Sabtu, 07 Desember 2019

Cangkir Kopi


“Kopi Cangkir”
OWKP
Obrolan Warung Kopi Pendekar
   Hujan turun dengan derasnya, bahkan seharian sejak pagi buta, siang berubah menjadi gerimis merintik namun hanya sejenak.
    Dan hujan kembali turun lagi makin deras, sampai matahari terbenam sempurna kian menggila bagai di curahkan dari langit, semua basah, jalanan tergenang air, sungai dan selokan penuh aliran air yang berwarna gelap, aliran air bercampur lumpur, menghasilkan warna aliran air yang kecoklatan menghitam.
    Gunung Lawu hampir tak terlihat wujudnya sejak pagi sampai malam, kawasan puncak tertutup awan tebal bahkan sejak pagi buta, matahari tak sekejapun bersinar, hanya meremang kelabu warna langit sejak awal hari dimulai.
   Udara sangat dingin, memaksa penduduk kerasan di rumah mereka, penghuni lembah gunung Lawu lebih suka duduk santai di depan dapur menikmati minuman panas, minuman yang mampu menghangatkan diri dari sergapan udara dingin akibat hujan yang sejak pagi sampai malam mengguyur bumi.
    Warga desa lebih suka menikmati hangatnya suasana di dalam rumah, malahan mereka paling kerasan meriung di depan dapur yang bahan bakarnya kayu, sehingga bara dan apinya mampu menjadi pemanas tubuh yang murah meriah.
   Selepas makan siang, ditengah guyuran hujan pakdhe Wiro sibuk membenahi gentingnya yang melosok, ia benahi dari bawah atap, bermodalkan dua buah meja yang ditumpuk agar tanganya bisa menjangkau genteng yang bergesar.
   Genteng dari tanah liat yang di beberapa lajur nampak bergeser karena si loreng kucing kesayanganya suka memanjat atap dan kadang berlarian, menyebabkan genteng-genteng dari tanah liat itu menjadi melosok.
   Sehingga saat musim hujan aliran air dari ujung atap deras meluncur dan ada saja yang merembes kebawah, membanjiri meja dan bangku-bangku panjang tempat para pelangganya duduk.
    Bangku-bangku yang basah karena gentengnya bergeser akibat dipakai berlarian si Loreng, kucing kesayangan lelaki sepuh itu, bangku-bangku sederhana yang selalu penuh di duduki jika hari sudah mulai merangkak menuju malam.
   Bangku-bangku kayu yang selalu nyaman dijadikan tempat cangkrukan mereka yang jenuh di rumah dan keluar sekedar mengobrol di warung kopinya.
   Ngopi jahe sambil bersosialisasi membahas jalanya hari, bersilaturahmi dengan sesama manusia, sesama tetangga, sesama warga.
   Berkisah secara akrab, dimana lagi lokasi paling baik, dan jawabanya adalah paling asyik nyangkruk di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar milik pakdhe Wiro.
  “kopi alitipun pakdhe, ndamel jahe ingkang kathah, badan rasanya atis banget, hujan kok sejak pagi sampai malam, sampai jemuran sarung ndak bisa kering, masih malem terpaksa saya pakai, biar kering di badan saja, sarung yang satunya malah baru di cuci simbokne tole”
   Seorang pelanggan datang memakai payung, gerimis masih merintik, malam sangat gelap, tubuhnya dibungkus jaket tebal, itupun ia masih berselimut sarung, melapisi badan sedemikian rupa, menghindari dari sergapan udara beku gunung Lawu.
   Cuaca menjemukan, karena sejak pagi diguyur hujan tiada henti, hujan yang tercurah sampai malam, dan kini baru berhenti, walau masih menyisakan gerimis merintik halus.
   “njanur gunung kang Warso kerso mampir di gubuk saya, monggo dipun sekecakaken rumiyin, biar saya didihkan dulu airnya, jahenya biar saya tambahkan porsinya, biar cepat anget kang, memang yo kang, sejak pagi gila-gilaan hujan mengguyur, ini saya baru selesai membetulkan atap yang tergeser gentingnya, air hujan merembes membasahi meja dan bangku duduk, biasa kang, si Loreng suka mainan lari-lari di atap warung bikin genteng sering melosok”
   Tak memerlukan waktu lama, arang batok di pawon rondo dari tanah liat yang membara merah itu begitu di beri kepingan batok yang baru oleh pakdhe Wiro langsung menyala, apinya menyembur-nyembur seperti kompor gas yang dimaksimalkan setelan gasnya.
   Sehingga tak menunggu sampai bosan, pelanggan yang dipanggil kang Warso, warga PSCP angkatan tahun 1974, angkatan perintis yang sekarang sudah menjadi seorang pria paruh baya.
    Warga perintis PSCP yang oleh pakdhe Wiro di layani dengan gupuh, cangkir yang segera cepat ia beri racikan, dan minuman panas itu segera selesai.
   Yang baru datang, yang dipanggil kang Warso itu segera menerima kopi jahe pesananya, kopi jahe dalam porsi cangkir yang harum mengepulkan asap beraroma khas.
   Aroma yang bahkan mengembalikan mood yang hilang hanya dengan menghirupnya secara sangat-sangat pelahan-lahan.
   Menghirup aroma therapi minuman legendaris khas warung kopi ndeso, kopi jahe dengan takaran gula yang pas, komposisi beberapa unsur pokok : air mendidih, gula, kopi, jahe, wadah/cangkir dan lepek.
   Seperti hidup, jika semua terukur dan pas, akan memperkuat fungsi maksimal unsur yang satu terhadap unsur yang lain.
   Pada secangkir kopi jahe, semua unsur akan dapat maksimal berfungsi dengan ketepatan takaran, ketepatan racikan dan ketepatan penyajian.
   Namun jika salah satu unsur terlalu berlebihan, semua unsur akan gagal mencapai potensi terbaiknya dan daya gunanya akan sia-sia.
   Sia-sia alias menjadi produk yang gagal, ibarat kopi yang kebanyakan gula, teralu manis gagal, kebanyakan kopi jadi sangat pahit juga gagal, pun begitu dengan serbuk jahenya, terlau banyak akan sangat pedas, juga gagal.
   Juga air mendidihnya harus tepat dituang manakala air yang sudah mendidih bergelembung mengeluarkan letupan-letupan uap panas itu masih di suhu 100 derajat Celsius dan semua itu di satukan dengan cangkir.
   Cangkir, mencancang rasa untuk berfikir hakikat hidup, mengikat rasa, mengikat alam makrifat dalam jumenenging pangrasa, agar tahu bahwa kita hidup bukan hidup untuk diri sendiri.
   Kita hidup bukan hanya untuk egoisme pribadi, ada unsur lain yang harus kita dukung, kita perkuat, kita perbaiki cita rasanya, sehingga mampu melahirkan greget dalam hidup dalam rangka hamemayu hayuningrat.
   Wujud cangkir ibarat jasad wadag manusia, wadah roh, roh yang senantiasa di kelilingi keinginan-keinginan, dan keinginan itu akan berubah menjadi krenteg atau niat.
   Semua itu esensi pokok dari gumelaring jagad alit yang fana atau temporer, badaniah itu hanyalah serpihan wujud yang paling fana dan sisi batiniah yang menjadi bagian dari rohlah yang langgeng.
   Dan jagad alit yang gumelar itupun juga bagian dari jagad agung yang gumelar langgeng, dan keduanya manakala menyatu, akan menunjukkan siapa jati diri kemanusiaan kita menuju jati diri sejati dan mampu menemukan esensi paling murni sangkan paraning dumadi.
   Esensi yang paling hakiki yang bahkan kita tak pernah mengetahui itu semua diajarkan oleh filosofi ngombe wedang kopi, filsafat tingkat makrifatullah manakala manusia menikmati secangkir kopi.
   Cangkir Kopi, anyancang pikiran sejati kanggo mapak tekoning pati, mengikat rasa spiritualitas ketuhanan dalam diri kita untuk menjemput ajal sehingga sampai pada tahapan sampurnaning urip tumekaning pati, sempurna kehidupanya juga sempurna memasuki tingkat atau tataran alam kematian pada saat bersatunya roh dengan Dzat atau Wujud yang sejati, wujud yang senantiasa tan kena kinaya ngapa.
   Manakala kopi masih panas, kita tak pernah berani untuk meminumnya, maka dibantu piring kecil bernama lepek, dieler neng nduwuring epek-epek, lepek kita taruh di atas telapak tangan kiri yang terbuka, tangan kanan menuang minuman kopi yang masih panas, sehingga menjadi turun suhunya, kita seruput sedikit-demi sedikit sehingga bisa kita nikmati rasanya.
   Seperti sanepan kehidupan, manakala kita dibakar amarah dan emosi yang meledak-ledak, harus mampu kita redam, kita dinginkan dengan telapak tangan terbuka yang menampung wadah kebijakan, bukan dengan tapak tangan terkepal penuh rasa benci dan kemarahan.
   Ngeler neng epek-epek,  ngunggah ngudunake rasa, menelaah, mendalami, memandang sambil menelaah lagi lebih detail segala permasalahan kehidupan.
   Berpikir dengan olah rasa, bukan dengan olah logika, berpikir mengolah rasa lebih mendalam serta lebih jauh ke dasar-dasar karakter kosmis dan  mistis sebagai pondasi kemanusiaan.
   Sebuah proses kontemplasi manusia yang memiliki jiwa kesatria, jiwa pendekar, jiwa pejuang kehidupan manakala masih dalam pencarian solusi jalan keluar dari segala permasalahan dan tantangan hidup.
   Agar masalah yang panas membakar itu bisa kita tuntaskan sedikit demi sedikit sampai tuntas dan semua serba baik dan serba indah, enak di perasaan.
  Sehingga membawa kebaikan bagi sesamining agesang, memayu rahayuningrat, memerindah hidup yang sudah indah di dunia.
   Sehingga tetap utuh di jalinan silaturahmi kita semua dengan teman, tetangga, kerabat dan warga masyarakat.
  Namun jika kita nekad melawan dengan egosime, membenturkan masalah dengan hawa amarah meluap-luap berkobar-kobar dalam diri kita, bagaikan meminum air panas minuman kopi yang baru dituang.
   Air kopi yang baru mendidih jika berkeras kita meminumnya maka alamat lidah dan mulut bisa terbakar.
   Sehingga tidak ada kenikmatan, yang ada hanya luka bakar dan tidak dalam satu tarikan nafas bisa disembuhkan, luka yang membuat kita tak mampu lagi menikmati lezatnya makanan dan nikmat segarnya minuman.
   Itu semua hanya sebuah simbolisasi, sebuah perlambang atau  sanepan, sehingga ketika kriwikan jadi grojokan, masalah sepele makin membesar, terjadilah benturan batin dan bahkan fisik.
    Jika kekuatan pendekar kita tak bisa lagi terkontrol, menghajar manusia yang lemah, kita akan kena walat, kuwalat.
   Dan hukum negara akan memasukkan kita di penjara karena kekerasan fisik yang melukai bahkan menghilangkan nyawa manusia lain, suatu perkara yang kadang sepele namun membuat kita tak bisa meraih ketentraman yag hakiki.
    Unsur air yang dipanasi sampai mendidih itulah bahan utama kopi menjadi nikmat, karena unsur air mendidih dari kobaran api itulah yang mampu menyatukan unsur-unsur kewadagan dari bahan kopi, jahe dan gula sehingga larut, manjing nyawiji dan menyatu.
  Emosi, amarah, egoisme, merupakan bagian atau salah satu unur hawa napsu yang dilambangkan dengan api, sekali menyala dan berkobar harus pandai-pandai kita kontrol dan kendaliakan, agar tidak melahap habis seluruh rumah dan isinya, cukuplah nyalanya mendidihkan air yang akan kita jadikan pemersatu racikan-racikan bahan kehidupan.
   Maka pakdhe Wiro selalu menempa ketajaman batin siswa-siswa PSCP yang pinuju mampir di warung kopi pendekar itu dengan perlambang dan sanepan minuman rakyat yang khas di sebut kopi alit, kopi cilik, wujud minuman berwarna hitam dalam secangkir kopi.
   Hitamnya kopi adalah kekuatan pengendalian diri, manisnya gula yang larut adalah lambang anugerah Sang Pemberi Rejeki, pedasnya jahe adalah makna hakekat dari cobaan kehidupan, jika disatukan dalam sebuah wadah cangkir maka akan kita dapatkan sebuah filosofi tingkat hakekat, hakikinya sebuah proses atau laku dalam medan perjuangan hidup yang serba tak mudah.
  Bahwasanya semua cobaan ujian masalah dan tantangan kehidupan itu tidak akan berpengaruh buruk bahkan akan menjadi pintu masuk kita belajar sebuah laku.
   Artinya ujian hidup itu malah akan menguatkan dan mempertajam jiwa raga kita bilamana kita selalu mengendalikan diri tidak terbawa emosi dan amarah dengan tetap ingat kepada karunia-Nya dan senantiasa mensyukuri segala nikmat-Nya.
   Sehingga semua ujian itu akan menjadi pupuk batin yang menyuburkan tanaman yang menghasilkan buah yang baik.
  Hasil buah kebaikan yang menyatu dalam diri kita, manjing nyawiji, lahir batin, wadag dan roh sehingga menghasilkan nur, cahaya, pencerahan.
   Hasilnya bahkan bukan hanya untuk diri pribadi namun untuk manusia lain, bahkan  lebih universal untuk jagad yang gumelar yang langgeng.
   Ibarat minuman dalam secangkir kopi, itulah kehidupan, macam-macam unsur penyokongnya, macam rupa, macam warna. rasa dan wujudnya, namun jika semua sudah menyatu dalam satu wadah wadag, di tuang air panas, usnur-unsur terpisah itu melebur luluh leleh manjing nyawiji.
   Sehingga akan muncul sebuah esensi baru, sebuah rasa baru, wujud anyar, yang semuaanya itu berproses, makin bagus dan sempurna racikan dan penyajiannya, makin kuat rasa sensasi nikmatnya, itulah hakekat paling dasar menjalani sebuah laku kehidupan di dunia ini dalam usaha panjang kita menuju Cahaya Illahiyah yang kekal abadi, langgeng dalam wujud baru, wujud dari keniscayaan kekuatan Dzat Yang Maha Agung, wujud sejati yang tan kena kinaya ngapa.
   Apalagi calon warga Madya, pendekar pilihan sewu siji, tak sembarang orang bisa di tataran tengah, karena hanya yang terpilihlah yang mampu naik di tingkat itu, tingkat yang lebih dipertajam lagi mata batinya, di pertajam lewat sebuah laku dan harus dilakoni, proses yang berat yang justru akan menempanya menjadi sebuah wujud baru yang keramat.
   Diperkuat lagi pengendalian dirinya, ditempa lagi budi pekertinya lewat sebuah laku tirakat prihatin yang sangat intens dan penuh dengan mistisme kekeramatan yang sangat khas dari ajaran-ajaran serta ilmu-ilmu kanuragan nuswantara.
  Tak terasa pakdhe Wiro asyik berkisah dengan langgananya itu, kisah manusia-manusia yang sudah tekan, kenyang menikmati asam garam kehidupan.
   Berdua saja menyambung obrolan yang gayeng itu dengan berkisah dan berseloroh ngalor ngidul membicarakan sawah, kebun, kehidupan khas warga di pedesaan lembah gunung Lawu, bumi tapel wates brang wetan dan brang tengah.
  Dan tanah keramat Jawadipa sendiri sesungguhnya oleh leluhur nuswantara hanya di bagi dua zona, sabrang Wetan, Jawa Timur dan Sabrang Kulon, Jawa Barat tidak ada sabrang tengah atau Jawa Tengah.
   Namun hampir empat abad kita dijajah, Jawa di bagi menjadi tiga propinsi oleh Belanda, yakni wilayah sabrang Kulon, Tengah dan Wetan, Barat, Tengah dan Timur.
   Sehingga bumi kulon zona tatar sunda dan bumi brang wetan tanah wilwatikta lebih mudah di pisahkan, jika tetap ada dua zona, jika bersatu maka tamatlah riwayat VOC dan gagal total untuk menguasai Batavia, Jakarta sekarang.
   Dan mereka tentu akan angkat kaki dari Nuswantara sejak era pasukan khusus Sultan Agung Hanyokrokusumo memenggal kepala gubernur jendral VOC di Batavia, Jan Pieteerzoon Coen.
    Dan kepala sang gubernur jendral itu di bawa ke Kota Gede, kemudian di tanam di jalan masuk makam raja-raja Jawa di Imogori, dengan maksud agar setiap kaki peziarah menginjakkan kaki-kakinya pada batok kepala sang Jendral VOC itu sebagai wujud dan bukti kesuksesan prajurit kesultanan Mataram menghancurkan benteng VOC di Batavia.
   VOC memakai siasat belah bambu, Jawa Barat di pegaruhi, para raja dan sultan di pisahkan dari Mataram dengan iming-iming emas, upeti dan wilayah yang merdeka, lepas dari aliansinya dengan kesultanan mataram.
    Sehingga bubar persekutuan itu, VOC mengirimkan gubernur jendral yang baru, Mataram menyerang lagi, namun kekuatan sudah pecah, mata-mata pribumi membakar lumbung-lumbung padi untuk perbekalan makan ratusan ribu prajurit Mataram yang didukung brang Wetan, sehingga gagalah serangan itu, Bumi keramat Jawadwipa bedah, hampir empat abad kita dijajah
   Dan zona tengah yang notabene perbatasan, di pecah lagi menjadi Jogjakarta, Surakarta, Semarangan dan Ngapakan, dengan di pecah-pecah, maka etnis Jawa dan Sunda akan tercerai berai.
   Dan suku sunda akan menyebut suku Jawa dengan penuh dendam kebencian manakala mereka dipaksa selalu ingat tragedi Bubat, dimana pasukan khusus Gajah Mada membantai rombongan pengantin tatar sunda calon permaisuri Hayam Wuruk, perkawinan yang tujuan awalnya agar Sunda dan Jawa bersatu lebih erat lewat tali pernikahan, sehingga menjadi besan, kerabat dan keluarag besar, namun sejarawan Belanda membelokkan sejarah Bubat, agar urang Sunda memusuhi adiknya, wong Jowo.
  Dan baru tahun Milenial, hampir lima ratus tahun setelah tragedi Bubat, Gubernur Jawa Timur Pakdhe Karwo, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, bertemu dan menandataangani kesepakatan Rekonsiliasi Budaya Jawa dan Sunda.
   Rekonsiliasi Budaya, menjalin kembali silaturahmi yang lama di pendam, agar kelak jika ada pemuda/pemudi Jawa mencintai gadis/pemuda Sunda bisa langgeng, naik ke pelaminan dan sukses membina Rumah Tangga, lepas dari mitologi yang sengaja di tulis Belanda dengan sebuah epos tragedi berdarah, Tragedi Bubat, yang selama ini membuat Sunda anti Jawa.
   Dan puncaknya dihembuskan mitos orang Jawa dan Sunda dilarang menikah, padahal mereka sama-sama satu pulau, sama-sama satu leluhur dulunya, Sunda sang kakak dan Jawa sang adik.
  Seorang kakak yang sayang adiknya dan adik yang berbhakti pada sang kakak, bersatunya adik kakak akan membuat VOC bubar morat-marit lari pulang ke negaranya terbirit-birit hanya dalam hitungan jam.
   Lari dalam waktu singkat, sak-kedheping netra bukan abad, karena jika bersatu, prajurit bayaran VOC yang jumlahnya sedikit saja hanya puluhan ribu tentara, walau tentara VOC itu bersenjata meriam dan bedil, akan habis tak tersisa seorangpun di ganyang mentah-mentah oleh jutaan prajurit tangguh Nuswantara yang memiliki bekal kanuragan keramat, pencak silat.
   Sehingga saat merdeka, Ibukota Negara tetap di sabrang Kulon, bukan tengah atau timur, agar sang kakak tetap menerima sembah bhakti sang adik, nyata sudah, orang sunda yang halus bahasanya dan ramah keadabanya itulah kakak kandung suku Jawa.
   “woo, ngoten to cariyosipun pakdhe, pantesan, Pak Jokowi sampai sekarang masih bisa memerintah di Jakarta, karena dukungan gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang dari suku sunda, Sunda yang sejatinya adalah kakak suku Jawa, jadi rintisan menyatunya Jawa brang Kulon di wakili Ahmad Heryawan dan Brang Wetan diwakili Pakdhe Karwo dan Ngarso Dalem kaping Sedasa dilanjutkan oleh Ridwan Kamil, gubernur brang Kulon, dan brang wetan di wakili pak Jokowi, bisa lestari memimpin NKRI ngantos dinten meniko pakdhe, dulu sempat di Jawa Tengah saat agresi Belanda, di Yogjakarta, namun begitu Belanda hengkang, ibukota kembali ke kulon, Jakarta”
   Pakdhe Wiro dengan antusias menanggapi pendapat dan uraian kalimat pelanggan warungnya, pelanggan yang ia panggil kang Warso, pelanggan yang kini sudah tidak kedinginan lagi, bahkan jaket tebal dan sarung ia lepas, hanya menegenakan celana slabruk dan berkaus lusuh saja yang kini melekat di tubuhnya, tubuh yang hangat setelah menikmati kopi cangkir racikan pakdhe Wiro, guru besar PSCP pusat yang lebih suuka nylamur laku, menyembunyikan jati dirinya.
“leres sanget kang Warso, sudah waktunya Nuswantara bangkit dan bersatu untuk menuju kejayaanya kembali, agar kuat persatuanya, salah satu syaratnya kita harus kompak dan bisa mempersempit ruang gerak kelompok pro NKRI Bersyariah, negeri ini bukan negaranya orang yang hanya satu agama, namun negaranya orang-orang yang beragama berbagai jenis, dan semua di akui secara sah oleh Negara, sayangnya bulan ini kelompok Islam populis 212 segelar sepapan masih menguasai Monumen Nasional, bahkan tugu simbol perjuangan semesta rakyat NKRI itu mereka jadikan logo PA 212, angka 2 yang mengapit tugu monas, di baca 212, simbol angka pada kapak naga geni 212-nya Wiro Sableng, legendanya pendekar fiksi nusantara, kelompok pro Khilafah itu dengan ciamik dan cerdas menunggangi simbol budaya nusantara, 212, simbol senjata keramat pendekar kanuragan pencak silat yang sinetronya dulu di perkuat pendekar-pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate”
  “sayang banget pakdhe, politik menuju 2024 masih memerlukan mereka untuk menghancurkan NU, karena NU selalu mendukung pemerintah, jika NU di belakang pemerintah, maka sulit bagi kelompok pro Khilafah itu segera bisa menguasai negeri ini, karena dari bansernya saja sudah merangkak ke angka 8 juta personil, belum santri, pendekar Pagar Nusa, ulama, habib, kyai, simpatisan dan keluarga besar NU, hampir 101 juta pakdhe, maka selama NU belum hancur, kelompok pro Khilafah itu mokal bisa bikin Negara Islam di nusantara, itu fakta yang saya simpulkan pakdhe”
    “memang kelihatannya demikian kang Warso, menteri agama yang dari TNI saja masih takut, atau berfikir ulang untuk menolak memberi rekomendasi surat keterangan terdaftar  Front Pembela Islam, salah satu inisiator lahirnya gerakan 212, padahal jelas pada anggaran rumah tangga ormas itu ingin mendirikan khilafah islamiyah di atas tanah ini, bumi NKRI yang sudah kita sepakati berideologikan Pancasila, FPI yang makin kuat menguasai Ibukota dan dipelihara oleh pemilik kekuatan politik yang tak kasat mata makin jumawa, hal darurat yang memaksa pak Jokowi mempercepat perpindahan Ibukota ke Kalimantan Timur, tanah keramat Kalimantan akan bisa menjadi ibukota yang bebas dari kelompok pro Khilafah yang sekarang berjubel di Jakarta”
   Teman bicara pakdhe Wiro itu menyeruput kopinya lagi, setelah beberapa tegukan kecil, ia taruh cangkirnya di lepek, sambil tangan kananya meraih singkong goreng yang baru di tuang di piring besar oleh pakdhe Wiro, ia menanggapi kalimat terakhir sang pemilik warung itu.
   “seandainya FPI tahu sejarah, ia akan berfikir ulang untuk ngeyel menyerang NU dan Negara, ingat tidak panjenengan kisah pada saat Mataram membantai ratusan orang yang pro Khilafah yang sangat intoleran saat kesultanan Mataram di bawah Amangkurat, ulama-ulama garis keras yang kebelet dan ngebet serta sangat ingin Jawa menjadi Khilafah ala mereka, hal yang membuat sultan bertindak tegas, mereka diberi peringatan untuk guyup rukun, hidup berdampingan antar pemeluk agama yang berbeda di nusantara, seperti cara hidup beragama yang diajarkan wali sanga yang adem penuh toleransi antar pemeluk agama berbeda, karena mereka menolak dan makin ngotot dan makin keras ngegas suaranya persis seperti kelakuan FPI itu, raja Jawa dengan tegas memberi hukuman mati, bukan hukuman dibubarkan atau di tolak SKT-nya, tapi di bunuh secara masal dengan tajamnya mata tombak, keris, pedang dan panah, dan sangat menggetarkan sejarawan menceritakanya pakdhe, sebelum mereka dibantai, meriam-meriam perang menggelegar di bunyikan sebagai tanda di mulainya hukuman mati dan dalam sekedipan mata ratusan ulama garis keras itu tenggelam dalam genangan darah yang kental, amis dan anyir, darah mereka sendiri, darah yang dicap sang Sultan Mataram sebagai darah pemberontak yang harus ditumpahkan agar menjadi teladan bagi mereka yang masih keras kepala ingin merubah Nusantara menajdi negeri Khilafah ala mereka yang terbukti sangat intolerasi terhadap pemeluk agama lain, ratusan pemberontak yang di habisi pasukan khusus sultan Mataram era Amangkurat, mereka dibantai habis dalam hitungan menit”
  “benar kang Warso, di Era presiden Soekarno, DI/TII yang sudah memproklamirkan khilafah di Indonesia di tindak tegas pemerintah lewat tindakan operasi penyergapan militer prajuit TNI dan POLRI yang di kerahkan untuk menumpasnya, 16 tahun gerilya kaum yang pro Khilafah di Jawa Barat ini baru selesai setelah Imam Besar mereka tertangkap dan dijatuhi hukuman mati,  SM. Kartosuwiryo di tembak dengan peluru tajam dari senapan khusus eksekusi, peluru yang tepat melubangi jantungnya, sang Imam Besar itu di eksekusi mati dengan wajah ditutup kain oleh regu tembak aparat pemerintah era Bung Karno”.
  “injih pakdhe, penjenegan bercerita DI/TII saya malah kemutan kasus tanjung Priok, ratusan pendukung Khilafah di hujani peluru tajam dari senapan serbu ABRI karena berani melawan pemerintahan orde baru, kajian-kajian keagamaan dipakai untuk mengobarkan kebencian kepada pemerintah dan negara pancasila, mereka ingin sistem khilafah di negeri ini, hasilnya presiden Soeharto sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata memerintahkan untuk segera menghabisi kelompok mereka, hasilnya ratusan mayat yang tubuhnya koyak moyak di terjang peluru tajam senapan serbu itu menjadi bukti, betapa dari masa ke masa, tekad keblinger mereka itu selalu di tunggangi kekuatan tak kasat mata yang ingin Indonesia bubar dan jika sudah hancur mereka masuk dan bebas mengeruk kekayaan alam negeri ini tanpa harus susah payah ngasih uang sogokan kepada pejabat pemerintahan dan politikus partai di legeslasi yang korup di negeri ini, negeri Pancasila yang korupsinya sudah mencapai tingkat dewa, tingkat 3 terbaik di dunia belum jawara tingkat 1, dan nampakanya sedang menuju ke tataran yang terbaik dari yang terbaik korupsinya, korupsi yang menjadi salah satu alasan sehingga gerakan pro khilafah makin subur menjamur merekrut simpatisan dan anggota baru, kini TNI sudah hamir 4 %  anggota dan keluarganya terpapar paham khilafah mereka, POLRI juga sudah ditangkapi oknumnya yang sudah merakit bom, ASN, pegawai BUMN, KPK, KPAI, Guru Ngaji, Pendidik di PAUD, SD, SMP, SMK, SMA sampai Perguran Tinggi angka paparanya makin kuat meningkat tajam, mereka sangat setuju dan pro jika Negara pancasila dirubah menjadi Negara Khilafah, mereka bersatu guyub rukun makin intens mencari dukungan dan anggota baru bahkan sejak usia dini, di TK dan PAUD, agar lima, sepuluh, duapuluh dan seratus tahun yang akan datang mereka bisa menumbangkan Pancasila, diganti dengan Khilafah Islamiyah, yang sejak era lampau, Khilafah ala mereka itu tak cocok dan tertolak mentah-mentah di Nusantara ini, wilayah patirtan yang ribuan pulau, ratusan suku bangsa, bahasa dan etnik dengan berbagai budaya tradisi keramat dan agama yang sudah melebur manjing nyawiji, sedulur Minang menyebutnya sarak bersendikan adat, adat bersendikan kitabullah, agama dan budaya melebur, dan jika kelompok pro khilafah ala mereka di beri panggung akan serta merta menghancurkan budaya nuswantara dan hanya ingin agama ala mereka saja yang ada di negeri patirtan ini, negeri kepulauan terbesar di dunia, NKRI yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945”
  Tak terasa saking asyiknya berkisah tentang seluk beluk sejarah tanah Jawa dan gerakan pro khilafah islamiyah, tahu-tahu beberapa tetangga sudah masuk warung, mereka mampir jelang tengah malam, dan pakdhe Wiro segera membuatkan kopi jahe lagi, sehingga makin gayenglah obrolan di warung kopi pendekar pakdhe Wiro malam itu.
“hmm, dados sakmeniko, leres sedaya panjangkanipun prabu Jayabaya Saking Pamenang, bilih nuswantoro sampun wancinipun ngancik jaman mbukak lawang kori, wancinipun napaki jaman kencana rukminipun malih, kembali menjadi Negara yang kuat, makmur dan besar di dunia, tak kalah hebat bahkan lebih hebat di banding dengan Negara maju lainya, negari tanpa sisihan, dan dengan persatuan saya sangat-sangat yakin semua bisa pakdhe, dimulai dari tanah keramat, bumi Jawi, se-jatining winih, Jawa se-jatining wahyu”
   Lelaki yang dipanggil kang Warso oleh pakdhe Wiro itu, yang seorang pendekar PSCP pusat angkatan perintis tahun 1974, yang sangat bersahaja, tampang ndeso yang semeleh dan nriman, nampak bersungut-sungut memerah wajahnya, wajah yang masih menyiratkan sebuah tekad dan semangat juang tinggi.
   Sosok pendekar kanuragan yang tersamarkan dari gemerlap dunia, hidup sederhana di desa, hidup sebagai kadhang tani padesan namun memiliki rasa patriotik dan nasionalisme kebangsaan melebihi ASN, prajurit TNI dan POLRI.
   Nasionalisme mutlak, nasionalisme khas rakyat kawula alit negeri nuswantara, negeri yang bahkan rela ia bela sampai matipun tak jadi soal, ia bela sampai tumetesing ludira ingkang wekasan.
“inggih mekaten menika kang Warso saestu leres sanget sedayanipun, dan kanca-kanca tani kisanak kadhang di karang padesanlah yang akan mengemban wahyu keprabon satriyo piningit yang sanggup mbukak lawang kori itu, ugi ing asto penjenegan, karena di tangan panjenegan semua, tanah Jawa yang keramat dan wingit ini akan bisa kembali di sucikan dan di ruwat dari segala malapetaka dan bahaya yang mengancamnya”
   Sesuatu yang nampak sangat-sangat bersahaja, dalam kesederhanaan, obrolan warung kopi khas ndeso itulah sejatinya jati diri bangsa nuswantara, sesama manusia berinteraksi tanpa dipisahkan bising dering hape.
  Tangan mereka tidak sibuk ngutak atik gadged mengup-date status, tangan tidak sibuk memainkan jari-jemarinya larut di gempabji khas anak muda Milenial, wajah tidak mecuca mecucu bibirnya monyang-monyong berselfi ria lalu diunggah di media sosial untuk mendapat jempol ke atas, pengikut dan komentar, yang jika pengikutnya 100 juta orang, mendapat uang em-eman yang ditransfer ke rekening tabunganya, sangat milenial banget.
    Mereka begitu fokus menikmati kopi cangkir, berbicara secara lembut namun tegas tertata intonasinya, jelas struktur kalimatnya dan mudah dicerna tata bahasanya.
   Antar tetangga rukun guyup dalam keindahan lembah gunung Lawu yang gemah ripah serta loh jinawi tanpa seorangpun memegang handphone, spirit sejati dari sebuah warung kopi ndeso jaman purba yang masih hidup rohnya di lembah gunung Lawu.
   Puncak wukir Mahendra sedikit nampak meremang, karena kumpulan awan kelabu yang menyelimutinya manakala angin selatan bertiup semilir membuatnya menyibak.
   Bintang-bintang satu dua bertabur, udara masih dingin, namun sangat nyaman dan hangat di hati dan wadag sangat terasa bagi segenap yang masih gayeng mengobrol di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar yang dijaga sesepuh PSCP pusat, pakdhe Wiro.
   Malam makin menuju tengah, malam yang makin senyap namun justru itulah awal dibukanya pintu sebuah laku tirakat,  makin malam justru semakin mereka larut dan asyik dengan obrolan-obrolanya itu, tirakat ngrame, tirakat makrifatullah, sebuah laku sembah bhakti ing ndalem kasunyatan.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRA HANGRASA WANI.
   (dari budaya warung kopi Ndeso itulah, oleh salah satu guru besar PSCP pusat, kelak pendidikan calon warga Madya di tempa dalam suasana yang sedemikian rupa, mereka para peserta calon pendekar Madya dilarang membawa hape selama pendidikan dan latihan, sehingga lahir sosok-sosok pinunjul dan menjadi legenda bagi adik-adik angkatanya, sosok sederhana yang digdaya dan mampu menguasai aji Pameling, telepati yang wingit dan keramat, lebih dahsyat dari teknologi modern sinyal handphone untuk berkomunikasi, mereka hidup dalam kesederhanaan dalam lingkungan padepokan Bayangan, yang merupakan refleksi dari padepokan pusat PSCP, padepokan bayangan yang didirikan sangat terpencil jauh dari perkampungan penduduk, sehingga saat turun gunung, para pendekar itu benar-benar menjadi sosok tangguh lahir batin yang sudah mapan secara fisik dan spiritualitasnya, sosok sejati kesatria pencak silat Cempaka Putih yang membawa semboyan agung, semboyan medan perang sejati, semboyan dan doktrin WIRO YUDHO WICAKSONO).



TERJEMAHAN KATA SULIT
(bahasa Jawa ke bahasa Indonesia)
#gayeng =asyik
#kopi alitipun = kopi kecilnya
#atis = dingin
#malem =lembab basah
#njanur gunung = tumben
#monggo dipun sekecakaken rumiyin = (arti luasnya : silahkan duduk dahulu dengan nyaman)
#ndamel = membuat
#wukir = gunung
#kang = kak/mas
#leres sanget = benar sekali
#sakmenika = sekarang juga
#sabrang = sebelah/seberang
#kulon = barat
#wetan = timur
#ndeso = kuno/jadul
#saking = dari
#wancinipun mbikak lawang kori = waktunya membuka pintu utama
#inggih mekaten = iya seperti itulah
#inggih mekaten menika kang Warso saestu leres sanget sedayanipun = iya seperti itulah mas Warso sangat benar semuanya
#ngunggah ngudunake rasa = menaik turunkan rasa/menimbanng-nimbang perasaan
#ngalor ngidul = ke  utara dan ke selatan (kesana kemari tak tentu arah padanan katanya mrana mrene)
#kuwalat = terkena karma
#tekoning pati = datangnya ajal kematian
#sesamining agesang = sesama mahluk hidup
#manjing nyawiji = bersatu/menyatu/lebur
#tan kena kinaya ngapa = tidak bisa didefinisikan/tidak bisa disebut dengan kalimat.
#sangkan paraning dumadi = darimana kita (roh) berasal dan akan kemana kita (roh) pergi setelah ajal kematian kita sudah tiba
#panjangka = ramalan
#sanepan=perumpamaan
#ngoten = seperti itu
#cariyosipun = ceritanya
#sedaya = semua
#panjenengan = anda atau saudara
#ruwat = ritual kuno untuk membuang sial dan menjauhkan malapetaka serta segala mara bahaya
#dinten meniko = hari ini
#kisanak kadhang = teman dan saudara
#gemah ripah loh jinawi = kesuburan yang membawa kemakmuran
#wadag = nyata
#sesepuh = tetua
#memayu hayuningrat = membuat makin indah dan memperjuangkan keselamatan alam semesta
#patirtan = perairan
#tirakat ngrame= ritual mengurangi tidur di malam hari dengan mengobrol tentang esensi kehidupan semalaman sampai jelang pagi
#makrifatullah = esensi sifat dan daya kekuatan dzat-Nya yang terbiaskan pada mahluk ciptaan-Nya
#tumetesing ludira ingkang wekasan = tetes darah yang terakhir
#tirakat makrifatullah = mengobrol malam hari membahas spiritualitas yang mencerminan sifat-sifat dzat yang menciptakan alam semesta
#sembah bhakti ing ndalem kasunyatan = beribadah dengan melakukan perbuatan nyata yang kebaikanya bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain bukan hanya bagi diri pribadinya sendiri
#kadhang tani padesan = kaum petani di desa
#negari tanpa sisihan =negara yang tidak ada bandinganya
#se-jatining winih = bibit yang murni
#se-jatinih wahyu = ajaran suci yang murni
#keblinger = tersesat
#wahyu keprabon = pulung raja = daya kekuatan darah biru/pemimpin
yang mentaati ajaran suci serta yang menyelamatkan negara dan yang direstui Tuhan beserta semesta alam
#satriyo piningit = kesatria suci yang tersembunyi dan terbatas gerak langkahnya
#wingit = suci dan keramat
#simbokne thole = ibunya anak
#melosok = tergeser
#tumanggal = masuk tanggal yang baru
#wujud anyar = bentuk baru
#jagad alit = manifestasi manusia lahir batin 
#jagad agung = manifestasi alam semesta
#nylamur laku = menyamar
#ngeyel = tak mau kalah
#jumawa = sombong
#semeleh = pandai mengendalikan diri
#nriman = selalu menerima dengan ikhlas
#panjenengan = anda

1 komentar:

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia