OWKP
“ Aji Pameling “
Obrolan Warung Kopi Pendekar
Udara malam atis, bintang nampak penuh bertabur menghiasi langit,
bayangan gunung Lawu yang gagah nampak perkasa menjaga bumi tapal batas
Jawadwipa, Tengah dan Wetan.
Bulan sabit tumanggal menggantung malas, bayangan pepohonan dan
semak-semak menghitam, lembah gunung Lawu senyap sepi mamring manakala tengah
malam sudah melewati puncaknya.
Wibowo menyelesaikan sesi penutupan latihan di sanggar pamelengan, tahap
akhir menerima ilmu sinengker dari sang Dwija sudah sempurna ia terima dan
selesaikan.
Dan dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat, ia cium tangan
sang pendiri PSCP, dari sekian banyak pendekar gunung Lawu yang terbaik, ia
malah yang dipercaya mewarisi Aji Pameling dari legenda hidup pendekar gunung
Lawu, sang Dwija Wasana.
Menjelang dini hari Wibowo undur diri, pamit kepada sang Dwija yang
telah memberinya begitu banyak warisan ilmu-ilmu langka warisan keramat
padepokan pencak silat Cempaka Putih pusat.
Begitu lepas dari padepokan, ia naiki punggung kudanya yang masih setia
menunggu sang tuan keluar dari padepokan.
Kuda setia yang ia rawat bahkan sejak baru lahir, kuda persilangan dari
jawara kuda pacu terbaik yang memiliki stamina tangguh dan nafas yang panjang
sehingga mampu di pacu larinya yang luar biasa sejak dari rumah sampai di
padepokan PSCP hanya dalam hitungan puluhan menit, lebih cepat bahkan dari
menaiki motor sport terbaik, karena sang kuda mampu melaju lari kencang lewat
jalanan setapak di persawahan, kebun dan gupitan-gupitan sempit di antara semak
dan pepohonan.
Sebelum pulang ia berbelok ke kanan, menuju warung kopi pakdhe Wiro,
untuk sekedar menyapa sesepuh padepokan yang lebih suka gentur menjalani tapa
ngrame terjun di tengah bebrayan agung, masih suka menjalani beratnya laku
sambil menyelami makna-makna kehidupan yang justru mudah beliau peroleh
mutiaranya manakala menjadi penjaga warung kopi di dekat padepokan PSCP pusat.
Sesampainya di warung, ia menambatkan kudanya di patok kayu yang
dipalang sedemikian rupa, patok dan palang kayu khusus untuk menambatan
kuda-kuda para pendekar gunung Lawu yang baru menyelesaikan latihan di
padepokan PSCP pusat.
“assalamualaikum, sugeng ndalu pakdhe, kopi jaenipun setunggal njih, kok
sepi pakdhe, biasanya jam segini masih ada yang nongkrong-nongkrong”
“Walaikumsalam anakmas, sugeng ndalu ugi, barusan mereka bubar, para
kisanak kadhang kanca tani yang sedang mengairi sawahnya mampir untuk sekedar
minum racikan kopi jahe andalanku, hehehe, mereka tuman rupanya anakmas setelah
merasakan sensasi racikan kopi jaheku itu, tunggu sebentar, panjenengan tengga,
ini baru saya didihkan airnya”
Tak lama meracik, Wibowo yang duduk terkantuk-kantuk, indera penciumanya
yang tajam mendekteksi wangi harum kopi jahe racikan salah satu gurunya di
padepokan PSCP pusat itu, racikan kopi jahe yang masih panas mengepul dalam
secangkir kopi dengan lepeknya.
“ini anakmas, kopi jahe spesial, sengaja
saya sediakan untuk panjenengan, kopi nongko Ngrayudan yang merah matang di
pohon, murni saya goreng di wingko dengan bahan bakar arang batok kelapa agar
kekhasan aromanya makin kuat manjing, monggo dipun cobi anakmas, jehe Empritnya
saya tanam dengan pupuk khusus, sehingga lebih tajam rasanya dari jahe jenis
Gajah anakmas, monggo dipun incipi”
Pakdhe Wiro memberikan secangkir kopi jahe kepada Wibowo yang sudah
lewat tengah malam itu mampir, singgah sebentar melepas penat setelah melalui
malam yang melelahkan.
Malam berat yang ia lalui dengan menempa diri di jalur kanuragan yang
keramat, wingit dan gawat keliwat-liwat.
Anak muda yang sudah dianggap anak sendiri oleh pemilik warung kopi yang
sudah sepuh tersebut menerima secangkir kopi itu dengan santun.
Minuman kopi jahe dalam cangkir tua itu ia
terima penuh subasita, keadaban sorang anak muda yang memundi sang gurunadi
tinggi-tinggi, bias murni dari jiwa kesatria sejati yang ia tunjukkan kepada
sesepuhnya, rasa berbhakti bercampur rasa bahagia.
Seraut wajah ikhlas dan takzim itu tersenyum tulus kepada pakdhe Wiro, Wibowo
yang mampir setelah hampir dini hari baru
menyelesaikan pendadaran di padepokan dengan sikap gupuh menerima cangkir kopi
jahe dari tangan sang guru.
Rasa kantuk mulai bergelayut di pelupuk matanya karena latihan berat
sejak matahari terbenam dan selesai hampir jelang dini hari.
Latihan berat penuh
tempaan-tempaan khusus khas warga Madya karena ia yang terpilih sebagai lulusan
terbaik di angkatanya, kini ia baru saja menerima ilmu sinengker yang hanya
sosok tertentu yang berhak dan sanggup untuk mempelajarinya, aji Pameling, ilmu
keramat yang tak sembarang pendekar kanuragan nusantara mampu menguasainya.
“sembah nuwun pakdhe, benjang enjing Sodoran dibuka pak bupati di
alun-alun Ki Ageng Mageti, minta doa panjenengen semoga mimpang pakdhe,
ibunipun genduk sudah siap lahir batin untuk turun laga besok sekaligus mempertahankan
gelar prajurit penunggang kuda terbaik monconegari wetan, saya mensuport saja
dari pinggir alun-alun sambil momong si genduk”
“tentu anakmas, semoga anakmas Ayu Rengganis akan diberi jalan serta
semua serba diberikan kemudahan buat pasukan PSCP umumnya dan ibunipun Genduk yang
turun laga di ajang tahunan ketangkasan menunggang kuda, lomba Sodoran yang
tahun ini di adakan di alun-alaun Ki Ageng Mageti, dimana penjenenganipun Bapak
Bupati sendiri yang kerso untuk membuka acara tersebut, semoga pendekar gunung
Lawu tetap juara dan anakmas ayu Rengganis bisa sukses berjaya seperti tahun
lalu”
“injih, sembah nuwun pakdhe, sekalian saya segera pamit untuk persiapan,
karena tinggal sehari lagi, saya akan cek semua perlengkapan dan taktik apa
saja yang hendak di pakai besok di alun-alun Ki Ageng Mageti, agar gelar juara
umum tahun lalu masih di pegang segenap kisanak kadhang pendekar wukir
Mahendra, karena skuad pasukan pendekar terbaik dari lembah gunung Wilis bumi
Madiun sampun segelar sepapan buat maju di palagan ketangkasan besok itu pakdhe,
mereka kini yang menjadi ancaman paling nyata bagi pasukan kami di kavaleri
Turangga Jurit PSCP pusat”
Wibowo menyeruput kopi jahenya, sensasi racikan kopi jahe yang sangat
unik , rasa unik yang sangat khas warung kopi ndeso itu segera menjalar di
tenggoraan sampai lambung dan menyebar ke seluruh jasad wadagnya.
Sensasi unik khas warung kopi ndeso, yang bahkan tak bisa digantikan
kafe-kafe modern yang menawarkan pelayanan internet gratis, internet yang membuat
pengunjung makin oon dan menjadi pemuja dunia yang egosentris, egois.
Kaum egosentor yang tak pernah puas mengejar ajang paling viral dan
pemburu jempol keatas yang 24 jam terus-terusan di burunya dengan kegilaan khas
generasi jaman now yang sangat milenial banget, generasi yang kehilangan
subasita keadaban adiluhung budaya leluhurnya yang njawani.
Mereka yang duduk di kafe namun perhatian dan fokusnya melanglang buana
di dunia maya, sahabat dan teman yang duduk di sisinya juga sama, raga berdekatan
namun rasa tak bisa di silaturahmikan dalam dialog yang hangat khas warug kopi
ndeso.
Generasi Milenial yang 24 jam asyik mengetik dan ngulik-ulik layar
androidya, bahkan di kafepun masih sama kelakuanya, kepala menunduk,
senyum-senyum sendiri, misuh-misuh sendiri, tak peduli kehadiran manusia lain
di sisinya #kasihanMereka.
Dan greget warung kopi ndeso itu masih di
ambil peranya secara utuh oleh warung kopi pendekar milik pakdhe Wiro di dekat
padepoan pencak silat Cempaka Putih pusat.
Pakdhe Wiro dengan antusias tinggi serta sikap gupuh memberi support dan
harapan, semoga pasukan pendekar gunung Lawu bisa meraih kejayaan di medan laga
lomba ketangkasan tahunan, lomba Sodoran yang menguji kemampuan prajurit perang
kaveleri berkuda jaman kerajaan dan kesultanan di era nusantara lama.
Hari yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba, alun-alun kota Magetan penuh
sesak oleh warga masyarakat, wisatawan, peserta dan panitia yang tumpek blek
memenuhi jalanan dan area di sekitar alun-alun Ki Ageng Mageti, alun-alun
terbaik di bumi Jawa Timur.
Tempik sora menggelegar membahana,
manakala pemimpin pasukan pendekar gunung Lawu
memasuki arena perang tanding, kepala pasukan yang dipimpin sepasang pendekar
gunung Lawu, yang ujung gagang tombaknya mengibarkan sang panji Getih Getah dan
panji-panji Wiro Yudho Wicaksono, disusul barisan kuda pasukan khsusus Turangga
Jurit yang kepala pasukannya membawa panji– panji pasukan khsusus Pasmatih yang
terkenal dengan panji agungnya, panji Wira Cakti Turangga Yudha.
Gegap gempita makin menghebat, menggelegar seakan-akan hendak
meruntuhkan langit kota Manunggaling Rasa Suka hambangun, saat pasukan juara
umum tahun lalu memasuki arena perang tanding dengan membawa pataka Bajra
Kencana, simbol pemenang dan keperkasaan kesatria perang yang tangguh tanggon
yang menunggangi kuda kevaeri terpilih.
Itulah pasukan yang menjadi legenda tutur, pasukan khusus Srikandi
Cempaka Putih yang dipimpin Roro Rengganis, sang senopati putri pasukan Estri
Srikandi Cempaka Putih pusat yang manakala memasuki gelanggang dengan
mengibarkan panji-panji Getih Getah yang didampingi panji-panji pasukan Estri
Srikandi Cempaka Putih yang bahkan juga tak kalah mahsyur.
Panji-panji pasukan khusus pasukan estri kaveleri berkuda yang dua kali
juara pertama di semua kategori lomba ketangkasan.
Panji keramat Bhayangkari Estri dengan bendera panjinya berwarna terang
cemerlang kuning gading yang berlogo sepasang tombak dan anak panah beruleskan
cemeng, sepasang tombak dan anak panah yang saling menyilang mengapit logo
kembang kantil yang setengah mekar dengan tulisan jawa palawa, Satya Bhakti Nagari.
Disusul barisan pasukan pendekar lembah gunung Wilis dari bumi Madiun,
yang segelar sepapan menunjukkan panji-panji pasukanya penuh kemegahan yang
meluap-luap, pasukan pendekar yang tak bisa di pandang enteng, penantang yang
boleh dikatakan kuda hitam di ajang lomba Sodoran tahunan di kota Magetan.
Kemudian pasukan berkuda pemuda-pemudi dari klub-klub berkuda, pemandu
wisata berkuda dan pasukan kehormatan dari datasemen kavaleri berkuda dari Jawa
Tengah yang semuanya membawa panji-panji Getih Getah sang merah putih dengan di
damping panji-panji kebanggan mereka yang menunjukkan identitas dari mana
pasukan mereka berasal.
Dan spesial khusus pasukan kavaleri berkuda TNI AD tahun ini memang
menjadi ajang yang perdana, mereka penasaran dan sangat ingin menjajal ajang
ini, ingin mencicipi sensasi medan perang di era beahula, era nusantara purba
manakala pasukan perang tangguhnya masih berpedang, berkeris, bertombak dan
beranak panah serta jenis-jenis rupa macam senjata khas nusantara yang lainya.
Setelah ketua panitia, Bambang Wisanggeni, ketua panitia sekaligus
kepala dinas pariwisata kabupaten Magetan lomba membuka acara dengan
mengorbankan seekor ayam jantan cemani yang di sembelih di tengah alun-alun
kota sebagai ritual dimulainya ajang lomba Sodoran.
Bupati Kabupaten Magetan, jajaran
Muspika dan khususnya pak Bambang Wisanggeni, sebagai Kepala Dinas Pariwisata
Magetan bersama-sama melepaskan burung-burung lambang perdamaian, Merpati Putih
sebagai tanda dibukanya kompetisi resmi ajang ketangkasan berkuda memperebutkan
Pataka Bajra Kencana bupati Magetan, Jawa Timur.
Jawa Timur, bumi wingit Wilwatikta yang sukses menyatukan asia tenggara
di bawah kalimat keramat Mitreka Satata Bhinneka Tunggal Ika Tan Han Dharma Mangrwa.
Serasa pulang ke masa silam, menyaksikan derap langkah sosok-sosok
berkuda yang sangat menggetarkan, sosok-sosok penunggang kuda yang trengginas dan
cekatan di atas kuda-kuda tungganganya.
Kuda-kuda kaveleri yang terlatih, kuda perang terbaik yang melesat berlari
di lintasan alun-alun kota, berlari cepat bagaikan terbang saking cepatnya
melaju saling mengejar satu dengan yang lain, saling mengejar meraih kejayaan
dan kebanggaan prajurit perang sejati.
Dan lomba ketangkasan hari ini adalah lomba memanah dan mengambil sasaran
berupa gelang-gelang kecil dari rotan yang diikat di tali-tali gawang yang
berjajar di sepanjang lintasan dengan formasi lurus, berkelok standard dan
paling sukar dengan jalur yang berkelok tajam memutar.
Gelang-gelang kecil yang harus diambil dengan ujung tombak sang
penunggang kuda, gelang-gelang rotan yang ketinggianya di atur sedemikian rupa
sehingga mencerminkan sasaran mematikan dari target tubuh musuh, target
lambung, dada dan leher.
Sedang di kategori memanah, sasaran tertinggi adalah target jantung,
disusul leher dan nilai terendah target perut, juga dengan lintasan yang di
bagi tingkat kesulitanya, lurus, berkelok standar berkelok tajam memutar.
Lomba ketangkasan sodoran, sebuah arena menjaring prajurit berkuda terbaik
pada sebuah lomba yang di kemas dalam bentuk gladhen perang pasukan turangga
jurit di era peradaban nusantara purba.
Peradaban kemiliteran tradisional yang masih memiliki pasukan perang
berkuda yang mahsyur dan menggetarkan dengan kualifikasi dasar para kesatrianya
yang mesti mumpuni dan mahir di bidang teknik atau kemampuan memanah dan
menombak lawan di titik-titik paling mematikan.
Dan kini tradisi itu diuri-uri lagi, menjadi paket wisata yang bahkan
memaksa turis di Bali untuk berbondong-bondong ke Magetan di hari itu.
Hotel dan penginapan full bookingan, perajin cinderamata tradisional
khas Magetan, perajin seni rupa dan makanan unggulan Magetan laris manis,
ekonomi kerakyatan makin menggeliat menebar kemakmuran.
Dan sontak menjadi trending topik dunia karena begitu adegan video dan
gambar bergerak maupun gambar diam foto-foto lomba ketangkasan Sodoran itu di
unggah, lansgung memaksa para pengguan medsos dunia tertarik dan penasaran
tingkat dewa.
Ketertarikan yang ngedab-edabi, keadaan atau hal yang memaksa perhatian
wisata sejarah peradaban manusia yang sampai hari ini fokus di eropa teralihkan
dengan sontak dan kontak seketika.
Umumnya mata dunia terpikat akan kegagahan dan keperkasaan pasukan
Kaveleri berkuda Kerajaan Inggrir Raya saat pergantian tugas jaga di istana
ratu Elizabeth yang sudah mendunia menarik perhatian para wisatawan seluruh
penjuru bumi.
Kini wahyu keprabon itu pindah dari jantung Eropa ke sebuah kota kecil
di kaki gunung Lawu.
Sebuah perhatian dunia akan wisata sejarah yang kini menoleh ke Magetan
Jawa Timur, kota kecil di bumi tapal batas dua propinsi Jawadwipa, tengah dan
wetan, yang kini kemahsyuran kekuatan kesatria Turangga Juritnya telah bangun
dari tidur lelapnya selama berabad-abad mampu mencengangkan dunia.
Kedigdayaan dan ketangkasan yang bahkan lebih membuat melongo dan
menganga mata dunia, sebuah daya maha sakti dan ketrampilan maha tinggi yang di
kemas dalam kemampuan dasar kesatria berkuda, para kesatria pendekar turangga
jurit era milenial.
Daya sakti tuah keramat peradaban budaya militer purba nusantara yang
bikin kaget mata dunia yang selama ini hanya memandang suku Jawa adalah suku
bangsa kacung yang TKI dan TKW nya menjadi jongos hina di Asia dan Eropa.
Etnis Jawa yang mahsyur menjadi kuli dan kacung yang disiksa, diperkosa,
disetrika, disetrum, disiram air mendidih, disayat silet dan pisau khusus yang
tajam, digantung hidup-hidup, dipenggal dan dibunuh semena-mena manakala
dianggap melanggar bhaktinya pada sang taun majiakan, ndoro-ndoro kaya di Eropa
dan Asia.
Akibat dari kegiatan sodoran
panahan turangga jurit ini ternyata akan membuat sebuah hal tak terduga, suatu hal
yang membuat destinasi wisata Indonesia berpindah mata dan perhatianya.
Pulau Dewata Bali sebagai tujuan utama wisata di nusanatara hari itu di
tinggalkan turis-turisnya, hingga pulau para dewa-dewa itu kosong melompong bak
pulau hantu yang tanpa penghuni lagi, karena turisnya penasaran ingin melihat
kemampuan para pendekar muda era milenial menunjukkan ketangkasanya di atas kuda
perang terbaik, sebuah kemampuan khas turangga jurit peradaban masa lalu
nusantara saat masih berbentuk kerajaan dan kesultanan.
Babak pertama di awali dengan pacuan pembuka sekaligus pemanasan, hampir
berbarengan semua kuda dan penungangnya memasuki garis akhir, belum ada
penilaian, hanya pengenalan jalur pacu laga ketangkasan bagi sang kuda dan sang
penunggangnya.
Karena perlombaan ketangkasan hari ini bukan menilai daya tahan dan kecepatan
berlari kuda dan ketrampilan penunggangnya mengendalikan sang tunggangan, namun
lebih menekankan nilai dari tercapainya target sasaran di titik yang paling
mematikan yang di taruh di target-target sodoran yang di buat sedemikian rupa,
target perut/lambung, target jantung/dada dan target sasaran leher/kepala.
Gegap gempita dan sorak sorai membahana di alun-alun kota manunggaling
rasa suka hambangun, ribuan penonton memberikan aplaus yang panjang dan meriah
sebagai apresiasi terhadap kemenangan para penunggang kuda terbaik yang datang
dari berbagai kalangan pendekar dunia persilatan kawasan monconagari, yang
terbentang luas dari lembah gunung Wilis sampai lembah gunung Lawu.
Dan seperti tahun lalu, pasukan khusus kavaleri berkuda Turangga Jurit
dari perguruan Pencak Silat Cempaka Putih membawa pulang juara umum untuk semua
kategori mereka sapu bersih.
Dan untuk penunggang kuda terbaik masih di raih oleh sosok yang sama,
sosok srikandi Cempaka Putih yang mempertahankan gelarnya sebagai pemanah dan
penombak terbaik dan di kelas sodoran ia mengungguli nilai semua lawan-lawanya
di kelas umum, sehingga menyatukan dua gelar sekaligus, kelas memanah dan kelas
menombak.
Supporter srikandi Cempaka Putih gegap gempita, ribuan yang hadir dari Jawa
dan Sumatra serta perwakilan Kalimantan.
Dengan menggunaka busur khusus warisan korps berkuda pasukan estri
Mangkunaegarn, sang srikandi Cempaka Putih begitu tangguh untuk di lawan jajaran
para pendeker penunggang kuda yang masih muda didikan budaya Milenial yang
bahkan menggunakan teknologi busur modern dan kalah telak melawan busur era
lampau, busur pasukan khusus pura Mangkunegaran.
Sang Roro Rengganis, legenda hidup srikandi Cempaka Putih pusat yang
bahkan masih berusia muda namun sudah meraih gelar pemanah terbaik, sampi tahun
kedua mempertahankkan gelar itu, dan tahun ini, ia pertahankan gelar itu untuk
yang ketiga kalinya.
Dan sang suami lebih memilih momong sang buah hati yang asyik tertidur
pulas di gendongan sang ayahanda, sang ayah yang sangat mahsyur menjadi legenda
pendekar Madya terbaik di angkatan kelulusanya saat masih berjibaku di kerasnya
pendidikan kawah candradimuka, manakala masih di tempa kanuragan dan olah jiwa
kebatinan tingkat tinggi oleh sang Dwija Wasana dan segenap jajaran para guru
besar pencak silat Cempaka Putih di padepokan Wiro Yudho Wicasksono.
Hampir semua target dan sasaran yang berjajar di papan-papan bertanda
obyek tembak itu di habisi sang Srikandi Cempaka Putih dengan tuntas, kontan
tanpa ampun.
Dan hampir semuanya ia kenai tepat di inti jantung dan sebagian leher, hanya
beberapa bidikan saja yang terkena lambung perut, yang nihil tak kena sasaran
tidak ada sama sekali.
Dan lomba ketangkasan sodoran ini dengan nilai terbesar adalah target yang
tepat mengenai pusat jantung.
Semua itu harus ditebus dengan latihan yang panjang dan berat, sebuah
gemblengan yang harus mampu melatih ketrampilan menunggang kuda perang sambil
melepaskan senjata panah dan tombak ke jasad musuh sebagi target utamanya.
Bukan melulu adu kecepatan lari sang kuda perang sejak start sampai
finish, namun lebih dititik beratkan
pada kemampuan sang penunggang kuda melepaskan panah dan tombak untuk mengenai
sasaran.
Sambil memacu kudanya secepat kilat, sang penunggang kuda harus lihai
dan terampil sesekali memanah atau
menombak gelang-gelang rotan berbentuk lingkaran kecil yang digantung di
sepanjang jalur sejak start sampai finish.
Gelang-gelang rotan itulah yang harus di dapatkan oleh sang penunggang
kuda.
Mereka mesti mampu mendapatkanya dengan sapuan ujung tombak yang
disodor-sodorkan sambil melaju kencang di atas punggung kuda tungganganya,
sehingga gerak laku menyodor-nyodorkan ujung tombak itu di sebut Sodoran.
Gerak laku prajurit berkuda yang sesungguhnya sedang berlatih melubangi
jasad wadag musuh-musuhnya di garis depan palagan medan tempur, melubangi tubuh
lawan di titik-titik mematikan, jantung, leher dan lambung.
Keahlian
yang ngedab-edabi manakala sang penunggang kuda mengendalikan laju kencang tungganganya
itu sambil menombak gelang-gelang itu satu demi satu dengan ujung tombak di
tanganya yang satu, tangan yang lain sibuk mengendalikan laju sang kuda pada
tali kekangnya, satu gelang rotan nilainya sama dengan merobohkan satu patung
jerami ketan hitam, nilai tinggi yang sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh
seluruh peserta.
Untuk pemanah berkuda, tantanganya tak kalah berat, karena di tuntut
adanya sebuah kemampaun mengendalikan kuda tingkat dewa, memacu kencang lari
kuda sambil melepaskan anak-anak panah ke bidang target dan sasaran.
Dan babak final kedua kemampuan itu dicampur, memanah dan menombak
target yang tak bisa dibilang mudah serta ringan, butuh latihan yang prosesnya
panjang bahkan berliku-liku serta sangatlah berat untuk sampai di tataran mapan
serta mahir.
Sebuah kemampuan mengambil anak panah, memasangnya di tali busur, menariknya
dengan satu tarikan nafas dan sambil menggebrak lari sang kuda, lesatan
anak-anak panah itu harus sempurna jika ingin menjadi jawara.
Sang legenda, srikandi Cempaka Putih mempertontonkan sebuah kelihaian
yang sudah mapan dan mahir, anak-anak panahnya berkesiung, berdesing-desing dan
melesat sekedipan mata lalu menancap kuat di papan-papan taget dan
patung-patung manusia dari jerami padi ketan hitam yang berjajar di sepanjang
jalur alun-alun Ki Ageng Mageti.
Alun-alun kota kebanggaan warga kabupaten Magetan Jawa Timur yang di
rintis Ki Ageng Mageti di masa-masa mataram terlibat perang brubuh dengan
Aliansi Dagang Terkaya di Dunia, VOC dengan tentara bayaran yang terkuat di
bumi dengan bedil dan meriam yang menggetarkan medan laga di garis depan.
Begitu sang srikandi lepas dari garis start, ia langsung menggebrak
dengan kekuatan maksimal, kedua tumit kakinya ia sentak-sentakkan di sisi tubuh
sang kuda Sembrani kesayanganya, sang kuda perang melesat menggila menyusuri
dataran berumput tebal hijau, rumput alun-alun terbaik di Jawa Timur dengan
rumputnya yang sehat subur dan terawat.
Sambil menggebrak, ia gigit kekang kudanya, tangan kiri memegang busur, tangan kanan
cepat mengambil anak panah di pinggang kirinya.
Endong yang sarat anak-anak panah
itu ia ikat sedemikian rupa sehingga memudahkannya mengambil anak panah jika di
bandingkan jika endong itu ia taruh di punggung.
Sambil memanah, manakala di depan nampak boneka patung manusia dari
jerami ketan hitam, tangan kanannya terampil mengambil tombak, busur ia simpan
dengan kaitan khusus di sisi sebelah kiri kudanya.
Dengan masih melesat memacu kuda, tombak ia hentakkan ke dada patung
jerami ketan hitam itu, satu sentakan kuat sehingga tembus dan roboh tanpa
ampun.
Kemudia ia simpan lagi sang tombak, ia kaitkan sang tombak di sisi kiri
lambung Sembrani kuda kebanggaanya itu, kemudia sambil ia ambil lagi busurnya sang
kuda masih digebrak-gebrak agar terus melesat.
Rengganis menggebrak lari kudanya
bagai kesetanan, darah srikandi perang di medan laga, dan sang Sembrani yang laksana
terbang berlari cepat makin kilat melintasi jalur medan laga ketangkasan memanah
dan menombak.
Makin lama makin panas, Rengganis makin menggila menggebark laju lari kudanya
sambil melontarkan mata anak-anak panahnya di seling sesekali menombak target
patung boneka manusia tepat di jantungnya.
Dada patung yang hancur berantakan di tembus tajamnya mata ujung tombak
sang srikandi Cempaka Putih, boneka patung jerami sebagai simbol lawan di medan
laga, ujung tajam mata tombak Rengganis sudah memakan puluhan bahkan ratusan
boneka patung dari jerami ketan hitam, rubuh berantakan, lepas ikatan-ikatanaya
di hajar tajam mata tombak senopati putri turangga jurit.
Dihajar tuntas oleh sang penunggang kuda perang terbaik tempaan
padepokan PSCP pusat yang begitu titis, tatag dan tagguh melesat di atas
punggung kuda perangnya, si Sembrani.
Jalur lurus mudah ia taklukkan, jalur
berkelok masih bisa ia tundukkan dan jalur melingkar berbelok tajam dengan
beberapa papan rintang bahkan ia sanggup memaksa sang Sembrani melompatinya,
sesaat terbang melompat tinggi dan begitu menapak bumi terus berlari mengejar
target-terget mematikan bernilai tertinggi, menghunjamkan ujung tombak dan mata
panahnya di jantung sang target.
Gelang-gelang rotan banyak yang ia koleksi nilai tingginya, sebuah nilai
yang digabungkan dengan nilai mengenai target memanah dan menombak patung
jerami ketan hiatm membawanya menjadi juara untuk ketiga kalinya, nilai yang
sangat-sangat telak yang membuatnya membawa pulang pataka kebanggaan prajurit
perang berkuda, pataka Bajra Kencana,.
Pataka terbuat dari kayu jati yang dibentuk menjadi sebuah tongkat
sepanjang lima meter yang ujungnya berhiaskan seekor kuda dari emas dengan
penunggangnya yang memegang tombak dan punggungnya bergelayut endong penuh anak
panah.
Saat panitia membaca pengumuman nilai tertinggi, sang bayi buah hati
yang lelap di gendongan sang ayah bangun, merengek manja minta ASI sang bunda yang
masih berjuang di medan laga.
Dan dengan kemampuan aji Pameling, Wibowo memejamkan mata, mengetuk
dimensi kesadaran indera perasa dan pendengaran sang isteri tercinta yang masih
di medan perang alun-alun Ki Ageng Mageti.
“dinda, genduk minta nenen, baru bangum mendengar riuh rendah sorak
sorai penonton dan kerasnya panitia mengumumkan nilai-nilai lewat pengeras
suara, tolong cepat merapat, kamu sudah menang mutlak, minta ijinlah pada pak
Bambang Wisanggeni sebagai ketua panitia, beliau pasti memberi ijin”
Di tempat lain, Rengganis seperti mendengar suara sang suami yang kuat
menggema di dekat gendang telinganya,
hmmm, apakah ini ilmu paling rahasia itu, mengirim pesan lewat telepati.
Bahkan saat suasana begitu hingar-bingar oleh tempik sorak manusia yang
ribuan jumlahnya di alun-alun, suara suamiku masih bisa menembus dimensi yang
mustahil, dimensi telepati, yang tak memerlukan gadged dan pulsa, langsung on
dan suara sang suami tercinta bergema kuat di gendang telinganya, sebuah ilmu
yang menggetarkan, batin Renganis sambil memacu kudanya mendekati panitia,
meminta ijin, genduknya nangis minta ASI karena baru bangun tidur.
Dengan cekatan setelah mendapat ijin, Rengganis memacu kudanya keluar
dari gelanggang, menuju suaminya yang setia menggendong si Genduk, anak buah
cinta kasih mereka.
Rengganis menemui kedua sosok yang sangat ia cintai itu, cekatan ia
turun dari punggung Sembrani.
Bertiga mereka mlipir-mlipir dari depan masjid Agug yang penuh sesak
oleh lautan manusia, mlipir-mlipir menuju sebelah kanan Pendopo Surya Graha.
Rengganis masih mencerna kedigdayaan aji Pemeling yang baru saja di
unggah sang suami, ilmu sinengker yang terlarang, karena jika diberikan kepada
semua warga PSCP dan pendekar IPSI, Telkomsel, Indosat dan para penjual pulsa
serta gadged seperti Samsung, Iphone dan produk-produk lainya banyak yang tak
laku, karena manusia sudah menjelajahi dimensi keramat telepati yang sangat
wingit.
Kini sang suami sudah menunjukkan kekuatan ilmu aji Pameling itu, sang
suami yang telah memberikan petunjuk lewat aji itu di mana ia dan Genduk berada,
sehingga sang isteri tercintanya segera menemukan posisinya, teknologi purba
yang lebih efesien daripada sinyal hape yang kadang lemot seharian di pedalaman.
“sebentar nduk, ibu mendinginkan darah sebentar saja, jangan nangis ya,
nanti pak bupati marah lho ada bayi secantik kamu menjerit-jerit dekat pendopo
agung”
Rengganis segera duduk bersila, debar jantung dan aliran darahnya masih
tak beraturan, darahnya masih mengalir cepat dan panas.
Sangat tak pantas ia memberi ASI yang masih dalam pengaruh aura medan perang,
biar ia dinginkan sejenak dengan sebuah
patrap, agar selamat sang anak kelak, jika ia paksa memberi ASI sekarang, akan berakibat
sang anak kelak menjadi getapan, candala dan mudah marah jika dewasa nantinya.
Dengan cepat, ia meditasi, memanjatkan doa dan fokus pada nafasnya, tak
lama semua sudah berhasil ia kendalikan, kini ia bukan lagi senopati putri dari
pasukan khsusus kaveleri berkuda Srikadi Cempaka Putih yang mahsyur itu, ia
hanyalah seorang ibu muda yang sangat penuh belas kasih terhadap si buah hati
yang kini nampak sangat kehausan.
Wibowo memberikan si Genduk yang merajuk nangis mintak nenen, Rengganis
menerima balita lucu dan montok itu dengan senyum manis, balita yang tangisanya
kekejer tanda ia sudah kehausan, menangis marajuk mencari sang ibunda yang
sesaat tadi masih berjibaku mengadu ketangkasan di madan laga Sodoran di alun-alun
kota Manunggaling Rasa Suka Hambangun.
Di susuinya sang buah hati di bawah rindangnya pohon mangga Santok di
samping Surya Graha, di tutupnya separuh dadanya yang setengah terbuka dengan
ikat kepala gadung melati yang tadi ia pakai sebagai panutup separuh mukanya, cadar
wajah yang sengaja ia kenakan agar ia lebih fokus pada target.
Sesaat kemudian, si Genduk bagai anak singa yang kehausan, dengan
semangat menyusui pada sang ibunda, air susu prajurit putri yang kelak akan
menurunkan generasi terhebat di nusantara, generasi yang akan membawa nusantara
ke era kejayaan barunya, era Kancana Rumi, menjadi mercusuar peradaban dan
perdamaian dunia.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRO HANGROSO WANI.
#ajiPameling
#TuranggaJurit
#SatyaBhaktiNegari
#BambangWisanggeni
#RoroRengganis
#PatakaBajraKencana
#WiraCaktiTuranggaYudha
#BhayangkariEstri
#KudaSembrani
#SrikandiCempakaPutih
#Pasmatih
#PasukanLembahGunungWilis
#PendekarGunungLawu
#PrajuritMonconegariWetan
#LeherJantungLambung
#GelangRotan
#PatungBonekaKetanHitam
#KiAgengMageti
#ManunggalingRasaSukaHambangun
#PendopoAgungSuryaGraha
#AlunAlunMagetan
#MasjidAgungMagetan
#BusurEndongMataPanahBedor
#TombakMataTombakLandeyan
Wiro Yudho Wicaksono
BalasHapus