Selasa, 12 September 2017

Sedulur Tunggal Jiwo MAS


Cerita Pencak Silat Kekinian



* MAS 1964 (Merdi Anoraga Sakti) leluhur PSCP 1974



…………………Sesampainya di kampung Srimulyo, mereka tanpa kesulitan menemukan rumah Ki Kromo Mangun, tokoh yang di hormati karena beliau adalah pejuang Dwikora tahun 60-an silam, dan sampai hari ini masih sehat dan trengginas, rumah yang sederhana, sejuk nyaman, halaman di hiasai berbagai tanaman obat tradisional, kolam ikan di sisi kanan rumah dengan pancuran yang mengalir jernih, hamparan kebun karet dan kebun singkong rapi sedap di pandang mata, pemandangan khas kampung transmigran dari jawa, arsitektur rumah pun sudah di rehap sedemikian rupa bermodel jawa, Joglo dengan empat pilar soko guru, sederhana namun kokoh.
Di gerbang regol depan rumah bergambarkan relief sepasang harimau loreng yang sedang posisi milar, melompati nyala api, sangat artistik namun agak bernuansa seram dan magis!.
Selesai mengucap salam, rombongan pemuda itu dipersilahkan sang empu rumah yang ramah tergopoh menyambut dengan senyum yang tulus, mereka dipersilahkan masuk, namun menolak halus karena suasana agak pengap, maka sepakatlah akhirnya duduk lesehan di teras rumah menikmati udara sejuk sambil bersila melingkar di alasi tikar pandan wangi yang dianyam rapi.
“begini Ki, kami mendengar banyak hal tentang panjenengan, saat menjadi komandan Milisi dari Jawa saat Bung Karno memerintahakan penyerbuan ke Malaysia karena tidak suka akan Negara boneka Inggris yang mengancam kedaulatan RI, karena Kalimantan akan dilepas dari ibu pertiwi, berdiri sebagai Negara baru, dari si Asih, yang kebetulan cucu penjenengan yang ikut latihan silat di lapangan kampung ini, kami ingin bertemu langsung untuk memperolh kisah yang mungkjin bagi kami anak muda jaman sekarang buta akan sejarah perjuangan leluhur kami Ki!”
Seorang pemuda berikat kepala melati gadung membuka percakapan mewakili beberapa kawannya yang duduk dengan tertib, duduk bersila seperti siswa padepokan menghadap sang guru besar!, dengan suara sopan tertahan, karena berhadapan seorang yang luar biasa berwibawa, seorang lelaki sepuh yang masih tegap, mata tajam teduh tenang, menggambarkan perjalanan hidup yang sarat pengalaman dan makna.
Sang kakek terkekeh, tawa seorang sepuh yang khas, dengan suara lembut namun berat ia meyambut dengan suka cita kedatangn pemuda yang ternyata pelatih pencak silat di kampungnya, dimana cucu kesayanganya, si Asih ikut belajar pencak bersama kawan-kawanya setiap malam Minggu, walau ibunya melarang.
Sebagai pendekar sepuh, si kakek menyemangati  “biarkan nduk anakmu ikut beladiri asal jawa timur itu, cerita si Asih perguruan itu dari gunung lawu, cempaka putih, aku dulu juga kenal seorang pendekar besar, Kangmas Mursid, kakak seperguruankau waktu belajar silat dari seorang Kyai di Banten, kalau ndak salah ia membuka padepokan Mardi Anoraga Sakti di Gunung Lawu, dan sekarang di teruskan Muridnya dan mengganti nama perguruanya menjadi Cempaka Putih, mungkin ini sudah kehendak Tuhan, jalur ngelmuku akan turun lewat si Asih dan disempurnakan oleh Perguruan Pencak Silat Cempaka Putih asal gunung Lawu Jawa Timur itu nduk!”, sang ibu-pun harus rela mendengar titah sang ayah, ia khawatir, anak gadisnya kelayapam ndak karuan setiap malam minggu, namun setelah sang ayah yang juga pendekar menjelaskan panjang lebar, ia menjadi maklum, malah raut wajah sang ibu yang murung melepas Anak perawannya latihan silat, kini berseri, berharap anak gadisnyan menjadi pendekar putri yang baik!.
Udara kampung Srimulyo mendadak tersaput mendung, satu dua rintik gerimis membasahi halaman rumput yang membentang menghijau, satu dua motor penduduk yang baru pulang dari ladang menderu melintas lalu senyap kembali, tak lama seorang perempuan mengeluarkan nampan berisi minuman hangat dan singkong rebus yang masih hangat mengepul!.
…………..sang pemuda terdiam, larut oleh kisah seru kakek sepuh yang duduk bersila di atas tikar yang digelar di teras rumahnya yang asri, dibenahinya ikat kepala melati gadung yang kini malah ia lepaskan, udara sejuk mengusap kepala seketika, lambaian nyiur nampak elok, gerimis berhenti sudah, mendadak siang cerah, suara anak kecil bermain ceria menggema di pelosok kampung transimrasi di pedalaman Kalimantan yang subur tentram, didengarkan dengan seksama uraian panjang lebar dari prajurit veteran Relawan Dwikora jaman Bung Karno mengganyang Malaysia tahun 60-an silam, tokoh sepuh yang sorot matanya masih tajam dengan suara berat berwibawa manakala bertutur kata, menceritakan kisah leluhurnya dari Majapahit Kedaton Wetan atau tanah Banyuwangi, tanah Blambangan sampai pertempuran sengitnya dengan pasukan khusus dari Angkatan Darat kerajaan Inggris di perbatasan SerawakMalaysia-Kalimantan Indonesia!.
“jadi, tarian gandrung Banyuwangi, tarian puja-puji pada Dewi Sri, Dewi Padi yang sangat dihormati orang Majapahit itu justru lahir manakala pasukan Macan Putih terdesak akibat kepungan VOC, darah para kesatria majapahit kedaton wetan menggelegak, puncaknya puputan bayu, leluhur kami menjadi pahlawan, menang, mempertahankan Blambangan selam 50 tahun, maka kami menyebut aku adalah ISUN, sama maknanya seperti saat orang barat menyebut saya, I/ai atau saya, beda sekali kalau wong metaram bilang dalem, kulo, kawulo, karena mereka telah terlebih dahulu menyerah pada eropa, lama dijajah dan diperbudak, namun leluhur kami tetap tatag, tegak tegap sampai tumbang dalam perang yang mengerikan, kengerian yang membuat gentar Belanda, kegagahan dan kedigdayaan pasukan macan putih dari bumi majapahit di ujung timur pulau jawa membuat Belanda mengeluarkan 80 ton emas untuk biaya penaklukan, perang yang mahal, saking malunya pada dunia, mereka hanya menyebut perang di jawa hanyalah perang Diponegoro saja, padahal perang yang dikobarkan senopati Mataram itu hanya 5 tahun saja, biaya yang lebih besar manakala menaklukkan Banyuwangi dan sekitarnya yang merupakan sisa majapahit terakhir di jawa mereka hapus dari ingatan sejarah, sekali lagi, 80 ton emas selama 50 tahun penaklukan kekuatan Majapahit di ujung timur pulau jawa mereka sembunyikan dari ingatan sejarah dunia, bayangkan, jadi, saya dukung angger sekalian menempa remaja dan pemuda kampung ini belajar pencak silat, agar darah prajurit dari leluhur Majapahit kembali bangkit demi majunya negeri ini, maju mandiri dan jaya ngger!”
“pun dari guruku, yang juga guru dari guru besar kalian Mbah Wagiman, ilmu lembu sekilan itu melindungi pasukan kami dari dentuman mortir dan hajaran peluru tajam tentara Inggris, maka sungguh, ilmu pencak silat Indonesia itu sangat menggentarkan dunia sejak dulu sampai hari ini ngger sekalian, maka saya titip Asih kalian didik yang baik, jadikan ia Srikandi Cempaka Putih, pendekar putri yang gagah berani berjiwa kesatria!, kalau ada waktu, saya ingin mengirimnya ke Gunung Lawu agar bertemu guru besar kalian di Padepokan, agar cucuku menyampaiakan salam juga titipin buat penerus perguruan Mardi Anoraga Sakti yang kini sudah menjadadi Pencak Silat Cempaka Putih, beberapa pusaka penting yang harus di bawa gadis perawan dan disampaiakan kepada penerus jalur ngelmu para guru besar kami dulu ngger, dan Asih cucuku yang sejak lahir di telapak tangannya sudah tergurat tanda yang akan membawa pusaka itu langsung ke padepokan gunung lawu bertemu guru besar di sana!”
….
Suasana hening, masing –masing yang duduk bersila larut di dalam pikirannya masing-masing, mereka malah ada yang sibuk mengunyah singkong yang hangat, sesekali minum, menikmati suguhan sederhana namun bermanfaat, makanan organik, khas kampung, bebas pestisida dan racun kimia!, makanan para pendekar sejak era luluhur nusantra masih berjibaku dengan ilmu dan kanuragan yang sukar untuk di nalar di jaman sekarang yang serba logika!.

Para pemuda dari perantauan, pemuda yang lahir, tumbuh, besar di dalam didikan modernisasi, mendengar kisah heroik, mendengar kedigdayaan bela diri pencak silat yang luar biasa sehingga dunia malu mnegakui keberadaanya, semua menjadi satu, menyadarkan betapa luas dan dalam samudera ilmu kanuragan nusantara yang selama ini mereka pelajari dan tekuni, Pencak Silat!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia