Senin, 11 September 2017

CANDRADIMUKA WIRO YUDHO WICAKSONO

JIWA KORSA
BAYAR HUTANG






Langit sebelah timur semburat memerah saga, di antara gumpalan awan kelabu yang bergerombol menyelimuti ujung kaki langit dari batasan mata memandang, bias batang-batang sinar matahari gagat rahina mulai mengoyak mendung pekat dan dingin dinihari yang telah lewat beberapa saat yang lalu.


Pagi mulai merangkak menyambut datangnya hari baru yang mulai terbangun dari tidur lelapnya, lelap di malam panjang yang membosankan, malam yang sangat jenuh, malam di mana guyuran hujan berkepanjangan sejak sore sampai jauh lewat tengah malam, jalanan basah, satu dua genangan air membuat kolam-kolam kecil, jalanan di nun jauh pedalaman negeri ini, benar-benar sempurna terisolir dari peradaban modern.


Angin dingin menggoyangkan pucuk-pucuk pohon dan dedaunan, satu dua daun-daun yang tua menguning jatuh lalu tercampak di atas tanah yang menghitam karena tak cukup cahaya menerangi permukaan bumi, suasana masih senyap dan dingin, satu dua pula menyela kokok ayam jantan yang melengking, mengoyak sepi, bersahut-sahutan, menandakan hari baru telah tiba.


Cericit bunyi burung-burung liar dan lenguh sapi di kandang bersahut-sahutan pula tak kalah ramai, malam yang senyap telah berganti menjadi hiruk pikuk yang seronok, hari baru di pedalaman dengan kampung-kampungnya yang sederhana tata bangunan dan dengan jalanan seadanya, hari baru di sebuah perkampungan yang sebagian penduduknya berasal dari pulau Jawa.


Nampak dua orang masih duduk bersila di atas amben sebuah ruangan, sebuah ruangan di sebuah rumah yang sederhana namun terawat, ruangan rumah yang cukup bersih, ruangan yang nyaman dengan hiasan foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala mengapit sang Garuda Pancasila.


Keduanya duduk di atas tikar pandan yang di bentangkan di atas sebuah amben dari bambu kuning yang di susun sedemikian rupa sehingga nampak artistik, nampak nyeni sekali, amben bambu kuning yang cukup kuat untuk di duduki sambil bersila oleh dua orang bahkan lebih, di hadapannya dua gelas minuman kopi hitam yang tinggal separuh, dan sepiring singkong rebus yang masih menyisakan beberapa potong nampak tergolek, telah menjadi dingin dan agak keras, singkong dan segelas kopi, hidangan istimewa di dalam suasana yang masih separuh senyap dan masih sangat dingin, dingin yang masih kuat membalut.


Berbincang dengan serius keduanya sangat keras berfikir, ditandai dengan tangan yang bersedekap dan mata terpejam dengan tarikan nafas yang dalam lalu di hembuskan diiringi suara yang berat tertahan namun tenang, perbincangan antara dua orang berjiwa muda di usia matang yang sedang dalam suasana panas-panasnya bergolak darah perjuangan.
……………………….
"jika manusia bisa berfikir secara jernih, maka ada sesuatu yang akan membuatnya yakin kalau hukum sebab akibat akan selalu berada dalam setiap kehidupannya sejak bangun pagi sampai kembali lagi berangkat naik ke pembaringan waktu malam tiba"


"apa maksud dari kalimat panjang yang baru saja mas Anjar ucapkan tadi?"


"inti dari semua kalimat panjang bertele-tele sejak pertama sampai akhir tadi hanya satu, Pencak Silat mengajarkan ajaran ilmu rasa, tenggang rasa, menghormati perasaan orang atau mahluk lain, dimana mereka kurang lebih sama dengan kita, ingin di hormati, ingin di pandang, tidak ingin di sakiti dan lain sebagainya, namun karena dunia sekarang berubah menuju peradaban serba uang dan senang-senang, perasaan tenggang rasa itu masih ada namun sangat samar keberadaanya di sudut hati dan nurani kita sebagia insan yang lemah ini, dan sayangnya hanya sedikit dari kita yang memilikinya, sekali lagi saya katakan hanya sedikit dari umat manusia yang memilikinya, maka pencak silat nguri-uri perasaan itu agar ia kembali menjelma menjadi jati diri budaya bangsa ini, mungkin itulah kurang dan lebihnya, dan saya yakin sedikit banyak panjenengan mengerti apa yang baru saja saya ucapkan"




Lalu disambung lagi dengan beberapa kalimat yang tak kalah panjangnya, terakhir yang baru saja ia katakan dengan kalimat baru yang tak kalah juga betapa dalam penjiwaanya, ia tengadah sambil memejamkan mata, ia berucap lirih namun tegas dan terdengar penuh pendalaman makna akan kata-kata yang keluar dari mulutnya, sebuah kalimat yang mendarah daging di jiwanya, kata-kata yang keluar dan terucap dengan sangat jelas, jelas di dengar lawan bicaranya yang juga serius berfikir tentang apa yang menjadi intisari diskusi panjang sejak malam tadi.

"Di daerah ini saya amati, termasuk juga saya simpulkan, juga apa yang kita berdua ini jalani selama ini, sebagai pendatang dari Jawa yang membawa ajaran Pencak Silat, mengapa ya, kok saya merasa bahwa semua aliran bela diri dan semua perguruan saling memberi klaim bahwa merekalah yang terbaik, terbenar, terhebat, terjaya, terkuat dan ter ter yang lainnya yang menonjolkan ego masing-masing, termasuk kita mungkin, saya dan panjenengan mas"


Kawan bicararanya mendengarkan dengan cukup tenang namun penuh minat dan keseriusan yang tinggi, sesaat kemudian keduanya terdiam, suasana makin senyap saja, lalu seakan sudah di beri perintah oleh otak dan sepenuh kesadaran, keduanya serentak hampir berbarengan meminum beberapa teguk sisa kopi yang kini telah menjadi dingin namun tak mengurangi nikmat dan citarasanya.


Citarasa dari segelas kopi, dan ia terhidang sebagi minuman umat manusia yang suka dengan sebuah ciri khas rasa sejati teman berdiskusi mencari sebuah intisari dan makna hakiki, kopi dan perbincangan serius, bagai dua sisi mata uang yang saling terkait dengan kuat satu dengan yang lainnya.


Lalu, yang nampaknya lebih muda dari satunya membalas kalimat panjang yang sambung menyambung itu dengan sangat tenang.


"Itu pertanyaan yang banyak keluar dari sosok-sosok yang mampu berfikir kritis dan cerdas, di negeri ini, perguruan pencak silat, baik yang besar dalam arti banyak anggota warganya maupun yang minoritas, hanya di ajarkan di kalangan keluarga sendiri saja, baik yang memiliki padepokan yang megah dan besar dan memiliki cabang di mana-mana maupun hanya hidup di lingkungan kampung, atau hanya berkembang di salah satu keluarga saja, karena satu hal dan banyak sebab aliran pencak silat akan membentuk aliran yang baru karena banyak hal dan sebab juga, baik sebab dari luar maupun sebab dari dalam aliran itu sendiri, IPSI hanya sebagai simbol pemersatu yang makin hari makin tumpul dan ompong gigi-giginya, tidak cukup punya power meyatukan semua perbedaan itu dalam satu bingkai lukisan yang indah dan sedap di nikmati panca indera kita, itulah awal mula munculnya klaim terkuat, terhebat, ter ini ter itu dan ter ter lainnya itu dari masing-masing perguruan dan aliran pencak silat di tanah air kita ini".


"Ya, itu banyak di ulas di pertemuan-pertemuan IPSI mas, sayang, sampai hari ini, dunia persilatan tanah air masih sibuk dengan keangkuhan ego masing-masing manusianya, kalau semua satu, hanya membawa satu bendera IPSI saja, saja yakin, walau lambat dan lama, ia akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, karena ketika semua aliran itu menyatu dalam keanggotaan Ikatan Pencak Silat Indonesia, maka perbedaan dan ego akan hilang pelahan-lahan, yang ada semangat kerja bareng untuk membuat suatu kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangan pencak silat itu sendiri, apapun itu warna baju seragam, lambang, simbol, bendera dan aliran perguruan Pencak Silatnya"


"Syukurlah, kalau mendengar itu, saya masih memiliki sedikit keyakinan, bahwa suatu hari dan suatu saat IPSI akan bangun, bangkit dan mulai mampu menjadi sosok pemersatu semua aliran yang berbeda, walau semua sama-sama paham dan tahu, inti sari pencak silat itu hanya satu, yakni tak lebih tak kurang ia adalah filosofi budaya asli dari negeri ini yang telah mendarah daging di masa kejayaan leluhur kita dahulu, dan dari diskusi kita ini, sedikit banyak kita telah memahami apa yang menjadi inti permasalahan mengapa dunia persilatan di tanah air kita ini sangat menjemukan, semakin tidak menarik dan di tinggalkan remaja serta anak-anak muda yang notabene akan menjadi pemimpin masa depan negeri ini, sayang sekali!!!!!"


“Baiklah mas, karena waktu sudah semakin terang, saya langsung saja mengulas rencana minggu ini, karena jika kita keasyikan ngobrol dan diskusi tentu berlangsung 7 hari 7 malam lagi, dan akan makin dalam saja penelusuran kita tentang IPSI, mengulang diskusi dan bagian inti malam kita tadi berbincang sampai pagi hari ini dan tak terasa telah tiba waktu pagi, dan minggu depan sesuai hasil rapat-rapat kita semua terdahulu yang telah banyak membuat keputusan, maka dari semua ranting yang ada di sini, siswa yang telah naik tingkat ke calon warga sudah siap lahir dan batin untuk di sahkan sebagai warga Purwa, yang belum 15 tahun kita pending di mori kecil seperti prosedur yang selama ini kita jalani, dan malam ini mungkin di susul malam besok dan besoknya lagi, kita masih harus lebih banyak begadang lagi untuk memberi bekal bagi adik-adik seperguruan kita menghadapi malam pendadaran calon warga”


“Kalau saya sih mendukung saja mas, apalagi warga dan calon warga semua sudah kompak, tidak seperti saat kita berdua baru sampai di daerah ini 15 tahun yang lalu, semua masih serba merintis, dan kini walau masih sedikit, warga muda yang ada tentu akan nyengkuyung acara kenaikan tingkat dan calon warga minggu depan”.
……………………..
Seminggu sesudah diskusi dua orang muda tadi, hiruk pikuk kehidupan berjalan seperti biasa, namun di kampung itu, di sebuah tempat yang biasa di pakai bermain bola, di sebuah tanah lapang yang subur rumputnya menghijau terhampar, suasana minggu pagi sangat cerah, walau malam sebelumnya hujan yang di sertai angin badai sempat merobohkan batang-batang pepohonan, namun seiring berlalunya sang badai maka hari baru yang sangat cerah telah tiba juga akhirnya.


Nampak membentang di tanah lapang itu barisan panjang bersap-sap pemuda dan remaja dari berbagai usia mengenakan seragam pencak silat, kebanyakan dari merka remaja usia sekolah, baik SD, SLTP maupun SLTA dan yang sederajat bahkan yang sudah bekerja.


Sinar matahari baru saja naik, keemasan, hangat, menerpa kulit-kulit wajah yang sedang hiruk pikuk menyusun barisan, beberapa senior sibuk memberi instruksi kepada siswanya yang masih sibuk dengan urusan mereka semenjak merapat di lapangan tersebut.


"Perhatian-perhatian, bagi siswa sabuk hitam, kuning, hijau, biru dan calon warga, agar membentuk barisan menurut tingkat sabuknya masing-masing, jangan per ranting, karena akan memudahkan pengaturan di dalam gedung nantinya, pengumuman di ulang, bagi siswa segera berkumpul dari arah Timur, paling Timur siswa Sabuk Hitam, sebelahnya sabuk Kuning, sebelahnya lagi sabuk Hijau, kemudian di susul sabuk Biru dan calon warga yang makek mori kecil, cepat, saya hitung sampai 9....satu...dua....."


Beberapa sap barisan yang semula membentuk barisan per ranting masing-masing daerah asal para siswa yang mengenakan seragam pencak silat itu sontak bubar, kocar-kacir, jika tidak cepat menuruti instruksi pertanda mereka akan menambah hutang, bukan uang tapi hutang hukuman yang kian hari kian menumpuk belum terlunaskan.


Hutang karena banyak siswa malas, banyak yang melanggar prosedur, akhirnya semua individu yang bersalah di akumulasikan jumlah denda sanksi hukumannya, manakala ada kegiatan di cabang maka akan di umumkan total hutang yang harus di lunasi semua siswa dan calon warga.


Belum selesai hitungan masuk angka 9, semua yang ada sesuai instruksi salah satu senior telah membentuk barisan baru, ada 5 barisan panjang, masing-masing mengenakan seragam sesuai dengan warna sabuk atau tingkatan mereka, sabuk polos, sabuk kuning, sabuk hijau, sabuk biru dan calon warga dengan mori kecilnya, serta warga.


Maka demikianlah, manakala cahaya matahari pagi semakin terasa hangat menerpa di kulit wajah, di mana langit biru membentang dengan hembusan angin semilir yang segar menggoyangkan kain seragam yang mereka kenakan, nampak wajah-wajah segar yang penuh semangat, terasa sekali kekuatan semangat dan energi yang berkesiur menyatu dikerumunan beratus-ratus manusia muda remaja baik yang bersakral warga maupun yang bersabuk siswa dan calon warga, itu sangat-sangat terasa sekali di cerna segenap indera para senior-seniornya.


Baru akan membuka kata-kata, sang senior yang sedang mejadi pusat pimpinan di lapangan bola itu tertarik akan sebuah titik di ujung barisan paling barat, dimana ada pergerakan dari ujung tanah lapang, seorang siswa sabuk biru nampak tergopoh-gopoh berlari memasuki barisan, baru saja datang ia nampaknya.


"yang baru hadir menghadap ke saya, cepat"


Yang baru saja menyusup di barisan siswa bersabuk biru kaget setengah mati mendengar teriakan dari seniornya, dengan tak kalah kaget dan tergopoh-gopoh pula, ia melesat berlari menuju sang senior yang melotot marah.


"kamu dari mana"


"ranting Tering kak"


"jam berapa ini,kamu tadi berangkat kesiangan ya"


"mamama..maaf kak, sa.sasa..saya membantu mamak mengangkut barang dagangan ke pasar sejak subuh, baru saja selesai jam 7 tadi, jadi saya datang telat"


"ya, itu hanya kata-kata alasan belaka, entah benar entah salah saya tidak butuh konfirmasi dan alasan model apapun, apa aturan di rantingmu jika datang telat di kegiatan dan latihan"


"push up dan lari keliling lapangan kak"


"siapa pelatihmu"


"kak Dino kak"


Maka sang senior memanggil sebuah nama, lalu seorang warga yang mengenakan seragam bersakral dengan sabuk warga datang mendekat ke arah mereka yang sedang bersitegang,satu senior dan satunya lagi siwa sabuk Biru!.




"ok, makasih kak Dio...eh, kak Dino, ini siswamu datang telat, alasan membantu mamaknya mengangkut barang dagangan kepasar, apa hukuman bagi siswa yang telat datang ke tempat latihan":


"push up dan keliling lapangan, jika sekali telat dan diulang lagi maka akan di lipatkan dari jumlah push up dan keliling lapangannya, anak ini sering datang telat ke lokasi latihan kak, alasannya ada saja, dan total hutang hukuman yang belum di lunasi oleh siswa dan calon warga di cabang kita dan ini semua tercatat rapi di buku saya ini semuanya sudah ada angka 10.000 hutang push up dan 1000 kali keliling lapangan bola, angka 10.000 push up dan 1000 kali keliling lapangan ini akumulasi hutang-hutang mereka semua selama hampir satu tahun ini"




"jika tidak lunas hutangnya apa konsekuensinya kak Dino"


"kelulusan di tingkat sabuk bagi siswa dan warga bagi calon warga akan di perpanjang setahun lagi kak, sampai total hutang-hutang hukumannya di lunasi"


"perhatian-perhatian, semua yang sedang berbaris di lapangan ini, perhatikan.....semuanya....SIAAAAPPPPP GRRAAKKKK.....setengah lengan lencang kanan grak,......tegaaakkkk graaakkkk.....dari sabuk Hitam di ujung paling timur barisan ini, hitung.....Mulai!"


Terdengar teriakan dari barisan depan paling ujung timur, "satu...dua tiga...empat....lima...enam...tujuh..........dst …..lalu di tutup suara dari arah ujung barat barisan.....kurang dua"


"Ok, dari kalkulator di hape saya saya kalikan, ada 755 orang, ditambah yang datang telat jadi 756, maka saya tawarkan, total hutang push up dan keliling lapangan dari seluruh ranting di total di cabang sampai hari ini ada 10.000 push up dan 1000 kali berlari keliling lapangan, kami seluruh senior menawarkan kompensasi, jika semua yang hadir bersedia membayar hutang secara kerjasama, kolektif dan bareng-bareng, silahkan yang bersedia membayar hutang ramai-ramai segera mengambil posisi push up, push up dengan tangan mengepal, push up dengan sikap melompat atau gejrugan, jadi kalian push up dengan tangan mengepal dan pada hitungan selanjutnya kalian angkat tubuh setapak demi setapak maju ke depan sambil mengatur nafas sampai ujung lapangan, jika separuh dari seluruh yang hadir atau minimal 378 orang atau lebih lagi mampu mencapai ujung tanah lapang ini, maka hutang 10.000 push up dan 1000 kali keliling lapangan di anggap lunas dan tidak akan di tagih lagi setiap latihan gabungan, kecuali ada pelanggaran baru sejak kalian semua melunasi hutang hukuman, siapa yang tidak setuju angkat tangan tanpa suara mulut"




Suasana senyap, hening, sepi, tidak ada yang bergerak, sangat tenang, semuanya rela ndak rela diam menurut saja, tidak ada yang keberatan, semua paham, satu saja siswa yang melanggar, semua pasukan besar ini akan menanggung akibatnya beramai-ramai, konsekuensi sebuah kekeluargaan, jika protes akan di tambah hutangnya dengan angka yang lebih fantastis lagi, busyettt....!!!!!.


Hampir setahun latihan di ranting masing-masing, baik siswa yang aktif maupun yang sering bolos jadi kaget sekaget-kagetnya, hutang push up mereka sedemikian gila-gilaan membengkak tajam, ngalah-ngalahin hutang di rentenir saja layaknya, mampus mendadak jika push up 10.000 kali masih di tambah 1000 kali keliling lapangan bola yang luas membentang ini, gilaaa, busyetth dah, benar-benar gilaaaa!!!!!!!!.


“Kenapa kalian diam dan membisu, tidak bergerak seorangpun, sudah tradisi di cabang kita ini, hutang hukuman push up dan lari keliling lapangan bola bagi setiap pelanggraran aturan akan di akumulasikan per siswa menjadi satu, jadi semua di tanggung seluruh siswa ranting, maka kesalahan satu siswa di tangung satu ranting, dan setiap latihan gabungan kesalahan satu ranting di tanggung satu cabang, jadi ini masih pagi, suasana masih segar, saya berharap kalian semua bersikap kesatria, mau mentaati aturan yang sudah kalian sepakati bersama-sama sejak masuk menjadi siwa Pscp, akumulasi seluruh ranting di kegiatan gabungan ini ada 10.000 push up dan 1000 kali keliling lapangan bola, ini menunjukkan tingginya pelanggran dan ketidak disiplinan kalian semua, heeeeiiiiii..dengar tidak itu yang pojok barat....siapa itu yang ribut sendiri tidak mendengarkan instruksi dan kata-kata saya,,,,sekarang juga, perhatian, khusus bagi seluruh calon warga di barisan pojok barat, .....siaaaaapppppp graaakkkk, ambil posisi push up cepat saya hitung..satu…dua…tiga…………....lima puluh, cukup”


Di tengah suasana tegang, seorang calon warga sibuk ngobrol berdebat dengan kawan di sisi kanannya, ketahuan sang senior yang sedang teriak-teriak, maka satu barisan calon warga kena push up awal 50 kali, di hitung secepatnya hitungan, semua yang mengikuti hitungan push up terpaksa bergerak sambil menahan nafas agar bisa menyesuaikan gerakan push up dengan hitungan sang senior, maka selesai hitungan ke 50 muka mereka panas bagai di bakar, nafas memburu, namun badan terasa sangat ringan.
……………………..
……………………………..
Matahari cemerlang, sinar hangatnya menyirami muka mayapada, hutan, kebun, pekarangan, semua tersiram cahaya gemilang, cahaya terang benderang keemasan, dan di tanah lapang yang luas membentang itu, beratus-ratus pemuda dan remaja berbagai usia sedang menjalani proses pendewasaan diri, mau tidak mau, yang disiplin rajin, dan yang malas alias yang tidak disiplin akhirnya merasakan juga hukuman massal, bukan main sensasinya menanggung bareng-bareng hukuman gila-gilaan itu.


Mereka mengambil posisi push up, di hitung satu maka naik sambil menggejrugkan kepalan tangannya ke atas permukaan tanah lapang yang berumput hijau segar, mereka serempak melompat semampunya ke depan, dan di hitung lagi dua, sampai di hitungan ke 28 banyak siswa yang tercecer, tidak mampu bergerak, hanya mampu push up di tempat saja, di hitungan ke 107 menjelang pertengahan tanah lapang, separuh lebih yang mampu mencapainya, dan di akhir tanah lapang, di hitungan ke 314, separuh lebih sedikit yang mampu mencapai ujung tanah lapang itu.


Semua tergeletak, semua menahan penat dan kebas di ujung kepalan tangan akibat benturan dengan rumput di atas tanah yang kadang terselip batu kerikil yang membuat lecet di sana sini, perih, perih dan kebas.


Baju sakral yang mereka gunakan membasah, terasa kontras dengan hangatnya sinar sang surya yang menyengat kulit wajah mereka, nafas terengah-engah, satu dua yang sudah tataran siswa sabuk hijau dan biru mulai mengatur nafas untuk theraphy pemulihan cidera, merasakan energi alam yang berkesiur di sekeliling mereka, menyalurkanya di paru-paru dan lambung, memampatkan untuk sesaat lamanya, menghembuskan dan lalu diam sesaat lamanya merasakan lecet dan pegal yang berangsur-angsur mulai berkurang dan pelan-pelan rasa sakit perih dan kebas muali hilang.


Satu dua siswa yang masih tataran sabuk hitam dan kuning ada yang berhasil mencapai ujung tanah lapang, di bantu senior pelatihnya mereka berusaha menutup rasa sakit dan penat dengan olah pernafasan dasar yang langsung di berikan saat itu juga, kawan-kawannya yang gagal hanya mampu memandang dari kejauhan sambil mengatur nafas di bimbing senior-senior mereka.

Tepat jam 9 pagi, semua hutang lunas terbayar, mereka tertib memasuki balai kampung, guna mengikuti acara pelantikan warga purwa, hutang lunas, dan di dada mereka tergurat satu tekat yang bulat, mereka telah bertekat untuk disiplin mentaati tata tertib latihan dan semua aturan yang telah mereka sepakati bersama, kapok jika menumpuk hutang, ngilu, sakit, perih dan sejuta rasa tidak enaknya hukuman akan menjadi hidangan wajib, kapok...kapok dan kapoklah mereka yang bandel.....semoga bukan kapok lombok....!!!!!

Jiwa korsa yang di tempa di kawah candradimuka Wiro Yudho Wicaksono sejak mula pertama mereka menandatangani surat permohonan dan pernyataan bergabung menjadi bagian dari perguruan pencak silat Cempaka Putih!.



WIRO YUDHO WICAKSONO-SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.


(Dokumentasi kenaikan tingkat PSCP Kubar Wilayah Kalimantan Timur, Minggu 21 Januari 2017 di Kampung Sekolaq Joleq, fotografer by: Eksel Pasmatih Ranting Joleq).





Selesai


(keterangan istilah, Kapok Lombok, untuk memberi istilah bagi pelanggar yang kapok sesaat setelah di kenai sanksi hukuman, namun di lain hari mengulangi lagi, terus menerus sehingga terbiasa, seperti orang makan sambel atau cabe, merasa pedas sekali sesaat memakannya namun karena ada sensasi enak di ulang lagi makan lombok untuk esok dan esok seterusnya).








Salam Tunggal Jiwa, Wiro Yudo Wicaksono.




Kutai Barat 2016-2017
Terinspirasi kegiatan di hari Pelantikan Warga Purwa Pencak Silat Cempaka Putih Cabang Kutai Barat-Kaltim.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia