Senin, 02 Desember 2019

EDELWEISS UNGU



PENDEKAR GUNUNG LAWU
BAGIAN 3
EDELWEISS UNGU KESETIAAN BUNGA CINTA ABADI
Foto: Bunga Edelweiss Ungu, flora endemik kawasan puncak gunung Lawu yang jarang dapat ditemukan di kawasan puncak-puncak gunung lain.
   Generasi pecinta alam secara general mengeksplore informasi tentang Edelweiss dari sisi keilmiahan dan aspek kelestarian lingkungan hidup, namun redaksi kami, Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat-Kaltim mengeksplornya dari sisi spiritualisme nusantara yang menghargai sosok sang bunga cinta abadi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan alam tak kasat mata yang mendukung harmoni dunia umat manusia.
   Bagian 3, dari Pendekar Gunung Lawu yang lalu menceritakan Aspiyanuar, pemuda dari kampung Rejobasuki di daerah pedalaman Kalimantan Timur, mengadakan ekspedisi ke puncak Lawu bersama kawan-kawannya dengan panduan mas Agus Melak, perantau asal Panekan yang sudah lama bergaul dengan mereka, yang masa mudanya dihabiskan di kawasan puncak Lawu sebagai arena “bermain”.
   Sehingga beliau mengenal berbagai karaakter berbagai remaja dan mahasiswa pecinta alam dari berbagai sekolah dan kampus di Indonesia juga berbagai ormas dan berbagai jenis aliran kepercayaan yang masih kukuh memegang ajaran ritual keyakinanya sampai hari ini .
   Misi pendadaran alam nyata dan ghaib sekaligus misi mengambil air suci untuk obat dari sumur keramat di kawasan puncak, sumur Jalatundha yang dipercayai sebagai gerbang ghaib menuju kerajaan laut selatan dengan penguasanya Ratu Pantai Selatan.
   Di pos bayangan, menjelang pos IV, ia tak sengaja masuk dunia lelembut, sosok yang mengaku bernama Ki Jalak meminjam korek api untuk menyalakan dupa sesajian yang akan dipersembahkan kepada Sang Pemberi Rejeki agar hasil panen padi dan ternak di dukuh Pawon Sewu di mana Ki Jalak Menjadi sesepuhnya melimpah dan menyejahterakan segenap penghuninya.
   Ada banyak keganjilan,  saat Aspiyan selalu ingat pesan mas Agus Melak, jika bersua dengan kehidupan dan sosok yang unik, segera minta diantar kembali ke jalur pendakian, jangan menerima ajakan mampir, ajakan makan dan menolak sebisanya dikenalkan atau berkenalan dengan sosok gadis di kawasan yang ganjil dan unik tersebut, karena itu akan membuat ia kalap, lenyap, menyatu dengan alam lelembut, alam ghaib dan susah untuk dikeluarkan, apalagi jika sudah menginap, sedetik di alam itu sama dengan puluhan menit di alam nyata, makin lama terlena di dunia lain itu, makin lebar jurang perbedaan waktunya dengan dimensi waktu di dunia manusia nyata.
   Akibatnya mas Sarno dan teman-teman Aspiyanuar kebingungan menacri Aspiyan yang tak terasa hilang dari jalur, tahu-tahu sudah muncul kembali bersamaan dengan selimut kabut yang datang berderu-deru di bawa angin kencang jelang pos IV selepasnya dari pos bayangan.
   Aspiyan yang merasa tak kurang dari 10 menit meninggalkan teman-temannya yang  kebingungan, ternyata sudah lenyap lebih dari 3 jam sejak ia disadari tak menyahut lagi teriakan Leader yang selalu mengabsen anggotanya saat ada kabut tebal menghalangi pandangan mereka.

   Mas Sarno, sang leader yang menjadi pemimpin rombongan pendaki para pendekar muda dari Kaltim itu bersungguh-sungguh berkisah betapa mereka 3 jaman mencari Aspiyan namun Aspiyan tetap ngotot hanya sepuluh menitan kurang ia meninggalkan rombongan.
   Saat ditanya Aspiyan hanya berkata kalau ketiduran di pos bayangan, saat kabut tiba ia masih berbaring di sisi jalur, dan ia tak bercerita pada teman-temannya itu bahwa saat bangun ia sudah ada di padukuhan ghaib, Pawon Sewu dan bertemu Ki Jalak yang membangunkannya saat meminjam korek api untuk menyalakan dupa sesajian sedekah bumi.
   Ki Jalak hanya berkisah singkat jika leluhur mereka dari trah yang sama, keturunan senopati yang mahsyur di jamannya kerajaan nusantara menguasai samudera di gugusan kepulauan khatulistiwa dan mengadakan perdaganga dengan suku bangsa dan negeri-negeri lain di segenap belahan dunia.
   Leluhur yang gagah berani mengibarkan getah getih samudra dan sang gula kelapa, menjaga keamanan dan ketertiban jalur pelayaran dunia sehingga sangat-sangatlah di segani pelaut-pelaut kekaisaran Tiongkak bahkan juga para perantau samudra dari tanah eropa di masanya.
   Saat melanjutkan perjalanan menuju pos IV, Aspiyanuar menolong seorang gadis yang enggan membongkar tas gunungnya, di mana di ujungnya terikat segulung matras yang akan ia gunakan di Watu Gedhek, pintu masuk zona pos IV pendakian ke puncak Hargo Dumilah di titik 3265 m dpl, matras yang akan jadi alas sekedar beristirahat dan mengabadikan momentum sunseet.
   Terpikat pesona gadis yang menyebut dirinya Maura Nur Janah, Aspiyan iseng menjahili si gadis yang baru dikenalnya itu dengan teknik lempar kerikil yang sudah di beri energi mantram pengasihan tingkat tinggi.
   Akibatnya, gadis itu tak bisa mengendalikan dirinya, sehingga Aspiyan yang panik segera membebaskan sang gadis secepatnya dengan teknik pegabaran.
   Dan sesudah berpisah di pos bayangan jelang Watu Gedhek itulah Aspiyan sadar, bahwa walau sudah ia hapus pengaruh pengasihan itu, namun jejak ilmu pemikat suksma yang baru saja ia terapkan tak akan semudah menghapus goresan pensil di atas kertas putih memakai penghapus pensil.
   Dan bekasnya akan selalu ada dan ia berfikir keras agar ia tak melanggar pantangan yang pernah diberikan gurunya saat menerima teknik itu, dilarang keras dan jangan sekali-kali digunakan untuk memanjakan hawa nafsu, ilmu ini sejatinya untuk merukunkan pasangan suami istri yang sedang terancam bercerai, bukan untuk mengoleksi pacar atau istri alias memuja hawa nafsu belaka!.
    Aspiyan lega, tak sia-sia meninggalkan teman-temannya yang masih terseok-seok di pos bayangan, ia bertemu dengan sosok yang ia cari dan ia risaukan, ia tak ingin menuai kutukan karena telah iseng menjahili seorang gadis.
  Sosok gadis manis yang kini memejamkan mata bersandar di sisi tebing sambil pulas tertidur, gadis yang ia takutkan masih terkena efek teknik pengasihan yang iseng ia pakai karena hanya sok usil belaka.
   Dan ia takut sang gadis akan kalap terjebak di dunia lain akibat wadagnya telah teraliri mantram keramat pengasihan suksma, sebuah teknik terlarang dan jarang diturunkan kepada siapapun juga karena lebih banyak di buat mainan, buru-buru gadis yang bernama Janah itu ia bangunkan jangan sampai ngraga suksma sehingga sulit di sadarkan.
   Dan saat baru tiba di Watu Gedhek, Aspiyan yakin, gadis yang berbaring yang barusan melambai dan mengagguk hormat di tikungan bawah tadi sudah ada di depannya, terbaring di sisi tebing curam, terdiam pulas tertidur.
   Dan nampaknya Aspiyan merasa gadis itu berbuat nekat dengan begerak cepat mendahului rombongannya, begerak tergesa-gesa untuk mengabadikan moment sunseet di Watu Gedhek, momen dimana ia mengenang kampung halaman eyangnya di Magetan yang nampak permai dari ketinggain 2300 m dpl.
   Kini ia yakin gadis yang bersandar terbaring itu Janah, karena suhu turun drastis menjadi semakin dingin jelang malam, Janah memakai jaket tebal, dan kepalanya itu memakai kain penutup kepala untuk menghangatkan diri dan kini  si gadis yang ia yakini si Janah itu kini memakai berkacamata minus!.
  Sosok gadis manis yang kini memejamkan mata bersandar di sisi tebing sambil pulas tertidur, gadis yang ia takutkan masih terkena efek teknik pengasihan yang iseng ia pakai karena hanya sok usil belaka, ia takut sang gadis akan kalap terjebak di dunia lain akibat teknik terlarang itu, buru-buru gadis yang bernama Janah itu ia bangunkan jangan sampai ngrogo suksmo sehingga sulit di sadarkan lagi.
    Tapak tangan  kiri sang gadis ia tekan di nadinya, ia salurkan energi, ia fokuskan pernafasan, menggunggah tenaga cadangan yang paling murni, walaupun resikonya ia akan lemas sesaat akibat pengerahan tenaga yang setengah dipaksakan, namun demi menyelamatkan Janah, sosok manis yang beraroma khas wangi kaum gadis itu ia berusaha sampai lampauan ekspetasinya, menggunggah tenaga cadangan murni disalurkanya di nadi sang gadis yang barusan terkena teknik terlarang darinya karena iseng khas pemuda ceroboh dari kampung pedalaman Kalimantan!.
   Sang gadis merintih lirih, menggeliat, kepalanya terdongak, lalu nafasnya tersengal-sengal dan dengan tarikan nafas panjang kuat ia sedikit terbangun, membuka kelopak matanya yang berbulu lentik alami bukan sulaman salon sosialita perempuan modern yang elit.
  Janah membuka mata pelahan bersamaan Aspiyan menarik nafas pendek terakhir akibat ia kebablasan menyalurkan energi cadangan murni sehingga denyut jantung sang gadis terhentak-hentak terpacu, dan kini Janah sudah membuka kelopak matanya, sama seperti Aspiyan yang agak tersengal-sengal masih memegang tapak tangan sang gadis yang setengah kosong pandangan matanya menatap tepat di manik mata Aspiyanuar Rasyid anak muda dari RJB.
  “oh,,njenegan mase, ada apa kok tersengal-sengal, nafase kok menggeh-menggeh gitu, habis lari dari pos bayangan ke Watu Gedek ya, sayang masnya telat, bayangan puncak sudah menutupi lembah kota Magetan mas, di Selosari itu rumah Eyang, sebelah tower yang kayak tusuk gigi itulah rumah Eyang Putri yang sudah suwargi”, Janah menunjuk lembah di mana ia maksudkan, lembah yang masih tersiram temaram sisa mentari terbenam.
  Aspiyan masih mengatur pernafasan, ia mati kata mati gaya, karena tak siap dengan jawaban dari kalimat bak rentetatn timah panas yang berhambur dari senapan serbu saat sang gadis yang baru saja ia sadarkan memuai percakapan.
   “wah, njenengan ki lho, mbangunin aku tho tadi, wong sayanya masih mimpi indah ketemu saudara kok mase yang mbangunin, malah ketemu kakak almarhum yang wajahnya sama seperti njenengan, tadi itu aku peluk sampeyan di bawah itu karena aku mendadak ingat almarhum kakak yang meninggal kecelakaan saat saya masih kecil, persis seperti wajah sampeyan mas kakak saya itu!”
  Janah bercerita panjang lebar tentang kakaknya yang saat SMA suka muncak ke Lawu, turun dari puncak kecelakaan dan di kariernya di temukan Edelweiss Ungu yang paling langka, katanya di coretan kertas pada rangakain Edelweiss Ungu itu ada sebuah pesan, pesan buat sang adinda, persembahan Edelweiss buat adiknya Maura Nur janah yang ia sangat sayangi karena merengek ingin ikut muncak padahal masih kecil, SD kelas 2.
   Edelweis yang lolos penggeledaahn di jalur turun itu kemudian diserahan oleh polisi kepada Anak Gunung Lawu, paguyuban gunung Lawu yang menjadi panitia dan menjaga keamanan setiap kegiatan pendakian setiap saat.
  Edelweiss yang kemudian di bawa kembali ke Puncak hargo Dalem, di taburkan di sisi tebing Pasar Dieng di mana habitatnya masih lestari, Edelweiss lambang Cinta Abadi, keabadian cinta kasih seorang kakak kepada adiknya.
  Adik yang rewel ingin ikut mendaki Lawu dan terdiam saat sang kakak berucap tegas.’ “rasah nangis sayangku, nanti saya curikan Edeweiss apik buat kamu, Edelweiss itu bunga ajaib yang tak akan pernah layu sampai akhir hayat kita, akan abadi dik, seperti abadinya sayangku pada dik Janah, sudah jangan nangis lagi ya, mas janji akan mempersembahkan bunga itu buat adik”.
    Janah membuka kariernya, menagambil kotak kecil, kotak memanjang dan dibukanya, ada sebuah benda terbalut kain putih, diambilnya dan dibukanya, setangkai Edelweiss Ungu yang kering, namun sisa warnanya masih cukup jelas walau bunga itu mengering, masih nampak utuh dan memancarkan keindahan yang eksotis, keindahan bunga cinta abadi.
   “Ini dari komunitas Anak Gunung Lawu yang kebetulan kenal mas saya, ia memberikan setangkai buat mengenang kakak yang sudah tiada, dan sisanya di bawa ke puncak lagi buat ditabur di sana, dan saya berjanji pada kakak-kakak di komunitas Anak Gunung Lawu jika dewasa akan naik ke Puncak Lawu dan mengembalikan bunga ini ke habitatnya agar kakak tenang di alam sana, karena saking sayangnya ia pada saya, ia rela melanggar pantangan paling keramat di gunung Lawu sampai ia kehilangan nyawa demi saya mas”. Janah terisak sedih mengingat kakanda tercintanaya itu.

  Ah, entahlah, keajaiban apa dan keganjilan apa yang sedang berlangsung, Aspiyan mencerna dengan susah payah setiap kalimat kata demi kata dari bibir Janah yang panjang lebar berkisah tentang kisah terpenting di sejarah hidupnya yang berkaitan dengan kekeramatan gunung Lawu, gunung Mahendra, gunung tapal batas Jawa Tengah dan Jawa Timur!.
  Sebelum ia sadar, gadis itu menyalaminya, memeluknya erat seperti pelukan gadis cilik yang takut di tinggal kakak yang sangat ia sayangi, pelukan gadis kecil yang merengek-rengek manja minta ikut saat sang kakak saat akan keluar rumah, bahkan sekolah!.
   “terimasih mas, Allah telah mempertemukan kita sedemikian rupa dan saya tenang, barusan bertemu kakak almarhum di mimpi saya sebelum njenengan membangunkan saya, saya tak bisa berkata banyak, semoga Allah senantiasa memberkahi setiap jalan yang panjenegan tempuh, sekali lagi terimakasih, semoga kita bersua di lain kesempatan, dan silahkan ke Lawu setiap 17 Agustus, saya selalu menjadi dirigen Indonesia raya di saat pengibaran bendera merah putih di Telaga Kuning Puncak Lawu mas”
   Janah mencium pipi Aspiyan, ciuman kecil, kecupan manis, bak ciuman sayang gadis cilik karena diberi hadiah ulang tahun kakak tercinta!.
  Aspiyan terbengong-bengong, melihat Janah memakai kembali Kariernya dan melanjutkan jalan menuju puncak untuk menabur kembali Edeweis Ungu, Bunga Cinta Abadi, kesetiaan sang bunga itu merasuk manjing di suksma sang gadis yang penuh kisah sedih, namun penderitaannya itu bahkan menempanya menjadi Srikandi Gunung Lawu yang tangguh.
   Srikandi AGL yang paling terkenal dan fenomenal di komunitas pecinta alam gunung Lawu!.
  Edelweiss ungu yang bahkan sudah lima belas tahun lebih ia simpan, dan kini ia siap melepasnya, mengembalikannya ke habitatnya, seperti keikhlasanya melepas sang kakak ke dunia langgeng, dan perjalananya sudah menjadi guratan takdir, bertemu sosok yang mirip sang kakak tercinta saat ia berjalan terseok-seok menyusuri jalur menuju puncak gunung Lawu.
   Aspiyan melihat bayangan Janah menghilang di tikungan, ada sesuatu yang bergejolak maha hebat di dadanya, mengingatkan kepada mbak ayunya di Rejobasuki yang menyayanginya, dan ciuman Janah itu bagai ciuman sang kakak kepadanya saat masih kecil dulu jika ia tak nakal.
   Dan tak lama datang Aldi, Danar, Imam, Rahul dan teman-temanya yang lain ngomel-ngomel karena ditinggal lagi, untung mereka tak panik seperti saat kehilangan Aspiyan di Pos Bayangan.
  “asem, ninggal wong ra omong-omong, jian tenan, cobak ngasih info ngacir melulu kau ini As!”
 Mas Sarno yang baru sampai ngoceh-ngoceh mengomel, dan akhirnya mereka meneruskan perjalanan.
   Beda tempat di waktu yang sama, di depan rombongan pendekar muda itu, berada di ketinggian 2700 m dpl, selisih beberapa tikungan di tanjakan 45 derajat, seorag gadis berdiri di tepi tebing  jurang berbatu bertuliskan Pos IV, ia membuka kantong kain berwarna putih, lalu di raihnya setangkai bunga yang sudah kering namun masih indah itu, di lemparnya dan melayang ke jurang menganga di bawahnya, hilang menyatu dengan alam Lawu yang penuh dengan energi astral.
   Energy para leluhur yang kearifan budaya lokalnya masih lestari sampai hari ini, menjadi semangat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

(nantikan kisah-kisah pendekar muda RJB di Gunung Lawu, masih ada sosok-sosok yang luar biasa yang akan mereka temui sepanjang jalur naik ke titik 3265 m dpl dan kembali turun di titik 1200 m dpl, semua hanya di PENDEKAR GUNUNG LAWU, Edisi Bulan November 2019, Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat-Kaltim).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia