Cerita Pencak Silat Kekinian
* MAS 1964 (Merdi Anoraga Sakti) leluhur PSCP 1974
…………………Sesampainya di kampung
Srimulyo, mereka tanpa kesulitan menemukan rumah Ki Kromo Mangun, tokoh yang di
hormati karena beliau adalah pejuang Dwikora tahun 60-an silam, dan sampai hari
ini masih sehat dan trengginas, rumah yang sederhana, sejuk nyaman, halaman di
hiasai berbagai tanaman obat tradisional, kolam ikan di sisi kanan rumah dengan
pancuran yang mengalir jernih, hamparan kebun karet dan kebun singkong rapi
sedap di pandang mata, pemandangan khas kampung transmigran dari jawa,
arsitektur rumah pun sudah di rehap sedemikian rupa bermodel jawa, Joglo dengan
empat pilar soko guru, sederhana namun kokoh.
Di gerbang regol depan rumah
bergambarkan relief sepasang harimau loreng yang sedang posisi milar, melompati
nyala api, sangat artistik namun agak bernuansa seram dan magis!.
Selesai mengucap salam, rombongan
pemuda itu dipersilahkan sang empu rumah yang ramah tergopoh menyambut dengan
senyum yang tulus, mereka dipersilahkan masuk, namun menolak halus karena
suasana agak pengap, maka sepakatlah akhirnya duduk lesehan di teras rumah
menikmati udara sejuk sambil bersila melingkar di alasi tikar pandan wangi yang
dianyam rapi.
“begini Ki, kami mendengar banyak
hal tentang panjenengan, saat menjadi komandan Milisi dari Jawa saat Bung Karno
memerintahakan penyerbuan ke Malaysia karena tidak suka akan Negara boneka
Inggris yang mengancam kedaulatan RI, karena Kalimantan akan dilepas dari ibu
pertiwi, berdiri sebagai Negara baru, dari si Asih, yang kebetulan cucu
penjenengan yang ikut latihan silat di lapangan kampung ini, kami ingin bertemu
langsung untuk memperolh kisah yang mungkjin bagi kami anak muda jaman sekarang
buta akan sejarah perjuangan leluhur kami Ki!”
Seorang pemuda berikat kepala
melati gadung membuka percakapan mewakili beberapa kawannya yang duduk dengan
tertib, duduk bersila seperti siswa padepokan menghadap sang guru besar!, dengan
suara sopan tertahan, karena berhadapan seorang yang luar biasa berwibawa,
seorang lelaki sepuh yang masih tegap, mata tajam teduh tenang, menggambarkan
perjalanan hidup yang sarat pengalaman dan makna.
Sang kakek terkekeh, tawa seorang
sepuh yang khas, dengan suara lembut namun berat ia meyambut dengan suka cita
kedatangn pemuda yang ternyata pelatih pencak silat di kampungnya, dimana cucu
kesayanganya, si Asih ikut belajar pencak bersama kawan-kawanya setiap malam
Minggu, walau ibunya melarang.
Sebagai pendekar sepuh, si kakek
menyemangati “biarkan nduk anakmu ikut
beladiri asal jawa timur itu, cerita si Asih perguruan itu dari gunung lawu,
cempaka putih, aku dulu juga kenal seorang pendekar besar, Kangmas Mursid,
kakak seperguruankau waktu belajar silat dari seorang Kyai di Banten, kalau
ndak salah ia membuka padepokan Mardi Anoraga Sakti di Gunung Lawu, dan
sekarang di teruskan Muridnya dan mengganti nama perguruanya menjadi Cempaka
Putih, mungkin ini sudah kehendak Tuhan, jalur ngelmuku akan turun lewat si
Asih dan disempurnakan oleh Perguruan Pencak Silat Cempaka Putih asal gunung
Lawu Jawa Timur itu nduk!”, sang ibu-pun harus rela mendengar titah sang ayah,
ia khawatir, anak gadisnya kelayapam ndak karuan setiap malam minggu, namun
setelah sang ayah yang juga pendekar menjelaskan panjang lebar, ia menjadi
maklum, malah raut wajah sang ibu yang murung melepas Anak perawannya latihan
silat, kini berseri, berharap anak gadisnyan menjadi pendekar putri yang baik!.
Udara kampung Srimulyo mendadak
tersaput mendung, satu dua rintik gerimis membasahi halaman rumput yang
membentang menghijau, satu dua motor penduduk yang baru pulang dari ladang
menderu melintas lalu senyap kembali, tak lama seorang perempuan mengeluarkan
nampan berisi minuman hangat dan singkong rebus yang masih hangat mengepul!.
…………..sang pemuda terdiam, larut
oleh kisah seru kakek sepuh yang duduk bersila di atas tikar yang digelar di
teras rumahnya yang asri, dibenahinya ikat kepala melati gadung yang kini malah
ia lepaskan, udara sejuk mengusap kepala seketika, lambaian nyiur nampak elok, gerimis
berhenti sudah, mendadak siang cerah, suara anak kecil bermain ceria menggema
di pelosok kampung transimrasi di pedalaman Kalimantan yang subur tentram,
didengarkan dengan seksama uraian panjang lebar dari prajurit veteran Relawan
Dwikora jaman Bung Karno mengganyang Malaysia tahun 60-an silam, tokoh sepuh
yang sorot matanya masih tajam dengan suara berat berwibawa manakala bertutur
kata, menceritakan kisah leluhurnya dari Majapahit Kedaton Wetan atau tanah
Banyuwangi, tanah Blambangan sampai pertempuran sengitnya dengan pasukan khusus
dari Angkatan Darat kerajaan Inggris di perbatasan SerawakMalaysia-Kalimantan
Indonesia!.
“jadi, tarian gandrung Banyuwangi,
tarian puja-puji pada Dewi Sri, Dewi Padi yang sangat dihormati orang Majapahit
itu justru lahir manakala pasukan Macan Putih terdesak akibat kepungan VOC,
darah para kesatria majapahit kedaton wetan menggelegak, puncaknya puputan
bayu, leluhur kami menjadi pahlawan, menang, mempertahankan Blambangan selam 50
tahun, maka kami menyebut aku adalah ISUN, sama maknanya seperti saat orang
barat menyebut saya, I/ai atau saya, beda sekali kalau wong metaram bilang
dalem, kulo, kawulo, karena mereka telah terlebih dahulu menyerah pada eropa, lama
dijajah dan diperbudak, namun leluhur kami tetap tatag, tegak tegap sampai
tumbang dalam perang yang mengerikan, kengerian yang membuat gentar Belanda,
kegagahan dan kedigdayaan pasukan macan putih dari bumi majapahit di ujung
timur pulau jawa membuat Belanda mengeluarkan 80 ton emas untuk biaya penaklukan,
perang yang mahal, saking malunya pada dunia, mereka hanya menyebut perang di
jawa hanyalah perang Diponegoro saja, padahal perang yang dikobarkan senopati
Mataram itu hanya 5 tahun saja, biaya yang lebih besar manakala menaklukkan
Banyuwangi dan sekitarnya yang merupakan sisa majapahit terakhir di jawa mereka
hapus dari ingatan sejarah, sekali lagi, 80 ton emas selama 50 tahun penaklukan
kekuatan Majapahit di ujung timur pulau jawa mereka sembunyikan dari ingatan
sejarah dunia, bayangkan, jadi, saya dukung angger sekalian menempa remaja dan
pemuda kampung ini belajar pencak silat, agar darah prajurit dari leluhur
Majapahit kembali bangkit demi majunya negeri ini, maju mandiri dan jaya ngger!”
“pun dari guruku, yang juga guru
dari guru besar kalian Mbah Wagiman, ilmu lembu sekilan itu melindungi pasukan
kami dari dentuman mortir dan hajaran peluru tajam tentara Inggris, maka sungguh,
ilmu pencak silat Indonesia itu sangat menggentarkan dunia sejak dulu sampai
hari ini ngger sekalian, maka saya titip Asih kalian didik yang baik, jadikan
ia Srikandi Cempaka Putih, pendekar putri yang gagah berani berjiwa kesatria!,
kalau ada waktu, saya ingin mengirimnya ke Gunung Lawu agar bertemu guru besar
kalian di Padepokan, agar cucuku menyampaiakan salam juga titipin buat penerus
perguruan Mardi Anoraga Sakti yang kini sudah menjadadi Pencak Silat Cempaka
Putih, beberapa pusaka penting yang harus di bawa gadis perawan dan
disampaiakan kepada penerus jalur ngelmu para guru besar kami dulu ngger, dan
Asih cucuku yang sejak lahir di telapak tangannya sudah tergurat tanda yang
akan membawa pusaka itu langsung ke padepokan gunung lawu bertemu guru besar di
sana!”
….
Suasana hening, masing –masing
yang duduk bersila larut di dalam pikirannya masing-masing, mereka malah ada
yang sibuk mengunyah singkong yang hangat, sesekali minum, menikmati suguhan
sederhana namun bermanfaat, makanan organik, khas kampung, bebas pestisida dan
racun kimia!, makanan para pendekar sejak era luluhur nusantra masih berjibaku
dengan ilmu dan kanuragan yang sukar untuk di nalar di jaman sekarang yang
serba logika!.
Para pemuda dari perantauan,
pemuda yang lahir, tumbuh, besar di dalam didikan modernisasi, mendengar kisah
heroik, mendengar kedigdayaan bela diri pencak silat yang luar biasa sehingga
dunia malu mnegakui keberadaanya, semua menjadi satu, menyadarkan betapa luas
dan dalam samudera ilmu kanuragan nusantara yang selama ini mereka pelajari dan
tekuni, Pencak Silat!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar