PENDEKAR
GUNUNG LAWU
Bagian Gadis-Gadis
Astral
Imam yang bisa kembali ke jalur pendakian bertemu dengan Hasan, Danar,
Rahul, Mas Sarno, Aspi, Trio dan mas Sarno RJB.
Masing-masing memiliki stori yang mereka saling kisahkan, semuanya
bahkan hampir sama, bertemu gadis-gadis pendaki, mengadakan komunikasi bahkan gadis-gadis
itu sempat ada yang memberi makanan maupun minuman yang untungnya tak sempat
mereka nikmati, dan gadis itu semua bukan dari bangsa manusia.
Mereka sudah bisa sadar dan bisa kembali ke alam nyata berkat kanuragan yang
mereka asah saat pendadaran kawah candradimuka calon warga Madya PSCP.
Mas Agus Melak, yang sadar bahwa adik-adik seperguruannya, baru
menginjakkan kaki di pos pemberangkatan di Cemoro Sewu sudah sedemikian rupa
mengalami kejadian yang bagi kaum milenial awam sangat mustahil dan berbau
klenik mistisme khas kearifan lokal mitologi nusantara mengambil sebuah
tindakan guna menyelamatkan misi pendakian hari itu.
Beliau sadar, tataran pertama yang harus bisa mereka takklukan dan
kendalikan adalah adalah warna kuning, dari warna-warni simbolis pokok hawa
nafsu yang wajib di kekang warga Madya, yakni warna Hitam, Merah, Kuning dan
Putih.
Warna kuning sendiri simbolisme dari aura cakra nafsu syahwat terhadap
kecantikan perempuan, sehingga sisa-sisa nafsu itu, masih mengikuti para
pendekar muda itu walau sudah membersihkan diri diri lahir batin melalui sebuah
laku khas pendekar didikan lembah Gunung Lawu, dan laku itu sudah mapan sebelum
rombongan Pasmatih Bumi Kubar itu mengadakan misi ke titik 3265 m dpl, Hargo
Dumilah.
Dan mas Agus Melak, yang merupakan putra daerah Magetan dan menjadikan
gunung Lawu sebagi lokasi olah batin bahkan sejak usia belia memberi beberapa
saran sekedar pertimbangan taktis agar misi mereka sukses, menggapai titik 3.265
m dpl.
Sehingga atas saran beliau mereka bulat sepakat, untuk mentaati dan
menjalankan saran kakak seperguruan mereka itu, semua sepakat mengumpulkan
sabuk sakral agar di taruh di kariernya agar bisa di pantau dan di netralisir
setiap kekuatan negatif tak kasat mata yang mendekat ke arah pergerakan
rombongan kecil pasmatih dari pedalaman bumi Kalimantan Timur itu.
Selengkapnya, hanya di PENDEKAR GUNUNG LAWU BAGIAN 2, GADIS-GADIS
ASTRAL.
Selamat berpetualng via medsos, semoga tetap ber-WIRO YUDHO WICAKSONO
seluruh KB PSCP dimanapun berada.
Saat breafing di pos 2, semua mengungkapkan pengalamannya saat kabut
yang tebal tiba-tiba menyelimuti jalur mereka, jalur yang mendadak hilang jarak
pandangnya kerena tebalnya kabut, dan masing-masing pendekar muda itu berkisah,
tak hanya Imam, teman-teman yang lain juga mengalami hal yang sama.
“Dekat pinus tadi, saat ada kabut, aku masih biasa saja, namun tak cari
kalian semua lenyap, aku ingat breafing kemarin, jika kabut turun dan teman
mendaki hilang jangan teriak, konsentrasi dulu pada pengaturan nafas, konstankan
denyut nadi dan jantung baru mencari fokus konsentrasi satu titik suara untuk
bisa keluar dari sergapan kabut itu”
Dengan suara terpatah-patah Rahul berkisah, semua kawan di sekelilingnya
mendengar sambil nyemil bekal, sekedar biscuit coklat untuk menambah stamina
pendakian yang baru tiba di pos 2, masih ada dua pos lagi di depan, pos yang
maha terjal, maha berat.
“baru membuka mata, karena ada bau wangi di dekat hidung, aku tak bisa
mencari titik fokus, indera pendengaranku kacau oleh suara kicau burung
Tekukur, aku buka mata, karena sesungguhnya aku mencari suara kicau Jalak Lawu seperti
panduan di breafing kemarin di padepokan, suara kicau melengking Jalak Lawu sebagai
titik fokus agar bisa keluar dari selimut kabut itu, namun suara Tekukur itu
makin keras diiringi wangi yang membuat konsentrasiku buyar”
Rahul meneguk minuman botolnya, lalu melanjutkan kisahnya.
“Aku berdiri, iseng aku menoleh ke sisi tebing pertama, ada sosok gadis
sedang duduk di bawah pohon Cemara, di samping kanannya ada Tas karier, ia
duduk santai sambil tangan kanannya memeluk tas yang tergolek di sampingnya,
aku bertanya sopan, apakah mbaknya itu melihat teman saya, gadis itu bilang
tidak tahu, tapi wajahnya enggan menoleh ke arahku”
Rahul minum lagi, kata-katanya bergetar, seperti ada ketakutan yang coba
ia redam agar tak di ketahui teman-temannya.
“Aku akan bergerak naik, karena perasaanku ndak enak, wangi yang aku
cium tadi wangi kembang Kamboja kuburan, dan aku tak curiga, mungkin ada
tanamannya di sekitar situ, tapi gadis itu seperti melantunkan sebuah lagu Jawa
yang bernada sedih, seperti lagu-lagu klasik saat ada resepsi pengantin adat
Jawa, dan aku menoleh ke arahnya saat ia tiba-tiba menoleh juga, wajahnya rata,
tak ada mata, alis, hidung dan mulut, wajah yang datar mulus rata pucat”
Rahul minum lagi, dan kini ia tak melanjutkan kalimatnya, ia susah payah
menenangkan perasaan yang baru saja bagai kenyataan dalam impian, sesuatu yang
nyata ada dan sesuatu itu sebuah kejadian yang sangat mengguncang jiwanya.
“Untung, breafing di padepokan kemarin sudah di bahas masalah non teknis
ini, aku langsung memejamkan mata, mengatur nafas, dan membaca beberapa doa
sambil melambarinya dengan pengolahan tenaga murni dari olahan nafas yang kita
latih setiap latihan warga, saat kubuka mata, kabut sudah hilang dan aku sudah
tiba di jalur awal, dan kutemukan kang Sarno yang kebingungan mencari-cari
teman yang juga mendadak hilang”
Rahul menutup ceritanya, lalu ia minum lagi seteguk, ia simpan lagi
minumannya di karier, lalu ia ikut nyemil coklat penambah stamina pendakian.
“tadi itu aku juga sama seperti Rahul, baru ketemu penunggu ghaib di
seberang semak perdu sebelum tikungan pertama jelang pos 2 ini”
Mas Sarno menimpali kalimat Rahul yang sudah mencapai ending, lalu ia
melanjutkan kisahnya yang baru di mulainya itu, lingkaran breafing yang senyap
bertambah tintrim.
“aku lihat gadis sedang duduk sendirian, kabut sangat tebal, aku sibuk
mencari kalian, sengaja aku diam, karena kita dibekali beberapa tips-tips di breafing
saat masih di padepokan kemarin, breafing mengatasi masalah, dan jika ada hal
macam ini dilarang teriak-teriak panik, cukup berjalan pelahan mencari lokasi
meditasi mengolah pernafasan, mencari salah satu titik fokus agar kita bisa
keluar dari sergapan selimut kabut ghaib”
Mas Sarno meminum air seteguk sebelum melanjutkan ceritanya, air minum
yang ia harapkan mendinginkan panas dadanya karena masih menyisakan debaran
yang kencang.
“aku Tanya ke mbaknya, apakah lihat rombongan pendaki memakai jaket
bertuliskan Pendekar Gunung LAWU, mbaknya menjawab tak melihat, lalu ia
menawariku minuman, kayak coca-cola, aku ingat, jangan minum pemberian
seseorang saat di situasi ganjil, jadi aku dekatkan bibir, pura-pura minum,
coca-colanya bau kembang kuburan buat nyekar jenazah yang baru di makamkan,
jadi aku tahu, ada yang tak beres, gadis itu cuek saja, mengira aku minum air
pemberiannya”
Mas Sarno memejamkan mata, bercerita melanjutkan kisahnya yang masih nanggung
dengan terbata-bata.
“Gadis itu berdiri, namun sepatunya tak menapak tanah, lalu ia menunduk,
ia berjalan menuju tas gunungnya dengan merangkak-rangak, ia memakai tasnya,
kemudian mengajak aku agar mau ikut, mungkin karena aku tidak minum coca-cola
rasa kembang kuburan itu aku masih sadar serta tak mau ikut dengannya, aku
hanya menjawab nyari teman dulu dan tak peduli lagi dengannya, gadis itu marah
dan mengejarku dengan merangkak-rangkak, seperti seekor buaya yang berlari di
atas tanah, aku yang tahu situasi ganjil langsung menutup mata, menarik nafas
panjang, menahan kuat di dada dan perut, tangan aku genggam kuat lalu aku
silangkan, sikap pernafasan halilintar, jika gadis itu menyergapku aku akan
hantam saja wujud anehnya yang tubuhnya berubah jadi setengah buaya walau
kepalanaya tetap gadis cantik, masak buaya tulen kalah sama buaya jadi-jadian”
Teman-teman mas Sarno tersenyum kecut mendengar kata penutup warga RJB
yang diseniorkan di antara para pendekar muda dari pedalaman Kalimantan Timur
itu, kata buaya tulen itu yang bikin geli sehingga mereka senyum-senyum
sendiri, senyum kecut karena semua hampir sama ceritanya, ketemu gadis hantu rimba
Lawu yang cantik yang menggoda, dan mendadak jadi seram, hilang sudah
kecantikannya itu.
Danar berkisah tak kalah heboh, ia berkisah di mintai tolong membawakan
tas karier gadis yang kakinya terpincang-pincang, sempat ia pijat dan therapy
dan bantu membawa kariernya sampai tiba di tempat yang lumayan landai buat
istirahat.
Namun betapa terkejutnya Danar saat di pijat itu, tak sengaja kaus kaki
sang gadis tersingkap, dan kulit kakinya bersisik, persis sisik pada kulit Ular
King Kobra, dan saat tak sengaja ia senggol tas karier gadis itu, jatuh dan
tutupnya terbuka, dari dalam tas gunung itu keluar ratusan ekor ular hitam yang
masih kecil-kecil yang membuatnya jijik dan geli.
Tahu tas Kariernya tersenggol jatuh dari atas sebongkah batu tempat ia
bersandar dan sedang dipijit kakinya oleh Danar, gadis itu marah, lalu mendadak
wajah cantiknya berubah menyeramkan penuh sisik ular, dengan lidah bercabang
yang menjulur-julur, Danar lari ngacir mencari tempat yang sekiranya aman baru
memusatkan nalar budi, mengolah pernafasan yang sudah bertahun-tahun ia latih
saat gladhen malam Minggu, latihan khas Warga Purwa yang siap naik ke tingkat
Madya, dan keahlian pernafasan itu ia maksimalkan untuk mengahdapi keganjilan
situasi di pendakian hari ini.
Hasan, yang sejak tadi terdiam seribu bahasa enggan berkisah, karena
semua kisah itu hampir sama saja, seperti juga kisahnya barusan bertemu otok
onggrok di dekat pohon growong di pos bayangan sebelum Pos 2, kisah yang juga
sama saja seramnya.
Hasan masih ingat, saat ada gadis yang sedang sibuk berselfie dengan tripot, berulang kali ia kesulitan mengambil gambar karena kontur yang sempit di sisi tebing, namun semak berbunga itu sayang untuk dilewatkan buat tidak di abadikan.
Hasan masih ingat, saat ada gadis yang sedang sibuk berselfie dengan tripot, berulang kali ia kesulitan mengambil gambar karena kontur yang sempit di sisi tebing, namun semak berbunga itu sayang untuk dilewatkan buat tidak di abadikan.
Sang gadis meminta tolong Hasan, dan pemuda pendiam itu tak banyak
cakap, main jeprat-jepret banyak-banyak saat si gadis berpose di dekat serumpun
semak yang sedang berbunga penuh.
Dan ia menyimpulkan, kisahnya dengan Imam 11 dan 12 saja bedanya, beda
tempat dan beda penampakan saja, kalau Imam sempat tergoda dan di goda, namun
Hasan sedikit beda, sekalipun ia tak mau menanggapi godaan sesososk wujud gadis
yang sendirian di pos bayangan jelang
pos 2 itu.
Gadis yang ramah, memakai kerudung hitam dan di lapis memakai hiasan
kepala boneka lucu, gadis yang lebih banyak berbicara dari pada Hasan yang
sibuk mengambil angel-angel manakala sang gadis berpose.
Sosok yang tetap ramah dan manis, bahkan saat Hasan tahu sosok itu tak
menyentuh tanah kakinya, ia tetap tenang, ia tak melawan dengan teknik
kanuragan pernafasan tingkat dasar, menengah ataupun tinggi.
Bahkan saat kabut tebal itu menyelimutinya, dan ia merasa akan bisa
lepas dari situasi itu, ia hanya memandang saja sosok itu yang diselimuti kabut
ghaib gunung Lawu yang penuh misteri.
Sosok yang lenyap dan muncul dari dalam gulungan kabut itu seekor burung
hutan, wujud wadag terbang seekor Tekukur liar yang mengepak-ngepakkan
sayapnya, terbang berputaran beberapa kali di atas kepalanya, lalu membubung
tinggi di angkasa, lenyap bersamaan dengan kabut yang terbawa angin semilir,
dan saat kabut lenyap, ia sudah kembali di jalur pendakian, bertemu Imam yang
juga baru keluar dari pusaran kabut misterius di gunung Lawu.
Mas Agus Melak, yang mendengarkan testimoni setiap pendekar muda
adik-adik seperguruannya itu memberi kesimpulan besar.
“Hmm, jadi teman-teman semua, mulai pos ini tolong sabuk mori di
kumpulkan jadi satu, biar saya yang bawa sampai puncak, setelah semua berhasil
di titik 3.265 m dpl, baru sabuk sakral ini kalian ambil kembali, dan ingat,
jangan setiap pos kita istirahat sambil berkisah, sebaiknya kisah kalian baik
senang susah maupun seram di simpan, kita wedar saat selesai kegiatan pendakian
ini, karena saya anggap Lawu rumah sendiri, biar nanti semua kekuatan itu
mengumpul di zona langkah kakiku, siapa tahu aku akan ketemu Ki Ageng Jalak
Gading di Pos 3, biar nanti saya usahan untuk meminta tolong agar rombongan ini
tak teralu di ganggu lagi, karena niat kita gladhen nguri-uri budaya kearifan
lokal nusantara agar tak punah di negerinya, sebagai mantan pasukan pengawal
raja yang kini menjadi pimpinan di dunia ghaib gunung ini, saya yakin Ki Ageng
Jalak Gading akan memberi jaminan perlindungan buat kita semua, bisa di pahami
ya rekan-rekan semua”
Serempak yang di lingkaran breafing testimoni itu menyahut kompak.
“pahaaam maaasss!”
“dan ingat, saat ketemu gadis biasa maupun
gadis jadi-jadian kalian tetap fokus ingat tujuan kalian, tahan cobaan dan
godaan, kalian bukan lagi pemuda biasa, kalian sudah warga Madya, sudah lebih 7
tahun menjadi relawan di PSCP Kubar, makanya Dwija Wasana sendiri yang
mengesahkan kalian tahun ini di pusat”.
Semua sepakat, agar aman terkendali sabuk sakral
itu mereka satukan, dan di bawa di karier mas Agus Melak, biar sang pemandu
utama yang akan melobi pimpinan pengawal raja di kerajaan Ghoib gunung Lawu
yang merupakan replika dan bayangan paling murni dari sisa-sisa peradaban
budaya Majaphit yang masih lestari bahkan di alam tak kasat mata, alam ghaib di
gunung Lawu, perbatan Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
Sekali lagi mas Agus Melak, yang masa kecilnya dihabiskan di Lawu,
bahkan sampai lulus SMA masih sering mendaki itu berulang kali mengingatkan, energi
dan wujud-wujud astral itu memiliki kekuatan untuk mancali putra mancali putri,
berubah jadi wujud apapun juga, bisa wujud gadis pendaki, burung tekukur, kakek
tua, ibu-ibu pencari kayu bakar dan wujud lain saat ia menggoda manusia dengan
tujuan tertentu.
Sebelum matahari lewat diatas kepala, mereka sudah hampir mencapai pos
3, dan sebelum senja terbenam, targetnya adalah pos 4 dan langsung ke Hargo
Dumilah setelah mampir ke Sumur Jalatundha, mengambil air suci yang bisa untuk
mengobati penyakit batin bahkan bagi yang mampu menggunakanya bisa di pakai
untuk pagar ghaib.
Sosok Srikandi Gunung Lawu, penampakannya yang kadang tidak seperti yang terindera
pandangan mata secara kewadagan, kadang gadis yang terlihat seperti pendaki gunung
biasa itu bukan dari kalangan bangsa manusia yang hidup, ia wujud semu energi
yang tak kasat mata, sosok mahluk dari dunia lain, alam lelembut, sosok dari
alam roh.
Semua itu karena di lokasi ini, sejak kaki gunung sampai puncak tertingginya
sudah berabad-abad lamanya menjadi pusat spiritulaisme tanah Jawa, pusat
supranatural yang sangat kental dengan kebatinan, sebuah ilmu metafisika yang
sangat rumit untuk di jabarkan dalam sebuah kalimat singkat dan sederhana.
Ia merupakan bagian inti dari segitiga pusat kearifan lokal tanah Jawa,
tiga lokasi utama antara Puncak Lawu perbatasan Jatim-Jateng, Laut Selatan di
Samudera Hindia dan Puncak Merapi di DIY, yang satu dengan yang lain saling
terkait dan terhubung menjadi satu kesatuan yang utuh.
Dan sosok-sosok yang di jumpai para pendekar muda yang kenyang di tempa
kanuragan khas pencak silat itu membuat ruang waktu antara alam manusia dan
alam lelembut kadang sulit untuk di bedakan lagi oleh mereka, apalagi para
pendekar muda yang masih lajang dan masih sangat besar dorongan keinginanya
terhadap sosok perempuan rupawan.
Itu semua seperti yang telah diwedar senior-seniornya, merupakan bagian
dari sebuah laku spiritual dalam mencari jati diri seorang pendekar sejati,
ajang penempaan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan pesilat yang tak bisa
dipisahkan dari warisan tradisi leluhur nusantara, yang tetap menjaga hubungan
dan keseimbangan antara kasunyatan dan keghaiban menjadi satu kesatuan yang
satu dengan lain saling menyokong dan memperkuat demi sebuah harmoni kehidupan
sehinggga tercipta sebuah kondisi langgeng sakjeroning ketentreman sejati.
Itu semua sangat di sadari para pendekar muda dari bumi Kaltim itu, yang
memanfaatkan sisa waktunya saat sowan ke padepokan pusat, menyempatkan diri
untuk mendaki titik 3.265 meter di atas permukaan laut, simbol perjuangan
mencapai puncak cita-cita suci, menjaga tetap tegak dan berkibarnya panji-panji
Wiro Yudho Wicaksono di angakasa bumi pertiwi kinasih.
Selepas pos 2, anak-anak muda itu lebih berhati-hati manakala
berpapasan, bersua atau berbicara dengan sosok gadis, atau sosok lainya yang
kebetulan di jumpai di jalur pendakian yang makin menjulang terjal derajat
kemiringannya di tambah suhu dingin yang kian ekstrim.
Semakin naik, oksigen semakin tipis, udara
makin dingin, sehingga sangat menguras stamina fisik anak-anak muda Kutai Barat
itu, keadaan yang membuat mereka harus pandai-pandai menjaga pernafasan agar
cadangan tenaga tidak terpakai habis bahakan sebelum mereka mencapai titik
3.265 m dpl, Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu.
WIRO YUDHO WICAKSONO
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI
MELU HANDARBENI –HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRO HANGROSO WANI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar