Senin, 02 Desember 2019

PENDEKAR GUNUNG LAWU (MISTERI ALAM GHOIB)



PENDEKAR GUNUNG LAWU

BAGIAN  PENDEKAR PENDAKI
Foto: Gunung/Wukir Mahendra, Gunung Lawu, 3265 meter di atas permukaan laut, dengan suhu ekstrim menjelang dini hari turun drastis dari 17 derajat menuju titik rendah nol derajat yang membekukan embun menuntut setiap pendaki untuk bisa beradaptasi dan bertahan dari udara dingin, lalu bagaimana kisah benturan udara beku itu dengan kanuragan dari padepokan Wiro Yudho Wicaksono yang sumber utamanya berasal dari penempaan kanuragan yang cakra energinya berwujud secara kewadagan berupa panas dari jalur ilmu/teknik Brajamusti, ikuti selengkapnya, hanya di “PENDEKAR GUNUNG LAWU BAGIAN 2 PENDEKAR PENDAKI”
   Rombongan pendekar muda dari Kutai Barat, setelah lulus seleksi administrasi fisik dan mental serta menjalani pendadaran di Kawah Candradimuka calon warga Madya, mengikuti wisuda pengukuhan di padepokan Wiro Yudho Wicaksono di pusat.
   Dalam perjalanan itulah mereka menemui berbagai macam kejadian yang menjadi jejak pengalaman yang tergurat pada sebuah prasasti kehidupan.
  Dan setelah usainya semua prosesi di padepokan selesai, dan dengan dipandu seniornya, anak-anak muda dari pedalaman Kalimantan Timur itu, yang sebagaian besar masih keturunan etnis Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengadakan misi pendakian ke puncak gunung Lawu.
   Misi yang sebenarnya sangat berbahaya dan sangat memerlukan perhitungan yang sangat matang, namun dengan tekad sebagai bagian dari semboyan Wiro  Yudho Wicaksono, sebuah semboyan perang untuk mengalahkan segenap tantangan, hambatan dan halangan, mereka berhasil menyatukan tekad, menuju ke puncak Lawu, titik 3265 m dpl.
   Anak-anak muda ini adalah sebuah generasi milenial, anak-anak muda yang tidak sembarangan, beda dengan pemuda-pemuda kebanyakan yang menghabiskan waktu 24 jam main gem pabji, selama lima tahun mereka telah di beri bekal senior-senior mereka di latihan dan pendidikan yang sangat berat sebagai pondasi dasar kelak jika mereka sudah naik ke tataran warga Madya.
   Selama lima tahun mereka menempa diri setiap malam Minggu, sejak matahari terbenam sampai jelang terbit sang fajar, fisik mereka di tempa, di gembleng di asah sedemikian rupa, bagai menempa dan mengasah pusaka keramat sehingga mereka kelak diharapkan sang senior-senior itu untuk tetap tegak teguh tatag dan bisa bermanfaat bagi sesama.
  Siaga selalu menjaga, megamankan dan melindungi tanah tumpah darahnya dari berbagai aral rintangan gangguan dan ancaman baik nyata maupun tak kasat mata.
    Pendekar Gunung Lawu, Bagian 2, Pendaki Pendekar, fokus mengisahkan petualangan anak-anak muda pemberani itu manakala menginjakkan kaki di titik mula gerbang pendakian jalur Jawa Timur yang walau dengan trek tajam namun dengan fisik yang prima bisa ditakklukkan dalam 4 sampai 7 jam saja, namun bagi pendaki yang bersemboyan alon-alon watone kelakon, bisa 12 jam bahkan lebih, alias setengah hari terseok-seok mendaki kontur tajam yang juga bahkan lebih dari sudut 45 derajat kemiringannya.
  Di setiap pos, baik pos utama maupun bayangan, anak-anak muda pendekar pilihan ini selalu bertemu dengan bidadari gunung, srikandi gunung Lawu, hantu rimba yang elok rupawan, baik yang datang dari kalangan pelajar, mahasiswa maupun kalangan lelembut alias hantu.
  Pengalaman spiritual yang sangat memerlukan kemapanan dan kematangan batin tingkat yang sudah mencapai tahapan tekan atau sampai pada pemahaman esensi inti kebatinan dan spiritualisme kanuragan nusantara.
   Dan semua itu harus diuji di sini, dimana roh semangat semboyan agung Suro Diro Jayaningrat bakale Linebur Dening Pangastuti itu harus benar-benar mereka jalani dengan tekad kuat namun tulus dan ikhlas.
   Satu persatu pendekar muda itu diuji dengan kecantikan gadis-gadis gunung Lawu, gadis-gadis khas era Majapahit menjelma ke berbagai sosok jelmaan  yang sanggup membuat lebur dan leleh bahkan sebuaah gunung Es raksasa!.
  Selamat berpetualang via medsos, sengaja hal-hal yang berbau rahasia perguruan kami cut karena di dunia maya semua isi fiksi yang bersumber fakta kanuragan tingkat menengah.
  Hal ini menjadi bagian pendidikan karakter bagi warga Purwa yang siap naik ke tataran Madya, dan rahasia-rahasia ini harus dijaga.
   Dan andaikan rahasia-rahasia itu di ketahui publik umum non pelaku dunia persilatan di pelajari dan di salah gunakan lewat jalur yang salah bisa berakibat fatal.
   Dan yang utama, semua kalangan dunia persilatan golongn putih yang tentunya senantiasa ngemban dawuh semangat Sapta Wiraga Ikatan Pencak Silat Indonesia yang jurus ke tujuh-nya bertaklimat: KAMI PESILAT INDONESIA ADALAH KESATRIA YANG TAHAN UJI DALAM MENGHADAPI COBAAN DAN GODAAN.
  Dan sekali lagi, jika rahasia-rahasia itu diwedar/diungkapkan dan diketahui orang awam serta di salahgunakan maka hal itu akan berbahaya jika disalah gunakannya untuk berbuat kejahatan, kejahatan dari para pelaku pakiwan, pemuja nafsu angkara murka.
  Jadi bagian yang masih sinandi atau ditutupi itu hanya khusus untuk intern warga PSCP yang sudah diuji kesetiaanya dalam ber-Panca Setia di tataran Purwa, sehingga pula potongan sinandi itu bisa di temukan sisa-sisa puzzle-nya di edisi Cetak Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat Kaltim Edisi bulan November 2019, hanya di Pendekar Gunung Lawu Bagian 2, Pendaki Pendekar, selamat membaca.
PENDEKAR PENDAKI
   Hari masih pagi, Gerbang Pendakian jalur Jawa Timur masih senyap, serombongan pendaki  yanag baru datang melepaskan bawaannya dan berkumpul di gerbang pendakian, mendaftarkan segenap anggotanya.
   Seorang petugas yang mengenakan seragam Paguyuban Giri Lawu, turun, mengecek bawaan semua pendaki, ia agak heran saat melihat sesuatu yang tak biasa.
   “Maaf, ini apa mas, kok baunya harum bunga, maaf jika saya sok tahu, sebaiknya berhati-hati, kain yang diberi wewangian tertentu dilarang di bawa naik ke puncak mas, nanti malah tersesat dan kami harus susah payah mengirimkan SAR buat para pendaki yang hilang”
  Petugas itu bertanya keheranan pada pemilik tas gunung yang membuatnya menaruh syak wasangka, ada bungkusan kain yang menebarkan bau harum bunga setaman, bunga khas para penghayat aliran kebatinan nusantara, spiritualisme kejawen, aliran kepercayaan yang setiap 1 Suro memadati zona pendakian.
   Zona spiritualisme kebatinan kejawen yang membuat Gunung Lawu diselimuti harum dupa, kemenyan, hio, bunga telon, dan aneka uba rampe sasajian khas kearifan lokal nusantara lainnya dan di setiap tikungannya di letakkan/di berikan beragam sesajian untuk memberi energi serta makanan roh-roh, wewujudan astral dan lelembut yang sudah membuat harmonisasai antara dunia orang hidup dengan dunia ghaib sehingga bumi nusantara tetap bisa menjadi patok pancer peradaban yang mampu melebur dan di lebur dalam pandalungan budaya peradaban beraneka ragam dengan  semangat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.


  Seorang yang diseniorkan di rombongan itu hanya tersenyum dengan santun ia menjawab pertanyaan petugas yang masih sangat belia itu, petugas yang masih unyu-unyu, petugas yang berseragam kaos bertuliskan Paguyuban Giri Lawu.
  “niku namung sabuk sakral lare-lare silat mas, biasa, untuk gladhen wonten ing redi Lawu”
   Jawaban yang membuat sang petugas mengangguk hormat, ia tak berani bertanya lebih jauh, karena kalau berurusan dengan kanuragan, silat, ataupun pendekar yang muncak, bukan SAR yang di kerahkan menolongnya, namun para pendekar itu yang dikerahkan membantu SAR mencari korban hilang yang lenyap tersesat kalap di alam lelembut, alam tak kasat mata, alam Ghaib.
  Dengan takzim dan hormat, sang petugas menyalami semua rombongan itu dengan membungkuk-bungkuk.
   Sangat menghormati, dan terkesan mengistimewakan sehingga segenap yang di salami menjadi salah tingkah dan risi dengan perlakuan bak seorang hamba sahaya kepada ndoro pangeran di istana klasik yang penuh keadaban, sopan dan sangat jarang ditemui sikap itu di kehidupan milenial anak-anak muda itu.
   Setelah semua mengisi daftar hadir di pos pendaftaran Cemoro Sewu, mereka breafing khas anak-anak muda PSCP jika akan mengadakan kegiatan.
   Seorang yang diseniorkan membuka kalimat breafing dengan salam:
“selamat pagi rekan-rekan semua, Assalamualaikum Warahmatulahi Wabarokatu, salam sejiwa raga, Wiro Yudho Wicaksono”
   Serenpak yang dilingkaran breafing menjawab.
“pagi mas Agus, Walaikum salam warahmatulahi wabarokatu, Wiro Yudho Wicaksono!”
“terimaksih, tetap semangat, tetap hidup, selamat datang di gerbang pendakian jalur Jatim, inilah lokasi yang bernama Cemoro Sewu, Cemoro artinya pohon cemara sewu bermakna seribu, jadi di lokasi ini saking banyaknya kanopi habitat tumbuhan jenis pinus dan cemara berbagai kultur yang hidup menjadi bagian dari Zona Tangkapan Air untuk masyarakat Monco Negari Wetan, baik Magetan, Ponorogo, Madiun, dan sekitarnya”
   Ia melanjutkan kata-katanya setelah mengambil nafas, seulas senyum menghias wajah sang senior, senyum penuh misteri, senyum yang malah berkesan menyembunyikan sesuatu hal rahasia yang pelik.
   “sebentar lagi, mas-mas semua akan menjalani berbagai macam pengalaman dalam jalur-jalur pendakian yang panjang, nanti kalau ada apa-apa seperti breafing kita semalam di padepokan, semua harus mentaati petunjuk teknis dan non teknis seperti apa yang sudah kita latih, jangan sampai kalian malah gagal muncak gara-gara godaan dari semua elemen hawa nafsu penggoda, jangan sampai gagal kalian atasi rayuan-rayuannya, karena harus di ingat, di punggung kita ini, di tas pendakian kita alias tas karier kita terselip sabuk sakral mori pembungkus jenazah, hati-hati, karena semua energi ghaib akan mengikuti kita sejak kaki kita masuk gerbang pendakian jalur Jawa Timur ini”.
   Sesudah salah satu pendaki pendekar itu memimpin doa yang lumayan lama, mereka menutupnya dengan gerakan khas jurus yang mencrminkan perguruan mereka di PSCP, sebuah gerakan khas pendekar Gunung Lawu.
   Semua tangan menyatu di tengah lingkarn, sang senior memimpin yel-yel penyemangat:
   “CEMPAKA PUTIIIIHHH…….JUUAAAYAAAA!!!!”
   Rentetan yel-yel yang di ulang-ulang sampai tiga kali, sehingga gelegar suara bariton yang menggema di lembah gerbang pendakian itu membuat terkejut sekawanan burung Tekukur rimba yang saling berebut terbang saking kagetnya mereka, bersirobok sesama kawan berebut mengepakkan sayap panik dan terbang meninggalkan rimbunnya kanopi cemara hutan di mana mereka bertengger, kemudian menghilang di kerimbunan Rimba Larangan, Hutan Lindung kawasan gunung Lawu yang angker, lalu senyap.
  Dan sesaat kemudian terdengar suara deru desau angin terdengar menyayat-nyayat hati, suara angin yang mengiringi turunya kabut Lawu yang tebal bergulung-gulung, dalam satu tarikan nafas, mereka kehilangan jarak pandang.
   Setelah itu mereka bergerak, melangkah pelahan, matahari tertutup kabut, sinarnya lemah meremang, sehingga bagi anak-anak muda Kubar itu, malah mengingatkan bencana alam kabut asap di tanah mereka saat ada pembakaran lahan dan hutan.
   Namun ini bukan kabut asap, ia kabut megandung air yang atis, dingin dan membuat menggigil, waduh, batin mereka sedikit mengeluh, baru juga mulai mendaki di pintu gerbang sudah menggigil, gimana jika sudah di puncak yang minus derajat suhunya, bisa beku jadi es batu, batin mereka menggumam-gumam.
   Dan kini ada ketakutan yang tersembunyi, pendekar adalah manusia biasa, ketakutan besar membuat otak tetap waras dan bisa berfikir untuk tetap hidup dan menjadi seorang survivor sejati, menjadi penyintas yang tetap hidup, berani hidup dan meraih tujuan hidup, itulah pendekar kehidupan yang sejati.
   Dan di tanjakan pertama, mereka sudah menemukan wajah-wajah yang enak dilihat, pendaki perempuan dengan tas karier penuh muatan, pendaki perempuan yang tersenyum ramah setiap mereka mengangguk ke arahnya, pendaki perempuan yang membuat anak-anak muda pedalaman Kaltim itu cengengesan dan saling memandang dengan muka aneh pada sesamanya, muka-muka penuh niat jahil yang hanya Tuhan dan mereka saja yang tahu apa makna di balik tawa cekikikan mereka itu.
      Namun seseorang meneriakkan sebuah kalimat:
“TAHAN GODAAN!”
  Semua terdiam, fokus mengatur nafas, melangkah pelahan, hembusan nafas di hidung keluar asap, udara ekstrim membuat bias uap air menjadi nampak seperti asap, setiap berbicara, uap air berbentuk asap itu keluar dari mulut dan hidung mereka.
    “wah, gak ngrokok metu keluke, ngrokok metu keluke, enake ya ngerokok saja”
   Seseorang nyeletuk, merasa lucu dengan uap air berbentuk asap yang setiap mereka berbicara deras menyembur dari mulutnya, seperti sensasi menikmati makanan dingin bernitrogen.
   Lalu ia menyalakan sebatang filter, menghembuskannya di udara, sama saja wujud asap rokok asli dan uap air dari mulutnya, teman-temannya geli dengn polah konyol teman karib mereka dari RJB itu.
  “wah-wah Mam, cangkemu metu keluke padahal rokoknya ndak di isap, hehehehe”
 Seseorang nyeletuk sepontan, dan semua tertawa berbarengan, tawa renyah menggema di sela rimbun kanopi pohon raksaa rimba gunung Lawu.   Kemudian mereka melanjutkan langkah, satu-satu mengatur nafas, mensinkronkan gerak pikiran, gerak langkah dengan pengaturan nafas yang masuk di hidung keluar di hidung dan di seling sesekai masuk hidung di hembus di mulut dan sebaiknay, di hirup di mulut dan di hembus di hidung secara intens, sehingga tak sampai lima menit melangkah, tubuh mereka berpeluh, pakaian mereka basah, dan udara dingin yang menyengat itu kini tak terasa lagi.
   Imam masih asyik dengan rokok filternya, ia terkejut saat ada suara muncul dari balik kabut.
  “Mas, maaf bisa minta tolong difotoin ndak”
   Imam terkejut, seorang gadis sudah berdiri di sisinya, karena ia di ujung barisan, teman-temanya yang masih asyik mengobrol terdengar samar-samar di depan, mereka tak tahu jika Imam berhenti karena dimintai tolong seorang gadis untuk memotretnya.
   Ia Jepret dua tiga kali, biar gadis itu memilih sendiri mana-mana hasil jepretannya yang mungkin akan segera ia unggah di WA grup atau beranda efbinya atau di stori instagramnya, maklum, gadis milenial, kapanpun dan dimanapun selalu bikin apdet status, biar eksis di medsos berbagi aplikasi, biar punya polower dan di sabskrib penggemarnya, dan jika punya jutaan penonton dan sabskriber akan ada nilai ekonominya, jutaan bahkan em-eman dari endores berbagai prodak dan iklan.
   “sembah nuwun mas, njenengan kok sendirian, biasanya pendaki kan rombongan”
“Iya mbak, kulo wau nggeh sak rombongan, rencange mpun mlampah riyen, saya paling buntut, jadi harus cepat cepat nyusul”
   Imam antara ragu dan senang, ragu, ingat Pesan mas Agus Melak, jika pos pertama adalah pos godaan, baik kewadagan maupun tak kasat mata, terus ingat tujuan kalian, dan tetap TaCoGo, Tahan Cobaan dan Godaan.
   Gadis itu mengucapkan terimaksih, dan memberikan sebuah permen karet.
  “ini mas buat mut-mutan, biar enak ngatur nafasnya, punya saya masih banyak”
  “matur nuwun mbak, ini punya saya juga masih banyak mut-mutannya, saya bawa lebih banyak, maukan sampeyan”
  Gadis itu tersenyum geli, ditawari mut-mutan, cowok yang memakai karier di depannya juga nawarin mut-mutan, mut-mutan sang gadis permen karet dan mut-mutan Imam nano-nano, permen kuno yang manis asem asin jadi satu rasanya, permen kuno yang melambangkan cita rasa kehidupan yang ndak manis melulu.
   Imam senang, harum segar pinus hutan menyatu dengan semerbak wangi sang gadis yang sangat ramah mencoba mengajaknya ngobrol.
  Gadis dari Salatiga, sedang menunggu temanya yang masih di gerbang bawah, karena masih belanja beberapa kebutuhan, gadis yang mendadak akrab dengan Imam, Imam Fachrozi, Warga Purwa yang kini naik tataran ke Madya, dan kini harus segera menyusul tim pendaki pendekar Kubar menuju Hargo Dumilah di titik 3.265 m dpl, dan kini ia terjebak di titik 1.200 m dpl bersama gadis yang baru dikenalnya, ingat tahan cobaan dan godaan, kalimat itu terngiang-ngiang di gendang telinganya.
  Imam berhasil keluar dari situasi yang bikin enak sekaligus tak enak itu, dingin-dingin ngobrol asyik dengan gadis manis di pos pertama pendakian, susah payah ia pamitan mau menyusul, walau sang gadis itu memohon-mohon agar jangan ditinggal sendirian.
  Wah, serba salah, diajak naik bareng masih nunggu temannya, di tinggal katanya takut, Imam menghiburnya, bahwa ia yakin teman sang gadis akan segera tiba dan itu pasti.
   Kata-kata menghiburnya pada si gadis yang baru saja memberikan beberapa biji permen karet, dan sang gadis harus melepaskannya, begitu bebas, kini malah Imam setengah melompat-lompat mengejar rekan-rekanya yang suara-suaranya bahkan kini sudah benar-benar lenyap, kabut di pos pertama makin menebal, udara makin dingin, atis dan beraura mistis ndak ada kata romantis abis.
   Imam kembali melanjutkan langkah, dinyalakannya sebatang filter, ia isap-isap cepat seraya bergerak, satu dua melangkah, agak dipercepat, ia tergesa menyusul rombogan, sudah beberapa saat ia tertahan oleh gadis yang bertahi lalat di bibir kanan atas yang bahkan sempat memberinya permen karet.
   “maaf mas, apakah panjenengan tadi melihat teman saya, dia makek jaket Coklat, berkerudung warna krem, dan memakai kaca mata sama seperti punya saya ini”
   Dan tiba-tiba, berbarengan suara itu melintas cepat sesosok bayangan, ternyata tubuh seorang gadis yang juga sangat tiba-tiba sekali sudah melompat di tengah jalur landai dimana di tumbuhi rimbun rumput menghijau, jalur dimana Imam tersengal-sengal nafasnya akibat banyak menghisap nikotin beracun, paru-parunya panas, dan kini tiba-tiba muncul mahluk lain, seorang gadis yang juga nampak akan membuatnya semakin kehilangan waktu sehingga jaraknya dengan rombongan pendekar RJB itu akan makin melebar jauh, dan ia sedikit cemas.
  Dalam hati Imam ngudarasa, ah ini pasti gadis manusia biasa yang juga sama seperti saya, mas Agus melak bilang, jika sosok lelembut atau jin, mulut, mata, hidungnya atau bagian wadag yang lain nampak agak janggal dan tidak sesimetris jasad wadag manusia jika kita perhatikan dengan seksama dengan pikiran yang meneb.
  Imam memejamkan mata sejenak, mengatur jalan nafas, memusatkan titik tertinggi kesadaran aura cakranya, mencoba mendeteksi sosok di depannya, apakah gadis dari dunia manusia atau dari alam ghoib.
   Gadis di depannya tegak mematung, di antara gumpalan kabut yang tebal, sosok itu meremang-remang dan seakan-akan wujud maya yang samar, namun ia melangkah, mendekati Imam yang kini berdebar menahan gejolak perasaan yang membuncah.
  Imam berkalkulasi, si gadis bertahi lalat di bawah tadi, yang ciri-cirinya sama seperti yang di tanyakan sosok gadis di depannya itu menunggu temannya yang masih di gerbang pendakian bawah sana, kok ini yang muncul lain lagi, dari atas tanjakan lagi, wah, jangan-jangan, Imam menelan ludah, ada yang bergetar hebat di dadanya, Glek, ia menulan ludah, mencoba menata rasa mengatur nafas.
  “wah, ada mbak, sampeyan turun, di tikungan bawah tadi teman mbak sudah nunggu, ia sempat minta tolong saya memotretnya karena nunggu teman ndak muncul, lalu siapa pula mbak ini”
   Gadis itu makin dekat, wangi pandan kuburan menyengat tajam, Imam hafal bau itu, sekian lama terjun di kesenian Kuda Lumping, ia sangat hafal bau-bauan yang beraroma mistis itu, dan bau itu begitu kuat keluar dari tubuh gadis di depannya.
  Gadis dengan celana gunung coklat tanah, kaos hitam di dada kiri ada logo tengkorak putih, tangan kiri memakai tali benang telon dan jam tangan cewek warna hitam, jelas sudah, ini bukan bangsa manusia, Imam menelan ludah panik, Glek!.
   Ia yakin, tanda tengkorak putih di dada kiri gadis itu isyarat bahwa sosok di depannya bukan bangsa manusia biasa, pasti lelembut seperi pesan mas Agus melak, cari tanda yang ganjil, dan tanda itu dua kali ia temukan, harum wangi pandan kuburan dan tanda tengkorak putih, Imam yakin, dan ia harus bisa lolos dari lokasi ghaib ini.
   Imam berdiri tegak, sebelum sosok itu benar-benar mendekat tepat di depannya, ia menarik nafas, memejamkan mata, memohon kekuatan Sang Maha Pengasih dan Penyayang, mohon kekuatan agar lepas terhindar dari mara bahaya, ia memusatkan sebuah titik konsentrasi, berusaha mendengarkan suara hembusan angin yang membelai hutan cemara di pos I.
   Usahanya tak sia-sia, harum pandan kuburan itu tak lagi membuatnya pening, dan pelahan-lahan ia membuka matanya saat suara angin yang menggoyang dedaunan hutan cemara itu bahkan telah mengusir kabut tebal yang bergumpal-gumpal menutup jarak pandang, sosok gadis berkerudung dan ada tanda tengkorak putih di dada kirinya itu benar-benar lenyap, ia hanya melihat seekor Tekukur rimba yang terbang dari hadapannya, terbang tingi lalu lenyap di rerimbunan rimba Lawu.
   Imam melanjutkan perjalanan, samar-samar terdengar teriakan dan tawa teman-temannya di ujung tikungan, ia benahi tali kariernya, kemudian bergegas memacu langkah, berharap segera menyusul teman-temannya yang sudah beberapa saat terpisah darinya.
   Di kejauhan, ia melihat seorang gadis lagi, sosok gadis yang susah payah meletakkan kamera DSLR-nya pada sebatang pohon tumbang, rupanya ia ingin berswa poto, karena tak ada tongsis dan tripot, ia taruh kameranya di pohon tumbang, lalu ia berlari lagi melihat hasil fotonya itu.
  Imam takut, itu hantu gunung, ia waspada, ayat-ayat suci yang kebetulan ia ingat ia baca banyak-banyak, berulang-ulang, berharap sosok di depannya segera lenyap saja.
  Semakin dekat sosok itu makin jelas, makin jelas, sinar matahari cerah, rambut sosok yang ternyata seorang gadis itu berkilau terang karena cuaca mendadak makin cerah makin cerah.
   Imam lega, tadi kabut melulu, sekarang agak hangat, udara sangat cerah, gabungan hawa sejuk dan hangat membuatnya nyaman melangkah, saat tiba di dekat sang gadis, malah ia bingung sendiri, karena dialog di pos bawah tadi seperti terulang namun dengan logat berbeda, namun sama persis.
   Si gadis minta tolong di fotokan, Imam segera membantu, di zoomnya kamera itu dekat-dekat, namun kali ini sang gadis cepat-cepat memakai kaca matanya saat Matahari makin silau bersinar.
  “tunggu mas, saya pakai tas saya, biar keren jadinya nanti, maaf, tunggu bentar”
  Lalu ia memakai tas kariernya, Imam menikamti lagi sesi zoom, mengamati sekaligus mencari keganjilan, jika ia sosok ghaib, tentu ia segera tahu seperti saat ia menemukan gambar tengkorak putih di dada kiri gadis hantu di bawah tadi.
  Ia ambil beberapa gambar menjepret cepat dua tiga pengambilan yang presisi, sesosok gadis yang tersenyum dengan latar tebing anak gunung Lawu di ketinggian 1500 m dpl, lalu ia zoom ke arah bajunya, kaos putih dengan tonjolan dada yang membuatnya menahan nafas.
  “sudah mbak, baik saya lanjutkan lagi ya, ini kameranya mbak, saya lanjut naik lagi ya”
“tunggu-tunggu mas, saya lihat dulu hasilnya’
  Sang gadis segera menyerbu ke arah Imam Fachrozi, anak muda RJB yang sedang menjalankan misi ke titik 3265 m dpl.
   Gadis itu merapat ke Imam, melihat dengan antusias hasil jepretan dari pemuda yang ia mintai tolong, Imam mati kata mati gaya, hanya diam saja, parfum sang gadis wangi wajar, bukan bau wangi mistis.
  Tak sengaja kejadian itulah titik mula yang membuat darah Imam bergolak, manakala sang gadis merapatkan tubuh, hal mana membuat Imam menelan ludah panic, mak glek, dan tubuh gadis itu makin kuat menekan bahunya yang masih memegang kamera DSLR yang lumayan berat, lalu terdengar lirih suara ludah tertelan glek, glek dua kali lagi menelan ludah.
   Bahunya di tekan dada sang gadis yang gambar besarnya sudah berhasil ia zoom barusan tadi, tonjolan dada yang beberapa saat lalu dilihatnya di hasil pengezoomaan maksimal sehingga nampak amat sangat-sangat jumbo itu kini menghantam bahunya, kelembutan hangat menyeruak, membuat darah mengalir cepat, wangi gadis dengan rambut terurai, dimana sisi bagian tubuh indahnya menghimpit sedemikian rupa, TAHAN GODAAANNN!.
    Dalam hati Imam berteriak sekuat tenaga, lalu sang gadis mengambil kameranya, diceknya foto-foto itu, di lihatnya sekilas-sekilas, ia tertawa dengan tertahan, nampak senang dengan hasil jepretan Imam yang ia anggap sesuai dengan ekspetasinya.
 “maaf mas, aku janji ini terakhir, sekarang aku foto makek kaos komunitas saja, pliiss ya mas, tolong banget, masnya keren, bisa ngambil angelnya mantul”
  Imam tak kuasa, ia bagai kerbau di cocok hidungnya, menerima kembali DSLR itu, di ambilnya lagi beberapa gambar, lalu ia Zoom ke arah yang sama, mencari sesuatu yang membuatnya senang, kesenangan mata lelaki yang sedang mendaki puncak gunung, kesenangan mata iseng melihat puncak yang lain!.
   Mendadak Imam tak bisa bernafas, saat ia Zoom dekat, di kaos sang gadis tergurat gambar tengkorak putih, lebih kaget lagi kaos putihnya berubah jadi hitam, ia arahkan sedikit ke atas, wajah sang gadis kini bertaring yang mencuat di sudut bibirnya kanan dan kiri, gadis yang tajam memandangnya, memandang dengan sorot mata merah penuh amarah.
  Sesaat tadi ia asyik ngezoom, ambil beberap gambar, berhenti dan ngezoom lagi di titik yang ia suka, senyum-senyum sendiri karena ada sosok mantul yang berpose bebas juga di alam bebas yang ciamik keindahannya, tak sadar ia bahwa ia ada di gunung terangker tanah Jawa.
  Kini di layar DSLR-nya, sosok gadis itu berubah lagi jadi wajah gadis hantu berkerudung yang berbau pandan kuburan tadi.
  Bau yang sama yang kini juga kuat menyeruak membuat Imam pening mendadak, tak kalah kaget, di kamera DSLR itu nampak juga berubah lagi sang gadis jadi gadis berkerudung yang bibir kanannya ada tahi lalatnya, berubah lagi jadi gadis yang rambutnya panjang terurai, semua wajah itu kini memancarkan warna menyala, warna merah kelam penuh kemarahan, wajah gadis yang kini bertaring.
  Jelas sudah, Imam, sang pendekar pendaki itu memilih langkah aman, berlari sesaat setelah ia letakkan DSLR itu hati-hati, ia berlari menaiki tanjakan, meninggalkan sosok yang kini berubah menjadi tiga wujud yang berbeda, ia tak siap berhadapan dengan hantu rimba gunung Lawu.
   Jika ada lagu mundur alon-alon yang lagi viral, kini berbanding 180 derajat, ia maju terbirit-birit, maju menaiki kontur tanjakan tajam menyusul teman-temannya yang sudah berjalan lebih dahulu, hilang sesaat dari pandangannya.
   Sosok yang mengerikan itupun lenyap seketika, berubah menjadi seekor burung Tekukur liar yang mengepakkan sayapnya, terbang menghilang seiring kabut tebal menyelimuti kawasan itu, temaram sinar matahari membuat udara dingin ekstrim mendadak mewarnai suasana siang, siang senyap di ketinggian gunung Lawu yang wingit.
   Jelang pos II, di pos bayangan, Imam menemui kawan-kawannya yang sedang istirahat kecapekan, karena mereka baru saja meditasi, membuka gerbang ghaib, agar Imam teman mereka yang mendadak hilang di telan kabut bisa kembali lagi ke dunia.
  Semua lega, Imam muncul tiba-tiba dari rimbun belukar, muncul bersamaan kabut dan udara dingin yang menyeruak tiba-tiba.
  Imam tak tergoda dan tabah, bisa menahan, menangkal dan menetralisir godaan dari sosok-sosok bertubuh indah yang sampai tiga kali berusaha merayunya dengan segala cara, Imam bersyukur kepada Sang Maha Pemurah, masih di beri kesempatan berkumpul dan melanjutkan misi sampai di titik 3265 m dpl.

WIRO YUDHO WICAKSONO !
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI !
MELU HANDARBENI-HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRA HANGRASA WANI !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia