“Kopi Cangkir”
OWKP
Obrolan Warung
Kopi Pendekar
Hujan turun dengan derasnya, bahkan seharian sejak pagi buta, siang
berubah menjadi gerimis merintik namun hanya sejenak.
Dan hujan kembali turun lagi makin deras, sampai matahari terbenam
sempurna kian menggila bagai di curahkan dari langit, semua basah, jalanan
tergenang air, sungai dan selokan penuh aliran air yang berwarna gelap, aliran
air bercampur lumpur, menghasilkan warna aliran air yang kecoklatan menghitam.
Gunung Lawu hampir tak terlihat wujudnya sejak pagi sampai malam,
kawasan puncak tertutup awan tebal bahkan sejak pagi buta, matahari tak
sekejapun bersinar, hanya meremang kelabu warna langit sejak awal hari dimulai.
Udara sangat dingin, memaksa penduduk kerasan di rumah mereka, penghuni
lembah gunung Lawu lebih suka duduk santai di depan dapur menikmati minuman
panas, minuman yang mampu menghangatkan diri dari sergapan udara dingin akibat
hujan yang sejak pagi sampai malam mengguyur bumi.
Warga desa lebih suka menikmati hangatnya suasana di dalam rumah, malahan
mereka paling kerasan meriung di depan dapur yang bahan bakarnya kayu, sehingga
bara dan apinya mampu menjadi pemanas tubuh yang murah meriah.
Selepas makan siang, ditengah guyuran hujan pakdhe Wiro sibuk membenahi
gentingnya yang melosok, ia benahi dari bawah atap, bermodalkan dua buah meja
yang ditumpuk agar tanganya bisa menjangkau genteng yang bergesar.
Genteng dari tanah liat yang di beberapa lajur nampak bergeser karena si
loreng kucing kesayanganya suka memanjat atap dan kadang berlarian, menyebabkan
genteng-genteng dari tanah liat itu menjadi melosok.
Sehingga saat musim hujan aliran air dari ujung atap deras meluncur dan
ada saja yang merembes kebawah, membanjiri meja dan bangku-bangku panjang
tempat para pelangganya duduk.
Bangku-bangku yang basah karena gentengnya bergeser akibat dipakai
berlarian si Loreng, kucing kesayangan lelaki sepuh itu, bangku-bangku
sederhana yang selalu penuh di duduki jika hari sudah mulai merangkak menuju
malam.
Bangku-bangku kayu yang selalu nyaman dijadikan tempat cangkrukan mereka
yang jenuh di rumah dan keluar sekedar mengobrol di warung kopinya.
Ngopi jahe sambil bersosialisasi membahas jalanya hari, bersilaturahmi
dengan sesama manusia, sesama tetangga, sesama warga.
Berkisah secara akrab, dimana lagi lokasi paling baik, dan jawabanya
adalah paling asyik nyangkruk di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar milik
pakdhe Wiro.
“kopi alitipun pakdhe, ndamel jahe ingkang kathah, badan rasanya atis
banget, hujan kok sejak pagi sampai malam, sampai jemuran sarung ndak bisa
kering, masih malem terpaksa saya pakai, biar kering di badan saja, sarung yang
satunya malah baru di cuci simbokne tole”
Seorang pelanggan datang memakai payung, gerimis masih merintik, malam
sangat gelap, tubuhnya dibungkus jaket tebal, itupun ia masih berselimut
sarung, melapisi badan sedemikian rupa, menghindari dari sergapan udara beku
gunung Lawu.
Cuaca menjemukan, karena sejak pagi diguyur hujan tiada henti, hujan
yang tercurah sampai malam, dan kini baru berhenti, walau masih menyisakan
gerimis merintik halus.
“njanur gunung kang Warso kerso mampir di gubuk saya, monggo dipun sekecakaken
rumiyin, biar saya didihkan dulu airnya, jahenya biar saya tambahkan porsinya,
biar cepat anget kang, memang yo kang, sejak pagi gila-gilaan hujan mengguyur,
ini saya baru selesai membetulkan atap yang tergeser gentingnya, air hujan
merembes membasahi meja dan bangku duduk, biasa kang, si Loreng suka mainan
lari-lari di atap warung bikin genteng sering melosok”
Tak memerlukan waktu lama, arang batok di pawon rondo dari tanah liat
yang membara merah itu begitu di beri kepingan batok yang baru oleh pakdhe Wiro
langsung menyala, apinya menyembur-nyembur seperti kompor gas yang
dimaksimalkan setelan gasnya.
Sehingga tak menunggu sampai bosan, pelanggan yang dipanggil kang Warso,
warga PSCP angkatan tahun 1974, angkatan perintis yang sekarang sudah menjadi
seorang pria paruh baya.
Warga perintis PSCP yang oleh pakdhe Wiro di layani dengan gupuh,
cangkir yang segera cepat ia beri racikan, dan minuman panas itu segera
selesai.
Yang baru datang, yang dipanggil kang Warso itu segera menerima kopi
jahe pesananya, kopi jahe dalam porsi cangkir yang harum mengepulkan asap
beraroma khas.
Aroma yang bahkan mengembalikan mood yang hilang hanya dengan menghirupnya
secara sangat-sangat pelahan-lahan.
Menghirup aroma therapi minuman legendaris khas warung kopi ndeso, kopi
jahe dengan takaran gula yang pas, komposisi beberapa unsur pokok : air
mendidih, gula, kopi, jahe, wadah/cangkir dan lepek.
Seperti hidup, jika semua terukur dan pas, akan memperkuat fungsi
maksimal unsur yang satu terhadap unsur yang lain.
Pada secangkir kopi jahe, semua unsur akan dapat maksimal berfungsi
dengan ketepatan takaran, ketepatan racikan dan ketepatan penyajian.
Namun jika salah satu unsur terlalu berlebihan, semua unsur akan gagal
mencapai potensi terbaiknya dan daya gunanya akan sia-sia.
Sia-sia alias menjadi produk yang gagal, ibarat kopi yang kebanyakan
gula, teralu manis gagal, kebanyakan kopi jadi sangat pahit juga gagal, pun
begitu dengan serbuk jahenya, terlau banyak akan sangat pedas, juga gagal.
Juga air mendidihnya harus tepat dituang manakala air yang sudah mendidih
bergelembung mengeluarkan letupan-letupan uap panas itu masih di suhu 100 derajat
Celsius dan semua itu di satukan dengan cangkir.
Cangkir, mencancang rasa untuk berfikir hakikat hidup, mengikat rasa,
mengikat alam makrifat dalam jumenenging pangrasa, agar tahu bahwa kita hidup
bukan hidup untuk diri sendiri.
Kita hidup bukan hanya untuk egoisme pribadi, ada unsur lain yang harus
kita dukung, kita perkuat, kita perbaiki cita rasanya, sehingga mampu melahirkan
greget dalam hidup dalam rangka hamemayu hayuningrat.
Wujud cangkir ibarat jasad wadag manusia, wadah roh, roh yang senantiasa
di kelilingi keinginan-keinginan, dan keinginan itu akan berubah menjadi
krenteg atau niat.
Semua itu esensi pokok dari gumelaring jagad alit yang fana atau
temporer, badaniah itu hanyalah serpihan wujud yang paling fana dan sisi batiniah
yang menjadi bagian dari rohlah yang langgeng.
Dan jagad alit yang gumelar itupun juga bagian dari jagad agung yang gumelar
langgeng, dan keduanya manakala menyatu, akan menunjukkan siapa jati diri
kemanusiaan kita menuju jati diri sejati dan mampu menemukan esensi paling
murni sangkan paraning dumadi.
Esensi yang paling hakiki yang bahkan kita tak pernah mengetahui itu
semua diajarkan oleh filosofi ngombe wedang kopi, filsafat tingkat makrifatullah
manakala manusia menikmati secangkir kopi.
Cangkir Kopi, anyancang pikiran sejati kanggo mapak tekoning pati,
mengikat rasa spiritualitas ketuhanan dalam diri kita untuk menjemput ajal
sehingga sampai pada tahapan sampurnaning urip tumekaning pati, sempurna kehidupanya
juga sempurna memasuki tingkat atau tataran alam kematian pada saat bersatunya
roh dengan Dzat atau Wujud yang sejati, wujud yang senantiasa tan kena kinaya
ngapa.
Manakala kopi masih panas, kita tak pernah berani untuk meminumnya, maka
dibantu piring kecil bernama lepek, dieler neng nduwuring epek-epek, lepek kita
taruh di atas telapak tangan kiri yang terbuka, tangan kanan menuang minuman
kopi yang masih panas, sehingga menjadi turun suhunya, kita seruput
sedikit-demi sedikit sehingga bisa kita nikmati rasanya.
Seperti sanepan kehidupan, manakala kita dibakar amarah dan emosi yang
meledak-ledak, harus mampu kita redam, kita dinginkan dengan telapak tangan
terbuka yang menampung wadah kebijakan, bukan dengan tapak tangan terkepal
penuh rasa benci dan kemarahan.
Ngeler neng epek-epek, ngunggah
ngudunake rasa, menelaah, mendalami, memandang sambil menelaah lagi lebih
detail segala permasalahan kehidupan.
Berpikir dengan olah rasa, bukan dengan olah logika, berpikir mengolah
rasa lebih mendalam serta lebih jauh ke dasar-dasar karakter kosmis dan mistis sebagai pondasi kemanusiaan.
Sebuah proses kontemplasi manusia yang memiliki jiwa kesatria, jiwa
pendekar, jiwa pejuang kehidupan manakala masih dalam pencarian solusi jalan
keluar dari segala permasalahan dan tantangan hidup.
Agar masalah yang panas membakar itu bisa kita tuntaskan sedikit demi
sedikit sampai tuntas dan semua serba baik dan serba indah, enak di perasaan.
Sehingga membawa kebaikan bagi sesamining agesang, memayu rahayuningrat,
memerindah hidup yang sudah indah di dunia.
Sehingga tetap utuh di jalinan silaturahmi kita semua dengan teman,
tetangga, kerabat dan warga masyarakat.
Namun jika kita nekad melawan dengan egosime, membenturkan masalah
dengan hawa amarah meluap-luap berkobar-kobar dalam diri kita, bagaikan meminum
air panas minuman kopi yang baru dituang.
Air kopi yang baru mendidih jika berkeras kita meminumnya maka alamat
lidah dan mulut bisa terbakar.
Sehingga tidak ada kenikmatan, yang ada hanya luka bakar dan tidak dalam
satu tarikan nafas bisa disembuhkan, luka yang membuat kita tak mampu lagi
menikmati lezatnya makanan dan nikmat segarnya minuman.
Itu semua hanya sebuah simbolisasi, sebuah perlambang atau sanepan, sehingga ketika kriwikan jadi
grojokan, masalah sepele makin membesar, terjadilah benturan batin dan bahkan
fisik.
Jika kekuatan pendekar kita tak bisa lagi terkontrol, menghajar manusia
yang lemah, kita akan kena walat, kuwalat.
Dan hukum negara akan memasukkan kita di penjara karena kekerasan fisik
yang melukai bahkan menghilangkan nyawa manusia lain, suatu perkara yang kadang
sepele namun membuat kita tak bisa meraih ketentraman yag hakiki.
Unsur air yang dipanasi sampai mendidih itulah bahan utama kopi menjadi
nikmat, karena unsur air mendidih dari kobaran api itulah yang mampu menyatukan
unsur-unsur kewadagan dari bahan kopi, jahe dan gula sehingga larut, manjing
nyawiji dan menyatu.
Emosi, amarah, egoisme, merupakan bagian atau salah satu unur hawa napsu
yang dilambangkan dengan api, sekali menyala dan berkobar harus pandai-pandai
kita kontrol dan kendaliakan, agar tidak melahap habis seluruh rumah dan isinya,
cukuplah nyalanya mendidihkan air yang akan kita jadikan pemersatu
racikan-racikan bahan kehidupan.
Maka pakdhe Wiro selalu menempa ketajaman batin siswa-siswa PSCP yang
pinuju mampir di warung kopi pendekar itu dengan perlambang dan sanepan minuman
rakyat yang khas di sebut kopi alit, kopi cilik, wujud minuman berwarna hitam
dalam secangkir kopi.
Hitamnya kopi adalah kekuatan pengendalian diri, manisnya gula yang
larut adalah lambang anugerah Sang Pemberi Rejeki, pedasnya jahe adalah makna
hakekat dari cobaan kehidupan, jika disatukan dalam sebuah wadah cangkir maka
akan kita dapatkan sebuah filosofi tingkat hakekat, hakikinya sebuah proses
atau laku dalam medan perjuangan hidup yang serba tak mudah.
Bahwasanya semua cobaan ujian masalah dan tantangan kehidupan itu tidak
akan berpengaruh buruk bahkan akan menjadi pintu masuk kita belajar sebuah
laku.
Artinya ujian hidup itu malah akan menguatkan dan mempertajam jiwa raga
kita bilamana kita selalu mengendalikan diri tidak terbawa emosi dan amarah
dengan tetap ingat kepada karunia-Nya dan senantiasa mensyukuri segala
nikmat-Nya.
Sehingga semua ujian itu akan menjadi pupuk batin yang menyuburkan
tanaman yang menghasilkan buah yang baik.
Hasil buah kebaikan yang menyatu dalam diri kita, manjing nyawiji, lahir
batin, wadag dan roh sehingga menghasilkan nur, cahaya, pencerahan.
Hasilnya bahkan bukan hanya untuk diri pribadi namun untuk manusia lain,
bahkan lebih universal untuk jagad yang
gumelar yang langgeng.
Ibarat minuman dalam secangkir kopi, itulah kehidupan, macam-macam unsur
penyokongnya, macam rupa, macam warna. rasa dan wujudnya, namun jika semua
sudah menyatu dalam satu wadah wadag, di tuang air panas, usnur-unsur terpisah
itu melebur luluh leleh manjing nyawiji.
Sehingga akan muncul sebuah esensi baru, sebuah rasa baru, wujud anyar,
yang semuaanya itu berproses, makin bagus dan sempurna racikan dan
penyajiannya, makin kuat rasa sensasi nikmatnya, itulah hakekat paling dasar
menjalani sebuah laku kehidupan di dunia ini dalam usaha panjang kita menuju
Cahaya Illahiyah yang kekal abadi, langgeng dalam wujud baru, wujud dari
keniscayaan kekuatan Dzat Yang Maha Agung, wujud sejati yang tan kena kinaya
ngapa.
Apalagi calon warga Madya, pendekar pilihan sewu siji, tak sembarang
orang bisa di tataran tengah, karena hanya yang terpilihlah yang mampu naik di
tingkat itu, tingkat yang lebih dipertajam lagi mata batinya, di pertajam lewat
sebuah laku dan harus dilakoni, proses yang berat yang justru akan menempanya
menjadi sebuah wujud baru yang keramat.
Diperkuat lagi pengendalian dirinya, ditempa lagi budi pekertinya lewat
sebuah laku tirakat prihatin yang sangat intens dan penuh dengan mistisme kekeramatan
yang sangat khas dari ajaran-ajaran serta ilmu-ilmu kanuragan nuswantara.
Tak terasa pakdhe Wiro asyik berkisah dengan langgananya itu, kisah
manusia-manusia yang sudah tekan, kenyang menikmati asam garam kehidupan.
Berdua saja menyambung obrolan yang gayeng itu dengan berkisah dan berseloroh
ngalor ngidul membicarakan sawah, kebun, kehidupan khas warga di pedesaan
lembah gunung Lawu, bumi tapel wates brang wetan dan brang tengah.
Dan tanah keramat Jawadipa sendiri sesungguhnya oleh leluhur nuswantara hanya
di bagi dua zona, sabrang Wetan, Jawa Timur dan Sabrang Kulon, Jawa Barat tidak
ada sabrang tengah atau Jawa Tengah.
Namun hampir empat abad kita dijajah, Jawa di bagi menjadi tiga propinsi
oleh Belanda, yakni wilayah sabrang Kulon, Tengah dan Wetan, Barat, Tengah dan
Timur.
Sehingga bumi kulon zona tatar sunda dan bumi brang wetan tanah
wilwatikta lebih mudah di pisahkan, jika tetap ada dua zona, jika bersatu maka
tamatlah riwayat VOC dan gagal total untuk menguasai Batavia, Jakarta sekarang.
Dan mereka tentu akan angkat kaki dari Nuswantara sejak era pasukan
khusus Sultan Agung Hanyokrokusumo memenggal kepala gubernur jendral VOC di
Batavia, Jan Pieteerzoon Coen.
Dan kepala sang gubernur jendral itu di bawa ke Kota Gede, kemudian di
tanam di jalan masuk makam raja-raja Jawa di Imogori, dengan maksud agar setiap
kaki peziarah menginjakkan kaki-kakinya pada batok kepala sang Jendral VOC itu
sebagai wujud dan bukti kesuksesan prajurit kesultanan Mataram menghancurkan
benteng VOC di Batavia.
VOC memakai siasat belah bambu, Jawa Barat di pegaruhi, para raja dan
sultan di pisahkan dari Mataram dengan iming-iming emas, upeti dan wilayah yang
merdeka, lepas dari aliansinya dengan kesultanan mataram.
Sehingga bubar persekutuan itu, VOC mengirimkan gubernur jendral yang
baru, Mataram menyerang lagi, namun kekuatan sudah pecah, mata-mata pribumi
membakar lumbung-lumbung padi untuk perbekalan makan ratusan ribu prajurit
Mataram yang didukung brang Wetan, sehingga gagalah serangan itu, Bumi keramat
Jawadwipa bedah, hampir empat abad kita dijajah
Dan zona tengah yang notabene perbatasan, di pecah lagi menjadi
Jogjakarta, Surakarta, Semarangan dan Ngapakan, dengan di pecah-pecah, maka
etnis Jawa dan Sunda akan tercerai berai.
Dan suku sunda akan menyebut suku Jawa dengan penuh dendam kebencian manakala
mereka dipaksa selalu ingat tragedi Bubat, dimana pasukan khusus Gajah Mada
membantai rombongan pengantin tatar sunda calon permaisuri Hayam Wuruk, perkawinan
yang tujuan awalnya agar Sunda dan Jawa bersatu lebih erat lewat tali
pernikahan, sehingga menjadi besan, kerabat dan keluarag besar, namun sejarawan
Belanda membelokkan sejarah Bubat, agar urang Sunda memusuhi adiknya, wong Jowo.
Dan baru tahun Milenial, hampir lima ratus tahun setelah tragedi Bubat,
Gubernur Jawa Timur Pakdhe Karwo, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, bertemu dan menandataangani kesepakatan Rekonsiliasi
Budaya Jawa dan Sunda.
Rekonsiliasi Budaya, menjalin kembali silaturahmi yang lama di pendam,
agar kelak jika ada pemuda/pemudi Jawa mencintai gadis/pemuda Sunda bisa
langgeng, naik ke pelaminan dan sukses membina Rumah Tangga, lepas dari
mitologi yang sengaja di tulis Belanda dengan sebuah epos tragedi berdarah,
Tragedi Bubat, yang selama ini membuat Sunda anti Jawa.
Dan puncaknya dihembuskan mitos orang Jawa dan Sunda dilarang menikah,
padahal mereka sama-sama satu pulau, sama-sama satu leluhur dulunya, Sunda sang
kakak dan Jawa sang adik.
Seorang kakak yang sayang adiknya dan adik yang berbhakti pada sang
kakak, bersatunya adik kakak akan membuat VOC bubar morat-marit lari pulang ke
negaranya terbirit-birit hanya dalam hitungan jam.
Lari dalam waktu singkat, sak-kedheping netra bukan abad, karena jika
bersatu, prajurit bayaran VOC yang jumlahnya sedikit saja hanya puluhan ribu
tentara, walau tentara VOC itu bersenjata meriam dan bedil, akan habis tak
tersisa seorangpun di ganyang mentah-mentah oleh jutaan prajurit tangguh
Nuswantara yang memiliki bekal kanuragan keramat, pencak silat.
Sehingga saat merdeka, Ibukota Negara tetap di sabrang Kulon, bukan
tengah atau timur, agar sang kakak tetap menerima sembah bhakti sang adik,
nyata sudah, orang sunda yang halus bahasanya dan ramah keadabanya itulah kakak
kandung suku Jawa.
“woo, ngoten to cariyosipun pakdhe, pantesan, Pak Jokowi sampai sekarang
masih bisa memerintah di Jakarta, karena dukungan gubernur Jawa Barat Ridwan
Kamil yang dari suku sunda, Sunda yang sejatinya adalah kakak suku Jawa, jadi rintisan
menyatunya Jawa brang Kulon di wakili Ahmad Heryawan dan Brang Wetan diwakili
Pakdhe Karwo dan Ngarso Dalem kaping Sedasa dilanjutkan oleh Ridwan Kamil, gubernur
brang Kulon, dan brang wetan di wakili pak Jokowi, bisa lestari memimpin NKRI
ngantos dinten meniko pakdhe, dulu sempat di Jawa Tengah saat agresi Belanda,
di Yogjakarta, namun begitu Belanda hengkang, ibukota kembali ke kulon, Jakarta”
Pakdhe Wiro dengan antusias menanggapi pendapat dan uraian kalimat
pelanggan warungnya, pelanggan yang ia panggil kang Warso, pelanggan yang kini
sudah tidak kedinginan lagi, bahkan jaket tebal dan sarung ia lepas, hanya
menegenakan celana slabruk dan berkaus lusuh saja yang kini melekat di
tubuhnya, tubuh yang hangat setelah menikmati kopi cangkir racikan pakdhe Wiro,
guru besar PSCP pusat yang lebih suuka nylamur laku, menyembunyikan jati
dirinya.
“leres sanget kang Warso, sudah waktunya
Nuswantara bangkit dan bersatu untuk menuju kejayaanya kembali, agar kuat
persatuanya, salah satu syaratnya kita harus kompak dan bisa mempersempit ruang
gerak kelompok pro NKRI Bersyariah, negeri ini bukan negaranya orang yang hanya
satu agama, namun negaranya orang-orang yang beragama berbagai jenis, dan semua
di akui secara sah oleh Negara, sayangnya bulan ini kelompok Islam populis 212
segelar sepapan masih menguasai Monumen Nasional, bahkan tugu simbol perjuangan
semesta rakyat NKRI itu mereka jadikan logo PA 212, angka 2 yang mengapit tugu
monas, di baca 212, simbol angka pada kapak naga geni 212-nya Wiro Sableng,
legendanya pendekar fiksi nusantara, kelompok pro Khilafah itu dengan ciamik
dan cerdas menunggangi simbol budaya nusantara, 212, simbol senjata keramat pendekar
kanuragan pencak silat yang sinetronya dulu di perkuat pendekar-pendekar Persaudaraan
Setia Hati Terate”
“sayang banget pakdhe, politik menuju 2024 masih memerlukan mereka untuk
menghancurkan NU, karena NU selalu mendukung pemerintah, jika NU di belakang
pemerintah, maka sulit bagi kelompok pro Khilafah itu segera bisa menguasai
negeri ini, karena dari bansernya saja sudah merangkak ke angka 8 juta
personil, belum santri, pendekar Pagar Nusa, ulama, habib, kyai, simpatisan dan
keluarga besar NU, hampir 101 juta pakdhe, maka selama NU belum hancur,
kelompok pro Khilafah itu mokal bisa bikin Negara Islam di nusantara, itu fakta
yang saya simpulkan pakdhe”
“memang kelihatannya demikian kang Warso, menteri agama yang dari TNI
saja masih takut, atau berfikir ulang untuk menolak memberi rekomendasi surat
keterangan terdaftar Front Pembela Islam,
salah satu inisiator lahirnya gerakan 212, padahal jelas pada anggaran rumah
tangga ormas itu ingin mendirikan khilafah islamiyah di atas tanah ini, bumi
NKRI yang sudah kita sepakati berideologikan Pancasila, FPI yang makin kuat menguasai
Ibukota dan dipelihara oleh pemilik kekuatan politik yang tak kasat mata makin
jumawa, hal darurat yang memaksa pak Jokowi mempercepat perpindahan Ibukota ke
Kalimantan Timur, tanah keramat Kalimantan akan bisa menjadi ibukota yang bebas
dari kelompok pro Khilafah yang sekarang berjubel di Jakarta”
Teman bicara pakdhe Wiro itu menyeruput kopinya lagi, setelah beberapa
tegukan kecil, ia taruh cangkirnya di lepek, sambil tangan kananya meraih
singkong goreng yang baru di tuang di piring besar oleh pakdhe Wiro, ia
menanggapi kalimat terakhir sang pemilik warung itu.
“seandainya FPI tahu sejarah, ia akan berfikir ulang untuk ngeyel
menyerang NU dan Negara, ingat tidak panjenengan kisah pada saat Mataram
membantai ratusan orang yang pro Khilafah yang sangat intoleran saat kesultanan
Mataram di bawah Amangkurat, ulama-ulama garis keras yang kebelet dan ngebet
serta sangat ingin Jawa menjadi Khilafah ala mereka, hal yang membuat sultan
bertindak tegas, mereka diberi peringatan untuk guyup rukun, hidup berdampingan
antar pemeluk agama yang berbeda di nusantara, seperti cara hidup beragama yang
diajarkan wali sanga yang adem penuh toleransi antar pemeluk agama berbeda,
karena mereka menolak dan makin ngotot dan makin keras ngegas suaranya persis
seperti kelakuan FPI itu, raja Jawa dengan tegas memberi hukuman mati, bukan
hukuman dibubarkan atau di tolak SKT-nya, tapi di bunuh secara masal dengan
tajamnya mata tombak, keris, pedang dan panah, dan sangat menggetarkan
sejarawan menceritakanya pakdhe, sebelum mereka dibantai, meriam-meriam perang menggelegar
di bunyikan sebagai tanda di mulainya hukuman mati dan dalam sekedipan mata
ratusan ulama garis keras itu tenggelam dalam genangan darah yang kental, amis
dan anyir, darah mereka sendiri, darah yang dicap sang Sultan Mataram sebagai
darah pemberontak yang harus ditumpahkan agar menjadi teladan bagi mereka yang
masih keras kepala ingin merubah Nusantara menajdi negeri Khilafah ala mereka
yang terbukti sangat intolerasi terhadap pemeluk agama lain, ratusan
pemberontak yang di habisi pasukan khusus sultan Mataram era Amangkurat, mereka
dibantai habis dalam hitungan menit”
“benar kang Warso, di Era presiden Soekarno, DI/TII yang sudah
memproklamirkan khilafah di Indonesia di tindak tegas pemerintah lewat tindakan
operasi penyergapan militer prajuit TNI dan POLRI yang di kerahkan untuk
menumpasnya, 16 tahun gerilya kaum yang pro Khilafah di Jawa Barat ini baru
selesai setelah Imam Besar mereka tertangkap dan dijatuhi hukuman mati, SM. Kartosuwiryo di tembak dengan peluru
tajam dari senapan khusus eksekusi, peluru yang tepat melubangi jantungnya,
sang Imam Besar itu di eksekusi mati dengan wajah ditutup kain oleh regu tembak
aparat pemerintah era Bung Karno”.
“injih pakdhe, penjenegan bercerita DI/TII saya malah kemutan kasus
tanjung Priok, ratusan pendukung Khilafah di hujani peluru tajam dari senapan
serbu ABRI karena berani melawan pemerintahan orde baru, kajian-kajian
keagamaan dipakai untuk mengobarkan kebencian kepada pemerintah dan negara
pancasila, mereka ingin sistem khilafah di negeri ini, hasilnya presiden
Soeharto sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata memerintahkan untuk
segera menghabisi kelompok mereka, hasilnya ratusan mayat yang tubuhnya koyak
moyak di terjang peluru tajam senapan serbu itu menjadi bukti, betapa dari masa
ke masa, tekad keblinger mereka itu selalu di tunggangi kekuatan tak kasat mata
yang ingin Indonesia bubar dan jika sudah hancur mereka masuk dan bebas mengeruk
kekayaan alam negeri ini tanpa harus susah payah ngasih uang sogokan kepada
pejabat pemerintahan dan politikus partai di legeslasi yang korup di negeri
ini, negeri Pancasila yang korupsinya sudah mencapai tingkat dewa, tingkat 3
terbaik di dunia belum jawara tingkat 1, dan nampakanya sedang menuju ke
tataran yang terbaik dari yang terbaik korupsinya, korupsi yang menjadi salah
satu alasan sehingga gerakan pro khilafah makin subur menjamur merekrut
simpatisan dan anggota baru, kini TNI sudah hamir 4 % anggota dan keluarganya terpapar paham
khilafah mereka, POLRI juga sudah ditangkapi oknumnya yang sudah merakit bom,
ASN, pegawai BUMN, KPK, KPAI, Guru Ngaji, Pendidik di PAUD, SD, SMP, SMK, SMA
sampai Perguran Tinggi angka paparanya makin kuat meningkat tajam, mereka
sangat setuju dan pro jika Negara pancasila dirubah menjadi Negara Khilafah, mereka
bersatu guyub rukun makin intens mencari dukungan dan anggota baru bahkan sejak
usia dini, di TK dan PAUD, agar lima, sepuluh, duapuluh dan seratus tahun yang
akan datang mereka bisa menumbangkan Pancasila, diganti dengan Khilafah
Islamiyah, yang sejak era lampau, Khilafah ala mereka itu tak cocok dan tertolak
mentah-mentah di Nusantara ini, wilayah patirtan yang ribuan pulau, ratusan
suku bangsa, bahasa dan etnik dengan berbagai budaya tradisi keramat dan agama
yang sudah melebur manjing nyawiji, sedulur Minang menyebutnya sarak
bersendikan adat, adat bersendikan kitabullah, agama dan budaya melebur, dan jika
kelompok pro khilafah ala mereka di beri panggung akan serta merta menghancurkan
budaya nuswantara dan hanya ingin agama ala mereka saja yang ada di negeri
patirtan ini, negeri kepulauan terbesar di dunia, NKRI yang berdasarkan kepada
Pancasila dan UUD 1945”
Tak terasa saking asyiknya berkisah tentang seluk beluk sejarah tanah
Jawa dan gerakan pro khilafah islamiyah, tahu-tahu beberapa tetangga sudah
masuk warung, mereka mampir jelang tengah malam, dan pakdhe Wiro segera
membuatkan kopi jahe lagi, sehingga makin gayenglah obrolan di warung kopi
pendekar pakdhe Wiro malam itu.
“hmm, dados sakmeniko, leres sedaya
panjangkanipun prabu Jayabaya Saking Pamenang, bilih nuswantoro sampun
wancinipun ngancik jaman mbukak lawang kori, wancinipun napaki jaman kencana
rukminipun malih, kembali menjadi Negara yang kuat, makmur dan besar di dunia,
tak kalah hebat bahkan lebih hebat di banding dengan Negara maju lainya, negari
tanpa sisihan, dan dengan persatuan saya sangat-sangat yakin semua bisa pakdhe,
dimulai dari tanah keramat, bumi Jawi, se-jatining winih, Jawa se-jatining
wahyu”
Lelaki yang dipanggil kang Warso oleh pakdhe Wiro itu, yang seorang
pendekar PSCP pusat angkatan perintis tahun 1974, yang sangat bersahaja,
tampang ndeso yang semeleh dan nriman, nampak bersungut-sungut memerah wajahnya,
wajah yang masih menyiratkan sebuah tekad dan semangat juang tinggi.
Sosok pendekar kanuragan yang tersamarkan dari gemerlap dunia, hidup
sederhana di desa, hidup sebagai kadhang tani padesan namun memiliki rasa
patriotik dan nasionalisme kebangsaan melebihi ASN, prajurit TNI dan POLRI.
Nasionalisme mutlak, nasionalisme khas rakyat kawula alit negeri
nuswantara, negeri yang bahkan rela ia bela sampai matipun tak jadi soal, ia
bela sampai tumetesing ludira ingkang wekasan.
“inggih mekaten menika kang Warso saestu
leres sanget sedayanipun, dan kanca-kanca tani kisanak kadhang di karang
padesanlah yang akan mengemban wahyu keprabon satriyo piningit yang sanggup
mbukak lawang kori itu, ugi ing asto penjenegan, karena di tangan panjenegan
semua, tanah Jawa yang keramat dan wingit ini akan bisa kembali di sucikan dan
di ruwat dari segala malapetaka dan bahaya yang mengancamnya”
Sesuatu yang nampak sangat-sangat bersahaja, dalam kesederhanaan,
obrolan warung kopi khas ndeso itulah sejatinya jati diri bangsa nuswantara,
sesama manusia berinteraksi tanpa dipisahkan bising dering hape.
Tangan mereka tidak sibuk ngutak atik gadged mengup-date status, tangan
tidak sibuk memainkan jari-jemarinya larut di gempabji khas anak muda Milenial,
wajah tidak mecuca mecucu bibirnya monyang-monyong berselfi ria lalu diunggah
di media sosial untuk mendapat jempol ke atas, pengikut dan komentar, yang jika
pengikutnya 100 juta orang, mendapat uang em-eman yang ditransfer ke rekening
tabunganya, sangat milenial banget.
Mereka begitu fokus menikmati kopi cangkir, berbicara secara lembut
namun tegas tertata intonasinya, jelas struktur kalimatnya dan mudah dicerna
tata bahasanya.
Antar tetangga rukun guyup dalam keindahan lembah gunung Lawu yang gemah
ripah serta loh jinawi tanpa seorangpun memegang handphone, spirit sejati dari
sebuah warung kopi ndeso jaman purba yang masih hidup rohnya di lembah gunung
Lawu.
Puncak wukir Mahendra sedikit nampak meremang, karena kumpulan awan
kelabu yang menyelimutinya manakala angin selatan bertiup semilir membuatnya
menyibak.
Bintang-bintang satu dua bertabur, udara masih dingin, namun sangat
nyaman dan hangat di hati dan wadag sangat terasa bagi segenap yang masih gayeng
mengobrol di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar yang dijaga sesepuh PSCP
pusat, pakdhe Wiro.
Malam makin menuju tengah, malam yang makin senyap namun justru itulah
awal dibukanya pintu sebuah laku tirakat, makin malam justru semakin mereka larut dan
asyik dengan obrolan-obrolanya itu, tirakat ngrame, tirakat makrifatullah, sebuah
laku sembah bhakti ing ndalem kasunyatan.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRA HANGRASA WANI.
(dari budaya warung kopi Ndeso itulah, oleh salah satu guru besar PSCP
pusat, kelak pendidikan calon warga Madya di tempa dalam suasana yang
sedemikian rupa, mereka para peserta calon pendekar Madya dilarang membawa hape
selama pendidikan dan latihan, sehingga lahir sosok-sosok pinunjul dan menjadi
legenda bagi adik-adik angkatanya, sosok sederhana yang digdaya dan mampu
menguasai aji Pameling, telepati yang wingit dan keramat, lebih dahsyat dari
teknologi modern sinyal handphone untuk berkomunikasi, mereka hidup dalam
kesederhanaan dalam lingkungan padepokan Bayangan, yang merupakan refleksi dari
padepokan pusat PSCP, padepokan bayangan yang didirikan sangat terpencil jauh
dari perkampungan penduduk, sehingga saat turun gunung, para pendekar itu
benar-benar menjadi sosok tangguh lahir batin yang sudah mapan secara fisik dan
spiritualitasnya, sosok sejati kesatria pencak silat Cempaka Putih yang membawa
semboyan agung, semboyan medan perang sejati, semboyan dan doktrin WIRO YUDHO
WICAKSONO).
TERJEMAHAN KATA SULIT
(bahasa Jawa ke bahasa Indonesia)
#gayeng =asyik
#kopi alitipun = kopi kecilnya
#atis = dingin
#malem =lembab basah
#njanur gunung = tumben
#monggo dipun sekecakaken rumiyin =
(arti luasnya : silahkan duduk dahulu dengan nyaman)
#ndamel = membuat
#wukir = gunung
#kang = kak/mas
#leres sanget = benar sekali
#sakmenika = sekarang juga
#sabrang = sebelah/seberang
#kulon = barat
#wetan = timur
#ndeso = kuno/jadul
#saking = dari
#wancinipun mbikak lawang kori =
waktunya membuka pintu utama
#inggih mekaten = iya seperti itulah
#inggih mekaten menika kang Warso saestu
leres sanget sedayanipun = iya seperti itulah mas Warso sangat benar semuanya
#ngunggah ngudunake rasa = menaik
turunkan rasa/menimbanng-nimbang perasaan
#ngalor ngidul = ke utara dan ke selatan (kesana kemari tak tentu
arah padanan katanya mrana mrene)
#kuwalat = terkena karma
#tekoning pati = datangnya ajal kematian
#sesamining agesang = sesama mahluk
hidup
#manjing nyawiji = bersatu/menyatu/lebur
#tan kena kinaya ngapa = tidak bisa
didefinisikan/tidak bisa disebut dengan kalimat.
#sangkan paraning dumadi = darimana kita
(roh) berasal dan akan kemana kita (roh) pergi setelah ajal kematian kita sudah
tiba
#panjangka = ramalan
#sanepan=perumpamaan
#ngoten = seperti itu
#cariyosipun = ceritanya
#sedaya = semua
#panjenengan = anda atau saudara
#ruwat = ritual kuno untuk membuang sial
dan menjauhkan malapetaka serta segala mara bahaya
#dinten meniko = hari ini
#kisanak kadhang = teman dan saudara
#gemah ripah loh jinawi = kesuburan yang
membawa kemakmuran
#wadag = nyata
#sesepuh = tetua
#memayu hayuningrat = membuat makin
indah dan memperjuangkan keselamatan alam semesta
#patirtan = perairan
#tirakat ngrame= ritual mengurangi tidur
di malam hari dengan mengobrol tentang esensi kehidupan semalaman sampai jelang
pagi
#makrifatullah = esensi sifat dan daya
kekuatan dzat-Nya yang terbiaskan pada mahluk ciptaan-Nya
#tumetesing ludira ingkang wekasan =
tetes darah yang terakhir
#tirakat makrifatullah = mengobrol malam
hari membahas spiritualitas yang mencerminan sifat-sifat dzat yang menciptakan
alam semesta
#sembah bhakti ing ndalem kasunyatan =
beribadah dengan melakukan perbuatan nyata yang kebaikanya bisa dirasakan manfaatnya
oleh orang lain bukan hanya bagi diri pribadinya sendiri
#kadhang tani padesan = kaum petani di
desa
#negari tanpa sisihan =negara yang tidak
ada bandinganya
#se-jatining winih = bibit yang murni
#se-jatinih wahyu = ajaran suci yang
murni
#keblinger = tersesat
#wahyu keprabon = pulung raja = daya
kekuatan darah biru/pemimpin
yang mentaati ajaran suci serta yang
menyelamatkan negara dan yang direstui Tuhan beserta semesta alam
#satriyo piningit = kesatria suci yang
tersembunyi dan terbatas gerak langkahnya
#wingit = suci dan keramat
#simbokne thole = ibunya anak
#melosok = tergeser
#tumanggal = masuk tanggal yang baru
#wujud anyar = bentuk baru
#jagad alit = manifestasi manusia lahir
batin
#jagad agung = manifestasi alam semesta
#nylamur laku = menyamar
#ngeyel = tak mau kalah
#jumawa = sombong
#semeleh = pandai mengendalikan diri
#nriman = selalu menerima dengan ikhlas
#panjenengan = anda
Thanks for share,.
BalasHapusKunjungi juga http://bit.ly/2YeLE55