PENDEKAR
GUNUNG LAWU
BAGIAN
3
EDELWEISS
UNGU KESETIAAN BUNGA CINTA ABADI
Foto: Bunga
Edelweiss Ungu, flora endemik kawasan puncak gunung Lawu yang jarang dapat
ditemukan di kawasan puncak-puncak gunung lain.
Generasi pecinta alam secara general mengeksplore
informasi tentang Edelweiss dari sisi keilmiahan dan aspek kelestarian
lingkungan hidup, namun redaksi kami, Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar
Milenial Zona Kutai Barat-Kaltim mengeksplornya dari sisi spiritualisme
nusantara yang menghargai sosok sang bunga cinta abadi ini menjadi bagian tak
terpisahkan dari denyut kehidupan alam tak kasat mata yang mendukung harmoni
dunia umat manusia.
Bagian 3, dari Pendekar Gunung Lawu yang lalu menceritakan Aspiyanuar,
pemuda dari kampung Rejobasuki di daerah pedalaman Kalimantan Timur, mengadakan
ekspedisi ke puncak Lawu bersama kawan-kawannya dengan panduan mas Agus Melak,
perantau asal Panekan yang sudah lama bergaul dengan mereka, yang masa mudanya
dihabiskan di kawasan puncak Lawu sebagai arena “bermain”.
Sehingga beliau mengenal berbagai karaakter berbagai remaja dan
mahasiswa pecinta alam dari berbagai sekolah dan kampus di Indonesia juga
berbagai ormas dan berbagai jenis aliran kepercayaan yang masih kukuh memegang
ajaran ritual keyakinanya sampai hari ini .
Misi pendadaran alam nyata dan ghaib sekaligus misi mengambil air suci untuk
obat dari sumur keramat di kawasan puncak, sumur Jalatundha yang dipercayai
sebagai gerbang ghaib menuju kerajaan laut selatan dengan penguasanya Ratu
Pantai Selatan.
Di pos bayangan, menjelang pos IV, ia tak sengaja masuk dunia lelembut,
sosok yang mengaku bernama Ki Jalak meminjam korek api untuk menyalakan dupa sesajian
yang akan dipersembahkan kepada Sang Pemberi Rejeki agar hasil panen padi dan ternak
di dukuh Pawon Sewu di mana Ki Jalak Menjadi sesepuhnya melimpah dan menyejahterakan
segenap penghuninya.
Ada banyak keganjilan, saat Aspiyan
selalu ingat pesan mas Agus Melak, jika bersua dengan kehidupan dan sosok yang
unik, segera minta diantar kembali ke jalur pendakian, jangan menerima ajakan
mampir, ajakan makan dan menolak sebisanya dikenalkan atau berkenalan dengan
sosok gadis di kawasan yang ganjil dan unik tersebut, karena itu akan membuat
ia kalap, lenyap, menyatu dengan alam lelembut, alam ghaib dan susah untuk
dikeluarkan, apalagi jika sudah menginap, sedetik di alam itu sama dengan
puluhan menit di alam nyata, makin lama terlena di dunia lain itu, makin lebar
jurang perbedaan waktunya dengan dimensi waktu di dunia manusia nyata.
Akibatnya mas Sarno dan teman-teman Aspiyanuar kebingungan menacri
Aspiyan yang tak terasa hilang dari jalur, tahu-tahu sudah muncul kembali
bersamaan dengan selimut kabut yang datang berderu-deru di bawa angin kencang
jelang pos IV selepasnya dari pos bayangan.
Aspiyan yang merasa tak kurang dari 10 menit meninggalkan teman-temannya
yang kebingungan, ternyata sudah lenyap
lebih dari 3 jam sejak ia disadari tak menyahut lagi teriakan Leader yang
selalu mengabsen anggotanya saat ada kabut tebal menghalangi pandangan mereka.
Mas Sarno, sang leader yang menjadi pemimpin rombongan pendaki para
pendekar muda dari Kaltim itu bersungguh-sungguh berkisah betapa mereka 3 jaman
mencari Aspiyan namun Aspiyan tetap ngotot hanya sepuluh menitan kurang ia
meninggalkan rombongan.
Saat ditanya Aspiyan hanya berkata kalau ketiduran di pos bayangan, saat
kabut tiba ia masih berbaring di sisi jalur, dan ia tak bercerita pada
teman-temannya itu bahwa saat bangun ia sudah ada di padukuhan ghaib, Pawon
Sewu dan bertemu Ki Jalak yang membangunkannya saat meminjam korek api untuk
menyalakan dupa sesajian sedekah bumi.
Ki Jalak hanya berkisah singkat jika leluhur mereka dari trah yang sama,
keturunan senopati yang mahsyur di jamannya kerajaan nusantara menguasai
samudera di gugusan kepulauan khatulistiwa dan mengadakan perdaganga dengan
suku bangsa dan negeri-negeri lain di segenap belahan dunia.
Leluhur yang gagah berani mengibarkan getah getih samudra dan sang gula
kelapa, menjaga keamanan dan ketertiban jalur pelayaran dunia sehingga sangat-sangatlah
di segani pelaut-pelaut kekaisaran Tiongkak bahkan juga para perantau samudra
dari tanah eropa di masanya.
Saat melanjutkan perjalanan menuju pos IV, Aspiyanuar menolong seorang gadis
yang enggan membongkar tas gunungnya, di mana di ujungnya terikat segulung
matras yang akan ia gunakan di Watu Gedhek, pintu masuk zona pos IV pendakian
ke puncak Hargo Dumilah di titik 3265 m dpl, matras yang akan jadi alas sekedar
beristirahat dan mengabadikan momentum sunseet.
Terpikat pesona gadis yang menyebut dirinya Maura Nur Janah, Aspiyan
iseng menjahili si gadis yang baru dikenalnya itu dengan teknik lempar kerikil
yang sudah di beri energi mantram pengasihan tingkat tinggi.
Akibatnya, gadis itu tak bisa mengendalikan dirinya, sehingga Aspiyan
yang panik segera membebaskan sang gadis secepatnya dengan teknik pegabaran.
Dan sesudah berpisah di pos bayangan jelang Watu Gedhek itulah Aspiyan
sadar, bahwa walau sudah ia hapus pengaruh pengasihan itu, namun jejak ilmu
pemikat suksma yang baru saja ia terapkan tak akan semudah menghapus goresan
pensil di atas kertas putih memakai penghapus pensil.
Dan bekasnya akan selalu ada dan ia berfikir keras agar ia tak melanggar
pantangan yang pernah diberikan gurunya saat menerima teknik itu, dilarang
keras dan jangan sekali-kali digunakan untuk memanjakan hawa nafsu, ilmu ini
sejatinya untuk merukunkan pasangan suami istri yang sedang terancam bercerai,
bukan untuk mengoleksi pacar atau istri alias memuja hawa nafsu belaka!.
Aspiyan lega, tak sia-sia meninggalkan teman-temannya yang masih
terseok-seok di pos bayangan, ia bertemu dengan sosok yang ia cari dan ia
risaukan, ia tak ingin menuai kutukan karena telah iseng menjahili seorang
gadis.
Sosok gadis manis yang kini memejamkan mata bersandar di sisi tebing
sambil pulas tertidur, gadis yang ia takutkan masih terkena efek teknik
pengasihan yang iseng ia pakai karena hanya sok usil belaka.
Dan ia takut sang gadis akan kalap terjebak di dunia lain akibat wadagnya
telah teraliri mantram keramat pengasihan suksma, sebuah teknik terlarang dan
jarang diturunkan kepada siapapun juga karena lebih banyak di buat mainan,
buru-buru gadis yang bernama Janah itu ia bangunkan jangan sampai ngraga suksma
sehingga sulit di sadarkan.
Dan saat baru tiba di Watu Gedhek, Aspiyan yakin, gadis yang berbaring
yang barusan melambai dan mengagguk hormat di tikungan bawah tadi sudah ada di
depannya, terbaring di sisi tebing curam, terdiam pulas tertidur.
Dan nampaknya Aspiyan merasa gadis itu berbuat nekat dengan begerak
cepat mendahului rombongannya, begerak tergesa-gesa untuk mengabadikan moment
sunseet di Watu Gedhek, momen dimana ia mengenang kampung halaman eyangnya di
Magetan yang nampak permai dari ketinggain 2300 m dpl.
Kini ia yakin gadis yang bersandar terbaring itu Janah, karena suhu turun
drastis menjadi semakin dingin jelang malam, Janah memakai jaket tebal, dan
kepalanya itu memakai kain penutup kepala untuk menghangatkan diri dan kini si gadis yang ia yakini si Janah itu kini
memakai berkacamata minus!.
Sosok gadis manis yang kini memejamkan
mata bersandar di sisi tebing sambil pulas tertidur, gadis yang ia takutkan
masih terkena efek teknik pengasihan yang iseng ia pakai karena hanya sok usil
belaka, ia takut sang gadis akan kalap terjebak di dunia lain akibat teknik
terlarang itu, buru-buru gadis yang bernama Janah itu ia bangunkan jangan
sampai ngrogo suksmo sehingga sulit di sadarkan lagi.
Tapak tangan kiri sang gadis ia
tekan di nadinya, ia salurkan energi, ia fokuskan pernafasan, menggunggah
tenaga cadangan yang paling murni, walaupun resikonya ia akan lemas sesaat
akibat pengerahan tenaga yang setengah dipaksakan, namun demi menyelamatkan Janah,
sosok manis yang beraroma khas wangi kaum gadis itu ia berusaha sampai lampauan
ekspetasinya, menggunggah tenaga cadangan murni disalurkanya di nadi sang gadis
yang barusan terkena teknik terlarang darinya karena iseng khas pemuda ceroboh
dari kampung pedalaman Kalimantan!.
Sang gadis merintih lirih, menggeliat, kepalanya terdongak, lalu
nafasnya tersengal-sengal dan dengan tarikan nafas panjang kuat ia sedikit terbangun,
membuka kelopak matanya yang berbulu lentik alami bukan sulaman salon sosialita
perempuan modern yang elit.
Janah membuka mata pelahan bersamaan Aspiyan menarik nafas pendek
terakhir akibat ia kebablasan menyalurkan energi cadangan murni sehingga denyut
jantung sang gadis terhentak-hentak terpacu, dan kini Janah sudah membuka
kelopak matanya, sama seperti Aspiyan yang agak tersengal-sengal masih memegang
tapak tangan sang gadis yang setengah kosong pandangan matanya menatap tepat di
manik mata Aspiyanuar Rasyid anak muda dari RJB.
“oh,,njenegan mase, ada apa kok tersengal-sengal, nafase kok
menggeh-menggeh gitu, habis lari dari pos bayangan ke Watu Gedek ya, sayang
masnya telat, bayangan puncak sudah menutupi lembah kota Magetan mas, di
Selosari itu rumah Eyang, sebelah tower yang kayak tusuk gigi itulah rumah
Eyang Putri yang sudah suwargi”, Janah menunjuk lembah di mana ia maksudkan,
lembah yang masih tersiram temaram sisa mentari terbenam.
Aspiyan masih mengatur pernafasan, ia mati kata mati gaya, karena tak
siap dengan jawaban dari kalimat bak rentetatn timah panas yang berhambur dari
senapan serbu saat sang gadis yang baru saja ia sadarkan memuai percakapan.
“wah, njenengan ki lho, mbangunin aku tho tadi, wong sayanya masih mimpi
indah ketemu saudara kok mase yang mbangunin, malah ketemu kakak almarhum yang
wajahnya sama seperti njenengan, tadi itu aku peluk sampeyan di bawah itu
karena aku mendadak ingat almarhum kakak yang meninggal kecelakaan saat saya
masih kecil, persis seperti wajah sampeyan mas kakak saya itu!”
Janah bercerita panjang lebar tentang kakaknya yang saat SMA suka muncak
ke Lawu, turun dari puncak kecelakaan dan di kariernya di temukan Edelweiss
Ungu yang paling langka, katanya di coretan kertas pada rangakain Edelweiss
Ungu itu ada sebuah pesan, pesan buat sang adinda, persembahan Edelweiss buat
adiknya Maura Nur janah yang ia sangat sayangi karena merengek ingin ikut
muncak padahal masih kecil, SD kelas 2.
Edelweis yang lolos penggeledaahn di jalur turun itu kemudian diserahan
oleh polisi kepada Anak Gunung Lawu, paguyuban gunung Lawu yang menjadi panitia
dan menjaga keamanan setiap kegiatan pendakian setiap saat.
Edelweiss yang kemudian di bawa kembali ke Puncak hargo Dalem, di
taburkan di sisi tebing Pasar Dieng di mana habitatnya masih lestari, Edelweiss
lambang Cinta Abadi, keabadian cinta kasih seorang kakak kepada
adiknya.
Adik yang rewel ingin ikut mendaki Lawu
dan terdiam saat sang kakak berucap tegas.’ “rasah nangis sayangku, nanti saya
curikan Edeweiss apik buat kamu, Edelweiss itu bunga ajaib yang tak akan pernah
layu sampai akhir hayat kita, akan abadi dik, seperti abadinya sayangku pada
dik Janah, sudah jangan nangis lagi ya, mas janji akan mempersembahkan bunga
itu buat adik”.
Janah membuka kariernya, menagambil kotak kecil, kotak memanjang dan dibukanya,
ada sebuah benda terbalut kain putih, diambilnya dan dibukanya, setangkai
Edelweiss Ungu yang kering, namun sisa warnanya masih cukup jelas walau bunga
itu mengering, masih nampak utuh dan memancarkan keindahan yang eksotis,
keindahan bunga cinta abadi.
“Ini dari komunitas Anak Gunung Lawu yang kebetulan kenal mas saya, ia
memberikan setangkai buat mengenang kakak yang sudah tiada, dan sisanya di bawa
ke puncak lagi buat ditabur di sana, dan saya berjanji pada kakak-kakak di
komunitas Anak Gunung Lawu jika dewasa akan naik ke Puncak Lawu dan
mengembalikan bunga ini ke habitatnya agar kakak tenang di alam sana, karena
saking sayangnya ia pada saya, ia rela melanggar pantangan paling keramat di
gunung Lawu sampai ia kehilangan nyawa demi saya mas”. Janah terisak sedih
mengingat kakanda tercintanaya itu.
Ah, entahlah, keajaiban apa dan keganjilan
apa yang sedang berlangsung, Aspiyan mencerna dengan susah payah setiap kalimat
kata demi kata dari bibir Janah yang panjang lebar berkisah tentang kisah
terpenting di sejarah hidupnya yang berkaitan dengan kekeramatan gunung Lawu,
gunung Mahendra, gunung tapal batas Jawa Tengah dan Jawa Timur!.
Sebelum ia sadar, gadis itu menyalaminya, memeluknya erat seperti
pelukan gadis cilik yang takut di tinggal kakak yang sangat ia sayangi, pelukan
gadis kecil yang merengek-rengek manja minta ikut saat sang kakak saat akan
keluar rumah, bahkan sekolah!.
“terimasih mas, Allah telah mempertemukan
kita sedemikian rupa dan saya tenang, barusan bertemu kakak almarhum di mimpi
saya sebelum njenengan membangunkan saya, saya tak bisa berkata banyak, semoga
Allah senantiasa memberkahi setiap jalan yang panjenegan tempuh, sekali lagi
terimakasih, semoga kita bersua di lain kesempatan, dan silahkan ke Lawu setiap
17 Agustus, saya selalu menjadi dirigen Indonesia raya di saat pengibaran
bendera merah putih di Telaga Kuning Puncak Lawu mas”
Janah mencium pipi Aspiyan, ciuman kecil, kecupan manis, bak ciuman sayang
gadis cilik karena diberi hadiah ulang tahun kakak tercinta!.
Aspiyan terbengong-bengong, melihat Janah memakai kembali Kariernya dan
melanjutkan jalan menuju puncak untuk menabur kembali Edeweis Ungu, Bunga Cinta
Abadi, kesetiaan sang bunga itu merasuk manjing di suksma sang gadis yang penuh
kisah sedih, namun penderitaannya itu bahkan menempanya menjadi Srikandi Gunung
Lawu yang tangguh.
Srikandi AGL yang paling terkenal dan fenomenal di komunitas pecinta
alam gunung Lawu!.
Edelweiss ungu yang bahkan sudah lima belas tahun lebih ia simpan, dan
kini ia siap melepasnya, mengembalikannya ke habitatnya, seperti keikhlasanya
melepas sang kakak ke dunia langgeng, dan perjalananya sudah menjadi guratan takdir,
bertemu sosok yang mirip sang kakak tercinta saat ia berjalan terseok-seok
menyusuri jalur menuju puncak gunung Lawu.
Aspiyan melihat bayangan Janah menghilang di tikungan, ada sesuatu yang
bergejolak maha hebat di dadanya, mengingatkan kepada mbak ayunya di Rejobasuki
yang menyayanginya, dan ciuman Janah itu bagai ciuman sang kakak kepadanya saat
masih kecil dulu jika ia tak nakal.
Dan tak lama datang Aldi, Danar, Imam, Rahul dan teman-temanya yang lain
ngomel-ngomel karena ditinggal lagi, untung mereka tak panik seperti saat
kehilangan Aspiyan di Pos Bayangan.
“asem, ninggal wong ra omong-omong, jian tenan, cobak ngasih info ngacir
melulu kau ini As!”
Mas Sarno yang baru sampai ngoceh-ngoceh
mengomel, dan akhirnya mereka meneruskan perjalanan.
Beda tempat di waktu yang sama, di depan rombongan pendekar muda itu,
berada di ketinggian 2700 m dpl, selisih beberapa tikungan di tanjakan 45
derajat, seorag gadis berdiri di tepi tebing
jurang berbatu bertuliskan Pos IV, ia membuka kantong kain berwarna
putih, lalu di raihnya setangkai bunga yang sudah kering namun masih indah itu,
di lemparnya dan melayang ke jurang menganga di bawahnya, hilang menyatu dengan
alam Lawu yang penuh dengan energi astral.
Energy para leluhur yang kearifan budaya lokalnya masih lestari sampai
hari ini, menjadi semangat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
(nantikan kisah-kisah pendekar muda RJB
di Gunung Lawu, masih ada sosok-sosok yang luar biasa yang akan mereka temui
sepanjang jalur naik ke titik 3265 m dpl dan kembali turun di titik 1200 m dpl,
semua hanya di PENDEKAR GUNUNG LAWU, Edisi Bulan November 2019, Buletin PSCP
Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat-Kaltim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar