PASAR GHOIB
Foto: Ilustrasi
kesibukan pasar ghoib di puncak Gunung Lawu, 3265 m dpl, perbatasan Jawa Tengah
dengan Jawa Timur, Indonesia. (……Sesaat tadi, sebelum sergapan kabut tebal,
mereka masih tersaruk-saruk di jalan terjal yang berbatu kerikil tajam, lalu
mereka tiba-tiba sudah berjalan beriringan melintasi kesibukan sebuah pasar,
pasar tradisional yang sangat ramai, anehnya walau suasana seperti siang, namun
udara masih tetap dingin, dingin basa, batas semu dan samar antara sejuk dan
dingin, agak menggigil namun udara sangat nyaman, dan di tengah suasana itu
mereka berjalan terbengong-bengong melintasi keriuhan sebuah pasar yang sangat
ramai!).
PASAR GHOIB
(……dikisahkan, pemuda-pemuda warga PSCP
Cabang Kutai Barat Wilayah Kaltim, yang diwakili Warga Ranting Barong Tongkok,
Sub Ranting Kampung Rejobasuki-Kubar-Kaltim, angkatan tahun 2012, 2016 dan
2018, diajak mas Agus Melak melaksanakan Ekspedisi ke Hargo Dumilah, puncak
tertinggi Gunung Lawu, setelah mereka menabung lima tahun lamanya untuk bekal
perjalanan yang mereka sebut sebagai “EKSPEDISI TANAH LELUHUR” , sebuah
petualangan kasunyatan yang diprakarsai Mas Agus Melak, seorang Warga PSCP asal Panekan yang merantau di bumi Kubar
semenjak sepuluh tahun silam sampai kisah ini dituliskan tim Buletin PSCP Zona
Kubar-Kabarnya Pendekar Milenial Edisi bulan November 2019, sebuah ekspedisi
yang bertujuan agar adik-adik seperguruan sang perantau itu bisa menjalani
sebuah laku spiritual, proses menjadi manusia sejati yang mengemban amanat
Panca Setia, dalam perjalanan ke Puncak Lawu inilah mereka menemukan hal-hal
yang sangat berkesan, bahkan tak kurang hal yang berbau mistis yang sukar di
nalar logika pikir kaum muda Milenial.
Pada bagian 4 kisah PASAR GHOIB ini menceritakan sesaat setelah sowan
sang Dwija Wasana, rombongan kecil itu mengikuti prosesi Pelantikan di
Padepokan Pusat sebagai Warga Madya Muda bersama ribuan pendekar Purwa dan
ratusan Warga Madya dari seluruh perwakilan wilayah se-Nusantara.
Setelah mereka digembleng warga Madya PSCP Kubar-Kaltim selama Lima
tahun tanpa henti sah sudah menyandang Gelar Madya yang sangat berat ujian
kebatinanya, mereka mengisi hari – hari terakhir di tanah leluhur untuk muncak,
mendaki gunung, menjalani sebuah laku sejati, agar nama besar pendekar Gunung
Lawu yang mereka sandang bisa mereka kupas serta pahami bila kelak benar-benar
bisa menginjakkan kaki di tanah keramat leluhur Majapahit itu, Puncak Hargo
Dumilah.
Dan sejak baru pertama menginjakkan kaki di gerbang Cemoro Sewu, pintu
pendakian ke puncak, mereka sudah sangat percaya dan yakin akan siap dan siaga untuk mendarma bhaktikan segenap
ilmunya itu untuk Hamemayu Rahayuning Bebrayan Agung dalam jihad suci di
palagan perjuangan kehidupan, selamat membaca!
Kategori Fiksi Astral Kebatinan Nusantara, Tokoh Utama: Imam, Trio, Aspi, Hasan,
Rahul, Sarno, Danar dan Aldi).
…….Trio masih nyemil bungkusan daun
pisang yang berisi gemblong ketan hitam legit, rupa macam makanan aneka jajan
pasar pemberian Nyi Jalak setelah tak sengaja ia memberikan serimpang Kunyit
bekal membuat ramuan minuman obat penghangat badan saat mendaki puncak Wukir
Mahendra, Gunung Terbesar di Bumi Jawadwipa, Puncak gunung Lawu, rimpang kunyit
yang di terima perempuan sepuh itu dengan mata berbinar.
“biyuh-biyuh, waduuuh, sembah
nuwun sanget anakmas, mendah senenge yo genduk Wirastri oleh dolanan apik
banget iki hihihihiii..”, sambil mendekap rimpang Kunyit itu di dadanya sambil
wajah sepuh itu kelihatan jelas memejamkan mata namun sangat cerah berbinar!.
Trio agak aneh mendengar logat kalimat tutur Jawa dari mulut perempuan
sepuh itu, apalagi tawanya itu beraura atis, ah mungkin ini bahasa Magetan yang
asli, dan jarang ia dengar di Kutai Barat logat seperti yang baru saja
diutarakan Nyi Jalak, walaupun keluarganya semua keturunan Jawa, ia merasa
asing namun bisa memahami setiap tutur kalimat Nyi Jalak yang dijumpainya sore
tadi.
Kini di tanganya ada aneka makanan tempo dulu yang sangat banyak
jumlahnya, cukup untuk seluruh rombongan dari RJB Kubar yang perdana menyambut
tahun 2020 tetirah ke padepokan Pusat sekaligus menghadiri pelantikan warga
perwakilan wilayah se-Nusantara dan Manca Negara.
Bergegas ia tinggalkan rumah Nyi Jalak,
“ngati-ati njih anakmas, jangan menoleh
kebelakang setelang penjenengan melangkahi langkung pintu rumah ini, langsung
habiskan makanannya sebelum srengegngene njedul mbenjang enjing”
“wah kulo ngaturaken sembah nuwun saestu
Nyi, lha kok kedah malam ini juga Nyi, memang ada apa sampai harus habis
sebelum matahari muncul”
Perempuan sepuh yang seusia neneknya itu hanya tersenyum, kembennya yang
modelnya sangat kuno itu dibenahi, ia hanya tersenyum setelah mendoakan Trio dan
rombongannya agar selamat sampai tujuan.
Trio pamit, lalu melangkah keluar dari rumah sederhana yang bermodel
limas beratap ijuk dan berdinding gedhek bambu itu, tak lama ia menemukan
teman-temannya, tergesa ia berlari-lari kecil menuruni lereng yang lumayan
terjal, tak lama telah dijumpainya rombongan si Aspi dan yang lain masih asyik
duduk meriung di unggun yang apinya menyala tenang, udara mendekati 2 derajat
Celsius jelang tengah malam, dari hidung dan mulut mereka uap air seperti asap
yang mengepul-ngepul, keluar dari mulut dan lubang hidung saking bekunya udara.
“makan dulu, iki jek akeh, tadi aku
dapat rejeki durian runtuh”, Trio menawarkan bungkusan besar, sebuah besek
anyaman bambu yang berisi bungkusan macam-macam rupa jajan pasar!.
Foto:
Bunga Edelweis Salju atau Edelweiss Jawa, Anaphalis Javanica sp, tanaman yang
di kenal pendaki gunung Lawu sebagai
Bunga Cinta Abadi, karena manakala di petik dan diberikan kepada kekasihnya, ia
akan mekar indah abadi, tak akan pernah layu dan rontok kuntum bunganya,
tanaman langka yang dilarang keras di petik dari puncak-puncak gunung di
Indonesia.
Anak-anak muda dari RJB, yang baru saja
kelaparan tingkat Dewa bahkan walau setelah selesai menyantap bekal mie instan
mentah itu bagai kesetanan, saat Triogo meletakkan besek bambu itu di
tengah-tengah lingkaran, dimana mereka mengelilingi nyala api unggun penghangat
tubuh.
Mereka berebut bungkusan dan makan berbagai macam jajanan pasar, seperti
anak kecil rebutan mainan bagus, dan tanpa ba-bi-bu lagi langsung mereka sikat,
dan secara mendadak hadirlah di rongga-rongga mulut pendekar muda yang baru
saja naik tataran itu, sebuah kenikmatan rasa bagai candu yang sensasi nikmatnya
membuat mereka hampir menangis saking enaknya, seumur hidup baru sakali ini mereka
makan olahan ketan, singkong dan gula jawa yang diolah menjadi berbagai jenis
bentuk kuliner jajanan pasar yang sangat luar biasa nikmat cita rasanya.
Rasa nikmat yang kuat menyengat lidah, meleleh di mulut dan tanpa susah
payah terkunyah, lalu masuk ke perut dengan sangat nikmat dan mudah tanpa susah
payah menelan, meluncur dan masuk lambung, dan ajaibnya, tenaga mereka seakan
pulih bahkan berlipat-lipat kekuatan mereka kini setelah memakan jajan
pemberian si Triogo, yang secara juga ajaib di dapatkan dari Nyi Jalak, yang
rumahnya tak jauh dari mereka mendirikan basecamp.
Rasa yang sangat-sangat luar biasa nikmatnya, kuliner jadul khas desa
yang sangat akrab di lidah, seperti mereka pernah merasakannya di kehidupan
yang sebelumnya.
Namun kenikmatan memakan kuliner yang merupakan makanan khas kearifan
lokal tanah Jawa itu terhenti saat seseorang tergesa-gesa datang, tanpa
ba-bi-bu dari mulutnya nyerocos kalimat bagai muntahan timah panas dari senapan
serbu.
“heh-heh-heh-haduh nafasku, dadaku panas kebanyakan asap tembakau, tadi
aku menerima sms dari mas Agus, jika ada penampakan Jalak Lawu berjambul emas,
kita diperintah harus segera membongkar tenda dan meneruskan perjalanan walau
hujan badai sekalipun, mas Agus masih meditasi di Loka Mokhsa, kita disarankan
beliau naik sekarang, karena aku melihat seekor burung jalak gading yang
memiliki jambul kuning, sama ciri-cirinya seperti yang diceritakan mas Agus di
sms-nya, dan baru saja aku tadi menemui Jalak berjambul emas, persis sama seperti
apa yang ciri – cirinya di sebutkan senior kita itu saat pipis di ujung
semak-semak sana, sebaiknya kita segera bergegas, wah apa ini, kok ada makanan enak ndak bagi-bagi!”
Foto : Ilustrasi
Burung Jalak Gading di puncak Lawu, yang oleh masyarakat sekitarnya di percaya
jelmaan Kyai Jalak, pengawal Prabu Brawijaya Pamungkas dari Majapahit.
Tak butuh waktu lama mereka berkemas dan segera bergerak, Aldi yang
menjadi Leader, Backing Leader si Danar dan Imam, mas Sarno masih sibuk
mengunyah jadah ketan merah gula jawa sambil berjalan menggendong kariernya
yang penuh muatan logistik pendakian, ia makan dengan lahap, jadah nikmat yang hanya
beberapa suap sudah ludes masuk ke perutnya, mendadak tenaganya pulih, rasa
capek dan pegal di setiap sendi tulangnya hilang, ia mempercepat langkah
menyusul Rahul yang cekatan melompati bebatuan yang berserakan di jalur jelang
trek utama ke puncak gunung Lawu, puncak Hargo Dumilah.
Tiba-tiba, angin membawa kabut sangat kencang berhembus, dalam satu
tarikan nafas jarak pandang menjadi hilang, hanya sejengkal saja di depan wajah
bisa diindera, mereka panik, Leader segera memanggil anggotanya :
“kang Sarno!”
“ada!”
“Aspi”
“jek urip”
“Danaaarr!”
“hadir brow”
“Rahuuull”
“siap”
“Komeeeeng!”
“jik mlaku”
“Hasaaaan”
“oke brow”
“Imuuuaammmm”
“nyapooo…!!”
Setelah jumlah dirasa lengkap, mereka menyambung barisan dengan tali,
leader mengikat tali di pinggang, lalu anggotanya satu demi satu mengikat
pinggang mereka sehingga seperti rantai manusia, agar jika ada yang jatuh,
masih bisa di tahan temannya agar tak tergelincir ke jurang menganga yang
sangat dalam, jurang yang mengerikan, jurang di kanan kiri jalur yang kini
mereka susuri.
Foto:….. kabut
tebal tiba-tiba bergumpal-gumpal datang menyergap dan menelan bayangan semak,
pepohonan dan rumpun Edelweiss, mendadak tubuh pendekar-pendekar muda tempaan
padepokan Lembah Lawu tersebut lenyap!.
Saat langkah mereka beranjak ke puncak Bayangan, mereka tiba-tiba sadar,
kanan kiri yang tadinya rumpun edelweiss berubah jadi perkampungan.
Sesaat tadi, sebelum sergapan kabut tebal, mereka masih tersaruk-saruk
di jalan terjal yang berbatu kerikil tajam, lalu mereka tiba-tiba sudah
berjalan beriringan melintasi kesibukan sebuah pasar, pasar tradisional yang
sangat ramai, anehnya walau suasana seperti siang, namun udara masih tetap
dingin, dingin basa, batas semu dan samar antara sejuk dan dingin, agak
menggigil namun udara sangat nyaman, dan di tengah suasana itu mereka berjalan
terbengong-bengong melintasi keriuhan sebuah pasar yang sangat ramai!.
Nampak di kanan kiri mereka, hamparan luas perkampungan, satu dua
pengendara kuda berseragam prajurit melintas, anak-anak kecil yang memakai kain
yang melilit perutnya dan bertelanjang dada, dengan rambut di gelung sibuk
berarian, ibu-ibu dan bapak-bapak semua berpakaian seperti film-film jaman
kerajaan, di kejauhan nampak menjulang gagah gerbang masuk sebuah kota yang
berbentuk belah Bentar dari pahatan pualam, bukan bata merah, nampak megah
berwibawa, di jaga seregu pasukan prajurit bertombak!.
Otak rombongan pendekar muda itu hanya mengagumi belaka, mereka belum
sadar apa yang terjadi, dan hanya menganggap sedang melintasi syuting film
sejarah di puncak Lawu, karena semua penghuni pasar yang mereka temui bersikap
dingin, acuh dan cuek dan saat di sapa pun tetap acuh, juga saat mereka
menundukkan kepala atau membungkukkan badan tanda hormat saat berpapasan mereka
tak peduli, bahkan terkesan mereka seperti tidak melihat kehadiran para
pendekar muda dari RJB tersebut!.
“wah, piye iki, dalane dienggo soteng
pilem, enake piye, gimana kalau kita mampir dulu di warung sana itu, ada tempat
duduk yang kosong!” Aldi sang leader menunjuk sebuah warung, yang dijaga
seorang gadis yang enak dilihat, wajahnya cantik jelita dan menyisakan
manis-manis dikit saat ia tertawa ada lesung pipi, gadis cantik yang berkebaya
dengan rambut di ikat dengan memakai simpul sebuah cunduk mentul, sangat klasik
gaya tatanan rambut si jelita, wajah yang enak banget dilihat bagi jomblowan
pedalaman Kubar itu.
Namun, diantara rombongan itu ada yang waspada, ia segera memberi sebuah
kode bahaya kepada teman-temanya untuk segera meninggalkan lokasi itu, semakin
cepat semakin baik, karena jika semakin lama mereka tiggal, akan semakin sulit
untuk keluar dari pasar itu!.
Foto: Ilustrasi
penghuni Alam Ghaib…(.. kabut yang bergulung turun cepat itu hanya pembatas tak
kasat mata, pintu ghaib memasuki atau keluar dari kehidupan lain, kehidupan
energi astral, roh, jin dan lelembut dan jika terlambat sedikit saja, tidak
bisa lagi kembali ke dunia manusia hidup, alias kalap, lenyap dan abadi menjadi
penduduk negeri Ghaib).
Mereka melepas tali darurat yang mengikat
pinggang, setelah itu mereka duduk melingkar, tangan mereka lipat di depan
dada, telapak tangan saling bertemu,
mengatur nafas dan mulai fokus pada satu titik suara, mereka mencari lengkingan
merdu Jalak gading Berjambul Emas!.
Badan mereka serasa terbakar di tengah udara beku puncak Lawu saat
mengerahkan segenap energi, memusatkan titik konsentrasi, membuka inti cakra
kesadaran jiwa, dan samar-samar, mereka serempak mendengar kicauan merdu
nyaring melengking dari jalak gading berjambul emas, dan kabut tebal tiba-tiba
bergumpal-gumpal datang menyergap dan menelan bayangan semak, pepohonan dan
rumpun Edelweiss, seketika, hanya satu tarikan nafas pendek saja tubuh
pendekar-pendekar muda tempaan padepokan Lembah Lawu tersebut hilang, dan saat
mereka membuka mata, sudah kembali di jalur pendakian di sisi tebing curam
menuju Hargo Dumilah!.
Mas Sarno yang dituakan di antara pendekar pendaki itu ingat pesan mas
Agus Melak sebelum mereka berpisah jelang Puncak, jika ada kehidupan yang tidak
wajar dan semua anggota terlena dalam suasana itu, salah satu harus bisa
membangunkan kesadaran seluruh rombongan, agar bisa di tolong segera dan dapat keluar
dari lokasi yang tak biasa itu, terlebih karena kabut tebal itu hanya tanda,
hanya sebuah fase, perpindahan alam, ia merupakan pemisah dua kehidupan, Nyata
dan Ghoib!.
Ia hanya sebagai sebuah gerbang waktu, kabut yang bergulung turun cepat
itu hanya pembatas tak kasat mata, pintu ghaib memasuki atau keluar dari
kehidupan lain, kehidupan energi astral, roh, jin dan lelembut dan jika terlambat
sedikit saja, tidak bisa lagi kembali ke dunia manusia hidup, alias kalap,
lenyap dan abadi menjadi penduduk negeri Ghaib.
Sebelum meneruskan ke Hargo Dumilah, mereka berdoa agak lama, dan
ditutup dengan gerakan khas dari pendekar didikan Kawah Candradimuka Wiro Yudo
Wicaksono!.
Sebelum melangkah, mereka menyatukan tangan dalam lingkaran pendekar,
serempak berteriak penuh semangat juang!,….”CEMPAKA
PUTIIIIHH!,,,,…..JAYAAAAA!!!”.
Jam enam lewat, saat sunrise mereka ditunggu mas Agus Melak di tugu 3265
m dpl, yang menjabat erat-erat tangan mereka satu persatu, memeluk erat-erat
penuh haru satu demi satu, jabat tangan komando khas kesatria berkerah putih,
menjabat tangan sang adik-adik seperguruan yang telah lulus dan lolos dari
berbagai aral, rintangan, gangguan, baik alam nyata maupun ghaib sejak Pos
Cemoro Sewu, pos I sampai pos IV di Hargo Dumilah, dan mereka layak menyandang
gelar: “PENDEKAR GUNUNG LAWU BUMI KUBAR”.
Namun saat beranjak bersiap turun puncak,
Trio diam-diam masih memikirkan senyum manis gadis jelita penjaga warung di
pasar ghoib itu, ah, seandainya guratan kecantikan itu bisa kurengkuh, niscaya
hamba hanyalah budak hina tanpa kasta, budak hina kebahagian yang mengabdikan
jiwa raganya demi cinta sang jelita pujaan jiwa, pembuluh rindu pelepas dahaga
lara asmara dahana loka!.
“bruk!”
Lamunanya buyar, ambyaarrrr…ia menubruk sesosok tubuh yang wangi!
“aduh”
Sosok berbau wangi itu berteriak nyaring!, hampir tergelincir ke sisi
curam Hargo Dumilah, Trio sigap menarik tubuhnya dan menjatuhkannya dengan
jatuhan belakang agar tak jatuh ke jurang, berdua mereka itu tanpa ampun menghantam
tanah dan Trio di hantam sosok wangi itu juga tanpa ampun tepat di dadanya!
“hek!”
Sesak nafasnya seketika, ternyata sesosok wajah gadis yang tersipu malu,
tergopoh mereka bangun, sang gadis meminta maaf, Trio lebih gugup lagi, karena
hampir saja membunuh gadis itu seandainya terlambat ia gapai, tubuh indahnya
akan remuk menghantam dasar jurang yang berbatu tajam!.
Foto: Trio
diam-diam masih memikirkan senyum manis gadis jelita penjaga warung di pasar
ghoib itu, ah, seandainya guratan kecantikan itu bisa kurengkuh, niscaya hamba
hanyalah budak hina tanpa kasta, budak hina kebahagian yang mengabdikan jiwa
raganya demi cinta sang jelita pujaan jiwa, pembuluh rindu pelepas dahaga lara
asmara dahana loka!.
Sang gadis mengucapkan terimaksih, berkenalan dan mempersilahkan Trio
dan segenap rombongannya mampir di Karang Pandan jika kebetuan lewat, sang
gadis adalah Ketua Mapala Srikandi Gunung Lawu yang sedang bhakti sosial
membersihkan sampah para pendaki, Mahasiswi tingkat akhir di UGM yang sedang
merampungkan skripsi dan sebentar lagi menjadi dokter muda!.
TAMAT
(setahun setelah menyelamatkan sang gadis, Trio menjadi Jomblo paling
bahagia dan mapan diantara seluruh rombongan itu, karena sang gadis menjadi
isterinya, memberinya anak-anak yang cantik dan ganteng, garis keturunan murni
darah Jawa dari ayahanda dan ibundanya, dan sejarah selalu akan mencatat dengan
jujur, para pendekar-pendekar tempaan padepokan WIRO YUDO WICAKSONO akan
senantiasa di uji dalam palagan perjuangan kehidupan yang tak mudah, berani
mati itu cemen, yang luar biasa adalah semangat untuk tetap berani hidup dan
berjuang mewujudkan cita-cinta!).
(ditulis untuk perjuangan segenap
bubuhan tempaan kawah candradimuka PSCP Kubar, Kampung Pesilat Bumi Kaltim!)
Salam WIRO YUDO WICAKSONO, SURO DIRO
JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI, MELU HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRA
HANGRASA WANI!.
Kubar, 1 Oktober 2019.
(Tim Redaksi Buletin PSCP Kubar-Kabarnya
Pendekar Milenial Zona Kutai Barat Kalimantan Timur Edisi November 2019).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar