahkan sedikit ke atas, wajah sang gadis kini bertaring yang mencuat
di sudut bibirnya kanan dan kiri, gadis yang tajam memandangnya, memandang
dengan sorot mata merah penuh amarah.
Sesaat tadi ia asyik ngezoom, ambil beberap gambar, berhenti dan ngezoom
lagi di titik yang ia suka, senyum-senyum sendiri karena ada sosok mantul yang
berpose bebas juga di alam bebas yang ciamik keindahannya, tak sadar ia bahwa
ia ada di gunung terangker tanah Jawa.
Kini di layar DSLR-nya, sosok gadis itu berubah lagi jadi wajah gadis
hantu berkerudung yang berbau pandan kuburan tadi.
Bau yang sama yang kini juga kuat menyeruak membuat Imam pening
mendadak, tak kalah kaget, di kamera DSLR itu nampak juga berubah lagi sang
gadis jadi gadis berkerudung yang bibir kanannya ada tahi lalatnya, berubah
lagi jadi gadis yang rambutnya panjang terurai, semua wajah itu kini
memancarkan warna menyala, warna merah kelam penuh kemarahan, wajah gadis yang
kini bertaring.
Jelas sudah, Imam, sang pendekar pendaki itu memilih langkah aman,
berlari sesaat setelah ia letakkan DSLR itu hati-hati, ia berlari menaiki
tanjakan, meninggalkan sosok yang kini berubah menjadi tiga wujud yang berbeda,
ia tak siap berhadapan dengan hantu rimba gunung Lawu.
Jika ada lagu mundur alon-alon yang lagi viral, kini berbanding 180
derajat, ia maju terbirit-birit, maju menaiki kontur tanjakan tajam menyusul
teman-temannya yang sudah berjalan lebih dahulu, hilang sesaat dari
pandangannya.
Sosok yang mengerikan itupun lenyap seketika, berubah menjadi seekor
burung Tekukur liar yang mengepakkan sayapnya, terbang menghilang seiring kabut
tebal menyelimuti kawasan itu, temaram sinar matahari membuat udara dingin
ekstrim mendadak mewarnai suasana siang, siang senyap di ketinggian gunung Lawu
yang wingit.
Jelang pos II, di pos bayangan, Imam menemui kawan-kawannya yang sedang
istirahat kecapekan, karena mereka baru saja meditasi, membuka gerbang ghaib,
agar Imam teman mereka yang mendadak hilang di telan kabut bisa kembali lagi ke
dunia.
Semua lega, Imam muncul tiba-tiba dari rimbun belukar, muncul bersamaan
kabut dan udara dingin yang menyeruak tiba-tiba.
Imam tak tergoda dan tabah, bisa menahan, menangkal dan menetralisir
godaan dari sosok-sosok bertubuh indah yang sampai tiga kali berusaha merayunya
dengan segala cara, Imam bersyukur kepada Sang Maha Pemurah, masih di beri
kesempatan berkumpul dan melanjutkan misi sampai di titik 3265 m dpl.
WIRO YUDHO WICAKSONO !
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI !
MELU HANDARBENI-HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRA HANGRASA WANI !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar