Cerita Pencak Silat Kekinian
Banyak
jalanan berkelok, menyusuri persawahan di lembah gunung Lawu yang maha luas,
petunjuk dari warga petani yang mereka temuai di sepanjang jalan malah membuat
mereka semakin naik, di timur nampak menjulang gunung Wilis, sebuah pemandangan
yang luar biasa, langit biru bersih, udara cerah namun sejuk, pegunungan yang
asri, sambung menyambung dari dataran tinggi Pacitan, Ponorogo, Magetan dan
Merapi di Jateng!.
Dari jauh, nampak
sesosok berpakian pereng mengenakan caping gunung, celana komprang sebatas
betis warna hitam, baju slabrug hitam, tanpa kancing, hanya di siset dengan
sebuah benang lawe berwarna putih, sesosok yang sedang sibuk mencabuti rumput
liar di pematang sawah, hamparan terasiring yang di penuhi rumpun padi yang
menghijau subur!.
Gemericik air
terdengar samar sayup-sayup dari sungai jernih di bawah mereka berjalan
tertatih, ah, berat nian minta tanda tangan warga tua, mana orangnya tidak ada,
menrurut sang bini sang suami sedang sibuk merawat tanaman di sawah, pergi
sejak pagi buta katanya, dengan berbekal info sawah dan jalan setapak yang
berkelok menuju lembah dan menghilang di gundukan bukit menanjak mereka memburu
sang Warga Tua, karena kalau amanat dari Padepokan tidak dijalankan dengan
baik, alamat mereka tidak akan disahkan menjadi warga tulen, aduhhh……mereka
sempat merasa lelah dan jengkel!.
Hari beranjak makin
siang, matahari makin meninggi, hangat udara, keringat menetes di kening lima
calon pendekar muda, mereka dengan energy yang tersisa mendaki tanjakan
terkhir, sebuah batu gunung raksasa membuat mereka yakin, karena menurut
informasi yang mereka terima, di sebelah batu itu sawah Pak surani berada!.
Berloncatan dari
pematang sawah yang satu ke jalan setapak yang rumpil, mereka trengginas,
memburu waktu, takut sang warga tua sudah tidak ada di tempat semula, setengah
berlari mendaki, terengah, satu satu nafas memburu, dada sesak, sisa tenaga
mereka kerahkan!.
……………….
“ooo, kapan dik pelantikannya?”
“Minggu Pak”
“ya, ya, kalau sudah jadi warga jangan menghilang, kembangangkan Cepe sampai ke
mana-mana, walau kalian nanti merantau, menikah, punya anak, cucu sampai usia
senja, ilmu pencak silat itu laksana samudra kehidupan, semakin dalam kau
selami, semakin banyak yang kau dapat, lihat dan saksikan untuk diambil hikmah,
untuyk diamalkan, sebagai bekal di alam langgeng kelak jika ajal tiba menghadap
Yang Maha Kuasa!”
Lima orang remaja tanggung merasa lega kini, remaja usia belasan berdiri
berjajar di pinggir pematang sawah, nampak seorang petani mengenakan seragam
pereng hitam-hitam, badan tegap, tinggi sedang, topi caping gunung
menyembunyikan raut wajah yang memancarkan sorot tenag, tajam berwibawa!, ia
sedang bediri tegak, di depannya ada lima orang penerus perjuangannya, ia
member instruksi dan petuah:
“baik, nama saya Suradi dik, sekarang saya sudah dewasa, 54 tahun, saya dulu
Siswa Mbah Wagiman di tahun 80-an, sekarang saya sudah punya cucu, hidup di
desa sebagai petani, pendekar itu jangan segan bercocok tanam, 4 elemen energi
alam menyatu manakala kalian mengayunkan cangkul, ada energi karep/niat,
donga/doa, lakuning pakaryan/mulai kerja sampai hasil semua menyatu, ansir
udara, air, tanah, panas menyatu, nyawiji, dari krenteg/niat sampai
tekan/sampai hasil, mengolah tanah pertiwi yang loh jinawi demi memayu hayuning
bawana langgeng!”.
Banyak nasehat dan bimbingan di pinggir pematang sawah itu, ujung padi yang
sedang tumbuh beriak berombak manakala angin siang berkesiur, sedap elok bumi
nusantara di pandang mata, seronok nian, siang sedang teduh, lalu pelahan namun
pasti lembah lawu diselimuti kabut yang mendadak turun, pepohonan nampak remang
dalam dekapan udara dingin, langit nampak putih, bagaikan masuk alam suwung,
alam tan kasat mata, semua serba putih, lembah Lawu yang menyimpan sejuta
misteri hidup, lembah dimana berdiri sebuah padepokan kanuragan, padepokan yang
di kenal dunia sebagai Padepokan Macan Putih, melahirkan Pendekar Pilih tanding
yang ber-panca setia dalam setiap gerak dan langkahnhya!.
“kerena hari telah siang, kalian telah datang dari jauh untuk meminta restu
dari saya sebagai warga Pscp yang dituakan, sudah saya terima, salam kagem Mbah
Man, Mbah Maelan, Mbah Kusdi dan tetua perguruan semua, saya tidak bisa turun
gunung pelantikan hari minggu nanti, maaf saya masih sibuk merawat padi dik,
padi inilah yang membuat perut masyarakat nusantara tetap kenyang dan berpikir
dengan jernih dan bijak, dan kalian semoga menjadi Pendekar Utama yang ber-Wiro
Yudho Wicaksono!”.
“sebelum tanda tangan saya berikan, coba balikkan badan kalian membelakangi
saya sambil memejamkan mata kalian semua, pasang kuda-kuda, bayangkan kalian
berada di tengah malam tanpa secercah cahaya, semua serba gelap,…yakkk.. mulai”
Bagai dihipnotis, ke lima remaja tanggung itu membalikkan badan, memasang
kuda-kuda ringan, membelakangi sang warga tua sambil memejamkan mata, lalu si
warga tua memberi arahan agar ia mendengar semua suara alam, suara desau angin
menyisir lembah, suara gemericik air di pancuran bening, suara aliran sungi,
suara nyanyian burung, …….jika ada sesuatu kekuatan yang memaksa kalian
bergerak, menangkis atau jatuh, jangan ditahan, lakukan saja tanpa ragu”
Kelimanya segera menjalankan perintah, ia merapal sebuah mantera “ hamemuji
sedulur papat limo pancer, etan, kulon lor lan kidul, ,,,,,”, lalu dengan cepat
satu persatu lima remaja itu diserang sang warga tua, sebuah gelombang serangan
dengan tangan terkepal deras menghantam batok kepala dari belakang, ia memukul
cepat, calon warga memberi reaksi secara reflek, kelimanya dengan lincah
berkelit, ada yang menjatuhkan diri lalu kembali pasang kuda kuda, ada yang
menangkap lalu menepiskan pukulan sang senior, ada yang menagkap dengan cekatan
lalu membalas memukul!, semua membuat sang senior puas, dasar-dasar ilmu Sapta
Panggraita, ilmu dari jaman pertengahan Wilwatikta, dimana seorang prajurit
akan mampu menghindari serangan pukulan, tendangan atau bahkan lesatan anak
panah atau pisau terbang walau di tengah kegelapan atau mata tertutup rapat,
mata bathinnya yang kuat disertai reflex yang terlatih memunahkan serangan
secara sempurna!, Sapta Pangraita, ilmu yang jarang terdengar dan terlihat di
era rimba persilatan modern, ilmu sinengker, rahasia dan wingit yang tersimpan
rapi di padepokan Macan Putih, sang senior yakin kini, sang calon Pendekar
Purwa telah dimiliki dasar ilmu itu, sang calon pendekar Purwa yang akan di
lantik di padepokan Gunung Lawu beberapa hari lagi oleh sang Jajaran Guru
Besar, Jajaran Pendekar Legenda Padepokan PSCP Pusat.
“baik, balikkan badan, dan mana kertasnya”
Kelimanya membalikkan badan, menyerahkan selembar kertas, sang petani bertopi
caping gunung segra terampil membubuhkan beberapa coretan kata-kata nasehat dan
terahkir tanda tangan pada kolom rekomendasi bagi segenap calon pendekar yang
siang itu di uji seorang warga yang dituakan di lembah gunung Lawu!.
Seorang siswa memberi sebungkus rokok, sang senior nyegir, sebuah tawa riang, tertawa
dengan jenaka : “hheeeeeheee….kalau di majalah Liberty aku lihat satu kali
memberi wejangan atau menurunkan ilmu maharnya minim 5 ratus ribu, kalian
berlima memberi sebungkus rokok jarum 76 seharga 12 ribuan kurang lebihnya,
tapi saya teriama dengan senang, kenang-kenangan atas kalian yang serius
mempertahankan warisan leluhur nusantara, dan menolak untuk malas-malasan main
hape, main game online seharian tidak mau membantu orang tua…heheeeee….semoga ilmu
kalian berguna bagi sesama dik, jangan disalah gunakan ya, ilmu itu bukan
barang jualan, jangan di tiru yang sok ber-ilmu, ngasih ini itu dengan imbalan
harta benda, pesen sang Dwija dik, jangan pernah menjual ilmu yang kalian
pelajari di pencak silat, kalian akan kualat!!”
Kelima remaja nyengir, garuk-garuk kepala, merasa malu akan kalimat terakhir
sang warga tua yang seakan menembus ulu hati secara langsung, nyengir yang
rikuh, tawa kembang tak jadi mekar, tawa malu-malu gimana gitu!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar