PENDEKAR PUJANGGA
SYAIR BERDARAH
Obrolan Warung Kopi Pendekar
OWKP
Hari lewat tengah malam ketika sosok sepuh yang masih bregas itu membuka
warung kopinya didekat gedung CP, sangat
lambat buka, kalau saja adonan gorengan belum ia siapkan, malam ini ia memilih
menutup warungnya, karena pakdhe Wiro baru pulang kondangan, ada familinya yang
punya hajatan khitanan, keponakannya yang baru SD kelas 1 itu sudah
merengek-rengek minta di sunat.
Masalahnya sepele, karena sering di buly teman sepermainan saat pipis
bersama di bawah pohon burungnya belum diubah bentuk, dan teman-temannya semua
sudah berubah bentuknya.
Dan sang keponakan tadi sudah tersenyum senang, karena burungnya sudah
berubah, dan ia tidak akan di buly teman-temanya saat pipis di bawah pohon
selepas mainan bersama sepulang sekolah.
Karena bentuk burung mereka sudah di ubah oleh pak mantri sedemikian
rupa, sehingga nampaknya mereka akan kompak bermain tak saling ejek saat pipis
di semak-semak atau di bawah pohon, bentuk burung yang kelak akan menjadi ikon
kewibawaan pria dewasa di saat sudah menjadi imam di sebuah keluarga.
Tak lama, Wibowo dan genknya masuk, memesan kopi cilik sambil tangan
mereka terampil meraih ubi yang masih panas sehabis di goreng, ubi manis yang
murah meriah khas makanan desa.
Genk anak muda yang baru keluar dari gedung CP, anak muda pendekar
milenial menyebut bangunan itu Padepokan Pencak Silat Cempaka Putih, dan
nampaknya mereka baru selesai latihan tak sampai jelang dini hari, malam ini
kelar cepat karena materi pra Madya sudah di sampaikan semua, tinggal tes ujian
saja di malam sebelum pelantikan.
Gedung CP itu adalah bangunan yang berdiri di era orde baru sampai era
reformasi kini masih kokoh berdiri, bangunan yang sudah melantik ribuan bahkan
jutaan pendekar yang kini menjadi bagian dari keluarga besar pencak silat
Cempaka Putih.
Wibowo mengeluarkan gadgednya, sambil nyemil ubi goreng dan sesekali
nyeruput kopi cangkirnya, ia asyik membalas WA teman-temannya yang baru saja
menyelesaikan latihan calon Warga Madya.
“mas Bowo tadi ketemu mbah Man ya, bagaimana kondisi beliau apakah masih
sehat mas”
Pakdhe Wiro membuka percakapan, setelah selesai menumpahkan lagi
gorengan yang baru ia masak pada sebuah piring besar, yang langsung di serbu
rombongan pendekar muda PSCP yang kelaparan itu.
“injih pakdhe, mbah Man Alhamdulillah masih bregas, walau dibantu
tongkat kalau tindakan, beliau mengawasi kami latihan langsung, karena Desember
ini kami akan disahkan naik ke tingkat Madya pakdhe, doakan kami semua bisa
lulus pakdhe”
“tentu aku doakan mas-masnya, penting
sehabis latiahan rajin ke warung kopi saya ini, hehehe, recehan uang terkecil
pun dari anakmas semua bisa berguna, buat paginya nyangoni putu yang berangkat
sekolah anakmas heheheee”.
Sampai jelang subuh, mereka tetap asyik ngobrol, obrolan beda generasi,
generasi perjuangan revolusi fisik merebut kemerdekaan dari tangan penjajah
Belanda dengan kaum milenial muda yang tak mengalami kontak fisik bersenjata.
Karena saat mereka lahir, semua serba instan, cepat dan mudah, era
kemerdekaan yang melahirkan kaum milenial yang banyak tak tahu 36 butir-butir
Pancasila, lha yang lima sila saja banyak yang tidak hafal maknanya, jangankan
maknanya, hafal kalimat lima sila Pancasila saja sudah banyak yang tidah tahu,
#sedih.
Tak sengaja Wibowo memutar sebuah chanel di youtube, chanel sandiwara
radio klasik dimana dulu pakdhe Wiro adalah salah satu fans sejatinya,
sandiwara radio tutur tinular.
“wah, bagus anakamas, coba kerasin sedikit lagi, biar telingaku yang
sudah uzur ini bisa mengenang kembali masa lalu, masa saya dulu kecanduan
sandiwara radio ini”
Wibowo kemudian memenuhi permintaan lelaki sepuh yang masih bergas itu,
lelaki sepuh yang dikenalnya sebagai penjual gorengan ldan minuman kopi
kesukaannya bersama teman-temannya setiap pulang latihan dari gedung CP.
Wibowo heran, saat pakdhe Wiro menirukan kalimat syair cinta seorang
pemuda dari desa Kurawan wilayah kerajaan Singhasari di dekat gunung Anjasmara,
pemuda melankolis yang melantunkan bait-bait syair indah dunia asmaraloka.
Menirukan sama persis seperti dubing, tekanan kata dan tata kalimat yang
nyaris sama persis.
“heheheee…pendekar syair berdarah, pendekar golongan hitam yang saya
heran kok saya suka, padahal dia itu jahat, suka membunuh suami perempuan yang
ia taksir, meniduri istri orang, menghamili anak gadis kembang desa yang ia
pikat dengan ilmu pengasihan, pokoknya ia itu ibarat pemetik kembang yang
rupawan, gagah dan sakti dan tak kalah dahsyat ia itu pandai menyusun syair
indah yang membuat perempuan jatuh hati dan suka rela menyerahkan
keperawanannya bahkan sampai hamil, bahkan mantram sakti ilmu pedang sabit
kembarnya ia unggah lewat alunan kidung keramat, kidung pamungkas pendekar
syair berdarah sehingga ia dijuluki pendekar syair berdarah yang hanya kalah
telak melawan adik kandungnya Arya Kamandanu didikan Mpu Ranubaya, pewaris aji
Sepi Angin yang mampu bergerak bahkan tak kasat mata, adik kandung yang marah
hebat saat pacarnya si Nariratih di hamili si Arya Dwipangga, sang kakak kandung
yang mata keranjangnya tingkat dewa 20, yang kerjaanya keluyuran masuk kampung
keluar kampung ngadu ayam jago sambil mencari mangsa gadis-gadis cantik kembang
desa”.
Wibowo yang sedang gentur menjalani laku sebagai bagian dari pendadaran
calon warga Madya itu kagum dan terheran-heran.
Bagiamana bisa sandiwara radio yang ia sukai setelah baru beberapa hari ini saja ia rajin ikuti
kisahnya, setelah tak sengaja tersesat masuk chanel youtube sandiwara radio
klasik, dan kisah yang bahkan baru ia mulai ia ikuti itu begitu runtut dan out
the box dikisahkan sang penjual kopi dan gorengan yang sosoknya sangat
bersahaja itu.
“Tapi pakdhe, saya baru serial awal, Arya Dwipangga itu membantu Arya Kamandanu
dan takut mengutarakan cinta pada Nari Ratih, sehingga diam-diam membantu adik
kesayanganya itu agar jadian dengan pujaan hatinya dengan cara mengirimkan
lontar berisikan syair-syair indah penuh madu manis legitnya dunia asmaradahana,
sehingga Nari Ratih sangat menyukainya dan membalasnya ngajak ketemuan, bagi
anak sekarang mungkin setelah chatingan dan inbukan ngajak ngopi darat,
hehehee”
“wah, masih jauh anakmas, itu baru mukadimah, nanti Arya Dwipangga tidak
bisa menahan diri setelah tahu kalau gadis yang ditaksir adiknya itu sangat
cantik semlohai, sehingga ia nekad merayunya bahkan sampai ia perawani dan
sukses ia hamili, yang membuat Arya Kamandanu ngamuk hebat dan menghajar
kakaknya itu sampai bonyok-bonyok”
Pakdhe Wiro tersenyum geli, kemudian menyelesaikan kalimatnya itu.
“Dan saat di jadikan samsak hidup, hilanglah
masuk sumur tua sang kakak bejad moral itu di hajar sang Adik yang seorang
pendekar mumpuni, dan di dalam sumur misterius itu sang kakak bertemu seorang
petapa sakti yang mengajarinya kanuragan hebat, sehingga ia berubah dari pemuda
perayu wanita menjadi sosok mengerikan yang suka membunuh pendekar yang ia
temui sebagai ajang melatih ilmunya, sehingga ia makin memiliki kemampuan olah kanuragan
yang sampai di tataran pendekar yang pilih tanding”
“lho, kalau jahat kenapa malah pakdhe mengidolakan dia”
“hehehee, karena Arya Dwipangga itu
sanepan dari ketidakberdayaan seorang pendekar , kelemahan seorang laki-laki
yang bahkan pendekar sakti sekalipun di hadapan pesona perempuan cantik yang
montok semlohai, ia tak berdaya, ia menjadi cemen, menjadi letoi lemah tak berdaya
hilang kekuatanya, sama seperti kelemahan kita semua di hadapan pesona
biduanita koplo kesayanagn anak-anak muda republik Indonesia, Nela Kharisma
dengan Aji Semar Mesemnya WuaahuahaahaahAAAAA…”
Pakdhe Wiro sampai tergelak-gelak tawanya, sehingga beberapa kali ia
terbatuk-batuk, Wibowo hanya nyengir dan menggaruk-garuk kepalanya yang gatal
karena barusan latihan berat di Gedung CP, latihan berat khas calon-calon
pendekar Madya Perguruan Pencak Silat Cempaka Putih.
Mereka masih asyik ngobrol, sampai datang pembeli yang lain, para petani
di sekitar Panekan yang sedang bersiap mengolah lahan, bersiap untuk menanam
padi di tanah sawah mereka, bersiap karena musim hujan sudah tiba.
Mongso labuhan, musim kesibukan di sawah dan kebun, bersiap bahkan
sebelum gema adzan subuh mengumandangkan kalimat seruan untuk sejenak berbhakti
kepada Sang Pemberi Hidup, sehingga pakdhe Wiro terpaksa menghentikan obrolan
mereka tentang pendekar syair berdarah yang fenomenal.
Lelaki sepuh itu kini sibuk membuatkan kopi pelangganya itu, bapak-bapak
petani yang wajahnya sudah tak lagi muda, kulit yang keriput dan nampak nerimo
ing pandum, wajah yang semeleh dan sumarah, bahagia di tengah keterbatasan dan
kemiskinan duniawi, namun sangat kaya akan khasanah batiniah tingkat
makrifatullah.
Wibowo pun mengakui, walau teknik dasar kanuragan PSCP ia sudah
matangkan semua sehingga Mbah Man sudah merestuinya naik ke Madya, namun saat
bertemu Hesti adik kelasnya dulu, ia masih tak berani mengutarakan cintanya,
paling banter ngucapin HBD di akun efbinya saja.
Ah, benar kata pakdhe Wiro, calon Pendekar Madya-pun akan kehilanagn
nyali di hadapan cewek yang ia cintai, huft…ia mengusap wajah, hatinya galau
tingkat Dewa 20, karena mendengar kabar bulan Januari yang akan datang, Hesti
akan melangsungkan pernikahan, menerima lamaran teman sekerjaanya di dealer
motor Yamaha Magetan.
“hmm…apakah aku hajar saja cowok itu, aku
sudah tahu kartunya, calon si yayangku itu tukang mabuk dan main perempuan,
sama persis seperti kelakuan Arya Dwipangga yang suka memecah perawan dan
ngehamili anak gadis dan istri orang, hmmm, tapi pasti mbah Man tidak merestui
saya jika saya minta ijin menghajar cowok itu, aduh, andaikan saya punya keberanian
nembak dan ngelamar Hesti duluan, mungkin saya yang saat ini fix jadi calon suaminya,
aduuhhhhh!”
Wibowo
memejamkan mata, menghirup udara dalam-dalam, sehingga ruang paru-parunya
penuh, ia menahan galau sambil meremas-remaskan kedua tapak tanganya, sehinggu
buku-buku ruas-ruas jarinya bergemletuk karena efek kuatnya remasan-remasan
itu.
Iseng ia ketik di google, syair cinta Arya Dwipangga kepada Nari Ratih
kekasih Arya Kamandanu, dia klik dan muncul banyak pilihan, ia klik salah satu
pilihan konten di blog yang ada foto gadis cantiknya.
Muncul teks sajak syair sang pujangga cinta, Arya Dwipangga kepada Nari
Ratih.
Hemm, ada kata-kata si pujangga mata keranjang ini menyebutkan bunga
cempaka beberapa kali untuk menaklukkan kekasih sang adik, Wibowo jengah, namun
matanya runtut menyusuri kalimat-kalimatnya, kata demi kata.
SYAIR
CINTA ARYA DWIPANGGA
Pelangi
muncul di atas kurawan
Warnanya
indah bukan buatan
Seorang
gadis ternganga keheranan
Rambutnya
tergerai jatuh ke pangkuan
Sekuntum
cempaka sedang mekar ditaman sari desa Manguntur
Kelopaknya
indah tersenyum segar
Kan
kupetik cempaka itu untuk kubawa tidur malam nanti
Ku
buka daun jendela dan terbayang malam yang indah di hiasi chandra kartika
Di
bulan Waisya ini
Sepuluh
kali aku melewati pintu rumahmu yang masih rapat terkancing dari dalam
Kapan
kubuka
Wahai
sang dewi puspa
Pelangi
itu muncul lagi
Membuat
garis melengkung ke langit tinggi
Daun
ilalang diterpa angin gemerisik membangunkan tidurku dari mimpi buruk
Di
batas tugu yang indah ini ku pahat dengan bermandikan keringat kasih
Kalau
kau tatap mega yang berbunga-bunga
Di
sanalah aku duduk menunggu pintu maafmu terbuka
Pelangi
senja mengantarkan burung-burung pulang ke sarangnya
Domba-domba
pulang ke kandangnya
Tapi
aku hendak ke mana
Apa
yang kulakukan menjadi tak berharga
Selama
senyummu masih kau sembunyikan di balik keangkuhan hatimu
Nari
Ratih...
Kau
adalah sebongkah batu karang
Tapi
aku adalah angin yang sabar setia
Sampai
langit di atas terbelah dua
Aku
akan membelai namamu bagaikan bunga
Jika
hari telah tidur di pangkuan malam
Kukirim
bisikan hatiku ini bersama angin
Biarpun
malam pucat kedinginan
Biarpun
bintang merintih di langit yang jauh
Aku
akan tidur dengan tenang
Sambil
memeluk senyummu dalam kehangatan mimpiku
Aku
berkelana mencari cinta ke desa-desa yang jauh
Akhirnya
di candi walandit kupuaskan dahagaku
Hmm, Wibowo tersenyum kecut, brengsek juga Arya Dwipangga, namun cewek
mana yang tidak leleh kena syair ciamik bermantra pengasihan tingkat master
ini, penjahat kelamin yang berbahaya, dalam hati Wibowo misuh-misuh.
Dan Wibowo tersenyum lebih kecut lagi, ada juga di konten blog yang ia
pelototi, teks surat Nari Ratih kepada Arya Kamandanu, surat penyesalan sudah
menghianati cinta sang pendekar yang menjadi cinta pertamanya, dan saat
diketahui hamil, ia harus rela dinikahkan dengan penyair mata keranjang ayah
jabang bayi yang ia kandung akibat hubungan gelap, si pemetik kembang, Arya
Dwipangga, kakak kandung Arya Kamandanu, kekasih hatinya yang dulu
menyelamatkan dia saat akan diperkosa orang jahat dengan kanuragan pencak
silat.
Surat Nari Ratih Kepada Arya Kamandanu
Malam ini, sebelum masuk kamar, aku sempat
mendengar berita dari seseorang yang menemui ayahmu bahwa engkau sedang giat
berlatih olah kanuragan pada Mpu Ranubaya di Hutan Kurawan. Kau masih saja
setia pada ilmu silat, Kakang. Malah kudengar kini kau sedang memperkuat tenaga
dalam dan memperdalam ilmu meringankan tubuh.
Sebenarnya
apa yang sedang kau cari dengan ilmu-ilmu ketangkasan itu? Apakah benar kata
orang bahwa dengan ilmu silat itu kau akan memberontak pada Kertanegara, Raja
Singosari yang kudengar sebagai pemabuk dan pecandu wanita itu?
Kakang, aku ingat, sekian kali bersama
menghabiskan waktu bersamamu, aku tak kunjung menemukan kelebihanmu selain
bertarung.
Kebersamaan kita lebih banyak kau habiskan
untuk melatih otot-otot tubuh dan ketangkasanmu berkelahi. Berkelahi, Kakang,
apa yang bisa diperbuat ilmu silat dalam sebuah hubungan asmara?
Meskipun
ilmu silatmu itu pernah menolongku dari perkosa berandal Desa Manguntur, aku
belum bisa mengubah pandangan hidup bahwa silat hanyalah suatu cara untuk
saling bermusuhan.
Setelah
kau menolongku waktu itu, aku justru dihinggapi rasa tidak tenteram. Aku selalu
khawatir sewaktu-waktu kau diserang gerombolan orang yang pernah kau buat memar
wajahnya itu.
Pasti
ada dendam dalam dada orang itu. Padahal, jika saja kau tak menolong, aku bisa
saja bersiasat menghadapi berandal itu dengan kepura-puraan untuk bersedia
disetubuhi di lain waktu.
Akan aku katakan padanya: memperkosa itu
tidak lebih baik daripada olah asmara di bawah purnama muda dan aku akan
menyerahkan seluruh isi dada. Aku yakin, berandal beringasan itu akan menahan
berahinya demi kepuasan badani yang diimpi-impikannya akan lebih dahsyat, tapi
tidak akan pernah ia dapat.
Siasat,
Kakang, siasat lebih hebat daripada silat.
Kakang,
tiap kali melihatmu berlatih, aku selalu terpesona dengan dada bidang, tangan
kekar, rambut panjang tergerai damai, dan tentu ketangkasan gerak tubuhmu.
Namun, aku justru selalu merindukan tubuhmu
itu diam. Mematung serupa arca Wisnu. Ketika tubuh gagah itu diam, mungkin aku
bisa memelukmu. Menaruh kepalaku di atas dada bidangmu dan mendengarkan
perkataanmu langsung dari dada. Jika demikian, aku mengharap sekali tanganmu
membelai rambutku, begitu damai, begitu nyaman.
Apa kau
tak pernah mengerti hal-hal semacam itu, Kakang? Ingatkah rajukanku sesaat
setelah kau selamatkan aku dari berandal desa?
"Kang,
peluk aku, Kang. Peluk aku, Kakang. Ini saat-saat yang paling kuimpikan."
Tapi,
kau begitu dingin menolak rajukanku. Memeluk, hanya memeluk, dan kau tak
memberikannya. Kau justru menghajar Dwipangga ketika ia telah memberikan
pelukan terlekatnya padaku di sebuah bangunan tempat kita biasa menghabiskan
senja.
Setelah memukul Dwipangga, kau hina kami sebagai
manusia rendahan yang tak bermoral sembari membanggakan diri sebagai manusia
suci.
Kakang
Kamandanu,
Apakah
kau masih sering mengatakan kata-kata kasar seperti jahanam, bedebah, dan
bajingan? Sesering dulu aku mendengar kata-kata kutukan semacam itu dari
mulutmu, meskipun bukan untukku? Dulu, begitu keras kau mengucapkannya seperti
mewakili kerasnya hatimu. Selama kita berkasmaran, sekalipun tak pernah keluar
kata-kata indah dari mulutmu.
Rindu dan cinta, barangkali hanya dua kata
yang sekali genggam rontok di tanganmu. Kau tak pernah mengatakan aku cantik
atau mengatakan gelungan rambutku indah. Bahkan, sekadar memuji pakaian yang
kukenakan pun kau seperti tak mampu.
Aku tak gila puji, tapi ingin sekali saja
kau menghargai penampilanku yang selalu kusiapkan sesempurna mungkin untuk
bertemu denganmu.
Kakang,
selama ini aku lebih banyak diam, menyimpan isi hati rapat-rapat agar kau
bahagia saat kita bersama. Aku lebih banyak menuruti caramu dalam berhubungan.
Pagi hari kita bersama di sungai. Kau
berlatih silat di atas batu-batu kali, sementara aku mencuci pakaian. Senja
hari kita berkejaran naik kuda mengelilingi Desa Manguntur dan Kurawan. Hampir
setiap hari kita melakukannya dalam sepekan.
Kau
tahu, Kakang, kebersamaan kita itu lebih banyak merentangkan batas. Ketika kau
berlatih di atas batu kali, pikiranmu pasti mengarah ke gerakan-gerakan jurus
silat.
Sementara, aku harus benar-benar
memperhatikan apakah cucianku sudah bersih atau belum. Aku harus selalu
bersikap hati-hati kalau-kalau ada baju yang hanyut di sungai meskipun aku
yakin, tanpa kuminta, kau pasti akan mengejarnya jika ada yang hanyut.
Di
saat-saat pagi hari seperti itu kita memang sesekali saling berpandangan,
tersenyum beberapa jenak, lalu kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Padahal, kau bisa saja mendekat, memelukku
dari belakang, lalu kita cuci bersama baju-baju itu, sebelum akhirnya kita
turut mencuci diri di sungai. Bersama, bersama-sama, di dalam air.
Banyak
senja kita habiskan dengan berkuda melewati pematang dan candi-candi. Kadang
aku di depan, seringkali aku di belakang. Kita berkejaran. Aku tertawa renyah
meskipun dalam hati ingin sekuda denganmu: aku di depan, kau di belakang
memelukku.
Tapi, itu tak pernah terjadi. Dan,
kebersamaan kita di kala senja seperti itu selalu diriuhkan derap kaki kuda dan
ringkiknya yang lebih keras daripada suara tawa hingga kadang aku pura-pura
tertawa padahal hanya membuka mulut, seperti orang tertawa, tapi tak
mengeluarkan suara.
Kakang,
sebab segalamu tentang kekerasan, aku mulai mencari seseorang yang dapat
memelukku sembari memujiku dengan penuh kelembutan. Kau pun akhirnya tahu
siapakah seseorang itu. Ia kangmasmu sendiri, Arya Dwipangga.
Entah
siapa yang memulai asmara di antara kami, tapi saat itu aku menyalahkanmu. Kau
menjadi pemantik asmara kami. Ketika kau tak memedulikan rajukanku untuk
dipeluk, aku tersulut dan mulai terbakar sajak-sajak Dwipangga. Aku larut,
hilang dalam puja-pujinya. Kata-katanya seperti ditulis di dadaku, begitu
garit, demikian lekat.
hujan turun dengan sedihnya
bulan tenggelam di atas telaga
kulewati malam yang dingin ini
sambil kubelai namamu bagaikan kembang
oh Nariratih, oh Ratnandana, sinar teja di
pelupuk mata
Nariratih, di mana kau sembunyikan harum wajahmu
di mana kau simpan desah napasmu
solah bawahmu halus bagaikan rajakanya
pribadimu elok bagaikan puspitansa *)
Sampai
akhirnya kami pun larut dalam olah asmara di sebuah senja, di tempat biasa kita
berdua.
Aku
menyesali perbuatan kami itu sebelum kau datang dan menghajar Dwipangga di
hadapanku. Kau tahu, saat itu aku lebih memilih memanggilmu yang berlari dengan
kuda daripada memperhatikan Dwipangga yang ada di sisiku, yang memar oleh
pukulanmu.
Tapi, kau tak mau mendengar dan mengerti
panggilanku. Kau terus saja memacu kudamu ke arah senja seperti mengejar
matahari.
Setelah
pertengkaran sore itu, kita baru bertemu di pesta pernikahan. Aku dan Dwipangga
duduk di pelaminan, sementara kau terus menatap ke arahku dengan dada membusung.
Kau terlihat mengembus napas panjang yang
entah cemburu pada kangmasmu atau marah kepadaku. Ah, embus napasmu sungguh
kuat hingga sesekali aku melihatnya mampu merundukkan pijar-pijar api di atas
bambu yang dipacak sekitar pelaminan dan pelataran yang ramai oleh nayaga, para sinden dan ledek, serta tamu-tamu.
Kau
pasti ingat, malam itu, ketika alunan gamelan yang berbunyi sejak senja
tiba-tiba berhenti, sepasukan prajurit Singosari datang.
Sungguh, saat itu aku sangat berharap
Dwipangga terlibat suatu kejahatan dan malam itu juga akan dibawa ke kotapraja
dihukum. Apa pun yang terjadi, malam itu aku sangat berharap ada sesuatu yang
membatalkan pernikahan kami.
Nyatanya,
pasukan itu justru mengawal utusan Singosari bernama Kebo Tengah untuk memberi
hadiah pernikahan. Sekotak peti berukir yang tak aku tahu isinya apa.
Seolah
mewakili ketaksukaanku, kau memukul peti itu ketika Kebo Tengah sedang
memberikannya kepada ayahmu, Hanggareksa. Seluruh isinya jatuh dan berserakan
tanpa kau pedulikan.
Justru Dwipangga yang kelabakan mengumpulkan
seluruh isi peti berupa uang kerajaan yang ada di tanah tinimbang mengejarmu
sebagai seorang kakak yang ketakutan akan kehilangan adik.
Namun,
sekali lagi, aku meragu, aku tak tahu, apakah kau marah kepada utusan
Kertanegara yang congkak itu, atau kepada kami hingga kau merusak hadiah
pernikahan itu?
Kau
kembali pergi, aku kembali berteriak memanggil namamu.
Suara
ramai pesta kembali tersaji. Alunan gamelan dan suara-suara orang menari bersama
ledek sorak kembali. Percakapan tamu-tamu yang dimabuk tuak makin marak. Tapi,
seriuh apa pun suasana saat itu, tak mampu meredam suara hatiku yang terus
berteriak memanggili namamu.
Sejak
malam pernikahanku dengan kangmasmu itu, aku kembali jatuh cinta padamu,
Kakang.
Dan,
malam ini, ketika lagi-lagi aku tak bisa tidur karena memikirkanmu, aku
memberanikan diri menulis surat ini padamu di atas daun lontar dan tinta yang
hampir kering karena Dwipangga tak lagi menulis sajak untukku sejak malam pernikahan.
Nari Ratih sudah rampung membaca ulang
suratnya. Ini adalah surat terpanjangnya, kalau bukan yang terakhir, yang
setiap malam ia tulis. Ia lalu menggulungnya dengan rapi. Mencabut sehelai
rambut panjangnya untuk mengikat gulungan itu, dan perlahan-lahan, seperti yang
setiap malam ia lakukan, memasukkanya ke dalam tungku api.
Selesai membaca, Wibowo terdiam mematung bagai arca pualam yang tak
bernyawa, namun gemuruh di dadanya serasa membuat sesak dan paru-parunya seakan
tak cukup oksigen, serasa pengap dan sempit dadanya.
Hmmm, Wibowo paham, kayaknya cewek itu tak serumit yang ia kira, hanya
ingin di puji cantik dan di belai mesra dengan bisikan lembut, hmmm, tapi
apakah ia berani melakuakn hal ini pada Hesti, huft, ia galau lagi.
Ia off google, ia matikan internet, minum kopinya yang sudah dingin,
sedingin hatinya yang galau karena akan di tinggal nikah oleh gadis yang
diam-diam ia cintai sejak bangku SMA.
Lama Wibowo duduk terdiam, larut dalam
lamunanya, sementara satu dua kawan-kawanya masih asyik tertawa-tawa cekakakan
karena larut dalam permainan gempabji, tak tahu jika ia sedang galau tingkat
dewa 20.
Jika anda atau panjenengan jadi Wibowo, apa yang akan panjenengan
lakukan.
a.
Menghajar
cowok brengsek yang akan menikahi Hesti, menghajar sampai bonyok-bonyok
wajahnya yang jika senyum sangat nampak super duper mesum sekali.
b.
Mengirimkan
ilmu teluh agar cowok itu meninggal cepat, singkat dan tak bertele-tele.
c.
Menemui
Hesti dan nembak dia, mungkin ada kesempatan kedua setelah ia mengungkapkan
fakta-fakta bahwa calonya itu penjahat kelamin, bajingan tingkat dewa 20.
d.
Jawab
a, kemudian saya lakuakan c.
e.
Jawab
b kemudian saya lakukaan c.
f.
Menemui
Mbah Man, mohon petunjuk, apapun saran nasihat beliau, insyaallah saya Sami’na Wa Atho’na, sendika dawuh saja.
g.
Diam
saja, karena saya juga sama-sama takut tidak pernah berani nembak cewek.
h.
Jawaban
lain, dan hanya saya dan Tuhan yang tahu.
i.
Tidak
menjawab, karena saya sudah punya pacar/isteri/tunangan, yang saya cintai lahir
batin dunia akhirat.
j.
Hmm..apa
ya, bingung juga sih, ..apa yaaa…..eehmmmmm….(masih mikir dulu sampai masa
jabatan pak Jokowi berakhir).
k.
Pasrah
aja dah, gimana Takdir Tuhan sajalah….!!!.
l.
(
jawaban bebas…..panjenengan isi sendiri kolom jawabanya).
m.
Saya
malu menjawab, silent rider saja ah.
n.
Saya
jempolin saja ah status ini.
o.
Tidak
tahu, terserah pengarangnya saja mau dibawa kemana nasib cinta Wibowo terhadap
Hesti, bagusnya hepi ending saja, calon Hesti mati disengat tawon vespa atau
tawon ndas yang bikin sarang di loteng rumahnya, saat mbetulin genteng rumah
agar tak bocor saat hujan, karena terpaksa, sebab rumahnya akan segera
didatangi utusan pihak pengantin perempuan di musim hujan ini, utusan yang akan
memberikan jawaban lamarannya dan kalau calon Hesti sudah mati disengat tawon
Ndas (okum karma karena ia suka “menyengat” cewek-cewek setelah bengkak lalu
ditinggal lari, kayak kelakuan tawon), sehingga pula tokoh fiksi yang bernama
Wibowo bisa fix menggantikan posisi sang calon suami Hesti yang tewas
mengenaskan bengkak sekujur tubuhnya akibat racun tawon Ndas itu, sehingga kursi
pelaminan jadi milik Wibowo, taraaanggg…Wibowo dan Hesti bisa menikah
sodara-sodara, mantap punya toh!.
(bukan berarti
berbahagia di atas kematian serta jasad cowok mata keranjang itu lho, tapi
sebatas fiksi saja kan ndak apa-apa).
Kami tunggu
jawaban anda dan panjenengan semua!!!.
Salam sejiwa
raga, WIRO YUDHO WICAKSONO-RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT SARIRO
HANGROSO WANI-SURO DIRO DJOYONIGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.