Senin, 02 Desember 2019

PASAR GHOIB



 PASAR GHOIB

Foto: Ilustrasi kesibukan pasar ghoib di puncak Gunung Lawu, 3265 m dpl, perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur, Indonesia. (……Sesaat tadi, sebelum sergapan kabut tebal, mereka masih tersaruk-saruk di jalan terjal yang berbatu kerikil tajam, lalu mereka tiba-tiba sudah berjalan beriringan melintasi kesibukan sebuah pasar, pasar tradisional yang sangat ramai, anehnya walau suasana seperti siang, namun udara masih tetap dingin, dingin basa, batas semu dan samar antara sejuk dan dingin, agak menggigil namun udara sangat nyaman, dan di tengah suasana itu mereka berjalan terbengong-bengong melintasi keriuhan sebuah pasar yang sangat ramai!).

PASAR GHOIB
(……dikisahkan, pemuda-pemuda warga PSCP Cabang Kutai Barat Wilayah Kaltim, yang diwakili Warga Ranting Barong Tongkok, Sub Ranting Kampung Rejobasuki-Kubar-Kaltim, angkatan tahun 2012, 2016 dan 2018, diajak mas Agus Melak melaksanakan Ekspedisi ke Hargo Dumilah, puncak tertinggi Gunung Lawu, setelah mereka menabung lima tahun lamanya untuk bekal perjalanan yang mereka sebut sebagai “EKSPEDISI TANAH LELUHUR” , sebuah petualangan kasunyatan yang diprakarsai Mas Agus Melak, seorang Warga PSCP asal Panekan yang merantau di bumi Kubar semenjak sepuluh tahun silam sampai kisah ini dituliskan tim Buletin PSCP Zona Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Edisi bulan November 2019, sebuah ekspedisi yang bertujuan agar adik-adik seperguruan sang perantau itu bisa menjalani sebuah laku spiritual, proses menjadi manusia sejati yang mengemban amanat Panca Setia, dalam perjalanan ke Puncak Lawu inilah mereka menemukan hal-hal yang sangat berkesan, bahkan tak kurang hal yang berbau mistis yang sukar di nalar logika pikir kaum muda Milenial.
   Pada bagian 4 kisah PASAR GHOIB ini menceritakan sesaat setelah sowan sang Dwija Wasana, rombongan kecil itu mengikuti prosesi Pelantikan di Padepokan Pusat sebagai Warga Madya Muda bersama ribuan pendekar Purwa dan ratusan Warga Madya dari seluruh perwakilan wilayah se-Nusantara.
   Setelah mereka digembleng warga Madya PSCP Kubar-Kaltim selama Lima tahun tanpa henti sah sudah menyandang Gelar Madya yang sangat berat ujian kebatinanya, mereka mengisi hari – hari terakhir di tanah leluhur untuk muncak, mendaki gunung, menjalani sebuah laku sejati, agar nama besar pendekar Gunung Lawu yang mereka sandang bisa mereka kupas serta pahami bila kelak benar-benar bisa menginjakkan kaki di tanah keramat leluhur Majapahit itu, Puncak Hargo Dumilah.
   Dan sejak baru pertama menginjakkan kaki di gerbang Cemoro Sewu, pintu pendakian ke puncak, mereka sudah sangat percaya dan yakin akan siap dan siaga untuk mendarma bhaktikan segenap ilmunya itu untuk Hamemayu Rahayuning Bebrayan Agung dalam jihad suci di palagan perjuangan kehidupan, selamat membaca!
   Kategori Fiksi Astral Kebatinan Nusantara, Tokoh Utama: Imam, Trio, Aspi, Hasan, Rahul, Sarno, Danar dan Aldi).
…….Trio masih nyemil bungkusan daun pisang yang berisi gemblong ketan hitam legit, rupa macam makanan aneka jajan pasar pemberian Nyi Jalak setelah tak sengaja ia memberikan serimpang Kunyit bekal membuat ramuan minuman obat penghangat badan saat mendaki puncak Wukir Mahendra, Gunung Terbesar di Bumi Jawadwipa, Puncak gunung Lawu, rimpang kunyit yang di terima perempuan sepuh itu dengan mata berbinar.
    “biyuh-biyuh, waduuuh, sembah nuwun sanget anakmas, mendah senenge yo genduk Wirastri oleh dolanan apik banget iki hihihihiii..”, sambil mendekap rimpang Kunyit itu di dadanya sambil wajah sepuh itu kelihatan jelas memejamkan mata namun sangat cerah berbinar!.
   Trio agak aneh mendengar logat kalimat tutur Jawa dari mulut perempuan sepuh itu, apalagi tawanya itu beraura atis, ah mungkin ini bahasa Magetan yang asli, dan jarang ia dengar di Kutai Barat logat seperti yang baru saja diutarakan Nyi Jalak, walaupun keluarganya semua keturunan Jawa, ia merasa asing namun bisa memahami setiap tutur kalimat Nyi Jalak yang dijumpainya sore tadi.
   Kini di tanganya ada aneka makanan tempo dulu yang sangat banyak jumlahnya, cukup untuk seluruh rombongan dari RJB Kubar yang perdana menyambut tahun 2020 tetirah ke padepokan Pusat sekaligus menghadiri pelantikan warga perwakilan wilayah se-Nusantara dan Manca Negara.
  Bergegas ia tinggalkan rumah Nyi Jalak,
“ngati-ati njih anakmas, jangan menoleh kebelakang setelang penjenengan melangkahi langkung pintu rumah ini, langsung habiskan makanannya sebelum srengegngene njedul mbenjang enjing”
“wah kulo ngaturaken sembah nuwun saestu Nyi, lha kok kedah malam ini juga Nyi, memang ada apa sampai harus habis sebelum matahari muncul”
  Perempuan sepuh yang seusia neneknya itu hanya tersenyum, kembennya yang modelnya sangat kuno itu dibenahi, ia hanya tersenyum setelah mendoakan Trio dan rombongannya agar selamat sampai tujuan.
  Trio pamit, lalu melangkah keluar dari rumah sederhana yang bermodel limas beratap ijuk dan berdinding gedhek bambu itu, tak lama ia menemukan teman-temannya, tergesa ia berlari-lari kecil menuruni lereng yang lumayan terjal, tak lama telah dijumpainya rombongan si Aspi dan yang lain masih asyik duduk meriung di unggun yang apinya menyala tenang, udara mendekati 2 derajat Celsius jelang tengah malam, dari hidung dan mulut mereka uap air seperti asap yang mengepul-ngepul, keluar dari mulut dan lubang hidung saking bekunya udara.
“makan dulu, iki jek akeh, tadi aku dapat rejeki durian runtuh”, Trio menawarkan bungkusan besar, sebuah besek anyaman bambu yang berisi bungkusan macam-macam rupa jajan pasar!.

Foto: Bunga Edelweis Salju atau Edelweiss Jawa, Anaphalis Javanica sp, tanaman yang di kenal pendaki gunung Lawu  sebagai Bunga Cinta Abadi, karena manakala di petik dan diberikan kepada kekasihnya, ia akan mekar indah abadi, tak akan pernah layu dan rontok kuntum bunganya, tanaman langka yang dilarang keras di petik dari puncak-puncak gunung di Indonesia.
   Anak-anak muda dari RJB, yang baru saja kelaparan tingkat Dewa bahkan walau setelah selesai menyantap bekal mie instan mentah itu bagai kesetanan, saat Triogo meletakkan besek bambu itu di tengah-tengah lingkaran, dimana mereka mengelilingi nyala api unggun penghangat tubuh.
   Mereka berebut bungkusan dan makan berbagai macam jajanan pasar, seperti anak kecil rebutan mainan bagus, dan tanpa ba-bi-bu lagi langsung mereka sikat, dan secara mendadak hadirlah di rongga-rongga mulut pendekar muda yang baru saja naik tataran itu, sebuah kenikmatan rasa bagai candu yang sensasi nikmatnya membuat mereka hampir menangis saking enaknya, seumur hidup baru sakali ini mereka makan olahan ketan, singkong dan gula jawa yang diolah menjadi berbagai jenis bentuk kuliner jajanan pasar yang sangat luar biasa nikmat cita rasanya.
   Rasa nikmat yang kuat menyengat lidah, meleleh di mulut dan tanpa susah payah terkunyah, lalu masuk ke perut dengan sangat nikmat dan mudah tanpa susah payah menelan, meluncur dan masuk lambung, dan ajaibnya, tenaga mereka seakan pulih bahkan berlipat-lipat kekuatan mereka kini setelah memakan jajan pemberian si Triogo, yang secara juga ajaib di dapatkan dari Nyi Jalak, yang rumahnya tak jauh dari mereka mendirikan basecamp.
  Rasa yang sangat-sangat luar biasa nikmatnya, kuliner jadul khas desa yang sangat akrab di lidah, seperti mereka pernah merasakannya di kehidupan yang sebelumnya.
   Namun kenikmatan memakan kuliner yang merupakan makanan khas kearifan lokal tanah Jawa itu terhenti saat seseorang tergesa-gesa datang, tanpa ba-bi-bu dari mulutnya nyerocos kalimat bagai muntahan timah panas dari senapan serbu.
   “heh-heh-heh-haduh nafasku, dadaku panas kebanyakan asap tembakau, tadi aku menerima sms dari mas Agus, jika ada penampakan Jalak Lawu berjambul emas, kita diperintah harus segera membongkar tenda dan meneruskan perjalanan walau hujan badai sekalipun, mas Agus masih meditasi di Loka Mokhsa, kita disarankan beliau naik sekarang, karena aku melihat seekor burung jalak gading yang memiliki jambul kuning, sama ciri-cirinya seperti yang diceritakan mas Agus di sms-nya, dan baru saja aku tadi menemui Jalak berjambul emas, persis sama seperti apa yang ciri – cirinya di sebutkan senior kita itu saat pipis di ujung semak-semak sana, sebaiknya kita segera bergegas, wah apa ini, kok ada makanan  enak ndak bagi-bagi!”

Foto : Ilustrasi Burung Jalak Gading di puncak Lawu, yang oleh masyarakat sekitarnya di percaya jelmaan Kyai Jalak, pengawal Prabu Brawijaya Pamungkas dari Majapahit.
  Tak butuh waktu lama mereka berkemas dan segera bergerak, Aldi yang menjadi Leader, Backing Leader si Danar dan Imam, mas Sarno masih sibuk mengunyah jadah ketan merah gula jawa sambil berjalan menggendong kariernya yang penuh muatan logistik pendakian, ia makan dengan lahap, jadah nikmat yang hanya beberapa suap sudah ludes masuk ke perutnya, mendadak tenaganya pulih, rasa capek dan pegal di setiap sendi tulangnya hilang, ia mempercepat langkah menyusul Rahul yang cekatan melompati bebatuan yang berserakan di jalur jelang trek utama ke puncak gunung Lawu, puncak Hargo Dumilah.

   Tiba-tiba, angin membawa kabut sangat kencang berhembus, dalam satu tarikan nafas jarak pandang menjadi hilang, hanya sejengkal saja di depan wajah bisa diindera, mereka panik, Leader segera memanggil anggotanya :
“kang Sarno!”
“ada!”
“Aspi”
“jek urip”
“Danaaarr!”
“hadir brow”
“Rahuuull”
“siap”
“Komeeeeng!”
“jik mlaku”
“Hasaaaan”
“oke brow”
“Imuuuaammmm”
“nyapooo…!!”
   Setelah jumlah dirasa lengkap, mereka menyambung barisan dengan tali, leader mengikat tali di pinggang, lalu anggotanya satu demi satu mengikat pinggang mereka sehingga seperti rantai manusia, agar jika ada yang jatuh, masih bisa di tahan temannya agar tak tergelincir ke jurang menganga yang sangat dalam, jurang yang mengerikan, jurang di kanan kiri jalur yang kini mereka susuri.

Foto:….. kabut tebal tiba-tiba bergumpal-gumpal datang menyergap dan menelan bayangan semak, pepohonan dan rumpun Edelweiss, mendadak tubuh pendekar-pendekar muda tempaan padepokan Lembah Lawu tersebut lenyap!.
   Saat langkah mereka beranjak ke puncak Bayangan, mereka tiba-tiba sadar, kanan kiri yang tadinya rumpun edelweiss berubah jadi perkampungan.
  Sesaat tadi, sebelum sergapan kabut tebal, mereka masih tersaruk-saruk di jalan terjal yang berbatu kerikil tajam, lalu mereka tiba-tiba sudah berjalan beriringan melintasi kesibukan sebuah pasar, pasar tradisional yang sangat ramai, anehnya walau suasana seperti siang, namun udara masih tetap dingin, dingin basa, batas semu dan samar antara sejuk dan dingin, agak menggigil namun udara sangat nyaman, dan di tengah suasana itu mereka berjalan terbengong-bengong melintasi keriuhan sebuah pasar yang sangat ramai!.
   Nampak di kanan kiri mereka, hamparan luas perkampungan, satu dua pengendara kuda berseragam prajurit melintas, anak-anak kecil yang memakai kain yang melilit perutnya dan bertelanjang dada, dengan rambut di gelung sibuk berarian, ibu-ibu dan bapak-bapak semua berpakaian seperti film-film jaman kerajaan, di kejauhan nampak menjulang gagah gerbang masuk sebuah kota yang berbentuk belah Bentar dari pahatan pualam, bukan bata merah, nampak megah berwibawa, di jaga seregu pasukan prajurit bertombak!.
   Otak rombongan pendekar muda itu hanya mengagumi belaka, mereka belum sadar apa yang terjadi, dan hanya menganggap sedang melintasi syuting film sejarah di puncak Lawu, karena semua penghuni pasar yang mereka temui bersikap dingin, acuh dan cuek dan saat di sapa pun tetap acuh, juga saat mereka menundukkan kepala atau membungkukkan badan tanda hormat saat berpapasan mereka tak peduli, bahkan terkesan mereka seperti tidak melihat kehadiran para pendekar muda dari RJB tersebut!.
“wah, piye iki, dalane dienggo soteng pilem, enake piye, gimana kalau kita mampir dulu di warung sana itu, ada tempat duduk yang kosong!” Aldi sang leader menunjuk sebuah warung, yang dijaga seorang gadis yang enak dilihat, wajahnya cantik jelita dan menyisakan manis-manis dikit saat ia tertawa ada lesung pipi, gadis cantik yang berkebaya dengan rambut di ikat dengan memakai simpul sebuah cunduk mentul, sangat klasik gaya tatanan rambut si jelita, wajah yang enak banget dilihat bagi jomblowan pedalaman Kubar itu.
   Namun, diantara rombongan itu ada yang waspada, ia segera memberi sebuah kode bahaya kepada teman-temanya untuk segera meninggalkan lokasi itu, semakin cepat semakin baik, karena jika semakin lama mereka tiggal, akan semakin sulit untuk keluar dari pasar itu!.

Foto: Ilustrasi penghuni Alam Ghaib…(.. kabut yang bergulung turun cepat itu hanya pembatas tak kasat mata, pintu ghaib memasuki atau keluar dari kehidupan lain, kehidupan energi astral, roh, jin dan lelembut dan jika terlambat sedikit saja, tidak bisa lagi kembali ke dunia manusia hidup, alias kalap, lenyap dan abadi menjadi penduduk negeri Ghaib).
    Mereka melepas tali darurat yang mengikat pinggang, setelah itu mereka duduk melingkar, tangan mereka lipat di depan dada, telapak tangan  saling bertemu, mengatur nafas dan mulai fokus pada satu titik suara, mereka mencari lengkingan merdu Jalak gading Berjambul Emas!.
  Badan mereka serasa terbakar di tengah udara beku puncak Lawu saat mengerahkan segenap energi, memusatkan titik konsentrasi, membuka inti cakra kesadaran jiwa, dan samar-samar, mereka serempak mendengar kicauan merdu nyaring melengking dari jalak gading berjambul emas, dan kabut tebal tiba-tiba bergumpal-gumpal datang menyergap dan menelan bayangan semak, pepohonan dan rumpun Edelweiss, seketika, hanya satu tarikan nafas pendek saja tubuh pendekar-pendekar muda tempaan padepokan Lembah Lawu tersebut hilang, dan saat mereka membuka mata, sudah kembali di jalur pendakian di sisi tebing curam menuju Hargo Dumilah!.
   Mas Sarno yang dituakan di antara pendekar pendaki itu ingat pesan mas Agus Melak sebelum mereka berpisah jelang Puncak, jika ada kehidupan yang tidak wajar dan semua anggota terlena dalam suasana itu, salah satu harus bisa membangunkan kesadaran seluruh rombongan, agar bisa di tolong segera dan dapat keluar dari lokasi yang tak biasa itu, terlebih karena kabut tebal itu hanya tanda, hanya sebuah fase, perpindahan alam, ia merupakan pemisah dua kehidupan, Nyata dan Ghoib!.
  Ia hanya sebagai sebuah gerbang waktu, kabut yang bergulung turun cepat itu hanya pembatas tak kasat mata, pintu ghaib memasuki atau keluar dari kehidupan lain, kehidupan energi astral, roh, jin dan lelembut dan jika terlambat sedikit saja, tidak bisa lagi kembali ke dunia manusia hidup, alias kalap, lenyap dan abadi menjadi penduduk negeri Ghaib.
   Sebelum meneruskan ke Hargo Dumilah, mereka berdoa agak lama, dan ditutup dengan gerakan khas dari pendekar didikan Kawah Candradimuka Wiro Yudo Wicaksono!.
  Sebelum melangkah, mereka menyatukan tangan dalam lingkaran pendekar, serempak berteriak penuh semangat juang!,….”CEMPAKA PUTIIIIHH!,,,,…..JAYAAAAA!!!”.
   Jam enam lewat, saat sunrise mereka ditunggu mas Agus Melak di tugu 3265 m dpl, yang menjabat erat-erat tangan mereka satu persatu, memeluk erat-erat penuh haru satu demi satu, jabat tangan komando khas kesatria berkerah putih, menjabat tangan sang adik-adik seperguruan yang telah lulus dan lolos dari berbagai aral, rintangan, gangguan, baik alam nyata maupun ghaib sejak Pos Cemoro Sewu, pos I sampai pos IV di Hargo Dumilah, dan mereka layak menyandang gelar: “PENDEKAR GUNUNG LAWU BUMI KUBAR”.

  Namun saat beranjak bersiap turun puncak, Trio diam-diam masih memikirkan senyum manis gadis jelita penjaga warung di pasar ghoib itu, ah, seandainya guratan kecantikan itu bisa kurengkuh, niscaya hamba hanyalah budak hina tanpa kasta, budak hina kebahagian yang mengabdikan jiwa raganya demi cinta sang jelita pujaan jiwa, pembuluh rindu pelepas dahaga lara asmara dahana loka!.
“bruk!”
   Lamunanya buyar, ambyaarrrr…ia menubruk sesosok tubuh yang wangi!
“aduh”
   Sosok berbau wangi itu berteriak nyaring!, hampir tergelincir ke sisi curam Hargo Dumilah, Trio sigap menarik tubuhnya dan menjatuhkannya dengan jatuhan belakang agar tak jatuh ke jurang, berdua mereka itu tanpa ampun menghantam tanah dan Trio di hantam sosok wangi itu juga tanpa ampun tepat di dadanya!
“hek!”
   Sesak nafasnya seketika, ternyata sesosok wajah gadis yang tersipu malu, tergopoh mereka bangun, sang gadis meminta maaf, Trio lebih gugup lagi, karena hampir saja membunuh gadis itu seandainya terlambat ia gapai, tubuh indahnya akan remuk menghantam dasar jurang yang berbatu tajam!.

Foto: Trio diam-diam masih memikirkan senyum manis gadis jelita penjaga warung di pasar ghoib itu, ah, seandainya guratan kecantikan itu bisa kurengkuh, niscaya hamba hanyalah budak hina tanpa kasta, budak hina kebahagian yang mengabdikan jiwa raganya demi cinta sang jelita pujaan jiwa, pembuluh rindu pelepas dahaga lara asmara dahana loka!.

  Sang gadis mengucapkan terimaksih, berkenalan dan mempersilahkan Trio dan segenap rombongannya mampir di Karang Pandan jika kebetuan lewat, sang gadis adalah Ketua Mapala Srikandi Gunung Lawu yang sedang bhakti sosial membersihkan sampah para pendaki, Mahasiswi tingkat akhir di UGM yang sedang merampungkan skripsi dan sebentar lagi menjadi dokter muda!.
         TAMAT
   (setahun setelah menyelamatkan sang gadis, Trio menjadi Jomblo paling bahagia dan mapan diantara seluruh rombongan itu, karena sang gadis menjadi isterinya, memberinya anak-anak yang cantik dan ganteng, garis keturunan murni darah Jawa dari ayahanda dan ibundanya, dan sejarah selalu akan mencatat dengan jujur, para pendekar-pendekar tempaan padepokan WIRO YUDO WICAKSONO akan senantiasa di uji dalam palagan perjuangan kehidupan yang tak mudah, berani mati itu cemen, yang luar biasa adalah semangat untuk tetap berani hidup dan berjuang mewujudkan cita-cinta!).

(ditulis untuk perjuangan segenap bubuhan tempaan kawah candradimuka PSCP Kubar, Kampung Pesilat Bumi Kaltim!)

Salam WIRO YUDO WICAKSONO, SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI, MELU HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRA HANGRASA WANI!.

Kubar, 1 Oktober 2019.
(Tim Redaksi Buletin PSCP Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Zona Kutai Barat Kalimantan Timur Edisi November 2019).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia