Selasa, 03 Desember 2019

Aji Pameling



OWKP

“ Aji Pameling “

Obrolan Warung Kopi Pendekar

   Udara malam atis, bintang nampak penuh bertabur menghiasi langit, bayangan gunung Lawu yang gagah nampak perkasa menjaga bumi tapal batas Jawadwipa, Tengah dan Wetan.
    Bulan sabit tumanggal menggantung malas, bayangan pepohonan dan semak-semak menghitam, lembah gunung Lawu senyap sepi mamring manakala tengah malam sudah melewati puncaknya.
   Wibowo menyelesaikan sesi penutupan latihan di sanggar pamelengan, tahap akhir menerima ilmu sinengker dari sang Dwija sudah sempurna ia terima dan selesaikan.
   Dan dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat, ia cium tangan sang pendiri PSCP, dari sekian banyak pendekar gunung Lawu yang terbaik, ia malah yang dipercaya mewarisi Aji Pameling dari legenda hidup pendekar gunung Lawu, sang Dwija Wasana.
  Menjelang dini hari Wibowo undur diri, pamit kepada sang Dwija yang telah memberinya begitu banyak warisan ilmu-ilmu langka warisan keramat padepokan pencak silat Cempaka Putih pusat.
   Begitu lepas dari padepokan, ia naiki punggung kudanya yang masih setia menunggu sang tuan keluar dari padepokan.
    Kuda setia yang ia rawat bahkan sejak baru lahir, kuda persilangan dari jawara kuda pacu terbaik yang memiliki stamina tangguh dan nafas yang panjang sehingga mampu di pacu larinya yang luar biasa sejak dari rumah sampai di padepokan PSCP hanya dalam hitungan puluhan menit, lebih cepat bahkan dari menaiki motor sport terbaik, karena sang kuda mampu melaju lari kencang lewat jalanan setapak di persawahan, kebun dan gupitan-gupitan sempit di antara semak dan pepohonan.
   Sebelum pulang ia berbelok ke kanan, menuju warung kopi pakdhe Wiro, untuk sekedar menyapa sesepuh padepokan yang lebih suka gentur menjalani tapa ngrame terjun di tengah bebrayan agung, masih suka menjalani beratnya laku sambil menyelami makna-makna kehidupan yang justru mudah beliau peroleh mutiaranya manakala menjadi penjaga warung kopi di dekat padepokan PSCP pusat.
   Sesampainya di warung, ia menambatkan kudanya di patok kayu yang dipalang sedemikian rupa, patok dan palang kayu khusus untuk menambatan kuda-kuda para pendekar gunung Lawu yang baru menyelesaikan latihan di padepokan PSCP pusat.
   “assalamualaikum, sugeng ndalu pakdhe, kopi jaenipun setunggal njih, kok sepi pakdhe, biasanya jam segini masih ada yang nongkrong-nongkrong”
    “Walaikumsalam anakmas, sugeng ndalu ugi, barusan mereka bubar, para kisanak kadhang kanca tani yang sedang mengairi sawahnya mampir untuk sekedar minum racikan kopi jahe andalanku, hehehe, mereka tuman rupanya anakmas setelah merasakan sensasi racikan kopi jaheku itu, tunggu sebentar, panjenengan tengga, ini baru saya didihkan airnya”
   Tak lama meracik, Wibowo yang duduk terkantuk-kantuk, indera penciumanya yang tajam mendekteksi wangi harum kopi jahe racikan salah satu gurunya di padepokan PSCP pusat itu, racikan kopi jahe yang masih panas mengepul dalam secangkir kopi dengan lepeknya.
“ini anakmas, kopi jahe spesial, sengaja saya sediakan untuk panjenengan, kopi nongko Ngrayudan yang merah matang di pohon, murni saya goreng di wingko dengan bahan bakar arang batok kelapa agar kekhasan aromanya makin kuat manjing, monggo dipun cobi anakmas, jehe Empritnya saya tanam dengan pupuk khusus, sehingga lebih tajam rasanya dari jahe jenis Gajah anakmas, monggo dipun incipi”
   Pakdhe Wiro memberikan secangkir kopi jahe kepada Wibowo yang sudah lewat tengah malam itu mampir, singgah sebentar melepas penat setelah melalui malam yang melelahkan.
   Malam berat yang ia lalui dengan menempa diri di jalur kanuragan yang keramat, wingit dan gawat keliwat-liwat.
   Anak muda yang sudah dianggap anak sendiri oleh pemilik warung kopi yang sudah sepuh tersebut menerima secangkir kopi itu dengan santun.
   Minuman kopi jahe dalam cangkir tua itu ia terima penuh subasita, keadaban sorang anak muda yang memundi sang gurunadi tinggi-tinggi, bias murni dari jiwa kesatria sejati yang ia tunjukkan kepada sesepuhnya, rasa berbhakti bercampur rasa bahagia.
    Seraut wajah ikhlas dan takzim itu tersenyum tulus kepada pakdhe Wiro, Wibowo yang mampir setelah hampir dini hari  baru menyelesaikan pendadaran di padepokan dengan sikap gupuh menerima cangkir kopi jahe dari tangan sang guru.
   Rasa kantuk mulai bergelayut di pelupuk matanya karena latihan berat sejak matahari terbenam dan selesai hampir jelang dini hari.
   Latihan  berat penuh tempaan-tempaan khusus khas warga Madya karena ia yang terpilih sebagai lulusan terbaik di angkatanya, kini ia baru saja menerima ilmu sinengker yang hanya sosok tertentu yang berhak dan sanggup untuk mempelajarinya, aji Pameling, ilmu keramat yang tak sembarang pendekar kanuragan nusantara mampu menguasainya.
   “sembah nuwun pakdhe, benjang enjing Sodoran dibuka pak bupati di alun-alun Ki Ageng Mageti, minta doa panjenengen semoga mimpang pakdhe, ibunipun genduk sudah siap lahir batin untuk turun laga besok sekaligus mempertahankan gelar prajurit penunggang kuda terbaik monconegari wetan, saya mensuport saja dari pinggir alun-alun sambil momong si genduk”
   “tentu anakmas, semoga anakmas Ayu Rengganis akan diberi jalan serta semua serba diberikan kemudahan buat pasukan PSCP umumnya dan ibunipun Genduk yang turun laga di ajang tahunan ketangkasan menunggang kuda, lomba Sodoran yang tahun ini di adakan di alun-alaun Ki Ageng Mageti, dimana penjenenganipun Bapak Bupati sendiri yang kerso untuk membuka acara tersebut, semoga pendekar gunung Lawu tetap juara dan anakmas ayu Rengganis bisa sukses berjaya seperti tahun lalu”
  “injih, sembah nuwun pakdhe, sekalian saya segera pamit untuk persiapan, karena tinggal sehari lagi, saya akan cek semua perlengkapan dan taktik apa saja yang hendak di pakai besok di alun-alun Ki Ageng Mageti, agar gelar juara umum tahun lalu masih di pegang segenap kisanak kadhang pendekar wukir Mahendra, karena skuad pasukan pendekar terbaik dari lembah gunung Wilis bumi Madiun sampun segelar sepapan buat maju di palagan ketangkasan besok itu pakdhe, mereka kini yang menjadi ancaman paling nyata bagi pasukan kami di kavaleri Turangga Jurit PSCP pusat”
   Wibowo menyeruput kopi jahenya, sensasi racikan kopi jahe yang sangat unik , rasa unik yang sangat khas warung kopi ndeso itu segera menjalar di tenggoraan sampai lambung dan menyebar ke seluruh jasad wadagnya.
   Sensasi unik khas warung kopi ndeso, yang bahkan tak bisa digantikan kafe-kafe modern yang menawarkan pelayanan internet gratis, internet yang membuat pengunjung makin oon dan menjadi pemuja dunia yang egosentris, egois.
   Kaum egosentor yang tak pernah puas mengejar ajang paling viral dan pemburu jempol keatas yang 24 jam terus-terusan di burunya dengan kegilaan khas generasi jaman now yang sangat milenial banget, generasi yang kehilangan subasita keadaban adiluhung budaya leluhurnya yang njawani.
   Mereka yang duduk di kafe namun perhatian dan fokusnya melanglang buana di dunia maya, sahabat dan teman yang duduk di sisinya juga sama, raga berdekatan namun rasa tak bisa di silaturahmikan dalam dialog yang hangat khas warug kopi ndeso.
   Generasi Milenial yang 24 jam asyik mengetik dan ngulik-ulik layar androidya, bahkan di kafepun masih sama kelakuanya, kepala menunduk, senyum-senyum sendiri, misuh-misuh sendiri, tak peduli kehadiran manusia lain di sisinya #kasihanMereka.
   Dan greget warung kopi ndeso itu masih di ambil peranya secara utuh oleh warung kopi pendekar milik pakdhe Wiro di dekat padepoan pencak silat Cempaka Putih pusat.
   Pakdhe Wiro dengan antusias tinggi serta sikap gupuh memberi support dan harapan, semoga pasukan pendekar gunung Lawu bisa meraih kejayaan di medan laga lomba ketangkasan tahunan, lomba Sodoran yang menguji kemampuan prajurit perang kaveleri berkuda jaman kerajaan dan kesultanan di era nusantara lama.
   Hari yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba, alun-alun kota Magetan penuh sesak oleh warga masyarakat, wisatawan, peserta dan panitia yang tumpek blek memenuhi jalanan dan area di sekitar alun-alun Ki Ageng Mageti, alun-alun terbaik di bumi Jawa Timur.
  Tempik sora menggelegar membahana,
 manakala pemimpin pasukan pendekar gunung Lawu memasuki arena perang tanding, kepala pasukan yang dipimpin sepasang pendekar gunung Lawu, yang ujung gagang tombaknya mengibarkan sang panji Getih Getah dan panji-panji Wiro Yudho Wicaksono, disusul barisan kuda pasukan khsusus Turangga Jurit yang kepala pasukannya membawa panji– panji pasukan khsusus Pasmatih yang terkenal dengan panji agungnya, panji Wira Cakti Turangga Yudha.
  Gegap gempita makin menghebat, menggelegar seakan-akan hendak meruntuhkan langit kota Manunggaling Rasa Suka hambangun, saat pasukan juara umum tahun lalu memasuki arena perang tanding dengan membawa pataka Bajra Kencana, simbol pemenang dan keperkasaan kesatria perang yang tangguh tanggon yang menunggangi kuda kevaeri terpilih.
  Itulah pasukan yang menjadi legenda tutur, pasukan khusus Srikandi Cempaka Putih yang dipimpin Roro Rengganis, sang senopati putri pasukan Estri Srikandi Cempaka Putih pusat yang manakala memasuki gelanggang dengan mengibarkan panji-panji Getih Getah yang didampingi panji-panji pasukan Estri Srikandi Cempaka Putih yang bahkan juga tak kalah mahsyur.
   Panji-panji pasukan khusus pasukan estri kaveleri berkuda yang dua kali juara pertama di semua kategori lomba ketangkasan.
   Panji keramat Bhayangkari Estri dengan bendera panjinya berwarna terang cemerlang kuning gading yang berlogo sepasang tombak dan anak panah beruleskan cemeng, sepasang tombak dan anak panah yang saling menyilang mengapit logo kembang kantil yang setengah mekar dengan tulisan jawa palawa, Satya Bhakti Nagari.
  Disusul barisan pasukan pendekar lembah gunung Wilis dari bumi Madiun, yang segelar sepapan menunjukkan panji-panji pasukanya penuh kemegahan yang meluap-luap, pasukan pendekar yang tak bisa di pandang enteng, penantang yang boleh dikatakan kuda hitam di ajang lomba Sodoran tahunan di kota Magetan.
  Kemudian pasukan berkuda pemuda-pemudi dari klub-klub berkuda, pemandu wisata berkuda dan pasukan kehormatan dari datasemen kavaleri berkuda dari Jawa Tengah yang semuanya membawa panji-panji Getih Getah sang merah putih dengan di damping panji-panji kebanggan mereka yang menunjukkan identitas dari mana pasukan mereka berasal.
   Dan spesial khusus pasukan kavaleri berkuda TNI AD tahun ini memang menjadi ajang yang perdana, mereka penasaran dan sangat ingin menjajal ajang ini, ingin mencicipi sensasi medan perang di era beahula, era nusantara purba manakala pasukan perang tangguhnya masih berpedang, berkeris, bertombak dan beranak panah serta jenis-jenis rupa macam senjata khas nusantara yang lainya.
    Setelah ketua panitia, Bambang Wisanggeni, ketua panitia sekaligus kepala dinas pariwisata kabupaten Magetan lomba membuka acara dengan mengorbankan seekor ayam jantan cemani yang di sembelih di tengah alun-alun kota sebagai ritual dimulainya ajang lomba Sodoran.
    Bupati Kabupaten Magetan, jajaran Muspika dan khususnya pak Bambang Wisanggeni, sebagai Kepala Dinas Pariwisata Magetan bersama-sama melepaskan burung-burung lambang perdamaian, Merpati Putih sebagai tanda dibukanya kompetisi resmi ajang ketangkasan berkuda memperebutkan Pataka Bajra Kencana bupati Magetan, Jawa Timur.
   Jawa Timur, bumi wingit Wilwatikta yang sukses menyatukan asia tenggara di bawah kalimat keramat Mitreka Satata Bhinneka Tunggal Ika Tan Han Dharma Mangrwa.
   Serasa pulang ke masa silam, menyaksikan derap langkah sosok-sosok berkuda yang sangat menggetarkan, sosok-sosok penunggang kuda yang trengginas dan cekatan di atas kuda-kuda tungganganya.
   Kuda-kuda kaveleri yang terlatih, kuda perang terbaik yang melesat berlari di lintasan alun-alun kota, berlari cepat bagaikan terbang saking cepatnya melaju saling mengejar satu dengan yang lain, saling mengejar meraih kejayaan dan kebanggaan prajurit perang sejati.
   Dan lomba ketangkasan hari ini adalah lomba memanah dan mengambil sasaran berupa gelang-gelang kecil dari rotan yang diikat di tali-tali gawang yang berjajar di sepanjang lintasan dengan formasi lurus, berkelok standard dan paling sukar dengan jalur yang berkelok tajam memutar.
   Gelang-gelang kecil yang harus diambil dengan ujung tombak sang penunggang kuda, gelang-gelang rotan yang ketinggianya di atur sedemikian rupa sehingga mencerminkan sasaran mematikan dari target tubuh musuh, target lambung, dada dan leher.
   Sedang di kategori memanah, sasaran tertinggi adalah target jantung, disusul leher dan nilai terendah target perut, juga dengan lintasan yang di bagi tingkat kesulitanya, lurus, berkelok standar berkelok tajam memutar.
   Lomba ketangkasan sodoran, sebuah arena menjaring prajurit berkuda terbaik pada sebuah lomba yang di kemas dalam bentuk gladhen perang pasukan turangga jurit di era peradaban nusantara purba.
   Peradaban kemiliteran tradisional yang masih memiliki pasukan perang berkuda yang mahsyur dan menggetarkan dengan kualifikasi dasar para kesatrianya yang mesti mumpuni dan mahir di bidang teknik atau kemampuan memanah dan menombak lawan di titik-titik paling mematikan.
   Dan kini tradisi itu diuri-uri lagi, menjadi paket wisata yang bahkan memaksa turis di Bali untuk berbondong-bondong ke Magetan di hari itu.
   Hotel dan penginapan full bookingan, perajin cinderamata tradisional khas Magetan, perajin seni rupa dan makanan unggulan Magetan laris manis, ekonomi kerakyatan makin menggeliat menebar kemakmuran.
  Dan sontak menjadi trending topik dunia karena begitu adegan video dan gambar bergerak maupun gambar diam foto-foto lomba ketangkasan Sodoran itu di unggah, lansgung memaksa para pengguan medsos dunia tertarik dan penasaran tingkat dewa.
   Ketertarikan yang ngedab-edabi, keadaan atau hal yang memaksa perhatian wisata sejarah peradaban manusia yang sampai hari ini fokus di eropa teralihkan dengan sontak dan kontak seketika.
    Umumnya mata dunia terpikat akan kegagahan dan keperkasaan pasukan Kaveleri berkuda Kerajaan Inggrir Raya saat pergantian tugas jaga di istana ratu Elizabeth yang sudah mendunia menarik perhatian para wisatawan seluruh penjuru bumi.
   Kini wahyu keprabon itu pindah dari jantung Eropa ke sebuah kota kecil di kaki gunung Lawu.
   Sebuah perhatian dunia akan wisata sejarah yang kini menoleh ke Magetan Jawa Timur, kota kecil di bumi tapal batas dua propinsi Jawadwipa, tengah dan wetan, yang kini kemahsyuran kekuatan kesatria Turangga Juritnya telah bangun dari tidur lelapnya selama berabad-abad mampu mencengangkan dunia.
   Kedigdayaan dan ketangkasan yang bahkan lebih membuat melongo dan menganga mata dunia, sebuah daya maha sakti dan ketrampilan maha tinggi yang di kemas dalam kemampuan dasar kesatria berkuda, para kesatria pendekar turangga jurit era milenial.
   Daya sakti tuah keramat peradaban budaya militer purba nusantara yang bikin kaget mata dunia yang selama ini hanya memandang suku Jawa adalah suku bangsa kacung yang TKI dan TKW nya menjadi jongos hina di Asia dan Eropa.
   Etnis Jawa yang mahsyur menjadi kuli dan kacung yang disiksa, diperkosa, disetrika, disetrum, disiram air mendidih, disayat silet dan pisau khusus yang tajam, digantung hidup-hidup, dipenggal dan dibunuh semena-mena manakala dianggap melanggar bhaktinya pada sang taun majiakan, ndoro-ndoro kaya di Eropa dan Asia.
    Akibat dari kegiatan sodoran panahan turangga jurit ini ternyata akan membuat sebuah hal tak terduga, suatu hal yang membuat destinasi wisata Indonesia berpindah mata dan perhatianya.
   Pulau Dewata Bali sebagai tujuan utama wisata di nusanatara hari itu di tinggalkan turis-turisnya, hingga pulau para dewa-dewa itu kosong melompong bak pulau hantu yang tanpa penghuni lagi, karena turisnya penasaran ingin melihat kemampuan para pendekar muda era milenial menunjukkan ketangkasanya di atas kuda perang terbaik, sebuah kemampuan khas turangga jurit peradaban masa lalu nusantara saat masih berbentuk kerajaan dan kesultanan.
   Babak pertama di awali dengan pacuan pembuka sekaligus pemanasan, hampir berbarengan semua kuda dan penungangnya memasuki garis akhir, belum ada penilaian, hanya pengenalan jalur pacu laga ketangkasan bagi sang kuda dan sang penunggangnya.
   Karena perlombaan ketangkasan hari ini bukan menilai daya tahan dan kecepatan berlari kuda dan ketrampilan penunggangnya mengendalikan sang tunggangan, namun lebih menekankan nilai dari tercapainya target sasaran di titik yang paling mematikan yang di taruh di target-target sodoran yang di buat sedemikian rupa, target perut/lambung, target jantung/dada dan target sasaran leher/kepala.
   Gegap gempita dan sorak sorai membahana di alun-alun kota manunggaling rasa suka hambangun, ribuan penonton memberikan aplaus yang panjang dan meriah sebagai apresiasi terhadap kemenangan para penunggang kuda terbaik yang datang dari berbagai kalangan pendekar dunia persilatan kawasan monconagari, yang terbentang luas dari lembah gunung Wilis sampai lembah gunung Lawu.
   Dan seperti tahun lalu, pasukan khusus kavaleri berkuda Turangga Jurit dari perguruan Pencak Silat Cempaka Putih membawa pulang juara umum untuk semua kategori mereka sapu bersih.
    Dan untuk penunggang kuda terbaik masih di raih oleh sosok yang sama, sosok srikandi Cempaka Putih yang mempertahankan gelarnya sebagai pemanah dan penombak terbaik dan di kelas sodoran ia mengungguli nilai semua lawan-lawanya di kelas umum, sehingga menyatukan dua gelar sekaligus, kelas memanah dan kelas menombak.
   Supporter srikandi Cempaka Putih gegap gempita, ribuan yang hadir dari Jawa dan Sumatra serta perwakilan Kalimantan.
   Dengan menggunaka busur khusus warisan korps berkuda pasukan estri Mangkunaegarn, sang srikandi Cempaka Putih begitu tangguh untuk di lawan jajaran para pendeker penunggang kuda yang masih muda didikan budaya Milenial yang bahkan menggunakan teknologi busur modern dan kalah telak melawan busur era lampau, busur pasukan khusus pura Mangkunegaran.
  Sang Roro Rengganis, legenda hidup srikandi Cempaka Putih pusat yang bahkan masih berusia muda namun sudah meraih gelar pemanah terbaik, sampi tahun kedua mempertahankkan gelar itu, dan tahun ini, ia pertahankan gelar itu untuk yang ketiga kalinya.
   Dan sang suami lebih memilih momong sang buah hati yang asyik tertidur pulas di gendongan sang ayahanda, sang ayah yang sangat mahsyur menjadi legenda pendekar Madya terbaik di angkatan kelulusanya saat masih berjibaku di kerasnya pendidikan kawah candradimuka, manakala masih di tempa kanuragan dan olah jiwa kebatinan tingkat tinggi oleh sang Dwija Wasana dan segenap jajaran para guru besar pencak silat Cempaka Putih di padepokan Wiro Yudho Wicasksono.
   Hampir semua target dan sasaran yang berjajar di papan-papan bertanda obyek tembak itu di habisi sang Srikandi Cempaka Putih dengan tuntas, kontan tanpa ampun.
   Dan hampir semuanya ia kenai tepat di inti jantung dan sebagian leher, hanya beberapa bidikan saja yang terkena lambung perut, yang nihil tak kena sasaran tidak ada sama sekali.
   Dan lomba ketangkasan sodoran ini dengan nilai terbesar adalah target yang tepat mengenai pusat jantung.
   Semua itu harus ditebus dengan latihan yang panjang dan berat, sebuah gemblengan yang harus mampu melatih ketrampilan menunggang kuda perang sambil melepaskan senjata panah dan tombak ke jasad musuh sebagi target utamanya.
   Bukan melulu adu kecepatan lari sang kuda perang sejak start sampai finish, namun  lebih dititik beratkan pada kemampuan sang penunggang kuda melepaskan panah dan tombak untuk mengenai sasaran.
   Sambil memacu kudanya secepat kilat, sang penunggang kuda harus lihai dan terampil  sesekali memanah atau menombak gelang-gelang rotan berbentuk lingkaran kecil yang digantung di sepanjang jalur sejak start sampai finish.
   Gelang-gelang rotan itulah yang harus di dapatkan oleh sang penunggang kuda.
   Mereka mesti mampu mendapatkanya dengan sapuan ujung tombak yang disodor-sodorkan sambil melaju kencang di atas punggung kuda tungganganya, sehingga gerak laku menyodor-nyodorkan ujung tombak itu di sebut Sodoran.
   Gerak laku prajurit berkuda yang sesungguhnya sedang berlatih melubangi jasad wadag musuh-musuhnya di garis depan palagan medan tempur, melubangi tubuh lawan di titik-titik mematikan, jantung, leher dan lambung.
  Keahlian yang ngedab-edabi manakala sang penunggang kuda mengendalikan laju kencang tungganganya itu sambil menombak gelang-gelang itu satu demi satu dengan ujung tombak di tanganya yang satu, tangan yang lain sibuk mengendalikan laju sang kuda pada tali kekangnya, satu gelang rotan nilainya sama dengan merobohkan satu patung jerami ketan hitam, nilai tinggi yang sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh seluruh peserta.
    Untuk pemanah berkuda, tantanganya tak kalah berat, karena di tuntut adanya sebuah kemampaun mengendalikan kuda tingkat dewa, memacu kencang lari kuda sambil melepaskan anak-anak panah ke bidang target dan sasaran.
   Dan babak final kedua kemampuan itu dicampur, memanah dan menombak target yang tak bisa dibilang mudah serta ringan, butuh latihan yang prosesnya panjang bahkan berliku-liku serta sangatlah berat untuk sampai di tataran mapan serta mahir.
  Sebuah kemampuan mengambil anak panah, memasangnya di tali busur, menariknya dengan satu tarikan nafas dan sambil menggebrak lari sang kuda, lesatan anak-anak panah itu harus sempurna jika ingin menjadi jawara.
   Sang legenda, srikandi Cempaka Putih mempertontonkan sebuah kelihaian yang sudah mapan dan mahir, anak-anak panahnya berkesiung, berdesing-desing dan melesat sekedipan mata lalu menancap kuat di papan-papan taget dan patung-patung manusia dari jerami padi ketan hitam yang berjajar di sepanjang jalur alun-alun Ki Ageng Mageti.
   Alun-alun kota kebanggaan warga kabupaten Magetan Jawa Timur yang di rintis Ki Ageng Mageti di masa-masa mataram terlibat perang brubuh dengan Aliansi Dagang Terkaya di Dunia, VOC dengan tentara bayaran yang terkuat di bumi dengan bedil dan meriam yang menggetarkan medan laga di garis depan.
   Begitu sang srikandi lepas dari garis start, ia langsung menggebrak dengan kekuatan maksimal, kedua tumit kakinya ia sentak-sentakkan di sisi tubuh sang kuda Sembrani kesayanganya, sang kuda perang melesat menggila menyusuri dataran berumput tebal hijau, rumput alun-alun terbaik di Jawa Timur dengan rumputnya yang sehat subur dan terawat.
  Sambil menggebrak, ia gigit kekang kudanya,  tangan kiri memegang busur, tangan kanan cepat mengambil anak panah di pinggang kirinya.
    Endong yang sarat anak-anak panah itu ia ikat sedemikian rupa sehingga memudahkannya mengambil anak panah jika di bandingkan jika endong itu ia taruh di punggung.
   Sambil memanah, manakala di depan nampak boneka patung manusia dari jerami ketan hitam, tangan kanannya terampil mengambil tombak, busur ia simpan dengan kaitan khusus di sisi sebelah kiri kudanya.
   Dengan masih melesat memacu kuda, tombak ia hentakkan ke dada patung jerami ketan hitam itu, satu sentakan kuat sehingga tembus dan roboh tanpa ampun.
  Kemudia ia simpan lagi sang tombak, ia kaitkan sang tombak di sisi kiri lambung Sembrani kuda kebanggaanya itu, kemudia sambil ia ambil lagi busurnya sang kuda masih digebrak-gebrak agar terus melesat.
    Rengganis menggebrak lari kudanya bagai kesetanan, darah srikandi perang di medan laga, dan sang Sembrani yang laksana terbang berlari cepat makin kilat melintasi jalur medan laga ketangkasan memanah dan menombak.
  Makin lama makin panas, Rengganis makin menggila menggebark laju lari kudanya sambil melontarkan mata anak-anak panahnya di seling sesekali menombak target patung boneka manusia tepat di jantungnya.
   Dada patung yang hancur berantakan di tembus tajamnya mata ujung tombak sang srikandi Cempaka Putih, boneka patung jerami sebagai simbol lawan di medan laga, ujung tajam mata tombak Rengganis sudah memakan puluhan bahkan ratusan boneka patung dari jerami ketan hitam, rubuh berantakan, lepas ikatan-ikatanaya di hajar tajam mata tombak senopati putri turangga jurit.
   Dihajar tuntas oleh sang penunggang kuda perang terbaik tempaan padepokan PSCP pusat yang begitu titis, tatag dan tagguh melesat di atas punggung kuda perangnya, si Sembrani.
  Jalur lurus mudah ia  taklukkan, jalur berkelok masih bisa ia tundukkan dan jalur melingkar berbelok tajam dengan beberapa papan rintang bahkan ia sanggup memaksa sang Sembrani melompatinya, sesaat terbang melompat tinggi dan begitu menapak bumi terus berlari mengejar target-terget mematikan bernilai tertinggi, menghunjamkan ujung tombak dan mata panahnya di jantung sang target.
   Gelang-gelang rotan banyak yang ia koleksi nilai tingginya, sebuah nilai yang digabungkan dengan nilai mengenai target memanah dan menombak patung jerami ketan hiatm membawanya menjadi juara untuk ketiga kalinya, nilai yang sangat-sangat telak yang membuatnya membawa pulang pataka kebanggaan prajurit perang berkuda, pataka Bajra Kencana,.
   Pataka terbuat dari kayu jati yang dibentuk menjadi sebuah tongkat sepanjang lima meter yang ujungnya berhiaskan seekor kuda dari emas dengan penunggangnya yang memegang tombak dan punggungnya bergelayut endong penuh anak panah.
   Saat panitia membaca pengumuman nilai tertinggi, sang bayi buah hati yang lelap di gendongan sang ayah bangun, merengek manja minta ASI sang bunda yang masih berjuang di medan laga.
   Dan dengan kemampuan aji Pameling, Wibowo memejamkan mata, mengetuk dimensi kesadaran indera perasa dan pendengaran sang isteri tercinta yang masih di medan perang alun-alun Ki Ageng Mageti.
   “dinda, genduk minta nenen, baru bangum mendengar riuh rendah sorak sorai penonton dan kerasnya panitia mengumumkan nilai-nilai lewat pengeras suara, tolong cepat merapat, kamu sudah menang mutlak, minta ijinlah pada pak Bambang Wisanggeni sebagai ketua panitia, beliau pasti memberi ijin”
  Di tempat lain, Rengganis seperti mendengar suara sang suami yang kuat menggema di dekat gendang telinganya,  hmmm, apakah ini ilmu paling rahasia itu, mengirim pesan lewat telepati.
   Bahkan saat suasana begitu hingar-bingar oleh tempik sorak manusia yang ribuan jumlahnya di alun-alun, suara suamiku masih bisa menembus dimensi yang mustahil, dimensi telepati, yang tak memerlukan gadged dan pulsa, langsung on dan suara sang suami tercinta bergema kuat di gendang telinganya, sebuah ilmu yang menggetarkan, batin Renganis sambil memacu kudanya mendekati panitia, meminta ijin, genduknya nangis minta ASI karena baru bangun tidur.
   Dengan cekatan setelah mendapat ijin, Rengganis memacu kudanya keluar dari gelanggang, menuju suaminya yang setia menggendong si Genduk, anak buah cinta kasih mereka.
   Rengganis menemui kedua sosok yang sangat ia cintai itu, cekatan ia turun dari punggung Sembrani.
  Bertiga mereka mlipir-mlipir dari depan masjid Agug yang penuh sesak oleh lautan manusia, mlipir-mlipir menuju sebelah kanan Pendopo Surya Graha.
  Rengganis masih mencerna kedigdayaan aji Pemeling yang baru saja di unggah sang suami, ilmu sinengker yang terlarang, karena jika diberikan kepada semua warga PSCP dan pendekar IPSI, Telkomsel, Indosat dan para penjual pulsa serta gadged seperti Samsung, Iphone dan produk-produk lainya banyak yang tak laku, karena manusia sudah menjelajahi dimensi keramat telepati yang sangat wingit.
   Kini sang suami sudah menunjukkan kekuatan ilmu aji Pameling itu, sang suami yang telah memberikan petunjuk lewat aji itu di mana ia dan Genduk berada, sehingga sang isteri tercintanya segera menemukan posisinya, teknologi purba yang lebih efesien daripada sinyal hape yang kadang lemot seharian di pedalaman.
  “sebentar nduk, ibu mendinginkan darah sebentar saja, jangan nangis ya, nanti pak bupati marah lho ada bayi secantik kamu menjerit-jerit dekat pendopo agung”
    Rengganis segera duduk bersila, debar jantung dan aliran darahnya masih tak beraturan, darahnya masih mengalir cepat dan panas.
   Sangat tak pantas ia memberi ASI yang masih dalam pengaruh aura medan perang, biar  ia dinginkan sejenak dengan sebuah patrap, agar selamat sang anak kelak, jika ia paksa memberi ASI sekarang, akan berakibat sang anak kelak menjadi getapan, candala dan mudah marah jika dewasa nantinya.
    Dengan cepat, ia meditasi, memanjatkan doa dan fokus pada nafasnya, tak lama semua sudah berhasil ia kendalikan, kini ia bukan lagi senopati putri dari pasukan khsusus kaveleri berkuda Srikadi Cempaka Putih yang mahsyur itu, ia hanyalah seorang ibu muda yang sangat penuh belas kasih terhadap si buah hati yang kini nampak sangat kehausan.
   Wibowo memberikan si Genduk yang merajuk nangis mintak nenen, Rengganis menerima balita lucu dan montok itu dengan senyum manis, balita yang tangisanya kekejer tanda ia sudah kehausan, menangis marajuk mencari sang ibunda yang sesaat tadi masih berjibaku mengadu ketangkasan di madan laga Sodoran di alun-alun kota Manunggaling Rasa Suka Hambangun.
    Di susuinya sang buah hati di bawah rindangnya pohon mangga Santok di samping Surya Graha, di tutupnya separuh dadanya yang setengah terbuka dengan ikat kepala gadung melati yang tadi ia pakai sebagai panutup separuh mukanya, cadar wajah yang sengaja ia kenakan agar ia lebih fokus pada target.
   Sesaat kemudian, si Genduk bagai anak singa yang kehausan, dengan semangat menyusui pada sang ibunda, air susu prajurit putri yang kelak akan menurunkan generasi terhebat di nusantara, generasi yang akan membawa nusantara ke era kejayaan barunya, era Kancana Rumi, menjadi mercusuar peradaban dan perdamaian dunia.

WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI.


#ajiPameling
#TuranggaJurit
#SatyaBhaktiNegari
#BambangWisanggeni
#RoroRengganis
#PatakaBajraKencana
#WiraCaktiTuranggaYudha
#BhayangkariEstri
#KudaSembrani
#SrikandiCempakaPutih
#Pasmatih
#PasukanLembahGunungWilis
#PendekarGunungLawu
#PrajuritMonconegariWetan
#LeherJantungLambung
#GelangRotan
#PatungBonekaKetanHitam
#KiAgengMageti
#ManunggalingRasaSukaHambangun
#PendopoAgungSuryaGraha
#AlunAlunMagetan
#MasjidAgungMagetan
#BusurEndongMataPanahBedor
#TombakMataTombakLandeyan

1 komentar:

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia