Senin, 02 Desember 2019

OBROLAN WARUNG KOPI PENDEKAR


SRIKANDI  CEMPAKA PUTIH
“ O W K P ”
OBROLAN WARUNG KOPI PENDEKAR
   “Kopi jaenipun pakdhe, jangan terlalu banyak jahenya, makek gula aren saja”
   “wah tumben siang baru njedul, biasanya esuk umun-umun, nembe dugi tho anakmas, oya tunggu, baru saya panaskan airnya, gulanya diaduk atau di pisah”
   “dipun pisah mawon pakdhe“
   Wibowo yang baru masuk menghempaskan badanya kekursi panjang di dekat jendela, tempat duduk kesukaanya.
   Duduk dekat jendela karena dari daun pintunya yang terbuka itu pandangan matanya bebas memantau hamparan persawahan bahkan sampai jauh di lembah bawah, warung kopi yang strategis, mirip seperti menara pandang.
   Hari sudah tidak lagi pagi, beranjak ke siang, namun masih terlalu dingin, bahkan sinar matahari belum sempurna bersinar, awan di timur menghalangi cerahnya cahaya mentari, kalau pas lagi musim kemarau, jam segini sudah panas suhu udaranya.
   Semalaman daerah Panekan dan sekitarnya di guyur hujan lebat, sejak tengah malam sampai lewat subuh.
   Sejak musim pilihan lurah kepala desa, hujan enggan turun, awan yang sudah berkumpul selalu saja diusir angin lumaris yang tak rela bumi dibasahi air anugerah, sehingga hujan tak kunjung turun lebih dari enam bulan, setengah tahun yang kerontang.
    Dan Desember ini, musim hujan telah tiba, setiap hari bumi diguyur lebatnya air gratis, sehingga tanah retak kerontang itu basah sudah.
   Dan bagai disulap, tak sampai sepekan, bumi Jawadwipa kembali segar dan sejuk udaranya, nyaman mendamaikan, lembah gunung Lawu kembali menghijau, tanah retak berdebu kini jadi basah sudah.
   Tanah yang menjadi sangat subur, tanah gembur basah yang memberikan sejuta harapan bagi kaum petani, kaum pejuang kehidupan.
  Nampak dari lembah, jajaran air-air terjun tiban di lereng gunung Lawu mengalir membentuk garis-garis memanjang putih nampak dari lembahnya, air terjun yang memutih alurnya.
   Air terjun musiman, yang ada aliranya jika musim hujan tiba, aliran air yang besar, datang dari kawasan puncak, tebing dan menyatu di lekuk-lekuk tubuhnya yang tinggi menjulang gagah, wukir Mahendra, gunung terbesar di Jawadwipa.
   Dan jika didekati akan terbentang pemandangan air terjun raksasa berbagai bentuk yang meluncur deras dari kelembah bawah.
   Dan dengan suara yang lebih hebat bergemuruh dari air terjun raksasa terbesar di dunia, Niagara, karena debitnya yang jutaan meter kubik, mengalir ke lembah dan memenuhi permukaan anak-anak sungai yang meliuk-liuk bagai ular raksasa.
   Air yang menyatu di jalur-jalur sungai musiman, yang jika musim kering hanya berupa jajaran jurang-jurang curam yang menganga, kini berubah jadi beberapa air terjun raksasa, air terjun di lereng gunung Mahendra, warga Panekan yang melihat dari lembah bawah menyebutnya sebagai Ancar, air terjun musiman
  “wah, semalam banjir pakdhe, malam sampai subuh belum reda, barusan saya mampir ke menengok lahan padi, lumpur naik ke sawah, dua petak tanaman padi terpaksa saya sulam ulang karena hanyut akibat debit air yang terlalu besar, salah saya sendiri, lupa menutup saluran air masuk ke petak sawah, begitu hujan datang, langsung di hajar aliran air dari jalur irigasi utama, banyak yang hanyut, maklumlah pakdhe baru sehari di tanam malamnya langsung terendam air berarus deras akibat hajatan hujan, untunglah stok cadangan bibit masih cukup, ketiban pulung, pagi-pagi buta sudah nencepin bibit padi di sawah, hehehe”
   “memang anakmas, anyak mareng tahun ini hujanya hampir tiap hari, sampai-sampai saya tidak bisa menengok sawah karena cuaca hujan yang terus-terusan setiap hari, mungkin sawah saya kini juga terendam lumpur yang petak-petaknya dekat tulakan, dekat dengan pintu masuk air, terendam lumpur akibat terbawa arus saluran irigasi, dari atas hujan menghajar tebing dan lereng yang agak gundul akibat kebakaran hebat kemarau lalu”.
   “iya pakdhe, kawulo piyambak juga ngeri memikirkan akibat kebakaran hutan kemarau lalu, aliran sungai warnanya hitam pekat akibat sisa abu dan arang di tebing dan lereng gunung Lawu hanyut ke bawah terbawa air hujan, yang takutnya akan memiciu titik-titik rawan Lonsor seperti sepuluh tahun yang lalu, banyak warga kehilangan ternak sapi dan rumahnya akibat longsor”
   “benar anakmas, semoga cuaca yang bagus di musim anyak marengan ini segera datang, dengan hujan yang debitnya sedang serta teratur tidak tiap hari jatuh, labuhan musim tanam padi sudah banyak yang panen berganti tanaman jagung, banyak yang akan menanam bawang merah nampaknya kadang tani di Penekan, mereka akan lebih jor-joran anakmas, karena tahun lalu saja Panekan membuat heboh karena sukses besar dan para petaninya banyak yang bisa beli tanah lagi karena untungnya yang luar biasa, keuntungan ibarat main judi menanam bawang merah yang sekarang seperti investasi tak sampai 100 hari panen sejak pengolahan lahan”
   “injih Pakdhe, tahun ini untuk stok pakan si Sembrani dan ribuan kuda pacu di zona Lawu, sengaja marengan saya perbayak nanam padi silangan seratus hektar, bibit pari ulu yang sukses di perbanyak di Panekan kiriman dari sedulur PSCP Kutai Barat Kalimantan Timur yang ikut mensuport perjuangan kita di pusat, dan saya sudah menghubungi teman-teman semua, sudah siap seribu hektar pakdhe, kami seluruh warga Madya angkatan kami patungan nanam bawang merah dan padi organik marengan ini, modalnya sama seperti tahun kemarin, plus tambahan tenaga kerja, pupuk organik dan dana perawatan khusus naik lima persen, jika kalkulasi kami gol, insyaalah akan bisa mendatangkan pejantan kuda pacu juara Asia dan Dunia buat bibit unggul plus pengadaan ribuan garasi kandang kuda yang juga baru hehehe, hanya karena untung main judi di lahan sawah nanam bawang merah yang perlu waktu 80 sampai 100 harian paling lama”
   Pakdhe Wiro diam-diam mengagumi sepak terjang Wibowo dan kawan-kawanya satu angkatan, sosok-sosok tangguh pendekar muda warga Madya yang memilih jadi petani di Panekan, dikala ribuan anak-anak muda semua eksodus ke kota, malu jadi petani, akibatnya sawah banyak yang jadi lahan tidur.
  Wibowo dan kawan-kawanya beda, mereka rela menjaga tanah kelahiran dengan jadi PETANI, pembela tanah air nusantara Indonesia, petani milenial yang mampu membawa kembali kehidupan peradaban kearifan lokal leluhurnya, menjadi jembatan penyambung sejarah yang lama kepaten obor.
   Wibwo dan warga-warga muda Madya itu, cancut taliwanda, menyewa lahan puluhan hektar saja awalnya, nanam jagung dan bawang merah, untung besar nambah luas sewanya, dan untuk mesin penggarap lahan dibelikan sapi penggrap sawah, yang efektif menggantikan trakator bajak yan tak efesien di lahan berundak, berteras miring sampai 75 derajat.
    Panekan yang lembahnya bergelombang berbukit dengan lereng terjal, ratusan ekor sapi yang kini sudah maksimal kemampuan menggarap sawah dengan menarik bajak dan luku tradisional.
   Mesin traktor modern gagal totak di lahan yang berteras tajam dengan sudut kemiringan  30 derajat, makin tajam tinggi sudutnya makin sempit teras petak lahanya.
   Dan di beberapa titik lokasi yang tanahnya subur, sudut kemiringan lahanya bahkan  bisa mendekati sudut 80 derajat, dengan petak lahan yang makin sempit itu hanya bisa di singkal bajak yang ditarik sapi, mesin tradisional yang efektif dengan bahan bakar rumput dan dedak, murah praktis dan gratis, traktor makan minyak solar, biaya suku cadang dan reparasinya sangat berbiaya tinggi, tak cocok untuk teknik budidaya padi organik alami.
   Traktor sering merepotkan jika akan pindah ke petak yang lebih sempit, harus di gotong ramai-ramai, dan itu sangat melelahkan, memakan waktu, membuat jengkel operatornya.
   Untungnya ada teknologi kuno namun efektif dan efesien, sapi yang menarik bajak dan singkal, dan teknologi yang dianggap ndeso, masih tradioanal peninggalan peradaban jaman  purba untuk pengolahan lahan calon tanaman padi ituah yang mendatangakan keuntungan dari banyak sisi.
   Teknologi purba yang bahkan sekali lagi sangat menolong, adalah bajak dan singkal yang di tarik seekor lembu untuk lahan paling sempit dan sepasang lembu untuk petak yang lebih lebar, lembu sebagai kendaran suci Bathara Guru di masa silam, peradaban purba manakala nusantara masih menyembah agama hindu aliran Siwa.
   Dalam tempo yang bahkan singkat, Wibowo dan warga Madya Muda itu sudah mampu berdikari, mendirikan CV Cempaka Madya, bidang usaha on dan off farm yang berkaitan dengan pertanian dalam skala luas dengan hak sewa ratusan ribu hektar lahan subur di lembah gunung Lawu sampai gunung Wilis, kawasan Monconegari Wetan yang jadi lumbung utama bahan pangan negeri ini.
   Setelah sukses, mereka beternak ribuan ekor ternak kuda pacu, wilayah lereng gunung Lawu yang kaya potensi di maksimalkan, mereka jadikan inti pengajuan proposal lokal ke pemda dan kementrian negar terkait, gol semua dan bulat kontan di sepakati, wisata berkuda di zona desa dan wana hutan lindung area lereng sampai puncak gunung Lawu menjadi ikon utamanya, dalam tempo singkat, semua bisa, semua terlaksana.
    Wibowo yang jadi direktur utama CV. Cempaka Madya, masih seperti dahulu, saat masih jadi pemuda biasa, kemana-mana hanya mebawa pick up bututnya, pick up yang sudah diganti dengan mesin baru, pick up perjuangan.
   Sosok anak muda yang jadi pendekar muda yang menolak jadi menteri pertanian NKRI karena tak ingin jauh meninggalkan gunung Lawu, wukir Mahendra, tanah keramat yang baru saja bangkit kekuatan sejatinya.
    Istana menjadikan anak-anak muda di CV. Cempaka Madya tolok ukur pembangunan manusia milenila nusantara dan khususnya spesifikasi pembangunan teknologi tepat guna di bidang pertanian yang tidak melupakan keunggulan asli kearifan lokal leluhur nusantara.
   Dan kepercayaan pak Jokowi presiden RI kepada anak-anak muda itu dimanfaatkan Wibowo untuk titip pesan budaya keramat paling wingit gawat keiwat-liwat.
  Sekali lagi sebuah pesan yang sangat wingit, kalau bisa istana dan majelis permusyawaratan rakyat merubah dan merevisi sistem pemilihan kepala daerah sejak tingkat lurah, kades, bupati, walikota dan gubernur agar tidak melalui pilihan lagsung, karena demokrasi ini sangat tidak cocok untuk peradaban timur yang serba gotong royong dan mengedepankan kerukunan warga dan masyarakatnya.
   Pesan siandhi, dengan tujuan uutama agar tak terjadi pertengkaran karena beda pilihan politik, manakala mencari pemimpin daerah, baik yang maju jadi pimpinan desa kelurahan sampai propinsi, yang sangat mungkin memicu pertumpahan darah yang kelak tentu akan berakibat kehancuran negeri ini jika terus menerus dipertahankan sistem demokrasi langsung ini.
   Paska reformasi tahun 1998, demokrasi langsung umum bebas rahasia jadi kehilangan makna, yang ada adalah demokrasi pancasila yang dibelokkan seenak udelnya oknum-oknum yang syarat kepentingan sesaat dan kontan.
   Para tim sukses menggunakan kampanye hitam, kelompok radikalis berbau syariat agama berbaris rapi menggempur peradaban gotong royong dengan ayat-ayat jihad.
   Ayat-ayat perang sabil, gerakan bertopengkan baju agama Islam murni yang dibenturkan dengan Negara Pancasila secara head to head lewat medsos dan kajian-kajian keagamaan yang dimanipulasi sedemikian cerdiknya.
   Sehingga kalangan awam banyak yang kepincut ikut-ikut, mabuk berat dan kontan membenci pemerintahan, yang jika berlarut-larut, akan memicu kerusuhan sara, peradaban budaya nusantara akan terancam sirna ilang dari kertaning bumi pertiwi.
   Dan yang lebih ngeri dari krisis agama dan politik di kawasan timur tengah yang kini dunia masih fokus dengan sepak terjang  Isis yang tenar sebagai pejuang jihad penggorok leher pemenggal kepala, dan itu niscaya terjadi tragedinya di bumi NKRI jika tak segera dicarikan solusi dengan mencari formulasi berdemokrasi ala nusantara yang setia pada peradaban agung adilugung khas leluhur nuswantara.
    Itulah peradaban budaya gotong royong, suara terbanyak di demokrasinyapun memakai musyawarah mufakat bulat, bukan pilihan per individu di bilik suara, namun rapat terbuka dibalai desa, kelurahan, kampung sampai pendopo agung kadipaten dan gubernuran bahkan istana raja.
   Mengacu pada suksesnya sistem kerajaan masa silam dimana pemerintahan efektif menjadi diri sendiri dalam ketatanegaraanya.
   Pemerintahan yang sukses menjadi besar dan jaya di bumi nusantara, pemimpin daerahnya akan ditunjuk langsung oleh Negara dan raja atas rekomendasi wakil-wakil rakyat yang kompeten, sehingga benturan kepentingan, ditunggangi kekuatan kiri dan kanan akan dikanalisasi, dokontrol dan di habisi, terhapus dengan mudah.
   Dan hari ini, era milenial kita kenyang disuguhi dengan gerakan massif terukur dan sistematis kelompok-kelompok kecil pro khilafah yang berbaris rapi di reuni 212 setiap tanggal 2 Desember setiap tahunnya, sampai hari ini di kawasan monument nasional di Batavia, Sunda Kelapa, Jakarta, itu fakta, dan Negara-pun harus berhadapan dengan anak-anaknya sendiri yang minger kiblatnya.
   Semua itu berawal dari kebablasan dan liarnya demokrasi langsung di desa dan benturan antar pendukung dan botoh pemilukada yang harus bisa dihapuskan potensi konfliknya dengan cepat dan diefesienkan serta direvisi undang-undang yang mengatur seluk beluk teknis dan non reknisnya.
    Wibowo dan kawan-kawanya adalah simbolisasi masih adanya di negeri ini anak muda yang menolak diblow up media masa, bahkan saat bertemu secara sangat rahasia sang preseiden NKRI guna memberikan masukan dan kritikan lebih suka sinamudana dedelikan, bertemu dengan sosok RI 1 secara blusukan.
   Aspirasi milenial anak muda yang menjadi pejuang Panca Setia di kawasan lereng timur wukir Mahendra di setiap anyak Purnamasidhi, sosok anak muda yang memilih keluar dari daya pikat gemerlap jabatan di kursi kekuasaan pemerintahan dan negara dan total menjadi garda terdepan ketangguhan pangan serta ekonomi negerinya tercinta, Indonesia, tanah air nuswantara.
   “oya anakmas, bagimana musim sodoran nanti, apakah jadi mengundang pendekar-pendekar terbaik dari kampung pencak silat zona pura Purabaya, kawasan Madiun”
   “siyos pakdhe, Mbah Man sendiri menyediakan Dwija Cup tahun ini, untuk diperebutkan pendekar-pendekar penunggang kuda terbaik, saya harap semah kawula nimas Rengganis tahun ini kompak dengan pasukan estrinya, bisa mengharumkan nama besar Srikandi Cempaka Putih Pusat pakdhe, karena saya tahu sendiri,  kian tahun kian berat, pendekar-pendekar penunggang kuda dan khususnya skuad Srikandi Gunung Wilis makin mahir dan tangguh, saya tidak ingin gelar juara umum pindah dari kita ke kawasan Madiun, kita yang mempelopori, kita jugalah yang harus jaga gengsinya pakdhe”
   “hehehe, semoga sukses anakmas, genduk ayu Rengganis itu memang trah pasukan Estri Pura Mangkunegaran dari simbah buyutnya yang putri, maka wajar saja jika darah prajurit perempuan penunggang kuda itu deras mengalir di dalam tubuhnya, tiga kali meraih gelar penunggang kuda terbaik yang laki-lakipun ia kalahkan hehehe, mengalahkan seluruh ketangguhan pendekar-pendekar penunggang kuda di zona monconegari, dan belum ada adik angkatanya yang mampu menyamai rekor si genduk Rengganis”
   Wibowo tersenyum bangga, sang bini yang bernama Rr. Hesti Maharani, Rr ternyata roro rengganis, kalimat yang tak tertulis, bukan gelar keraton, itu hanya nama hadiah sang nenek buyut sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bilang pada sang ibunda Hesti, jika jabang bayi itu lahir perempuan, beriah tambahan Rr, kepanjanagn dari Roro Rengganis, nunggak semi dengan nama tenar seorang Senopati Putri Pura Mangkunegaran yang jadi tetunggul agul-aguling yudha saat pangeran Sambernyawa menghajar kekuatan militer modern Kompeni Belanda di era pecahnya Mataram menjadi empat projo kejawen.
   “mugi-mugi mimpang pakdhe si genduk sudah bisa ditinggal, jadi ibunya bisa kembali berlatih menunggang kuda, kadang ia malah tertidur saat di bawa berkuda pagi-pagi menghangatkan diri di bawah sinar matahari, tertidur lelap saat menyusuri jalanan persawahan saat ibunya membawakan bekal sarapan buat saya hehehehee”
  Wibowo tersenyum geli, saat anak pertamanya yang perempuan itu sering di gendong di punggung ibunya memakai tas gendongan bayi ketika naik kuda pagi-pagi saat sang bini mengirimkan nasi sarapan ke lahan sawah.
   Anak balita  usia setahun yang sedang lucu-lucunya, balita yang justru lelap tertidur di punggung ibundanya itu, sang ibunda sang legenda pendekar putri penunggang kuda, sosok tangguh srikandi cempaka putih yang selalu juara pertama, yang bahkan mampu mengalahkan ketrampilan sang ayah sendiri, sang ayahanda yang lulusan terbaik pendekar muda Madya PSCP Pusat.
  Tak lama, pakdhe Wiro menumpahkan gorengan, sukun yang gurih, rasa asin manis yang khas, makanan kesukaan Wibowo, yang segera mencomotnya, menikmati dengan penuh syukur, sukun goreng yang asyik buat jadi teman minum kopi jahe khas warung kopi pendekar racikan pakdhe Wiro, sosok sepuh yang menikmati hidup di desa, hidup di subur dan damainya lembah gunung Lawu.
   Setiap musim hujan hampir berakhir, para petani menanam bawang merah, musim mareng, Marengan, Panekan menjadi lumbung bawang merah nasional.
   Dan CV. Cempaka Madya yang Wibowo rintis makin besar dengan ribuan karyawan, namun anak muda itu enggan berkantor di Surabaya atau Jakarta atau bahkan Singapura.
   Semua itu ia wakilkan saja keadministrasianya pada tangan-tangan berintegritas yang kompeten di bidangnya, kawan-kawanya saat kuliah dan sama-sama menjalani beratnya pendadaran kawah candradimuka calon warga Madya.
   Dan jika rapat penting ia hanya telekonferen saja dengan pelaksana tugas Dirut CV.Cempaka Madya di ketiga kota utama kantor resminya.
  Rapat jarak jauh dengan perwakilan kantor cabang yang dipegang kawan-kawan seangkatanya di kala masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan  di kawah candradimuka pendadaran calon pendekar warga Madya pencak silat Cempaka Putih pusat yang maha berat.
  Atas didikan, restu dan doa sesepuh PSCP Pusat, semua kesuksesan itu tetap membuat Wibowo dan personil jajaran CV. Cempaka Madya tetaplah sosok-sosok muda yang sangat rendah hati, bahkan kendaraan serta rumah mereka masih biasa.
  Dan sang dirut CV. Cempaka Madya, Wibowo masih suka naik pick up butut kemana-mana pergi.
   Dan sang istri malah suka nunggang si Sembarani, kuda putih juara umum di arena pacu dan keahlian perang para pendekar monconegari.
   Isteri yang tak biasa, perempuan pendekar yang luar biasa, nama besarnya dikenal seluruh jajaran para pendekar kawasan lembah gunung Wilis sampai lembah gunung Lawu.
   Dan dunia kependekaran mengenal isterinya dengan sebutan si Rengganis, macan putri penunggang kuda sembrani dari pasukan Srikandi Cempaka Putih gunung Lawu.
   Sosok yang tangguh, tanggon, cekatan, tatag dan titis, sambil menggebarak kuda dengan kecepatan maksimal, ia selalu sukses menembakkan anak panahnya di titik sasaran dengan nilai terbesar.
   Dan ujung mata tombaknya selalu sukses mengambil gelang-gelang rotan yang di gantung di tiang-tiang gawang di lapangan desa tempat arena perlombaan ketangkasan menunggang kuda perang, kuda pacu terbaik.
   Dan si Rengganis, macan putri penunggang kuda sembrani, pendekar putri yang masih muda, agul-aguling skuad Srikandi Cempaka Putih lembah gunung Lawu, adik angkatan Wibowo sang suami di perguruan PSCP Pusat selalu juara satu, selalu ungguling ayudha.
    Srikandi cempaka putih yang selalu jaya di palagan dengan menyabet juara pertama, mengalahkan pendekar laki-laki di zona monconegari, lembah luas terbentang sejak gunung Lawu sampai gunung Wilis.
  Gadis lincah yang Wibowo taksir sejak SMA, dan garis jodoh itu sempurna mempertemukan mereka sebagi sepasang pendekar gunung Lawu yang mahsyur di dunia persilatan era Milenial.
   Hujan merintik lagi, Wibowo menghabiskan sisa kopi jahenya yang dingin, ia bayar uang kopi dan gorengan, yang seperti biasa di tolak sang pemilik warung yang gurunya sendiri di PSCP pusat.
   Seorang guru yang setiap pekan ia berikan hasil panen sayur, buah dan rempah serta uang saku yang lebih dari cukup untuk kebutuha hidupnya,.
  Sosok tangguh guru pencak silat  yang anak-anaknya sudah mapan dan ia memilih menolak tinggal serumah dengan mereka,   
   Dan semua pemberian Wibowo kepada pakdhe Wiro itu hanyalah sebagai wujud dharma bakti murid kepada sang guru yang tak pernah di gaji Negara.
  Seorang guru silat adalah wujud murni kerelawanan dan pengabdian sejati, tanpa imbalan, tanpa gaji, gelar pahlawan tanpa tanda jasa yang seharusnya milik mereka.
  Gelar yang harus di bagi atau bahkan di lengserkan dari pundak guru di jajaan ASN, Aparatur Sipil Negara, guru yang digaji negara.
   Para pendidik jutaan siswa yang tersebar di seluruh pelosok NKRI, sosok panutan yang kini takut memukul oknum-oknum muridnya yang bahkan urakan, nakal, jahat, kriminalis sejati, yang nyata sudah bermoral bejad karena takut masuk penjara polisi, takut KPAI, takut HAM, #kasihan.
  Dan guru silat dengan gagah berani mengambil alih tanggung jawab itu, memukul, menginjak-injak, menyeret, merendam di air kolam, sungai dan lautan, menjewer telinga, bahkan menempelang dan menjungkir balikkan tubuh siswanya itu dalam perkelahian khas dunia persilatan, mendidik lahir batin wadag dan jiwa besar murid-murid binaan sang guru silat, yang tak mungkin dilakukan guru sekolah biasa.
  Dengan tujuan utama, agar kelak jadi manusia yang tangguh lahir batin berakhlak mulia.
   Tidak cengeng dan cemen seperti siswa lulusan sekolah pemerintah, yang hanya pintar otaknya saja, namun tubuhnya lemah tak berdaya serta akhlak budi pekertinya banyak yang dipertanyakan lagi.
   Sosok pakdhe Wiro yang bersahaja, seorang guru yang memilih hidup sederhana, berjualan minuman kopi dan gorengan, penjaga warung kopi pendekar yang selalu akrab dan dekat denga siap saja.
   Maha guru padepoakan PSCP Pusat, sosok sepuh kepercayaan sang Dwija wasana yang akrab dengan semua anggota PSCP, baik siswa, warga perguruan maupun masyarakat umum di wilayah padepokan pencak silat Cempaka Putih Pusat.
   Hari kian merangkak menuju siang, hujan gerimis masih merintik, puncak gunung Lawu meremang karena awan seharian menutupi langit.
  Jalanan, sawah, kebun, ladang dan atap-atap rumah basah, udara dingin masih mendekap alam, bahkan sejak semalaman semuanya kuyup diguyur hujan yang bagaikan tumpah dari angkasa.
    Lembah indah subur itu menghijau seronok, daun-daun di pepohonan lebat tajuknya, semak-semak merimbun, tunas-tunas tanaman di lahan sawah hijau segar, kebun dan ladang dipenuhi berbagai tanaman pangan beraneka ragam macamnya, alam di bumi Jawa Dwipa nampak sangat elok permai,  bumi yang gemah ripah dan loh jinawi, musim labuhan metit, pertanda mangsa mareng sudah anyak.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSOWANI.
WIRO YUDHO WICAKSONO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia