Senin, 02 Desember 2019


PENDEKAR GUNUNG LAWU

Bagian Gadis-Gadis Astral

    Imam yang bisa kembali ke jalur pendakian bertemu dengan Hasan, Danar, Rahul, Mas Sarno, Aspi, Trio dan mas Sarno RJB.
  Masing-masing memiliki stori yang mereka saling kisahkan, semuanya bahkan hampir sama, bertemu gadis-gadis pendaki, mengadakan komunikasi bahkan gadis-gadis itu sempat ada yang memberi makanan maupun minuman yang untungnya tak sempat mereka nikmati, dan gadis itu semua bukan dari bangsa manusia.
  Mereka sudah bisa sadar dan bisa kembali ke alam nyata berkat kanuragan yang mereka asah saat pendadaran kawah candradimuka calon warga Madya PSCP.
  Mas Agus Melak, yang sadar bahwa adik-adik seperguruannya, baru menginjakkan kaki di pos pemberangkatan di Cemoro Sewu sudah sedemikian rupa mengalami kejadian yang bagi kaum milenial awam sangat mustahil dan berbau klenik mistisme khas kearifan lokal mitologi nusantara mengambil sebuah tindakan guna menyelamatkan misi pendakian hari itu.
   Beliau sadar, tataran pertama yang harus bisa mereka takklukan dan kendalikan adalah adalah warna kuning, dari warna-warni simbolis pokok hawa nafsu yang wajib di kekang warga Madya, yakni warna Hitam, Merah, Kuning dan Putih.
   Warna kuning sendiri simbolisme dari aura cakra nafsu syahwat terhadap kecantikan perempuan, sehingga sisa-sisa nafsu itu, masih mengikuti para pendekar muda itu walau sudah membersihkan diri diri lahir batin melalui sebuah laku khas pendekar didikan lembah Gunung Lawu, dan laku itu sudah mapan sebelum rombongan Pasmatih Bumi Kubar itu mengadakan misi ke titik 3265 m dpl, Hargo Dumilah.
   Dan mas Agus Melak, yang merupakan putra daerah Magetan dan menjadikan gunung Lawu sebagi lokasi olah batin bahkan sejak usia belia memberi beberapa saran sekedar pertimbangan taktis agar misi mereka sukses, menggapai titik 3.265 m dpl.
  Sehingga atas saran beliau mereka bulat sepakat, untuk mentaati dan menjalankan saran kakak seperguruan mereka itu, semua sepakat mengumpulkan sabuk sakral agar di taruh di kariernya agar bisa di pantau dan di netralisir setiap kekuatan negatif tak kasat mata yang mendekat ke arah pergerakan rombongan kecil pasmatih dari pedalaman bumi Kalimantan Timur itu.
  Selengkapnya, hanya di PENDEKAR GUNUNG LAWU BAGIAN 2, GADIS-GADIS ASTRAL.
  Selamat berpetualng via medsos, semoga tetap ber-WIRO YUDHO WICAKSONO seluruh KB PSCP dimanapun berada.
  Saat breafing di pos 2, semua mengungkapkan pengalamannya saat kabut yang tebal tiba-tiba menyelimuti jalur mereka, jalur yang mendadak hilang jarak pandangnya kerena tebalnya kabut, dan masing-masing pendekar muda itu berkisah, tak hanya Imam, teman-teman yang lain juga mengalami hal yang sama.
   “Dekat pinus tadi, saat ada kabut, aku masih biasa saja, namun tak cari kalian semua lenyap, aku ingat breafing kemarin, jika kabut turun dan teman mendaki hilang jangan teriak, konsentrasi dulu pada pengaturan nafas, konstankan denyut nadi dan jantung baru mencari fokus konsentrasi satu titik suara untuk bisa keluar dari sergapan kabut itu”
  Dengan suara terpatah-patah Rahul berkisah, semua kawan di sekelilingnya mendengar sambil nyemil bekal, sekedar biscuit coklat untuk menambah stamina pendakian yang baru tiba di pos 2, masih ada dua pos lagi di depan, pos yang maha terjal, maha berat.
  “baru membuka mata, karena ada bau wangi di dekat hidung, aku tak bisa mencari titik fokus, indera pendengaranku kacau oleh suara kicau burung Tekukur, aku buka mata, karena sesungguhnya aku mencari suara kicau Jalak Lawu seperti panduan di breafing kemarin di padepokan, suara kicau melengking Jalak Lawu sebagai titik fokus agar bisa keluar dari selimut kabut itu, namun suara Tekukur itu makin keras diiringi wangi yang membuat konsentrasiku buyar”
  Rahul meneguk minuman botolnya, lalu melanjutkan kisahnya.
  “Aku berdiri, iseng aku menoleh ke sisi tebing pertama, ada sosok gadis sedang duduk di bawah pohon Cemara, di samping kanannya ada Tas karier, ia duduk santai sambil tangan kanannya memeluk tas yang tergolek di sampingnya, aku bertanya sopan, apakah mbaknya itu melihat teman saya, gadis itu bilang tidak tahu, tapi wajahnya enggan menoleh ke arahku”
   Rahul minum lagi, kata-katanya bergetar, seperti ada ketakutan yang coba ia redam agar tak di ketahui teman-temannya.
   “Aku akan bergerak naik, karena perasaanku ndak enak, wangi yang aku cium tadi wangi kembang Kamboja kuburan, dan aku tak curiga, mungkin ada tanamannya di sekitar situ, tapi gadis itu seperti melantunkan sebuah lagu Jawa yang bernada sedih, seperti lagu-lagu klasik saat ada resepsi pengantin adat Jawa, dan aku menoleh ke arahnya saat ia tiba-tiba menoleh juga, wajahnya rata, tak ada mata, alis, hidung dan mulut, wajah yang datar mulus rata pucat”
   Rahul minum lagi, dan kini ia tak melanjutkan kalimatnya, ia susah payah menenangkan perasaan yang baru saja bagai kenyataan dalam impian, sesuatu yang nyata ada dan sesuatu itu sebuah kejadian yang sangat mengguncang jiwanya.
   “Untung, breafing di padepokan kemarin sudah di bahas masalah non teknis ini, aku langsung memejamkan mata, mengatur nafas, dan membaca beberapa doa sambil melambarinya dengan pengolahan tenaga murni dari olahan nafas yang kita latih setiap latihan warga, saat kubuka mata, kabut sudah hilang dan aku sudah tiba di jalur awal, dan kutemukan kang Sarno yang kebingungan mencari-cari teman yang juga mendadak hilang”
   Rahul menutup ceritanya, lalu ia minum lagi seteguk, ia simpan lagi minumannya di karier, lalu ia ikut nyemil coklat penambah stamina pendakian.
   “tadi itu aku juga sama seperti Rahul, baru ketemu penunggu ghaib di seberang semak perdu sebelum tikungan pertama jelang pos 2 ini”
   Mas Sarno menimpali kalimat Rahul yang sudah mencapai ending, lalu ia melanjutkan kisahnya yang baru di mulainya itu, lingkaran breafing yang senyap bertambah tintrim.
   “aku lihat gadis sedang duduk sendirian, kabut sangat tebal, aku sibuk mencari kalian, sengaja aku diam, karena kita dibekali beberapa tips-tips di breafing saat masih di padepokan kemarin, breafing mengatasi masalah, dan jika ada hal macam ini dilarang teriak-teriak panik, cukup berjalan pelahan mencari lokasi meditasi mengolah pernafasan, mencari salah satu titik fokus agar kita bisa keluar dari sergapan selimut kabut ghaib”
   Mas Sarno meminum air seteguk sebelum melanjutkan ceritanya, air minum yang ia harapkan mendinginkan panas dadanya karena masih menyisakan debaran yang kencang.
   “aku Tanya ke mbaknya, apakah lihat rombongan pendaki memakai jaket bertuliskan Pendekar Gunung LAWU, mbaknya menjawab tak melihat, lalu ia menawariku minuman, kayak coca-cola, aku ingat, jangan minum pemberian seseorang saat di situasi ganjil, jadi aku dekatkan bibir, pura-pura minum, coca-colanya bau kembang kuburan buat nyekar jenazah yang baru di makamkan, jadi aku tahu, ada yang tak beres, gadis itu cuek saja, mengira aku minum air pemberiannya”
    Mas Sarno memejamkan mata, bercerita melanjutkan kisahnya yang masih nanggung dengan terbata-bata.
   “Gadis itu berdiri, namun sepatunya tak menapak tanah, lalu ia menunduk, ia berjalan menuju tas gunungnya dengan merangkak-rangak, ia memakai tasnya, kemudian mengajak aku agar mau ikut, mungkin karena aku tidak minum coca-cola rasa kembang kuburan itu aku masih sadar serta tak mau ikut dengannya, aku hanya menjawab nyari teman dulu dan tak peduli lagi dengannya, gadis itu marah dan mengejarku dengan merangkak-rangkak, seperti seekor buaya yang berlari di atas tanah, aku yang tahu situasi ganjil langsung menutup mata, menarik nafas panjang, menahan kuat di dada dan perut, tangan aku genggam kuat lalu aku silangkan, sikap pernafasan halilintar, jika gadis itu menyergapku aku akan hantam saja wujud anehnya yang tubuhnya berubah jadi setengah buaya walau kepalanaya tetap gadis cantik, masak buaya tulen kalah sama buaya jadi-jadian”
   Teman-teman mas Sarno tersenyum kecut mendengar kata penutup warga RJB yang diseniorkan di antara para pendekar muda dari pedalaman Kalimantan Timur itu, kata buaya tulen itu yang bikin geli sehingga mereka senyum-senyum sendiri, senyum kecut karena semua hampir sama ceritanya, ketemu gadis hantu rimba Lawu yang cantik yang menggoda, dan mendadak jadi seram, hilang sudah kecantikannya itu. 
   Danar berkisah tak kalah heboh, ia berkisah di mintai tolong membawakan tas karier gadis yang kakinya terpincang-pincang, sempat ia pijat dan therapy dan bantu membawa kariernya sampai tiba di tempat yang lumayan landai buat istirahat.
   Namun betapa terkejutnya Danar saat di pijat itu, tak sengaja kaus kaki sang gadis tersingkap, dan kulit kakinya bersisik, persis sisik pada kulit Ular King Kobra, dan saat tak sengaja ia senggol tas karier gadis itu, jatuh dan tutupnya terbuka, dari dalam tas gunung itu keluar ratusan ekor ular hitam yang masih kecil-kecil yang membuatnya jijik dan geli.
   Tahu tas Kariernya tersenggol jatuh dari atas sebongkah batu tempat ia bersandar dan sedang dipijit kakinya oleh Danar, gadis itu marah, lalu mendadak wajah cantiknya berubah menyeramkan penuh sisik ular, dengan lidah bercabang yang menjulur-julur, Danar lari ngacir mencari tempat yang sekiranya aman baru memusatkan nalar budi, mengolah pernafasan yang sudah bertahun-tahun ia latih saat gladhen malam Minggu, latihan khas Warga Purwa yang siap naik ke tingkat Madya, dan keahlian pernafasan itu ia maksimalkan untuk mengahdapi keganjilan situasi di pendakian hari ini.

   Hasan, yang sejak tadi terdiam seribu bahasa enggan berkisah, karena semua kisah itu hampir sama saja, seperti juga kisahnya barusan bertemu otok onggrok di dekat pohon growong di pos bayangan sebelum Pos 2, kisah yang juga sama saja seramnya.
   Hasan masih ingat, saat ada gadis yang sedang sibuk berselfie dengan tripot, berulang kali ia kesulitan mengambil gambar karena kontur yang sempit di sisi tebing, namun semak berbunga itu sayang untuk dilewatkan buat tidak di abadikan.
   Sang gadis meminta tolong Hasan, dan pemuda pendiam itu tak banyak cakap, main jeprat-jepret banyak-banyak saat si gadis berpose di dekat serumpun semak yang sedang berbunga penuh.
  Dan ia menyimpulkan, kisahnya dengan Imam 11 dan 12 saja bedanya, beda tempat dan beda penampakan saja, kalau Imam sempat tergoda dan di goda, namun Hasan sedikit beda, sekalipun ia tak mau menanggapi godaan sesososk wujud gadis yang sendirian di pos bayangan  jelang pos 2 itu.
   Gadis yang ramah, memakai kerudung hitam dan di lapis memakai hiasan kepala boneka lucu, gadis yang lebih banyak berbicara dari pada Hasan yang sibuk mengambil angel-angel manakala sang gadis berpose.
  Sosok yang tetap ramah dan manis, bahkan saat Hasan tahu sosok itu tak menyentuh tanah kakinya, ia tetap tenang, ia tak melawan dengan teknik kanuragan pernafasan tingkat dasar, menengah ataupun tinggi.
  Bahkan saat kabut tebal itu menyelimutinya, dan ia merasa akan bisa lepas dari situasi itu, ia hanya memandang saja sosok itu yang diselimuti kabut ghaib gunung Lawu yang penuh misteri.
   Sosok yang lenyap dan muncul dari dalam gulungan kabut itu seekor burung hutan, wujud wadag terbang seekor Tekukur liar yang mengepak-ngepakkan sayapnya, terbang berputaran beberapa kali di atas kepalanya, lalu membubung tinggi di angkasa, lenyap bersamaan dengan kabut yang terbawa angin semilir, dan saat kabut lenyap, ia sudah kembali di jalur pendakian, bertemu Imam yang juga baru keluar dari pusaran kabut misterius di gunung Lawu.

   Mas Agus Melak, yang mendengarkan testimoni setiap pendekar muda adik-adik seperguruannya itu memberi kesimpulan besar.
   “Hmm, jadi teman-teman semua, mulai pos ini tolong sabuk mori di kumpulkan jadi satu, biar saya yang bawa sampai puncak, setelah semua berhasil di titik 3.265 m dpl, baru sabuk sakral ini kalian ambil kembali, dan ingat, jangan setiap pos kita istirahat sambil berkisah, sebaiknya kisah kalian baik senang susah maupun seram di simpan, kita wedar saat selesai kegiatan pendakian ini, karena saya anggap Lawu rumah sendiri, biar nanti semua kekuatan itu mengumpul di zona langkah kakiku, siapa tahu aku akan ketemu Ki Ageng Jalak Gading di Pos 3, biar nanti saya usahan untuk meminta tolong agar rombongan ini tak teralu di ganggu lagi, karena niat kita gladhen nguri-uri budaya kearifan lokal nusantara agar tak punah di negerinya, sebagai mantan pasukan pengawal raja yang kini menjadi pimpinan di dunia ghaib gunung ini, saya yakin Ki Ageng Jalak Gading akan memberi jaminan perlindungan buat kita semua, bisa di pahami ya rekan-rekan semua”
  Serempak yang di lingkaran breafing testimoni itu menyahut kompak.
“pahaaam maaasss!”
 “dan ingat, saat ketemu gadis biasa maupun gadis jadi-jadian kalian tetap fokus ingat tujuan kalian, tahan cobaan dan godaan, kalian bukan lagi pemuda biasa, kalian sudah warga Madya, sudah lebih 7 tahun menjadi relawan di PSCP Kubar, makanya Dwija Wasana sendiri yang mengesahkan kalian tahun ini di pusat”.
 Semua sepakat, agar aman terkendali sabuk sakral itu mereka satukan, dan di bawa di karier mas Agus Melak, biar sang pemandu utama yang akan melobi pimpinan pengawal raja di kerajaan Ghoib gunung Lawu yang merupakan replika dan bayangan paling murni dari sisa-sisa peradaban budaya Majaphit yang masih lestari bahkan di alam tak kasat mata, alam ghaib di gunung Lawu, perbatan Jawa Tengah dengan Jawa Timur.
   Sekali lagi mas Agus Melak, yang masa kecilnya dihabiskan di Lawu, bahkan sampai lulus SMA masih sering mendaki itu berulang kali mengingatkan, energi dan wujud-wujud astral itu memiliki kekuatan untuk mancali putra mancali putri, berubah jadi wujud apapun juga, bisa wujud gadis pendaki, burung tekukur, kakek tua, ibu-ibu pencari kayu bakar dan wujud lain saat ia menggoda manusia dengan tujuan tertentu.
   Sebelum matahari lewat diatas kepala, mereka sudah hampir mencapai pos 3, dan sebelum senja terbenam, targetnya adalah pos 4 dan langsung ke Hargo Dumilah setelah mampir ke Sumur Jalatundha, mengambil air suci yang bisa untuk mengobati penyakit batin bahkan bagi yang mampu menggunakanya bisa di pakai untuk pagar ghaib.

 
   Sosok Srikandi Gunung Lawu, penampakannya  yang kadang tidak seperti yang terindera pandangan mata secara kewadagan, kadang gadis yang terlihat seperti pendaki gunung biasa itu bukan dari kalangan bangsa manusia yang hidup, ia wujud semu energi yang tak kasat mata, sosok mahluk dari dunia lain, alam lelembut, sosok dari alam roh.
    Semua itu karena di lokasi ini, sejak kaki gunung sampai puncak tertingginya sudah berabad-abad lamanya menjadi pusat spiritulaisme tanah Jawa, pusat supranatural yang sangat kental dengan kebatinan, sebuah ilmu metafisika yang sangat rumit untuk di jabarkan dalam sebuah kalimat singkat dan sederhana.
   Ia merupakan bagian inti dari segitiga pusat kearifan lokal tanah Jawa, tiga lokasi utama antara Puncak Lawu perbatasan Jatim-Jateng, Laut Selatan di Samudera Hindia dan Puncak Merapi di DIY, yang satu dengan yang lain saling terkait dan terhubung menjadi satu kesatuan yang utuh.
  Dan sosok-sosok yang di jumpai para pendekar muda yang kenyang di tempa kanuragan khas pencak silat itu membuat ruang waktu antara alam manusia dan alam lelembut kadang sulit untuk di bedakan lagi oleh mereka, apalagi para pendekar muda yang masih lajang dan masih sangat besar dorongan keinginanya terhadap sosok perempuan rupawan.
   Itu semua seperti yang telah diwedar senior-seniornya, merupakan bagian dari sebuah laku spiritual dalam mencari jati diri seorang pendekar sejati, ajang penempaan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan pesilat yang tak bisa dipisahkan dari warisan tradisi leluhur nusantara, yang tetap menjaga hubungan dan keseimbangan antara kasunyatan dan keghaiban menjadi satu kesatuan yang satu dengan lain saling menyokong dan memperkuat demi sebuah harmoni kehidupan sehinggga tercipta sebuah kondisi langgeng sakjeroning ketentreman sejati.
  Itu semua sangat di sadari para pendekar muda dari bumi Kaltim itu, yang memanfaatkan sisa waktunya saat sowan ke padepokan pusat, menyempatkan diri untuk mendaki titik 3.265 meter di atas permukaan laut, simbol perjuangan mencapai puncak cita-cita suci, menjaga tetap tegak dan berkibarnya panji-panji Wiro Yudho Wicaksono di angakasa bumi pertiwi kinasih.
    Selepas pos 2, anak-anak muda itu lebih berhati-hati manakala berpapasan, bersua atau berbicara dengan sosok gadis, atau sosok lainya yang kebetulan di jumpai di jalur pendakian yang makin menjulang terjal derajat kemiringannya di tambah suhu dingin yang kian ekstrim.
    Semakin naik, oksigen semakin tipis, udara makin dingin, sehingga sangat menguras stamina fisik anak-anak muda Kutai Barat itu, keadaan yang membuat mereka harus pandai-pandai menjaga pernafasan agar cadangan tenaga tidak terpakai habis bahakan sebelum mereka mencapai titik 3.265 m dpl, Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu.
WIRO YUDHO WICAKSONO
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI
MELU HANDARBENI –HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia