SRIKANDI CEMPAKA PUTIH
“ O W K P ”
OBROLAN WARUNG KOPI PENDEKAR
“Kopi jaenipun pakdhe, jangan terlalu banyak jahenya, makek gula aren
saja”
“wah tumben siang baru njedul, biasanya esuk
umun-umun, nembe dugi tho anakmas, oya tunggu, baru saya panaskan airnya,
gulanya diaduk atau di pisah”
“dipun pisah mawon pakdhe“
Wibowo yang baru masuk menghempaskan badanya kekursi panjang di dekat
jendela, tempat duduk kesukaanya.
Duduk dekat jendela karena dari daun pintunya yang terbuka itu pandangan
matanya bebas memantau hamparan persawahan bahkan sampai jauh di lembah bawah,
warung kopi yang strategis, mirip seperti menara pandang.
Hari sudah tidak lagi pagi, beranjak ke siang, namun masih terlalu
dingin, bahkan sinar matahari belum sempurna bersinar, awan di timur
menghalangi cerahnya cahaya mentari, kalau pas lagi musim kemarau, jam segini
sudah panas suhu udaranya.
Semalaman daerah Panekan dan sekitarnya di guyur hujan lebat, sejak
tengah malam sampai lewat subuh.
Sejak musim pilihan lurah kepala desa, hujan enggan turun, awan yang
sudah berkumpul selalu saja diusir angin lumaris yang tak rela bumi dibasahi
air anugerah, sehingga hujan tak kunjung turun lebih dari enam bulan, setengah
tahun yang kerontang.
Dan Desember ini, musim hujan telah tiba, setiap hari bumi diguyur
lebatnya air gratis, sehingga tanah retak kerontang itu basah sudah.
Dan bagai disulap, tak sampai sepekan, bumi Jawadwipa kembali segar dan
sejuk udaranya, nyaman mendamaikan, lembah gunung Lawu kembali menghijau, tanah
retak berdebu kini jadi basah sudah.
Tanah yang menjadi sangat subur, tanah gembur basah yang memberikan
sejuta harapan bagi kaum petani, kaum pejuang kehidupan.
Nampak dari lembah, jajaran air-air terjun tiban di lereng gunung Lawu
mengalir membentuk garis-garis memanjang putih nampak dari lembahnya, air
terjun yang memutih alurnya.
Air terjun musiman, yang ada aliranya jika musim hujan tiba, aliran air
yang besar, datang dari kawasan puncak, tebing dan menyatu di lekuk-lekuk
tubuhnya yang tinggi menjulang gagah, wukir Mahendra, gunung terbesar di
Jawadwipa.
Dan jika didekati akan terbentang pemandangan air terjun raksasa
berbagai bentuk yang meluncur deras dari kelembah bawah.
Dan dengan suara yang lebih hebat bergemuruh dari air terjun raksasa
terbesar di dunia, Niagara, karena debitnya yang jutaan meter kubik, mengalir
ke lembah dan memenuhi permukaan anak-anak sungai yang meliuk-liuk bagai ular
raksasa.
Air yang menyatu di jalur-jalur sungai musiman, yang jika musim kering
hanya berupa jajaran jurang-jurang curam yang menganga, kini berubah jadi
beberapa air terjun raksasa, air terjun di lereng gunung Mahendra, warga
Panekan yang melihat dari lembah bawah menyebutnya sebagai Ancar, air terjun musiman
“wah, semalam banjir pakdhe, malam sampai subuh belum reda, barusan saya
mampir ke menengok lahan padi, lumpur naik ke sawah, dua petak tanaman padi
terpaksa saya sulam ulang karena hanyut akibat debit air yang terlalu besar,
salah saya sendiri, lupa menutup saluran air masuk ke petak sawah, begitu hujan
datang, langsung di hajar aliran air dari jalur irigasi utama, banyak yang
hanyut, maklumlah pakdhe baru sehari di tanam malamnya langsung terendam air
berarus deras akibat hajatan hujan, untunglah stok cadangan bibit masih cukup,
ketiban pulung, pagi-pagi buta sudah nencepin bibit padi di sawah, hehehe”
“memang anakmas, anyak mareng tahun ini hujanya hampir tiap hari,
sampai-sampai saya tidak bisa menengok sawah karena cuaca hujan yang terus-terusan
setiap hari, mungkin sawah saya kini juga terendam lumpur yang petak-petaknya
dekat tulakan, dekat dengan pintu masuk air, terendam lumpur akibat terbawa arus
saluran irigasi, dari atas hujan menghajar tebing dan lereng yang agak gundul
akibat kebakaran hebat kemarau lalu”.
“iya pakdhe, kawulo piyambak juga ngeri memikirkan akibat kebakaran
hutan kemarau lalu, aliran sungai warnanya hitam pekat akibat sisa abu dan
arang di tebing dan lereng gunung Lawu hanyut ke bawah terbawa air hujan, yang
takutnya akan memiciu titik-titik rawan Lonsor seperti sepuluh tahun yang lalu,
banyak warga kehilangan ternak sapi dan rumahnya akibat longsor”
“benar anakmas, semoga cuaca yang bagus di musim anyak marengan ini
segera datang, dengan hujan yang debitnya sedang serta teratur tidak tiap hari
jatuh, labuhan musim tanam padi sudah banyak yang panen berganti tanaman jagung,
banyak yang akan menanam bawang merah nampaknya kadang tani di Penekan, mereka
akan lebih jor-joran anakmas, karena tahun lalu saja Panekan membuat heboh
karena sukses besar dan para petaninya banyak yang bisa beli tanah lagi karena
untungnya yang luar biasa, keuntungan ibarat main judi menanam bawang merah yang
sekarang seperti investasi tak sampai 100 hari panen sejak pengolahan lahan”
“injih Pakdhe, tahun ini untuk stok pakan si Sembrani dan ribuan kuda
pacu di zona Lawu, sengaja marengan saya perbayak nanam padi silangan seratus
hektar, bibit pari ulu yang sukses di perbanyak di Panekan kiriman dari sedulur
PSCP Kutai Barat Kalimantan Timur yang ikut mensuport perjuangan kita di pusat,
dan saya sudah menghubungi teman-teman semua, sudah siap seribu hektar pakdhe,
kami seluruh warga Madya angkatan kami patungan nanam bawang merah dan padi organik
marengan ini, modalnya sama seperti tahun kemarin, plus tambahan tenaga kerja,
pupuk organik dan dana perawatan khusus naik lima persen, jika kalkulasi kami
gol, insyaalah akan bisa mendatangkan pejantan kuda pacu juara Asia dan Dunia
buat bibit unggul plus pengadaan ribuan garasi kandang kuda yang juga baru hehehe,
hanya karena untung main judi di lahan sawah nanam bawang merah yang perlu
waktu 80 sampai 100 harian paling lama”
Pakdhe Wiro diam-diam mengagumi sepak terjang Wibowo dan kawan-kawanya
satu angkatan, sosok-sosok tangguh pendekar muda warga Madya yang memilih jadi
petani di Panekan, dikala ribuan anak-anak muda semua eksodus ke kota, malu
jadi petani, akibatnya sawah banyak yang jadi lahan tidur.
Wibowo dan kawan-kawanya beda, mereka rela menjaga tanah kelahiran
dengan jadi PETANI, pembela tanah air nusantara Indonesia, petani milenial yang
mampu membawa kembali kehidupan peradaban kearifan lokal leluhurnya, menjadi
jembatan penyambung sejarah yang lama kepaten obor.
Wibwo dan warga-warga muda Madya itu, cancut taliwanda, menyewa lahan
puluhan hektar saja awalnya, nanam jagung dan bawang merah, untung besar nambah
luas sewanya, dan untuk mesin penggarap lahan dibelikan sapi penggrap sawah,
yang efektif menggantikan trakator bajak yan tak efesien di lahan berundak, berteras
miring sampai 75 derajat.
Panekan yang lembahnya
bergelombang berbukit dengan lereng terjal, ratusan ekor sapi yang kini sudah
maksimal kemampuan menggarap sawah dengan menarik bajak dan luku tradisional.
Mesin traktor modern gagal totak di lahan yang berteras tajam dengan
sudut kemiringan 30 derajat, makin tajam
tinggi sudutnya makin sempit teras petak lahanya.
Dan di beberapa titik lokasi yang tanahnya subur, sudut kemiringan
lahanya bahkan bisa mendekati sudut 80
derajat, dengan petak lahan yang makin sempit itu hanya bisa di singkal bajak
yang ditarik sapi, mesin tradisional yang efektif dengan bahan bakar rumput dan
dedak, murah praktis dan gratis, traktor makan minyak solar, biaya suku cadang
dan reparasinya sangat berbiaya tinggi, tak cocok untuk teknik budidaya padi
organik alami.
Traktor sering merepotkan jika akan pindah ke petak yang lebih sempit,
harus di gotong ramai-ramai, dan itu sangat melelahkan, memakan waktu, membuat
jengkel operatornya.
Untungnya ada teknologi kuno namun efektif dan efesien, sapi yang
menarik bajak dan singkal, dan teknologi yang dianggap ndeso, masih tradioanal
peninggalan peradaban jaman purba untuk
pengolahan lahan calon tanaman padi ituah yang mendatangakan keuntungan dari
banyak sisi.
Teknologi purba yang bahkan sekali lagi sangat menolong, adalah bajak
dan singkal yang di tarik seekor lembu untuk lahan paling sempit dan sepasang
lembu untuk petak yang lebih lebar, lembu sebagai kendaran suci Bathara Guru di
masa silam, peradaban purba manakala nusantara masih menyembah agama hindu aliran
Siwa.
Dalam tempo yang bahkan singkat, Wibowo dan warga Madya Muda itu sudah
mampu berdikari, mendirikan CV Cempaka Madya, bidang usaha on dan off farm yang
berkaitan dengan pertanian dalam skala luas dengan hak sewa ratusan ribu hektar
lahan subur di lembah gunung Lawu sampai gunung Wilis, kawasan Monconegari
Wetan yang jadi lumbung utama bahan pangan negeri ini.
Setelah sukses, mereka beternak ribuan ekor ternak kuda pacu, wilayah
lereng gunung Lawu yang kaya potensi di maksimalkan, mereka jadikan inti
pengajuan proposal lokal ke pemda dan kementrian negar terkait, gol semua dan
bulat kontan di sepakati, wisata berkuda di zona desa dan wana hutan lindung area
lereng sampai puncak gunung Lawu menjadi ikon utamanya, dalam tempo singkat,
semua bisa, semua terlaksana.
Wibowo yang jadi direktur utama
CV. Cempaka Madya, masih seperti dahulu, saat masih jadi pemuda biasa, kemana-mana
hanya mebawa pick up bututnya, pick up yang sudah diganti dengan mesin baru,
pick up perjuangan.
Sosok anak muda yang jadi pendekar muda yang menolak jadi menteri
pertanian NKRI karena tak ingin jauh meninggalkan gunung Lawu, wukir Mahendra,
tanah keramat yang baru saja bangkit kekuatan sejatinya.
Istana menjadikan anak-anak muda di CV. Cempaka Madya tolok ukur
pembangunan manusia milenila nusantara dan khususnya spesifikasi pembangunan
teknologi tepat guna di bidang pertanian yang tidak melupakan keunggulan asli
kearifan lokal leluhur nusantara.
Dan kepercayaan pak Jokowi presiden RI kepada anak-anak muda itu
dimanfaatkan Wibowo untuk titip pesan budaya keramat paling wingit gawat
keiwat-liwat.
Sekali lagi sebuah pesan yang sangat wingit, kalau bisa istana dan
majelis permusyawaratan rakyat merubah dan merevisi sistem pemilihan kepala daerah
sejak tingkat lurah, kades, bupati, walikota dan gubernur agar tidak melalui
pilihan lagsung, karena demokrasi ini sangat tidak cocok untuk peradaban timur
yang serba gotong royong dan mengedepankan kerukunan warga dan masyarakatnya.
Pesan siandhi, dengan tujuan uutama agar tak terjadi pertengkaran karena
beda pilihan politik, manakala mencari pemimpin daerah, baik yang maju jadi
pimpinan desa kelurahan sampai propinsi, yang sangat mungkin memicu pertumpahan
darah yang kelak tentu akan berakibat kehancuran negeri ini jika terus menerus
dipertahankan sistem demokrasi langsung ini.
Paska reformasi tahun 1998, demokrasi langsung umum bebas rahasia jadi
kehilangan makna, yang ada adalah demokrasi pancasila yang dibelokkan seenak
udelnya oknum-oknum yang syarat kepentingan sesaat dan kontan.
Para tim sukses menggunakan kampanye hitam, kelompok radikalis berbau
syariat agama berbaris rapi menggempur peradaban gotong royong dengan ayat-ayat
jihad.
Ayat-ayat perang sabil, gerakan bertopengkan baju agama Islam murni yang
dibenturkan dengan Negara Pancasila secara head to head lewat medsos dan
kajian-kajian keagamaan yang dimanipulasi sedemikian cerdiknya.
Sehingga kalangan awam banyak yang kepincut ikut-ikut, mabuk berat dan
kontan membenci pemerintahan, yang jika berlarut-larut, akan memicu kerusuhan
sara, peradaban budaya nusantara akan terancam sirna ilang dari kertaning bumi
pertiwi.
Dan yang lebih ngeri dari krisis agama dan politik di kawasan timur
tengah yang kini dunia masih fokus dengan sepak terjang Isis yang tenar sebagai pejuang jihad
penggorok leher pemenggal kepala, dan itu niscaya terjadi tragedinya di bumi
NKRI jika tak segera dicarikan solusi dengan mencari formulasi berdemokrasi ala
nusantara yang setia pada peradaban agung adilugung khas leluhur nuswantara.
Itulah peradaban budaya gotong
royong, suara terbanyak di demokrasinyapun memakai musyawarah mufakat bulat,
bukan pilihan per individu di bilik suara, namun rapat terbuka dibalai desa,
kelurahan, kampung sampai pendopo agung kadipaten dan gubernuran bahkan istana
raja.
Mengacu pada suksesnya sistem kerajaan masa silam dimana pemerintahan efektif
menjadi diri sendiri dalam ketatanegaraanya.
Pemerintahan yang sukses menjadi besar dan jaya di bumi nusantara, pemimpin
daerahnya akan ditunjuk langsung oleh Negara dan raja atas rekomendasi
wakil-wakil rakyat yang kompeten, sehingga benturan kepentingan, ditunggangi
kekuatan kiri dan kanan akan dikanalisasi, dokontrol dan di habisi, terhapus
dengan mudah.
Dan hari ini, era milenial kita kenyang disuguhi dengan gerakan massif
terukur dan sistematis kelompok-kelompok kecil pro khilafah yang berbaris rapi
di reuni 212 setiap tanggal 2 Desember setiap tahunnya, sampai hari ini di
kawasan monument nasional di Batavia, Sunda Kelapa, Jakarta, itu fakta, dan
Negara-pun harus berhadapan dengan anak-anaknya sendiri yang minger kiblatnya.
Semua itu berawal dari kebablasan dan liarnya demokrasi langsung di desa
dan benturan antar pendukung dan botoh pemilukada yang harus bisa dihapuskan
potensi konfliknya dengan cepat dan diefesienkan serta direvisi undang-undang
yang mengatur seluk beluk teknis dan non reknisnya.
Wibowo dan kawan-kawanya adalah simbolisasi masih adanya di negeri ini anak
muda yang menolak diblow up media masa, bahkan saat bertemu secara sangat
rahasia sang preseiden NKRI guna memberikan masukan dan kritikan lebih suka
sinamudana dedelikan, bertemu dengan sosok RI 1 secara blusukan.
Aspirasi milenial anak muda yang menjadi pejuang Panca Setia di kawasan
lereng timur wukir Mahendra di setiap anyak Purnamasidhi, sosok anak muda yang
memilih keluar dari daya pikat gemerlap jabatan di kursi kekuasaan pemerintahan
dan negara dan total menjadi garda terdepan ketangguhan pangan serta ekonomi
negerinya tercinta, Indonesia, tanah air nuswantara.
“oya anakmas, bagimana musim sodoran nanti, apakah jadi mengundang
pendekar-pendekar terbaik dari kampung pencak silat zona pura Purabaya, kawasan
Madiun”
“siyos pakdhe, Mbah Man sendiri menyediakan Dwija Cup tahun ini, untuk
diperebutkan pendekar-pendekar penunggang kuda terbaik, saya harap semah kawula
nimas Rengganis tahun ini kompak dengan pasukan estrinya, bisa mengharumkan
nama besar Srikandi Cempaka Putih Pusat pakdhe, karena saya tahu sendiri, kian tahun kian berat, pendekar-pendekar
penunggang kuda dan khususnya skuad Srikandi Gunung Wilis makin mahir dan
tangguh, saya tidak ingin gelar juara umum pindah dari kita ke kawasan Madiun,
kita yang mempelopori, kita jugalah yang harus jaga gengsinya pakdhe”
“hehehe, semoga sukses anakmas, genduk ayu Rengganis itu memang trah
pasukan Estri Pura Mangkunegaran dari simbah buyutnya yang putri, maka wajar
saja jika darah prajurit perempuan penunggang kuda itu deras mengalir di dalam tubuhnya,
tiga kali meraih gelar penunggang kuda terbaik yang laki-lakipun ia kalahkan
hehehe, mengalahkan seluruh ketangguhan pendekar-pendekar penunggang kuda di zona
monconegari, dan belum ada adik angkatanya yang mampu menyamai rekor si genduk
Rengganis”
Wibowo tersenyum bangga, sang bini yang bernama Rr. Hesti Maharani, Rr
ternyata roro rengganis, kalimat yang tak tertulis, bukan gelar keraton, itu hanya
nama hadiah sang nenek buyut sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bilang
pada sang ibunda Hesti, jika jabang bayi itu lahir perempuan, beriah tambahan
Rr, kepanjanagn dari Roro Rengganis, nunggak semi dengan nama tenar seorang Senopati
Putri Pura Mangkunegaran yang jadi tetunggul agul-aguling yudha saat pangeran
Sambernyawa menghajar kekuatan militer modern Kompeni Belanda di era pecahnya
Mataram menjadi empat projo kejawen.
“mugi-mugi mimpang pakdhe si genduk sudah bisa ditinggal, jadi ibunya bisa
kembali berlatih menunggang kuda, kadang ia malah tertidur saat di bawa berkuda
pagi-pagi menghangatkan diri di bawah sinar matahari, tertidur lelap saat
menyusuri jalanan persawahan saat ibunya membawakan bekal sarapan buat saya
hehehehee”
Wibowo tersenyum geli, saat anak pertamanya yang perempuan itu sering di
gendong di punggung ibunya memakai tas gendongan bayi ketika naik kuda
pagi-pagi saat sang bini mengirimkan nasi sarapan ke lahan sawah.
Anak balita usia setahun yang
sedang lucu-lucunya, balita yang justru lelap tertidur di punggung ibundanya
itu, sang ibunda sang legenda pendekar putri penunggang kuda, sosok tangguh
srikandi cempaka putih yang selalu juara pertama, yang bahkan mampu mengalahkan
ketrampilan sang ayah sendiri, sang ayahanda yang lulusan terbaik pendekar muda
Madya PSCP Pusat.
Tak lama, pakdhe Wiro menumpahkan gorengan, sukun yang gurih, rasa asin
manis yang khas, makanan kesukaan Wibowo, yang segera mencomotnya, menikmati dengan
penuh syukur, sukun goreng yang asyik buat jadi teman minum kopi jahe khas
warung kopi pendekar racikan pakdhe Wiro, sosok sepuh yang menikmati hidup di
desa, hidup di subur dan damainya lembah gunung Lawu.
Setiap musim hujan hampir berakhir, para petani menanam bawang merah,
musim mareng, Marengan, Panekan menjadi lumbung bawang merah nasional.
Dan CV. Cempaka Madya yang Wibowo rintis makin besar dengan ribuan
karyawan, namun anak muda itu enggan berkantor di Surabaya atau Jakarta atau
bahkan Singapura.
Semua itu ia wakilkan saja keadministrasianya pada tangan-tangan
berintegritas yang kompeten di bidangnya, kawan-kawanya saat kuliah dan
sama-sama menjalani beratnya pendadaran kawah candradimuka calon warga Madya.
Dan jika rapat penting ia hanya telekonferen saja dengan pelaksana tugas
Dirut CV.Cempaka Madya di ketiga kota utama kantor resminya.
Rapat jarak jauh dengan perwakilan kantor cabang yang dipegang kawan-kawan
seangkatanya di kala masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan di kawah candradimuka pendadaran calon pendekar
warga Madya pencak silat Cempaka Putih pusat yang maha berat.
Atas didikan, restu dan doa sesepuh PSCP Pusat, semua kesuksesan itu
tetap membuat Wibowo dan personil jajaran CV. Cempaka Madya tetaplah
sosok-sosok muda yang sangat rendah hati, bahkan kendaraan serta rumah mereka
masih biasa.
Dan sang dirut CV. Cempaka Madya, Wibowo masih suka naik pick up butut
kemana-mana pergi.
Dan sang istri malah suka nunggang si Sembarani, kuda putih juara umum
di arena pacu dan keahlian perang para pendekar monconegari.
Isteri yang tak biasa, perempuan pendekar yang luar biasa, nama besarnya
dikenal seluruh jajaran para pendekar kawasan lembah gunung Wilis sampai lembah
gunung Lawu.
Dan dunia kependekaran mengenal isterinya dengan sebutan si Rengganis, macan
putri penunggang kuda sembrani dari pasukan Srikandi Cempaka Putih gunung Lawu.
Sosok yang tangguh, tanggon, cekatan, tatag dan titis, sambil
menggebarak kuda dengan kecepatan maksimal, ia selalu sukses menembakkan anak
panahnya di titik sasaran dengan nilai terbesar.
Dan ujung mata tombaknya selalu sukses mengambil gelang-gelang rotan
yang di gantung di tiang-tiang gawang di lapangan desa tempat arena perlombaan
ketangkasan menunggang kuda perang, kuda pacu terbaik.
Dan si Rengganis, macan putri penunggang kuda sembrani, pendekar putri
yang masih muda, agul-aguling skuad Srikandi Cempaka Putih lembah gunung Lawu,
adik angkatan Wibowo sang suami di perguruan PSCP Pusat selalu juara satu,
selalu ungguling ayudha.
Srikandi cempaka putih yang selalu jaya di palagan dengan menyabet juara
pertama, mengalahkan pendekar laki-laki di zona monconegari, lembah luas
terbentang sejak gunung Lawu sampai gunung Wilis.
Gadis lincah yang Wibowo taksir sejak SMA, dan garis jodoh itu sempurna mempertemukan
mereka sebagi sepasang pendekar gunung Lawu yang mahsyur di dunia persilatan
era Milenial.
Hujan merintik lagi, Wibowo menghabiskan sisa kopi jahenya yang dingin,
ia bayar uang kopi dan gorengan, yang seperti biasa di tolak sang pemilik
warung yang gurunya sendiri di PSCP pusat.
Seorang guru yang setiap pekan ia berikan hasil panen sayur, buah dan
rempah serta uang saku yang lebih dari cukup untuk kebutuha hidupnya,.
Sosok tangguh guru pencak silat yang anak-anaknya sudah mapan dan ia memilih
menolak tinggal serumah dengan mereka,
Dan semua pemberian Wibowo kepada pakdhe Wiro itu hanyalah sebagai wujud
dharma bakti murid kepada sang guru yang tak pernah di gaji Negara.
Seorang guru silat adalah wujud murni kerelawanan dan pengabdian sejati,
tanpa imbalan, tanpa gaji, gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya
milik mereka.
Gelar yang harus di bagi atau bahkan di lengserkan dari pundak guru di jajaan
ASN, Aparatur Sipil Negara, guru yang digaji negara.
Para pendidik jutaan siswa yang tersebar di seluruh pelosok NKRI, sosok
panutan yang kini takut memukul oknum-oknum muridnya yang bahkan urakan, nakal,
jahat, kriminalis sejati, yang nyata sudah bermoral bejad karena takut masuk
penjara polisi, takut KPAI, takut HAM, #kasihan.
Dan guru silat dengan gagah berani mengambil alih tanggung jawab itu,
memukul, menginjak-injak, menyeret, merendam di air kolam, sungai dan lautan,
menjewer telinga, bahkan menempelang dan menjungkir balikkan tubuh siswanya itu
dalam perkelahian khas dunia persilatan, mendidik lahir batin wadag dan jiwa
besar murid-murid binaan sang guru silat, yang tak mungkin dilakukan guru
sekolah biasa.
Dengan tujuan utama, agar kelak jadi manusia yang tangguh lahir batin
berakhlak mulia.
Tidak cengeng dan cemen seperti siswa lulusan sekolah pemerintah, yang
hanya pintar otaknya saja, namun tubuhnya lemah tak berdaya serta akhlak budi
pekertinya banyak yang dipertanyakan lagi.
Sosok pakdhe Wiro yang bersahaja, seorang guru
yang memilih hidup sederhana, berjualan minuman kopi dan gorengan, penjaga
warung kopi pendekar yang selalu akrab dan dekat denga siap saja.
Maha guru padepoakan PSCP Pusat, sosok sepuh kepercayaan sang Dwija
wasana yang akrab dengan semua anggota PSCP, baik siswa, warga perguruan maupun
masyarakat umum di wilayah padepokan pencak silat Cempaka Putih Pusat.
Hari kian merangkak menuju siang, hujan gerimis masih merintik, puncak
gunung Lawu meremang karena awan seharian menutupi langit.
Jalanan, sawah, kebun, ladang dan atap-atap rumah basah, udara dingin
masih mendekap alam, bahkan sejak semalaman semuanya kuyup diguyur hujan yang
bagaikan tumpah dari angkasa.
Lembah indah subur itu menghijau seronok, daun-daun di pepohonan lebat
tajuknya, semak-semak merimbun, tunas-tunas tanaman di lahan sawah hijau segar,
kebun dan ladang dipenuhi berbagai tanaman pangan beraneka ragam macamnya, alam
di bumi Jawa Dwipa nampak sangat elok permai, bumi yang gemah ripah dan loh jinawi, musim
labuhan metit, pertanda mangsa mareng sudah anyak.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO
HANGROSOWANI.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar