Minggu, 24 November 2019

OWKP


PENDEKAR PUJANGGA
SYAIR BERDARAH
Obrolan Warung Kopi Pendekar
OWKP




   Hari lewat tengah malam ketika sosok sepuh yang masih bregas itu membuka warung kopinya didekat gedung CP,  sangat lambat buka, kalau saja adonan gorengan belum ia siapkan, malam ini ia memilih menutup warungnya, karena pakdhe Wiro baru pulang kondangan, ada familinya yang punya hajatan khitanan, keponakannya yang baru SD kelas 1 itu sudah merengek-rengek minta di sunat.
   Masalahnya sepele, karena sering di buly teman sepermainan saat pipis bersama di bawah pohon burungnya belum diubah bentuk, dan teman-temannya semua sudah berubah bentuknya.
   Dan sang keponakan tadi sudah tersenyum senang, karena burungnya sudah berubah, dan ia tidak akan di buly teman-temanya saat pipis di bawah pohon selepas mainan bersama sepulang sekolah.
   Karena bentuk burung mereka sudah di ubah oleh pak mantri sedemikian rupa, sehingga nampaknya mereka akan kompak bermain tak saling ejek saat pipis di semak-semak atau di bawah pohon, bentuk burung yang kelak akan menjadi ikon kewibawaan pria dewasa di saat sudah menjadi imam di sebuah keluarga.
    Tak lama, Wibowo dan genknya masuk, memesan kopi cilik sambil tangan mereka terampil meraih ubi yang masih panas sehabis di goreng, ubi manis yang murah meriah khas makanan desa.
   Genk anak muda yang baru keluar dari gedung CP, anak muda pendekar milenial menyebut bangunan itu Padepokan Pencak Silat Cempaka Putih, dan nampaknya mereka baru selesai latihan tak sampai jelang dini hari, malam ini kelar cepat karena materi pra Madya sudah di sampaikan semua, tinggal tes ujian saja di malam sebelum pelantikan.
   Gedung CP itu adalah bangunan yang berdiri di era orde baru sampai era reformasi kini masih kokoh berdiri, bangunan yang sudah melantik ribuan bahkan jutaan pendekar yang kini menjadi bagian dari keluarga besar pencak silat Cempaka Putih.
   Wibowo mengeluarkan gadgednya, sambil nyemil ubi goreng dan sesekali nyeruput kopi cangkirnya, ia asyik membalas WA teman-temannya yang baru saja menyelesaikan latihan calon Warga Madya.
   “mas Bowo tadi ketemu mbah Man ya, bagaimana kondisi beliau apakah masih sehat mas”
   Pakdhe Wiro membuka percakapan, setelah selesai menumpahkan lagi gorengan yang baru ia masak pada sebuah piring besar, yang langsung di serbu rombongan pendekar muda PSCP yang kelaparan itu.
   “injih pakdhe, mbah Man Alhamdulillah masih bregas, walau dibantu tongkat kalau tindakan, beliau mengawasi kami latihan langsung, karena Desember ini kami akan disahkan naik ke tingkat Madya pakdhe, doakan kami semua bisa lulus pakdhe”
“tentu aku doakan mas-masnya, penting sehabis latiahan rajin ke warung kopi saya ini, hehehe, recehan uang terkecil pun dari anakmas semua bisa berguna, buat paginya nyangoni putu yang berangkat sekolah anakmas heheheee”.
   Sampai jelang subuh, mereka tetap asyik ngobrol, obrolan beda generasi, generasi perjuangan revolusi fisik merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda dengan kaum milenial muda yang tak mengalami kontak fisik bersenjata.
   Karena saat mereka lahir, semua serba instan, cepat dan mudah, era kemerdekaan yang melahirkan kaum milenial yang banyak tak tahu 36 butir-butir Pancasila, lha yang lima sila saja banyak yang tidak hafal maknanya, jangankan maknanya, hafal kalimat lima sila Pancasila saja sudah banyak yang tidah tahu, #sedih.
   Tak sengaja Wibowo memutar sebuah chanel di youtube, chanel sandiwara radio klasik dimana dulu pakdhe Wiro adalah salah satu fans sejatinya, sandiwara radio tutur tinular.
   “wah, bagus anakamas, coba kerasin sedikit lagi, biar telingaku yang sudah uzur ini bisa mengenang kembali masa lalu, masa saya dulu kecanduan sandiwara radio ini”
    Wibowo kemudian memenuhi permintaan lelaki sepuh yang masih bergas itu, lelaki sepuh yang dikenalnya sebagai penjual gorengan ldan minuman kopi kesukaannya bersama teman-temannya setiap pulang latihan dari gedung CP.
   Wibowo heran, saat pakdhe Wiro menirukan kalimat syair cinta seorang pemuda dari desa Kurawan wilayah kerajaan Singhasari di dekat gunung Anjasmara, pemuda melankolis yang melantunkan bait-bait syair indah dunia asmaraloka.
   Menirukan sama persis seperti dubing, tekanan kata dan tata kalimat yang nyaris sama persis.
  “heheheee…pendekar syair berdarah, pendekar golongan hitam yang saya heran kok saya suka, padahal dia itu jahat, suka membunuh suami perempuan yang ia taksir, meniduri istri orang, menghamili anak gadis kembang desa yang ia pikat dengan ilmu pengasihan, pokoknya ia itu ibarat pemetik kembang yang rupawan, gagah dan sakti dan tak kalah dahsyat ia itu pandai menyusun syair indah yang membuat perempuan jatuh hati dan suka rela menyerahkan keperawanannya bahkan sampai hamil, bahkan mantram sakti ilmu pedang sabit kembarnya ia unggah lewat alunan kidung keramat, kidung pamungkas pendekar syair berdarah sehingga ia dijuluki pendekar syair berdarah yang hanya kalah telak melawan adik kandungnya Arya Kamandanu didikan Mpu Ranubaya, pewaris aji Sepi Angin yang mampu bergerak bahkan tak kasat mata, adik kandung yang marah hebat saat pacarnya si Nariratih di hamili si Arya Dwipangga, sang kakak kandung yang mata keranjangnya tingkat dewa 20, yang kerjaanya keluyuran masuk kampung keluar kampung ngadu ayam jago sambil mencari mangsa gadis-gadis cantik kembang desa”.
   Wibowo yang sedang gentur menjalani laku sebagai bagian dari pendadaran calon warga Madya itu kagum dan terheran-heran.
   Bagiamana bisa sandiwara radio yang ia sukai setelah  baru beberapa hari ini saja ia rajin ikuti kisahnya, setelah tak sengaja tersesat masuk chanel youtube sandiwara radio klasik, dan kisah yang bahkan baru ia mulai ia ikuti itu begitu runtut dan out the box dikisahkan sang penjual kopi dan gorengan yang sosoknya sangat bersahaja itu.
   “Tapi pakdhe, saya baru serial awal, Arya Dwipangga itu membantu Arya Kamandanu dan takut mengutarakan cinta pada Nari Ratih, sehingga diam-diam membantu adik kesayanganya itu agar jadian dengan pujaan hatinya dengan cara mengirimkan lontar berisikan syair-syair indah penuh madu manis legitnya dunia asmaradahana, sehingga Nari Ratih sangat menyukainya dan membalasnya ngajak ketemuan, bagi anak sekarang mungkin setelah chatingan dan inbukan ngajak ngopi darat, hehehee”
  “wah, masih jauh anakmas, itu baru mukadimah, nanti Arya Dwipangga tidak bisa menahan diri setelah tahu kalau gadis yang ditaksir adiknya itu sangat cantik semlohai, sehingga ia nekad merayunya bahkan sampai ia perawani dan sukses ia hamili, yang membuat Arya Kamandanu ngamuk hebat dan menghajar kakaknya itu sampai bonyok-bonyok”
   Pakdhe Wiro tersenyum geli, kemudian menyelesaikan kalimatnya itu.
 “Dan saat di jadikan samsak hidup, hilanglah masuk sumur tua sang kakak bejad moral itu di hajar sang Adik yang seorang pendekar mumpuni, dan di dalam sumur misterius itu sang kakak bertemu seorang petapa sakti yang mengajarinya kanuragan hebat, sehingga ia berubah dari pemuda perayu wanita menjadi sosok mengerikan yang suka membunuh pendekar yang ia temui sebagai ajang melatih ilmunya, sehingga ia makin memiliki kemampuan olah kanuragan yang sampai di tataran pendekar yang pilih tanding”
   “lho, kalau jahat kenapa malah pakdhe mengidolakan dia”
“hehehee, karena Arya Dwipangga itu sanepan dari ketidakberdayaan seorang pendekar , kelemahan seorang laki-laki yang bahkan pendekar sakti sekalipun di hadapan pesona perempuan cantik yang montok semlohai, ia tak berdaya, ia menjadi cemen, menjadi letoi lemah tak berdaya hilang kekuatanya, sama seperti kelemahan kita semua di hadapan pesona biduanita koplo kesayanagn anak-anak muda republik Indonesia, Nela Kharisma dengan Aji Semar Mesemnya WuaahuahaahaahAAAAA…”
  Pakdhe Wiro sampai tergelak-gelak tawanya, sehingga beberapa kali ia terbatuk-batuk, Wibowo hanya nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang gatal karena barusan latihan berat di Gedung CP, latihan berat khas calon-calon pendekar Madya Perguruan Pencak Silat Cempaka Putih.
  Mereka masih asyik ngobrol, sampai datang pembeli yang lain, para petani di sekitar Panekan yang sedang bersiap mengolah lahan, bersiap untuk menanam padi di tanah sawah mereka, bersiap karena musim hujan sudah tiba.
   Mongso labuhan, musim kesibukan di sawah dan kebun, bersiap bahkan sebelum gema adzan subuh mengumandangkan kalimat seruan untuk sejenak berbhakti kepada Sang Pemberi Hidup, sehingga pakdhe Wiro terpaksa menghentikan obrolan mereka tentang pendekar syair berdarah yang fenomenal.
   Lelaki sepuh itu kini sibuk membuatkan kopi pelangganya itu, bapak-bapak petani yang wajahnya sudah tak lagi muda, kulit yang keriput dan nampak nerimo ing pandum, wajah yang semeleh dan sumarah, bahagia di tengah keterbatasan dan kemiskinan duniawi, namun sangat kaya akan khasanah batiniah tingkat makrifatullah.
   Wibowo pun mengakui, walau teknik dasar kanuragan PSCP ia sudah matangkan semua sehingga Mbah Man sudah merestuinya naik ke Madya, namun saat bertemu Hesti adik kelasnya dulu, ia masih tak berani mengutarakan cintanya, paling banter ngucapin HBD di akun efbinya saja.
    Ah, benar kata pakdhe Wiro, calon Pendekar Madya-pun akan kehilanagn nyali di hadapan cewek yang ia cintai, huft…ia mengusap wajah, hatinya galau tingkat Dewa 20, karena mendengar kabar bulan Januari yang akan datang, Hesti akan melangsungkan pernikahan, menerima lamaran teman sekerjaanya di dealer motor Yamaha Magetan.
 “hmm…apakah aku hajar saja cowok itu, aku sudah tahu kartunya, calon si yayangku itu tukang mabuk dan main perempuan, sama persis seperti kelakuan Arya Dwipangga yang suka memecah perawan dan ngehamili anak gadis dan istri orang, hmmm, tapi pasti mbah Man tidak merestui saya jika saya minta ijin menghajar cowok itu, aduh, andaikan saya punya keberanian nembak dan ngelamar Hesti duluan, mungkin saya yang saat ini fix jadi calon suaminya, aduuhhhhh!”
  Wibowo memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, sehingga ruang paru-parunya penuh, ia menahan galau sambil meremas-remaskan kedua tapak tanganya, sehinggu buku-buku ruas-ruas jarinya bergemletuk karena efek kuatnya remasan-remasan itu.
  Iseng ia ketik di google, syair cinta Arya Dwipangga kepada Nari Ratih kekasih Arya Kamandanu, dia klik dan muncul banyak pilihan, ia klik salah satu pilihan konten di blog yang ada foto gadis cantiknya.
   Muncul teks sajak syair sang pujangga cinta, Arya Dwipangga kepada Nari Ratih.
   Hemm, ada kata-kata si pujangga mata keranjang ini menyebutkan bunga cempaka beberapa kali untuk menaklukkan kekasih sang adik, Wibowo jengah, namun matanya runtut menyusuri kalimat-kalimatnya, kata demi kata.

SYAIR CINTA ARYA DWIPANGGA

Pelangi muncul di atas kurawan
Warnanya indah bukan buatan
Seorang gadis ternganga keheranan
Rambutnya tergerai jatuh ke pangkuan

Sekuntum cempaka sedang mekar ditaman sari desa Manguntur
Kelopaknya indah tersenyum segar
Kan kupetik cempaka itu untuk kubawa tidur malam nanti

Ku buka daun jendela dan terbayang malam yang indah di hiasi chandra kartika
Di bulan Waisya ini
Sepuluh kali aku melewati pintu rumahmu yang masih rapat terkancing dari dalam
Kapan kubuka
Wahai sang dewi puspa

Pelangi itu muncul lagi
Membuat garis melengkung ke langit tinggi
Daun ilalang diterpa angin gemerisik membangunkan tidurku dari mimpi buruk
Di batas tugu yang indah ini ku pahat dengan bermandikan keringat kasih
Kalau kau tatap mega yang berbunga-bunga
Di sanalah aku duduk menunggu pintu maafmu terbuka

Pelangi senja mengantarkan burung-burung pulang ke sarangnya
Domba-domba pulang ke kandangnya
Tapi aku hendak ke mana
Apa yang kulakukan menjadi tak berharga 
Selama senyummu masih kau sembunyikan di balik keangkuhan hatimu

Nari Ratih...
Kau adalah sebongkah batu karang
Tapi aku adalah angin yang sabar setia
Sampai langit di atas terbelah dua
Aku akan membelai namamu bagaikan bunga

Jika hari telah tidur di pangkuan malam
Kukirim bisikan hatiku ini bersama angin
Biarpun malam pucat kedinginan
Biarpun bintang merintih di langit yang jauh
Aku akan tidur dengan tenang
Sambil memeluk senyummu dalam kehangatan mimpiku

Aku berkelana mencari cinta ke desa-desa yang jauh
Akhirnya di candi walandit kupuaskan dahagaku

   Hmm, Wibowo tersenyum kecut, brengsek juga Arya Dwipangga, namun cewek mana yang tidak leleh kena syair ciamik bermantra pengasihan tingkat master ini, penjahat kelamin yang berbahaya, dalam hati Wibowo misuh-misuh.
  Dan Wibowo tersenyum lebih kecut lagi, ada juga di konten blog yang ia pelototi, teks surat Nari Ratih kepada Arya Kamandanu, surat penyesalan sudah menghianati cinta sang pendekar yang menjadi cinta pertamanya, dan saat diketahui hamil, ia harus rela dinikahkan dengan penyair mata keranjang ayah jabang bayi yang ia kandung akibat hubungan gelap, si pemetik kembang, Arya Dwipangga, kakak kandung Arya Kamandanu, kekasih hatinya yang dulu menyelamatkan dia saat akan diperkosa orang jahat dengan kanuragan pencak silat.

Surat Nari Ratih Kepada Arya Kamandanu

   Malam ini, sebelum masuk kamar, aku sempat mendengar berita dari seseorang yang menemui ayahmu bahwa engkau sedang giat berlatih olah kanuragan pada Mpu Ranubaya di Hutan Kurawan. Kau masih saja setia pada ilmu silat, Kakang. Malah kudengar kini kau sedang memperkuat tenaga dalam dan memperdalam ilmu meringankan tubuh. 
   Sebenarnya apa yang sedang kau cari dengan ilmu-ilmu ketangkasan itu? Apakah benar kata orang bahwa dengan ilmu silat itu kau akan memberontak pada Kertanegara, Raja Singosari yang kudengar sebagai pemabuk dan pecandu wanita itu?
  Kakang, aku ingat, sekian kali bersama menghabiskan waktu bersamamu, aku tak kunjung menemukan kelebihanmu selain bertarung.
   Kebersamaan kita lebih banyak kau habiskan untuk melatih otot-otot tubuh dan ketangkasanmu berkelahi. Berkelahi, Kakang, apa yang bisa diperbuat ilmu silat dalam sebuah hubungan asmara? 
   Meskipun ilmu silatmu itu pernah menolongku dari perkosa berandal Desa Manguntur, aku belum bisa mengubah pandangan hidup bahwa silat hanyalah suatu cara untuk saling bermusuhan. 
   Setelah kau menolongku waktu itu, aku justru dihinggapi rasa tidak tenteram. Aku selalu khawatir sewaktu-waktu kau diserang gerombolan orang yang pernah kau buat memar wajahnya itu.
    Pasti ada dendam dalam dada orang itu. Padahal, jika saja kau tak menolong, aku bisa saja bersiasat menghadapi berandal itu dengan kepura-puraan untuk bersedia disetubuhi di lain waktu.
   Akan aku katakan padanya: memperkosa itu tidak lebih baik daripada olah asmara di bawah purnama muda dan aku akan menyerahkan seluruh isi dada. Aku yakin, berandal beringasan itu akan menahan berahinya demi kepuasan badani yang diimpi-impikannya akan lebih dahsyat, tapi tidak akan pernah ia dapat. 
   Siasat, Kakang, siasat lebih hebat daripada silat.
   Kakang, tiap kali melihatmu berlatih, aku selalu terpesona dengan dada bidang, tangan kekar, rambut panjang tergerai damai, dan tentu ketangkasan gerak tubuhmu.
    Namun, aku justru selalu merindukan tubuhmu itu diam. Mematung serupa arca Wisnu. Ketika tubuh gagah itu diam, mungkin aku bisa memelukmu. Menaruh kepalaku di atas dada bidangmu dan mendengarkan perkataanmu langsung dari dada. Jika demikian, aku mengharap sekali tanganmu membelai rambutku, begitu damai, begitu nyaman. 
   Apa kau tak pernah mengerti hal-hal semacam itu, Kakang? Ingatkah rajukanku sesaat setelah kau selamatkan aku dari berandal desa?
   "Kang, peluk aku, Kang. Peluk aku, Kakang. Ini saat-saat yang paling kuimpikan."
   Tapi, kau begitu dingin menolak rajukanku. Memeluk, hanya memeluk, dan kau tak memberikannya. Kau justru menghajar Dwipangga ketika ia telah memberikan pelukan terlekatnya padaku di sebuah bangunan tempat kita biasa menghabiskan senja.
    Setelah memukul Dwipangga, kau hina kami sebagai manusia rendahan yang tak bermoral sembari membanggakan diri sebagai manusia suci. 
   Kakang Kamandanu, 
   Apakah kau masih sering mengatakan kata-kata kasar seperti jahanam, bedebah, dan bajingan? Sesering dulu aku mendengar kata-kata kutukan semacam itu dari mulutmu, meskipun bukan untukku? Dulu, begitu keras kau mengucapkannya seperti mewakili kerasnya hatimu. Selama kita berkasmaran, sekalipun tak pernah keluar kata-kata indah dari mulutmu.
   Rindu dan cinta, barangkali hanya dua kata yang sekali genggam rontok di tanganmu. Kau tak pernah mengatakan aku cantik atau mengatakan gelungan rambutku indah. Bahkan, sekadar memuji pakaian yang kukenakan pun kau seperti tak mampu.
   Aku tak gila puji, tapi ingin sekali saja kau menghargai penampilanku yang selalu kusiapkan sesempurna mungkin untuk bertemu denganmu. 
   Kakang, selama ini aku lebih banyak diam, menyimpan isi hati rapat-rapat agar kau bahagia saat kita bersama. Aku lebih banyak menuruti caramu dalam berhubungan.
   Pagi hari kita bersama di sungai. Kau berlatih silat di atas batu-batu kali, sementara aku mencuci pakaian. Senja hari kita berkejaran naik kuda mengelilingi Desa Manguntur dan Kurawan. Hampir setiap hari kita melakukannya dalam sepekan.
   Kau tahu, Kakang, kebersamaan kita itu lebih banyak merentangkan batas. Ketika kau berlatih di atas batu kali, pikiranmu pasti mengarah ke gerakan-gerakan jurus silat.
   Sementara, aku harus benar-benar memperhatikan apakah cucianku sudah bersih atau belum. Aku harus selalu bersikap hati-hati kalau-kalau ada baju yang hanyut di sungai meskipun aku yakin, tanpa kuminta, kau pasti akan mengejarnya jika ada yang hanyut.
   Di saat-saat pagi hari seperti itu kita memang sesekali saling berpandangan, tersenyum beberapa jenak, lalu kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.  
    Padahal, kau bisa saja mendekat, memelukku dari belakang, lalu kita cuci bersama baju-baju itu, sebelum akhirnya kita turut mencuci diri di sungai. Bersama, bersama-sama, di dalam air. 
   Banyak senja kita habiskan dengan berkuda melewati pematang dan candi-candi. Kadang aku di depan, seringkali aku di belakang. Kita berkejaran. Aku tertawa renyah meskipun dalam hati ingin sekuda denganmu: aku di depan, kau di belakang memelukku.
   Tapi, itu tak pernah terjadi. Dan, kebersamaan kita di kala senja seperti itu selalu diriuhkan derap kaki kuda dan ringkiknya yang lebih keras daripada suara tawa hingga kadang aku pura-pura tertawa padahal hanya membuka mulut, seperti orang tertawa, tapi tak mengeluarkan suara. 
   Kakang, sebab segalamu tentang kekerasan, aku mulai mencari seseorang yang dapat memelukku sembari memujiku dengan penuh kelembutan. Kau pun akhirnya tahu siapakah seseorang itu. Ia kangmasmu sendiri, Arya Dwipangga. 
   Entah siapa yang memulai asmara di antara kami, tapi saat itu aku menyalahkanmu. Kau menjadi pemantik asmara kami. Ketika kau tak memedulikan rajukanku untuk dipeluk, aku tersulut dan mulai terbakar sajak-sajak Dwipangga. Aku larut, hilang dalam puja-pujinya. Kata-katanya seperti ditulis di dadaku, begitu garit, demikian lekat. 

hujan turun dengan sedihnya
bulan tenggelam di atas telaga
kulewati malam yang dingin ini
sambil kubelai namamu bagaikan kembang

oh Nariratih, oh Ratnandana, sinar teja di pelupuk mata
Nariratih, di mana kau sembunyikan harum wajahmu
di mana kau simpan desah napasmu
solah bawahmu halus bagaikan rajakanya
pribadimu elok bagaikan puspitansa *)

   Sampai akhirnya kami pun larut dalam olah asmara di sebuah senja, di tempat biasa kita berdua. 

   Aku menyesali perbuatan kami itu sebelum kau datang dan menghajar Dwipangga di hadapanku. Kau tahu, saat itu aku lebih memilih memanggilmu yang berlari dengan kuda daripada memperhatikan Dwipangga yang ada di sisiku, yang memar oleh pukulanmu.
   Tapi, kau tak mau mendengar dan mengerti panggilanku. Kau terus saja memacu kudamu ke arah senja seperti mengejar matahari.
   Setelah pertengkaran sore itu, kita baru bertemu di pesta pernikahan. Aku dan Dwipangga duduk di pelaminan, sementara kau terus menatap ke arahku dengan dada membusung.
   Kau terlihat mengembus napas panjang yang entah cemburu pada kangmasmu atau marah kepadaku. Ah, embus napasmu sungguh kuat hingga sesekali aku melihatnya mampu merundukkan pijar-pijar api di atas bambu yang dipacak sekitar pelaminan dan pelataran yang ramai oleh nayaga, para sinden dan ledek, serta tamu-tamu. 
   Kau pasti ingat, malam itu, ketika alunan gamelan yang berbunyi sejak senja tiba-tiba berhenti, sepasukan prajurit Singosari datang.
   Sungguh, saat itu aku sangat berharap Dwipangga terlibat suatu kejahatan dan malam itu juga akan dibawa ke kotapraja dihukum. Apa pun yang terjadi, malam itu aku sangat berharap ada sesuatu yang membatalkan pernikahan kami. 
   Nyatanya, pasukan itu justru mengawal utusan Singosari bernama Kebo Tengah untuk memberi hadiah pernikahan. Sekotak peti berukir yang tak aku tahu isinya apa. 
   Seolah mewakili ketaksukaanku, kau memukul peti itu ketika Kebo Tengah sedang memberikannya kepada ayahmu, Hanggareksa. Seluruh isinya jatuh dan berserakan tanpa kau pedulikan.
   Justru Dwipangga yang kelabakan mengumpulkan seluruh isi peti berupa uang kerajaan yang ada di tanah tinimbang mengejarmu sebagai seorang kakak yang ketakutan akan kehilangan adik. 
   Namun, sekali lagi, aku meragu, aku tak tahu, apakah kau marah kepada utusan Kertanegara yang congkak itu, atau kepada kami hingga kau merusak hadiah pernikahan itu? 
   Kau kembali pergi, aku kembali berteriak memanggil namamu.
   Suara ramai pesta kembali tersaji. Alunan gamelan dan suara-suara orang menari bersama ledek sorak kembali. Percakapan tamu-tamu yang dimabuk tuak makin marak. Tapi, seriuh apa pun suasana saat itu, tak mampu meredam suara hatiku yang terus berteriak memanggili namamu. 
   Sejak malam pernikahanku dengan kangmasmu itu, aku kembali jatuh cinta padamu, Kakang.
   Dan, malam ini, ketika lagi-lagi aku tak bisa tidur karena memikirkanmu, aku memberanikan diri menulis surat ini padamu di atas daun lontar dan tinta yang hampir kering karena Dwipangga tak lagi menulis sajak untukku sejak malam pernikahan.
   Nari Ratih sudah rampung membaca ulang suratnya. Ini adalah surat terpanjangnya, kalau bukan yang terakhir, yang setiap malam ia tulis. Ia lalu menggulungnya dengan rapi. Mencabut sehelai rambut panjangnya untuk mengikat gulungan itu, dan perlahan-lahan, seperti yang setiap malam ia lakukan, memasukkanya ke dalam tungku api.
   Selesai membaca, Wibowo terdiam mematung bagai arca pualam yang tak bernyawa, namun gemuruh di dadanya serasa membuat sesak dan paru-parunya seakan tak cukup oksigen, serasa pengap dan sempit dadanya.
   Hmmm, Wibowo paham, kayaknya cewek itu tak serumit yang ia kira, hanya ingin di puji cantik dan di belai mesra dengan bisikan lembut, hmmm, tapi apakah ia berani melakuakn hal ini pada Hesti, huft, ia galau lagi.
  Ia off google, ia matikan internet, minum kopinya yang sudah dingin, sedingin hatinya yang galau karena akan di tinggal nikah oleh gadis yang diam-diam ia cintai sejak bangku SMA.
   Lama Wibowo duduk terdiam, larut dalam lamunanya, sementara satu dua kawan-kawanya masih asyik tertawa-tawa cekakakan karena larut dalam permainan gempabji, tak tahu jika ia sedang galau tingkat dewa 20.
   Jika anda atau panjenengan jadi Wibowo, apa yang akan panjenengan lakukan.
a.       Menghajar cowok brengsek yang akan menikahi Hesti, menghajar sampai bonyok-bonyok wajahnya yang jika senyum sangat nampak super duper mesum sekali.
b.      Mengirimkan ilmu teluh agar cowok itu meninggal cepat, singkat dan tak bertele-tele.
c.       Menemui Hesti dan nembak dia, mungkin ada kesempatan kedua setelah ia mengungkapkan fakta-fakta bahwa calonya itu penjahat kelamin, bajingan tingkat dewa 20.
d.      Jawab a, kemudian saya lakuakan c.
e.       Jawab b kemudian saya lakukaan c.
f.       Menemui Mbah Man, mohon petunjuk, apapun saran nasihat beliau, insyaallah saya Sami’na Wa Atho’na, sendika dawuh saja.
g.      Diam saja, karena saya juga sama-sama takut tidak pernah berani nembak cewek.
h.      Jawaban lain, dan hanya saya dan Tuhan yang tahu.
i.        Tidak menjawab, karena saya sudah punya pacar/isteri/tunangan, yang saya cintai lahir batin dunia akhirat.
j.        Hmm..apa ya, bingung juga sih, ..apa yaaa…..eehmmmmm….(masih mikir dulu sampai masa jabatan pak Jokowi berakhir).
k.      Pasrah aja dah, gimana Takdir Tuhan sajalah….!!!.
l.        ( jawaban bebas…..panjenengan isi sendiri kolom jawabanya).
m.    Saya malu menjawab, silent rider saja ah.
n.      Saya jempolin saja ah status ini.
o.      Tidak tahu, terserah pengarangnya saja mau dibawa kemana nasib cinta Wibowo terhadap Hesti, bagusnya hepi ending saja, calon Hesti mati disengat tawon vespa atau tawon ndas yang bikin sarang di loteng rumahnya, saat mbetulin genteng rumah agar tak bocor saat hujan, karena terpaksa, sebab rumahnya akan segera didatangi utusan pihak pengantin perempuan di musim hujan ini, utusan yang akan memberikan jawaban lamarannya dan kalau calon Hesti sudah mati disengat tawon Ndas (okum karma karena ia suka “menyengat” cewek-cewek setelah bengkak lalu ditinggal lari, kayak kelakuan tawon), sehingga pula tokoh fiksi yang bernama Wibowo bisa fix menggantikan posisi sang calon suami Hesti yang tewas mengenaskan bengkak sekujur tubuhnya akibat racun tawon Ndas itu, sehingga kursi pelaminan jadi milik Wibowo, taraaanggg…Wibowo dan Hesti bisa menikah sodara-sodara, mantap punya toh!.
(bukan berarti berbahagia di atas kematian serta jasad cowok mata keranjang itu lho, tapi sebatas fiksi saja kan ndak apa-apa).
Kami tunggu jawaban anda dan panjenengan semua!!!.

Salam sejiwa raga, WIRO YUDHO WICAKSONO-RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO HANGROSO WANI-SURO DIRO DJOYONIGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia