Senin, 02 Desember 2019



PENDEKAR GUNUNG LAWU
Bagian 3
MISTERI HAMPARAN BUNGA CINTA ABADI
Foto: Bunga Edelweiss Salju atau Edelweiss Jawa, Anaphalis Javanica sp, tanaman yang di kenal pendaki gunung Lawu  sebagai Bunga Cinta Abadi, karena manakala di petik dan diberikan kepada kekasihnya, ia akan mekar indah abadi, tak akan pernah layu dan rontok kuntum bunganya, tanaman langka yang dilarang keras di petik dari puncak-puncak gunung di Indonesia.
  Salah satu hal yang unik dan khas dari gunung Lawu, memiliki spesies Edelweiss Ungu, Merah, Kuning dan Putih yang pada bulan-bulan tertentu mekar, dan empat warna yang indah itu, putih, kuning dan merah, dan ungu sangat eksotis.
  Sehingga jika musim puncak mekar penuh di bulan Agustus s/d November kawasan puncak gunung Lawu sering disebut sebagai Taman Sari Bidadari Negeri Di Atas Awan!.
    Jika panjenengan akan mendaki, akan diberikan informasi dan larangan-larangan benda-benda apa saja yang harus ditinggalkan di basecamp loket penjaga gerbang pendakian, baik jalur Jatim maupun Jateng.
   Salah satu larangan adalah dilarang keras untuk membawa/merusak/memetik kuntum bunga Edelweiss, karena dibalik keharuman wanginya yang khas ada aura mistis yang menyokong keberlanjutan kehidupan dunia tak kasat mata di zona Wukir Mahendra, Gunung Lawu, karena ia merupakan tanaman ghaib yang jika kita melanggar larangan dengan merusak dan memetiknya, ada konsekuensi yang akan kita tanggung sepulangnya dari pendakian.
   Secara ilmiah, habitatnya sangat ekstrim, hanya mampu hidup dengan baik di atas ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, sehingga sang bunga dapat menjadi penopang kehidupan di puncak-puncak gunung berbatu yang keras sebagai tanaman perintis dan menjadi habitat berbagai macam jenis serangga, burung  dan menjadi sumber unsur hara esensial bagi lingkungan di puncak-puncak berbatu keras dimana tanaman lain sulit tumbuh, dan sang Edelweiss menyediakan zat penting itu agar habitat gersang bisa berkembang menjadi hutan rimba kembali.
   Sebelum kejatuhan rezim keluarga Cendana di reformasi 1998, di ulang tahun perusahaan salah satu anggota keluarga besar presiden ke 2 RI itu, telah dipetik kurang lebih sejuta batang kuntum Edelweiss, sehingga kawasan puncak Lawu menjadi gersang, karena sang bunga Cinta Abadi di bawa dengan puluhan Truk ke Ibukota Negara Jakarta hanya demi kesenangan sesaat keluarga sang penguasa.
   Sehingga, saat habitat dan bunganya dijarah tak dihargai, para penghuni alam tak kasat mata yang marah menunjukkan kekuatannya, jatuhlah rezim yang 32 berkuasa itu penuh dengan intrik, karena lalai dan melanggar larangan keramat, dilarang memetik bunga Edelweiss, si Bunga Cinta Abadi.
   Kisah kehidupan alam tak kasat mata itulah yang coba disampaikan redaksi Buetin PSCP Kubar-Kabarnya pendekar milenial zona Kutai Barat Kaltim kepada pembaca sekalian, agar mencintai alam, menjaga, dan menghormatinya, dan sekaligus mencoba kami angkat menjadi sebuah kisah pendakian para pendekar muda yang sedang mengeksplore keindahan gunung terbesar di tanah Jawa tersebut.
   Hanya di PENDEKAR GUNUNG LAWU, BAGIAN 3, MISTERI HAMPARAN BUNGA CINTA ABADI, Edisi Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat-Kaltim bulan November 2019 secara lengkap, versi medsosnya ada bagian yang kami cut karena menyangkut rahasia padepokan Wiro Yudho Wicaksono, jadi khusus untuk intern anggota PSCP saja, makanya buruan gabung di PSCP biar dapat versi lengkap tanpa di cut!
Foto: oknum pendaki perempuan, memakai jaket bergambar macan putih dalam posisi milar/melompat, nampak sedang menerima rangkaian bunga Edelweiss dari kekasihnya, nampak aknum pendaki yang melanggar larangan keramat itu justru kelihatan bahagia!, sang cowok pacar sang cewek, keduanya saling menatap tepat di manik mata, sambil pamer senyum bahagia karena bisa mempersembahkan sang bunga cinta abadi kepada pasangannya, dengan janji “SELAMA KUNTUM BUNGA CINTA INI KAU SIMPAN, IA AKAN TETAP ABADI DI JIWA RAGA KITA, SEKEKAL ABADI CINTA KASIHKU KEPADAMU SAYANG!”  tak menunggu tuah kutuk larangan, begitu di unggah di medsos, langsung di hajar bully tingkat dewa dari para pecinta alam seluruh dunia, dan petugas di bawah sudah menunggu dengan ancaman hukuman penjara!.
(Episode ke 3 PENDEKAR GUNUNG LAWU, MISTERI HAMPARAN BUNGA CINTA ABADI, pengalaman mistis dari kisah petualangan warga PSCP Kubar yang mengadakan ekspedisi ke puncak gunung Lawu 3265 m dpl, di pos ke 3, dimana hamparan tanaman Edelweiss sedang berbunga, di tempat yang sangat indah bak surga tersebut mereka menemukan kawasan ghaib yang dipakai untuk bercocok tanam bagi para penghuninya, sebuah kearifan lokal yang masih murni selama berabad-abad, walau di dunia nyata kearifan itu satu demi satu mulai ditinggal serta ditanggalkan masyarakat di Nusantara.
   Diantara rombongan ekspeditor itu salah satunya adalah sosok seorang Aspiyanuar, dipanggil Aspiyan, secara tak sengaja masuk di dunia astral saat berjibaku dengan suhu ekstrem di ketinggian hampir 2000 m dpl, sehingga secara kebetulan ia mendengar sejarah leluhurnya dari sosok yang menyebut dirinya dengan nama Ki Jalak.
 Syahdan, prajurit kerajaan Majapahit yang tetap setia kepada Brawijaya Pamungkas di abad 15, dimasa transformasi kekuasaan oleh Kesultanan Demak dari Majapahit, yang setia kepada tahta Wilwatikta sebagian ke Bali dan sebagian ke arah barat menuju Gunung Lawu untuk melestarikan peradaban Majapahit, pasukan Bhayangkara pengawal keluarga kerajaan ini mengubah wujud wadagnya menjadi burung Jalak, dengan wujud itu mereka bebas meluncur  ke alam nyata menjaga kawasan Lawu dan sekitarnya, jika pendaki berniat jahat mereka menuntunnya ke arah yang salah sehingga tersesat dan meninggal di telan udara dingin!.
   Namun jika yang naik ke puncak masih ada trah/garis keturunan dengan prajurit pengawal dan kelurga Kerajaan Majapahit, akan dituntun di jalur yang benar sampai puncak dan bahkan bisa masuk ke alam mereka secara tak sengaja atau sengaja!.
   Selamat membaca kisah episode ke 3 dari Kisah petualangan Pendekar Gunung Lawu Bumi Kubar ini, dimana kisah berpusat pada bertemunya jalur/garis nasab/keturunan para pemuda trah Wilwatikta yang terpanggil jiwa juangnya untuk sowan ke Padepokan Wiro Yudho Wicaksono, dan dari titik mula itulah kisah di episode ini dimulai, selamat bertualang!).  
   …..sesampainya di tikungan ke dua setelah meninggalkan pos 3, rombongan kecil itu berhenti di pos bayangan, para pendekar muda itu sibuk mengisi botol bekal minumnya dengan air pada sebuah kolam kecil yang airnya berasal dari sebuah rembesan celah batu raksasa, yang di tampung pada cekungan yang malah nampak seperti kubangan, air murni yang bisa di minum langsung.
   Hamparan Edelweiss yang temaram tersembunyi di selimuti kabut gunung nampak remang menghitam, harum segarnya mampir di hidung dengan sangat lembut, menimbulkan sensasi relaksasi yang membuat mata sayu dan ngantuk bagaikan pengaruh obat bius dosis tinggi.
    Aspiyan meluruskan kaki, hal yang sama dilakukan seluruh personel, rehat sejenak di pos bayangan, tanjakan 45 derajat menguras energi sampai ngos-ngosan, efek nikotin lewat rokok kegemarannya mulai terasa, dadanya sesak dan panas, ada nyeri yang menusuk-nusuk paru-parunya, ia menelan ludah, membasahi kerongkongn, terbatuk-batuk, jatuh menghempaskan diri di sisi jalur yang dipenuhi hamparan semak Edelweiss!.
   Penat dan pegal dirasakan oleh sekujur tubuhnya, pukul 20.45 WIB, setelah makan malam udara beku mulai menyiksa, ia rapatkan jaketnya, tidur telentang di hamparan rumput yang mulai basah oleh titik-titik embun, diaturnya pernafasan dengan sangat pelahan-lahan.
   Ia kini sedang mengulang lagi sebuah teknik dari jalur ilmu Cempaka Putih yang legendaris, hasil tempaannya tekun di latihan warga PSCP Kubar setiap malam Minggu, konsentrasi pada keheningan semesta dan menyalurkan energi paling murni yang ia latih di pendadaraan warga Madya yang maha berat, ia unggah dasar-dasar teknik pukulan maut Brojomusti, yang kini ia olah dan memanfaatkannya sedemikian rupa untuk menghilangkan sergapan udara dingin yang beku dan menyiksa.
   Pelahan energi hangat dan berangsur-angsur panas menyelimuti segenap pori-pori dan sel-sel di sekujur jasad wadagnya, ia sedikit nyaman dan berusaha tetap fokus pada kondisi meditasi sambil membaringkan tubuhnya itu di atas hamparan rumput berembun beku yang serasa menyengat kulit wadag walau ia berjaket tebal.
   Jaket tebal yang bagian belakangnya bertuliskan Pendekar Gunung Lawu, namun sengatan beku dingin itu pudar seiring tubuhnya telah terlapisi energi panas yang membendung pengaruh udara beku gunung Lawu, energi dari tenaga cadangan yang sudah mapan, energi yang kini aktif melindunginya dari paparan hawa dingin.
   Kekuatan murni kanuragan nusantara, jika tataran pernafasan terasah di tingkat yang sudah mapan, dan kekuatan itu tengah terunggah, energi yang dimunculkan bahkan mampu membuka tirai tak kasat mata, pemuda kelahiran kampung di pedalaman Kaltim itu tak sadar, ia masuk pada sebuah kehidupan yang sangat lain, bahkan tahu-tahu ada suara halus menyapanya dengan tutur yang lembut.
“ehem…nuwun sewu anakmas, bisa pinjam korek apinipun!”
   Aspiyan kaget, tahu-tahu ia telentang di pinggir jalan sebuah kawasan pedesaan, ia pasti mimpi, namun ia raba betisnya yang tadi tergores duri gunung masih agak nyeri, hmmm, aneh, pikiranya belum bisa mencerna secara penuh dengan keadaan dan suasaana yang baru saja ia temui.
    Ia lihat sekeliling, sebuah tebing dengan lahan petak-petak terasiring yang penuh dengan tanaman padi, sebuah hamparan luas sambung menyambung, melingkari dataran tinggi di mana ia terbaring, sebuah lahan pertanian,  hamparan ladang dengan tanaman padi yang sedang menguning, bulir yang sangat padat berisi, bulir bulat dengan bulu di ujung buahnya, pari ulu, mengingatkan ia tanaman padi huma di Kutai Barat yang biasa di budidayaakan etnis aslinya di pedalaman Kaliamantan, etnis Dayak!.
   “oh, ada kek, maaf ini koreknya tinggal dikit”
“ndak apa-apa anakmas, saya tadi lupa bawa geretan, kesusu jadinya malah tertinggal di gandok”
   “Maaf kakek ini siapa, saya Aspiyan kek, sedang menjalankan amanat senior saya untuk mengambil air suci di Sumur Jalatundha buat obat, ini daerah mana ya, sampean lihat teman-temanku tidak, karena baru saja aku berbaring menahan dingin, mereka sudah tidak ada dan tiba-tiba saya sudah ada disini”
“heheheheheeehh…ini Dukuh Pawon Sewu anakmas, kulo niki Ki Jalak, sesepah ing padukuhan Pawon Sewu, jengandika sedang ada di pinggir padukuhan, sebentar lagi jika anakmas naik akan sampai di jalur menuju Loka Moksha sampeyan dalem, rombongan teman-teman anakmas tadi sibuk mencari penjenengan, mungkin takut tersesat, tapi jangan khawatir nanti akan saya antarkan ke Regol Sapta Jati dan bisa berkumpul dengan teman-teman panjenengan”
   Aspiyan masih berusaha mencerna setiap kalimat dari mulut Ki Jalak,  ia perhatikan seksama setiap detil gerak kakek itu, saat Ki Jalak bergegas menuju ke tepian ladang, ada meja dari belahan bambu yang diatasnya ditaruh uba rampe sesajen yang di hias sedemikian rupa dalam wadah anyaman janur yang dilapisi daun pisang.
   Lalu KI Jalak menyalakan api membuat nyala dupa, asap harum itu segera menyeruak, menembus indera penciumannya, membuatnya sangat pusing, harum yang menusuk-nusuk rongga dada, harum yang baru kali ini ia alami seumur hidup, nyala dupa dari harum murni getah kemenyan madu yang telah terolah sempurna!.
   Ki Jalak duduk bersila, kedua tanganya menyembah, mata terpejam menunduk, tangan menyembah kembali diangkat sejajar hidung, kedua ujung jari jempol hampir menyentuh ujung hidungnya yang dihiasi kumis yang memutih panjang dan lebat, lalu digeser pelahan ke atas kening, mulutnya komat-kamit, kemudian ia turunkan kedua tapak tangannya, lalu mengusapkan kedua tanganya di wajah, turun ke dada, perut lalu beringsut diusapnya ke kedua pahanya yang masih dalam posisi duduk bersila, setelah itu ia bangkit, menghampiri Aspiyan yang takzim mengamati perbuatan sang kakek yang menyebut namanya Ki Jalak, tetua padukuhan Pawon Sewu.
   “maaf Ki Jalak bisakah saya dibantu untuk segera menyusul teman-teman saya”
   “baiklah anakmas, maaf menunggu saya, jika boleh saya berkisah, silahkan kita sambil berjalan saja menuju Regol Sapta Jati, anakmas Aspiyan sudah ditunggu teman-temannya”
   Aspiyan segera memungut tas gunungnya, mengambil langkah di sisi kanan Ki Jalak yang melangkah, setelah ia mengembalikan korek api Aspiyan Ki Jalak berkisah banyak, bahwa ia sudah mendapat tengara akan mendapat tamu pemuda dari Bumi Kutai, pemuda yang masih satu trah dengan leluhur Ki Jalak sendiri.
   “lihat anakmas, padi ini minggu depan sudah panen, sesajian tadi untuk menunjukkan syukur kami kepada Sang Khalik, Sang Maha Pemberi Hidup, Gusti Kang Murbeng Dumadi, Yang Maha Welas Asih, ya Sing Kasebut Tan Kena Kinaya Ngapa, anakmas mengenalnya dengan sebutan yang lain tapi itulah esensi wujud sejati Tuhan, ia memenuhi seluruh ruang waktu, ruang adat dan budaya peradaban umat manusia di bebarayan agung yang gumelar ini, sebutan-sebutan kepada sumber kekuatan itu boleh beda-beda anakmas, tetapi ingatlah, semua itu hakekatnya sama anakmas, sama rasanya walau wadah wadagnya beda”
   Aspiyan memandang hamparan padi yang mulai berat bulirnya, hamparan padi tegal di ladang yang sangat subur, jalanan dari tanah dan kiri kanan ditanami pepohonan, rindang, di lembah nampak sebuah air terjun yang permai meluncur deras ke bawah dengan anggun di tingkah semilir bayu yang asrep.
   Tak lama kemudian, kedua sosok yang berbeda itu menuju batas padukuhan, sebuah gerbang dari kayu jati yang diukir tiang-tiangnya dengan ornamen kawanan burung Jalak dan Kijang yang sedang minum di sisi telaga, ukiran yang memenuhi saka guru regol yang meyangga atap berbentuk limas dengan genteng dari ijuk aren.
  Aspiyan menoleh ke belakang, sosok perumahan yang memenuhi padukuhan sudah lenyap, hanya hamparan rumput dan semak perdu rumpun Bunga Cinta Abadi yang nampak, ia memandang dengan penuh keheranan, lalu ia melihat kea rah Ki Jalak yang serius memandang ke arah regol Sapta Jati.
   “anakmas, hanya sampai disini saja aku mengantarkan, sampaikan salamku kepada keluargamu di Kutai, bahwa kita sesungguhnya masih satu trah, leluhur kita dulu adalah senopati pinunjul yang menjaga samudera nusantara ini sehingga negeri-negeri di sepanjang lautan khatulistiwa mengenal kita sebagai kerajaan yang disokong ratusan suku bangsa yang besar, suku-suku bangsa yang memiliki ilmu keprajuritan yang tinggi, kesaktian dan kedigdayaan yang luar biasa, namun tetap merunduk bak bulir padi berisi, tetap santun dan tetap bijak, melindungi rakyat tanpa pandang bulu dari agama apapun dan suku manapun, semua sama di hadapan hukum raja-raja dan para ratu pengemban amanat, ngarso dalem Raja dan Ratu pemimpin negeri yang pikukuhnya bersumber dari dawuh suci sang Maha Welas Asih”.
   Seusai kalimat itu selesai, Ki Jalak Lawu tersenyum dan menganggukkan kepala, Aspiyan yang merasa takjub hanya bisa berusaha sekuatnya untuk mencerna segala sesuatu yang baru saja ia alami.
   Tak butuh waktu lama, seperti petunjuk Ki Jalak, begitu ia melintasi Gerbang Regol Sapta Jati, ia kembali ke jalur pendakian dan menemui teman-temanya yang sangat panik, karena Aspiyan hampir 3 jam tidak ketemu juga walau di bantu SAR Gunung Lawu, dan si Aspiyan berkisah bahwa ia hanya berpisah sebentar untuk mengatur nafas karena kelelahan, jadi waktu rombongan bergerak naik merapat ke pos IV ia masih tertinggal di pos bayangan sesudah pos III, pos bayangan yang dipenuhi hamparan perdu bunga Cinta Abadi.
   Sebuah tempat dengan hamparan yang secara nyata sangat elok karena pesona Edelweiss itu ternyata di baliknya adalah sebuah padukuhan yang sangat padat perumahannya, dan ia tak melihat penghuni lain selain Ki Jalak yang seperti sudah tahu bahwa ia akan datang ke tempat tersebut.
   Tak sampai sepuluh menit lamanya ia merasa kehilangan jejak rombongan teman-temanya, jejak pendakian yang dilaksanakan dalam ekspedisi para pendekar muda dari RJB di pos Bayangan jelang Pos IV.
  Ia benar-benar merasakan kehilangan jejak teman-temanya hanya karena berbaring sebentar sambil mengolah pernafasan menahan sergapan udara dingin yang membuatnyaa tersiksa menggigil hebat.
   Karena itulah secara tak sengaja kanuragan pengunggah Teknik Brajamusti yang dipenuhi energi cadangan yang ia terapkan telah membuka tabir misteri, gerbang alam lelembut menariknya masuk dan membuatnya bertemu dengan salah satu penduduk ghaib gunung Lawu, ketidak sengaajaan yang mempertemukannya dengan Ki Jalak, tetua padukuhan Pawon Sewu di Gunung Lawu.
   Beda ruang dan waktu, Aspiyan telah mengalami keanehan, masuk ke dalam  keghaiban yang serasa mimpi, melintasi jembatan penghubung antar dua dunia, sebuah dunia yang berbeda dimensi ruang, tempat dan waktunya, walau ia merasa hanya sesaat di alam tak kasat mata, berjam-jam lamanya di dunia nyata!.
   Ia tak menceritakan pertemuannya dengan Ki Jalak, ada sesuatu yang membuatnya penasaran, mengapa Ki Jalak meminjam korek apinya, lalu menyalakan kemenyan pelangkap uba rampe sedekah bumi jelang panen di dukuh itu, dan cerita Ki Jalak tentang garis keturunan mereka yanag masih dalam satu trah atau jalur!.   
   “maaf Mas, bisa minta tolong ambilkan matras saya, nanggung sudah mau ke pos IV harus bongkar karier di ujung tikungan ini”
  Aspiyan yang berjalan paling belakang kaget, di belakangnya menyusul tergesa gadis yang meminta bantuannya.
   Segera ia ambilkan segulung matras untuk istirahat, si gadis tersenyum manis, ia meminta ijin untuk berjalan dahulu, artinya Aspiyanuar dan rombongan pendaki RJB itu harus menepi karena sisi kanan tebing batu dan sisi kiri jurang menganga!.
    Aspiyan segera merapat ke sisi tebing batu, demikian juga seluruh team, sang gadis memiringkan tubuh agar kariernya tidak menabrak pendaki yang kini berjajar-jajar di tebing, sang gadis terpaksa berpegangan dengan Aspiyan.
   “maaf mas, saya harus cepat, sebelum sinar matahari terbenam sempurna saya harus sudah di Watu Gedhek, saya ingin mengabadikan keindahan lembah Lawu sisi timur saat sunseet, di sana adalah kampung Eyang saya, dulu saya pernah menghabiskan masa kecil sebelum ikut papah tugas di Jakarta”
   Aspiyan membeku, gadis itu manis banget, kalau gadis cantik banyak bertebaran di muka bumi, namun yang satu ini, yang dengan logat manja dan suara lirih halus agak serak-serak basah itu sangat manis, wajah ayu manis, wajah letih yang eksotis terkena bias mentari senja!...ah!
   Tak sadar aspiyan meraih kerikil kecil yang terselip didinding batu, dengan konsentrasi penuh ia bertanya.
   “sampeyan namanya siapa mbak, saya Aspiyanuar Rasyid, dari Kaltim!”
   “Saya Maura mas, Maura Nur Janah, panggil saja Janah”.
   Setelah berkenalan singkat, ia ingat mantram kuno pengasihan yang dulu pernah dipelajarinya saat latihan gabungan di ranting Melak, mantram rahasia yang hanya sosok terpilih yang bisa mendapatkannya.
    “Ingsun amatek ajiku…….dst……..jabang bayine Maura nur janah ya si JANAH nyawiji mring jiwa raga ingsun!”.
   Lalu ia lempar dengan sentilan ujung jari telunjuk dan ujung jempol, kerikil kecil itu menghantam tubuh sang gadis tepat di betisnya yang mulai melangkah pergi berapa meter di sisi kanannya.
   Dan sebelum tarikan tarikan nafas ia tutup, sang Gadis tiba-tiba berbalik ke arahnya, memeluk erat dan mengucapkan terimaksih sudah di beri jalan agar bisa duluan ke Pos IV, pelukan wangi, harum wangi parfum mahal yang tercampur keringat, harum bercampur keringat gadis yang ayu dan manis, Aspiyan tergagap, harus bertindak cepat, ia balik mantram pengasihan itu, karena baru kali ini ia coba pada seorang gadis, itupun di gunung Lawu, gunung keramat bumi Jawa, ia tak ingin mantram itu manjing di sukma sang gadis dan melekat seumur hidupnya, bisa gawat!.
   Ditekannya pergelangan tapak gadis yang meminta di panggil Janah itu, lalu ia membaca mantram pengabaran, sang gadis linglung, lemas sesaat dan dipeluknya di tegakkan di sisi tebing tepat disisinya, lalu di berinya air minum.
   “minumlah mbak Janah, penjenengan nampak keletihan, jangan tergesa mengejar matahari tenggelam, masih lama mbak malam akan gelap, toh kamera canggih sekarang bisa mengabadikan obyek yang tersembunyi oleh gelapnya malam!”
   Sesudah pulih tenaganya, gadis ayu yang ada manis-manisnya itu menjabat erat tangan seluruh rombongan, mas Sarno yang di jabat tangan oleh sang gadis karena sudah berbini di RJB nyeletuk menggoda:
“kalau ada ijin adindaku, aku ingin nambah istri gadis perawan pendaki gunung ah…!”
     Lalu disambut tawa riuh anak-anak muda di tim pendakian pendekar gung lawu itu.

   Saat mentari hampir sempurna terbenam, di Watu Gedhek, rombongan itu bertemu si gadis yang tersenyum ramah sambil mengangguk kepala pelahan setiap sosok-sosok pendekar muda itu melintasinya.
   Kecantikan alam dan keindahan perempuan manakala menyatu di senja kala akan membangkitkan romansa prajurit perang yang rela berdarah-darah memenangkan palagan paling brutal dan kejam demi pulang kembali ke pelukan sang jelita yang menunggu dengan setia!.
Bersambung di bagian: EDELWEISS UNGU, KESETIAAN BUNGA CINTA ABADI.
   (bagaimana kisah Aspiyanuar Rasyid yang mengingat sebuah nama indah dari sosok Maura Nur Janah sehingga ada dorongan naluriah ia melepaskan mantram pengasihan tingkat tinggi pada gadis yang baru dikenalnya sebagai ajang uji ilmu yang pernah dipelajarinya dan belum pernah ia gunakan, apakah akan bersua kembali di Hargo Dumilah, atau di Hargo Dalem atau di Cokro Suryo, apakah efek pengabaran itu benar-benar memunahkan efek mantram pengasihan tingkat tinggi itu, hanya di Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat Kalimantan Timur Edisi November 2019).

WIRO YUDO WICAKSON-SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI
MELU HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRA HANGRASA WANI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia