JIWA KORSA
Langit sebelah timur semburat
memerah saga, di antara gumpalan awan kelabu yang bergerombol menyelimuti ujung
kaki langit dari batasan mata memandang, bias batang-batang sinar matahari
gagat rahina mulai mengoyak mendung pekat dan dingin dinihari yang telah lewat
beberapa saat yang lalu.
Pagi mulai merangkak menyambut
datangnya hari baru yang mulai terbangun dari tidur lelapnya, lelap di malam
panjang yang membosankan, malam yang sangat jenuh, malam di mana guyuran hujan
berkepanjangan sejak sore sampai jauh lewat tengah malam, jalanan basah, satu
dua genangan air membuat kolam-kolam kecil, jalanan di nun jauh pedalaman
negeri ini, benar-benar sempurna terisolir dari peradaban modern.
Angin dingin menggoyangkan
pucuk-pucuk pohon dan dedaunan, satu dua daun-daun yang tua menguning jatuh
lalu tercampak di atas tanah yang menghitam karena tak cukup cahaya menerangi
permukaan bumi, suasana masih senyap dan dingin, satu dua pula menyela kokok
ayam jantan yang melengking, mengoyak sepi, bersahut-sahutan, menandakan hari
baru telah tiba.
Cericit bunyi burung-burung liar dan
lenguh sapi di kandang bersahut-sahutan pula tak kalah ramai, malam yang senyap
telah berganti menjadi hiruk pikuk yang seronok, hari baru di pedalaman dengan
kampung-kampungnya yang sederhana tata bangunan dan dengan jalanan seadanya,
hari baru di sebuah perkampungan yang sebagian penduduknya berasal dari pulau
Jawa.
Nampak dua orang masih duduk bersila
di atas amben sebuah ruangan, sebuah ruangan di sebuah rumah yang sederhana
namun terawat, ruangan rumah yang cukup bersih, ruangan yang nyaman dengan
hiasan foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kala mengapit sang
Garuda Pancasila.
Keduanya duduk di atas tikar pandan
yang di bentangkan di atas sebuah amben dari bambu kuning yang di susun
sedemikian rupa sehingga nampak artistik, nampak nyeni sekali, amben bambu
kuning yang cukup kuat untuk di duduki sambil bersila oleh dua orang bahkan
lebih, di hadapannya dua gelas minuman kopi hitam yang tinggal separuh, dan
sepiring singkong rebus yang masih menyisakan beberapa potong nampak tergolek,
telah menjadi dingin dan agak keras, singkong dan segelas kopi, hidangan
istimewa di dalam suasana yang masih separuh senyap dan masih sangat dingin,
dingin yang masih kuat membalut.
Berbincang dengan serius keduanya
sangat keras berfikir, ditandai dengan tangan yang bersedekap dan mata terpejam
dengan tarikan nafas yang dalam lalu di hembuskan diiringi suara yang berat
tertahan namun tenang, perbincangan antara dua orang berjiwa muda di usia
matang yang sedang dalam suasana panas-panasnya bergolak darah perjuangan.
……………………….
"jika manusia bisa berfikir
secara jernih, maka ada sesuatu yang akan membuatnya yakin kalau hukum sebab
akibat akan selalu berada dalam setiap kehidupannya sejak bangun pagi sampai
kembali lagi berangkat naik ke pembaringan waktu malam tiba"
"apa maksud dari kalimat
panjang yang baru saja mas Anjar ucapkan tadi?"
"inti dari semua kalimat
panjang bertele-tele sejak pertama sampai akhir tadi hanya satu, Pencak Silat
mengajarkan ajaran ilmu rasa, tenggang rasa, menghormati perasaan orang atau
mahluk lain, dimana mereka kurang lebih sama dengan kita, ingin di hormati,
ingin di pandang, tidak ingin di sakiti dan lain sebagainya, namun karena dunia
sekarang berubah menuju peradaban serba uang dan senang-senang, perasaan
tenggang rasa itu masih ada namun sangat samar keberadaanya di sudut hati dan
nurani kita sebagia insan yang lemah ini, dan sayangnya hanya sedikit dari kita
yang memilikinya, sekali lagi saya katakan hanya sedikit dari umat manusia yang
memilikinya, maka pencak silat nguri-uri perasaan itu agar ia kembali menjelma
menjadi jati diri budaya bangsa ini, mungkin itulah kurang dan lebihnya, dan
saya yakin sedikit banyak panjenengan mengerti apa yang baru saja saya
ucapkan"
Lalu disambung lagi dengan beberapa
kalimat yang tak kalah panjangnya, terakhir yang baru saja ia katakan dengan
kalimat baru yang tak kalah juga betapa dalam penjiwaanya, ia tengadah sambil
memejamkan mata, ia berucap lirih namun tegas dan terdengar penuh pendalaman
makna akan kata-kata yang keluar dari mulutnya, sebuah kalimat yang mendarah
daging di jiwanya, kata-kata yang keluar dan terucap dengan sangat jelas, jelas
di dengar lawan bicaranya yang juga serius berfikir tentang apa yang menjadi
intisari diskusi panjang sejak malam tadi.
"Di daerah ini saya amati,
termasuk juga saya simpulkan, juga apa yang kita berdua ini jalani selama ini,
sebagai pendatang dari Jawa yang membawa ajaran Pencak Silat, mengapa ya, kok
saya merasa bahwa semua aliran bela diri dan semua perguruan saling memberi
klaim bahwa merekalah yang terbaik, terbenar, terhebat, terjaya, terkuat dan
ter ter yang lainnya yang menonjolkan ego masing-masing, termasuk kita mungkin,
saya dan panjenengan mas"
Kawan bicararanya mendengarkan
dengan cukup tenang namun penuh minat dan keseriusan yang tinggi, sesaat
kemudian keduanya terdiam, suasana makin senyap saja, lalu seakan sudah di beri
perintah oleh otak dan sepenuh kesadaran, keduanya serentak hampir berbarengan
meminum beberapa teguk sisa kopi yang kini telah menjadi dingin namun tak
mengurangi nikmat dan citarasanya.
Citarasa dari segelas kopi, dan ia
terhidang sebagi minuman umat manusia yang suka dengan sebuah ciri khas rasa
sejati teman berdiskusi mencari sebuah intisari dan makna hakiki, kopi dan
perbincangan serius, bagai dua sisi mata uang yang saling terkait dengan kuat
satu dengan yang lainnya.
Lalu, yang nampaknya lebih muda dari
satunya membalas kalimat panjang yang sambung menyambung itu dengan sangat
tenang.
"Itu pertanyaan yang banyak
keluar dari sosok-sosok yang mampu berfikir kritis dan cerdas, di negeri ini,
perguruan pencak silat, baik yang besar dalam arti banyak anggota warganya
maupun yang minoritas, hanya di ajarkan di kalangan keluarga sendiri saja, baik
yang memiliki padepokan yang megah dan besar dan memiliki cabang di mana-mana
maupun hanya hidup di lingkungan kampung, atau hanya berkembang di salah satu
keluarga saja, karena satu hal dan banyak sebab aliran pencak silat akan membentuk
aliran yang baru karena banyak hal dan sebab juga, baik sebab dari luar maupun
sebab dari dalam aliran itu sendiri, IPSI hanya sebagai simbol pemersatu yang
makin hari makin tumpul dan ompong gigi-giginya, tidak cukup punya power
meyatukan semua perbedaan itu dalam satu bingkai lukisan yang indah dan sedap
di nikmati panca indera kita, itulah awal mula munculnya klaim terkuat, terhebat,
ter ini ter itu dan ter ter lainnya itu dari masing-masing perguruan dan aliran
pencak silat di tanah air kita ini".
"Ya, itu banyak di ulas di
pertemuan-pertemuan IPSI mas, sayang, sampai hari ini, dunia persilatan tanah
air masih sibuk dengan keangkuhan ego masing-masing manusianya, kalau semua
satu, hanya membawa satu bendera IPSI saja, saja yakin, walau lambat dan lama,
ia akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, karena ketika semua aliran itu
menyatu dalam keanggotaan Ikatan Pencak Silat Indonesia, maka perbedaan dan ego
akan hilang pelahan-lahan, yang ada semangat kerja bareng untuk membuat suatu
kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangan pencak silat itu sendiri, apapun itu
warna baju seragam, lambang, simbol, bendera dan aliran perguruan Pencak
Silatnya"
"Syukurlah, kalau mendengar
itu, saya masih memiliki sedikit keyakinan, bahwa suatu hari dan suatu saat
IPSI akan bangun, bangkit dan mulai mampu menjadi sosok pemersatu semua aliran
yang berbeda, walau semua sama-sama paham dan tahu, inti sari pencak silat itu
hanya satu, yakni tak lebih tak kurang ia adalah filosofi budaya asli dari
negeri ini yang telah mendarah daging di masa kejayaan leluhur kita dahulu, dan
dari diskusi kita ini, sedikit banyak kita telah memahami apa yang menjadi inti
permasalahan mengapa dunia persilatan di tanah air kita ini sangat menjemukan,
semakin tidak menarik dan di tinggalkan remaja serta anak-anak muda yang
notabene akan menjadi pemimpin masa depan negeri ini, sayang sekali!!!!!"
“Baiklah mas, karena waktu sudah
semakin terang, saya langsung saja mengulas rencana minggu ini, karena jika
kita keasyikan ngobrol dan diskusi tentu berlangsung 7 hari 7 malam lagi, dan
akan makin dalam saja penelusuran kita tentang IPSI, mengulang diskusi dan
bagian inti malam kita tadi berbincang sampai pagi hari ini dan tak terasa
telah tiba waktu pagi, dan minggu depan sesuai hasil rapat-rapat kita semua
terdahulu yang telah banyak membuat keputusan, maka dari semua ranting yang ada
di sini, siswa yang telah naik tingkat ke calon warga sudah siap lahir dan
batin untuk di sahkan sebagai warga Purwa, yang belum 15 tahun kita pending di
mori kecil seperti prosedur yang selama ini kita jalani, dan malam ini mungkin
di susul malam besok dan besoknya lagi, kita masih harus lebih banyak begadang
lagi untuk memberi bekal bagi adik-adik seperguruan kita menghadapi malam
pendadaran calon warga”
“Kalau saya sih mendukung saja mas,
apalagi warga dan calon warga semua sudah kompak, tidak seperti saat kita berdua
baru sampai di daerah ini 15 tahun yang lalu, semua masih serba merintis, dan
kini walau masih sedikit, warga muda yang ada tentu akan nyengkuyung acara
kenaikan tingkat dan calon warga minggu depan”.
……………………..
Seminggu sesudah diskusi dua orang
muda tadi, hiruk pikuk kehidupan berjalan seperti biasa, namun di kampung itu,
di sebuah tempat yang biasa di pakai bermain bola, di sebuah tanah lapang yang
subur rumputnya menghijau terhampar, suasana minggu pagi sangat cerah, walau
malam sebelumnya hujan yang di sertai angin badai sempat merobohkan
batang-batang pepohonan, namun seiring berlalunya sang badai maka hari baru
yang sangat cerah telah tiba juga akhirnya.
Nampak membentang di tanah lapang
itu barisan panjang bersap-sap pemuda dan remaja dari berbagai usia mengenakan
seragam pencak silat, kebanyakan dari merka remaja usia sekolah, baik SD, SLTP
maupun SLTA dan yang sederajat bahkan yang sudah bekerja.
Sinar matahari baru saja naik,
keemasan, hangat, menerpa kulit-kulit wajah yang sedang hiruk pikuk menyusun
barisan, beberapa senior sibuk memberi instruksi kepada siswanya yang masih
sibuk dengan urusan mereka semenjak merapat di lapangan tersebut.
"Perhatian-perhatian, bagi
siswa sabuk hitam, kuning, hijau, biru dan calon warga, agar membentuk barisan
menurut tingkat sabuknya masing-masing, jangan per ranting, karena akan
memudahkan pengaturan di dalam gedung nantinya, pengumuman di ulang, bagi siswa
segera berkumpul dari arah Timur, paling Timur siswa Sabuk Hitam, sebelahnya
sabuk Kuning, sebelahnya lagi sabuk Hijau, kemudian di susul sabuk Biru dan
calon warga yang makek mori kecil, cepat, saya hitung sampai
9....satu...dua....."
Beberapa sap barisan yang semula
membentuk barisan per ranting masing-masing daerah asal para siswa yang
mengenakan seragam pencak silat itu sontak bubar, kocar-kacir, jika tidak cepat
menuruti instruksi pertanda mereka akan menambah hutang, bukan uang tapi hutang
hukuman yang kian hari kian menumpuk belum terlunaskan.
Hutang karena banyak siswa malas, banyak
yang melanggar prosedur, akhirnya semua individu yang bersalah di akumulasikan
jumlah denda sanksi hukumannya, manakala ada kegiatan di cabang maka akan di
umumkan total hutang yang harus di lunasi semua siswa dan calon warga.
Belum selesai hitungan masuk angka
9, semua yang ada sesuai instruksi salah satu senior telah membentuk barisan
baru, ada 5 barisan panjang, masing-masing mengenakan seragam sesuai dengan
warna sabuk atau tingkatan mereka, sabuk polos, sabuk kuning, sabuk hijau,
sabuk biru dan calon warga dengan mori kecilnya, serta warga.
Maka demikianlah, manakala cahaya
matahari pagi semakin terasa hangat menerpa di kulit wajah, di mana langit biru
membentang dengan hembusan angin semilir yang segar menggoyangkan kain seragam
yang mereka kenakan, nampak wajah-wajah segar yang penuh semangat, terasa
sekali kekuatan semangat dan energi yang berkesiur menyatu dikerumunan
beratus-ratus manusia muda remaja baik yang bersakral warga maupun yang
bersabuk siswa dan calon warga, itu sangat-sangat terasa sekali di cerna
segenap indera para senior-seniornya.
Baru akan membuka kata-kata, sang
senior yang sedang mejadi pusat pimpinan di lapangan bola itu tertarik akan
sebuah titik di ujung barisan paling barat, dimana ada pergerakan dari ujung
tanah lapang, seorang siswa sabuk biru nampak tergopoh-gopoh berlari memasuki
barisan, baru saja datang ia nampaknya.
"yang baru hadir menghadap ke
saya, cepat"
Yang baru saja menyusup di barisan
siswa bersabuk biru kaget setengah mati mendengar teriakan dari seniornya,
dengan tak kalah kaget dan tergopoh-gopoh pula, ia melesat berlari menuju sang
senior yang melotot marah.
"kamu dari mana"
"ranting Tering kak"
"jam berapa ini,kamu tadi
berangkat kesiangan ya"
"mamama..maaf kak,
sa.sasa..saya membantu mamak mengangkut barang dagangan ke pasar sejak subuh,
baru saja selesai jam 7 tadi, jadi saya datang telat"
"ya, itu hanya kata-kata alasan
belaka, entah benar entah salah saya tidak butuh konfirmasi dan alasan model
apapun, apa aturan di rantingmu jika datang telat di kegiatan dan latihan"
"push up dan lari keliling
lapangan kak"
"siapa pelatihmu"
"kak Dino kak"
Maka sang senior memanggil sebuah
nama, lalu seorang warga yang mengenakan seragam bersakral dengan sabuk warga
datang mendekat ke arah mereka yang sedang bersitegang,satu senior dan satunya
lagi siwa sabuk Biru!.
"ok, makasih kak Dio...eh, kak
Dino, ini siswamu datang telat, alasan membantu mamaknya mengangkut barang
dagangan kepasar, apa hukuman bagi siswa yang telat datang ke tempat
latihan":
"push up dan keliling lapangan,
jika sekali telat dan diulang lagi maka akan di lipatkan dari jumlah push up
dan keliling lapangannya, anak ini sering datang telat ke lokasi latihan kak,
alasannya ada saja, dan total hutang hukuman yang belum di lunasi oleh siswa
dan calon warga di cabang kita dan ini semua tercatat rapi di buku saya ini
semuanya sudah ada angka 10.000 hutang push up dan 1000 kali keliling lapangan
bola, angka 10.000 push up dan 1000 kali keliling lapangan ini akumulasi
hutang-hutang mereka semua selama hampir satu tahun ini"
"jika tidak lunas hutangnya apa
konsekuensinya kak Dino"
"kelulusan di tingkat sabuk
bagi siswa dan warga bagi calon warga akan di perpanjang setahun lagi kak,
sampai total hutang-hutang hukumannya di lunasi"
"perhatian-perhatian, semua
yang sedang berbaris di lapangan ini, perhatikan.....semuanya....SIAAAAPPPPP
GRRAAKKKK.....setengah lengan lencang kanan grak,......tegaaakkkk
graaakkkk.....dari sabuk Hitam di ujung paling timur barisan ini,
hitung.....Mulai!"
Terdengar teriakan dari barisan
depan paling ujung timur, "satu...dua
tiga...empat....lima...enam...tujuh..........dst …..lalu di tutup suara dari
arah ujung barat barisan.....kurang dua"
"Ok, dari kalkulator di hape
saya saya kalikan, ada 755 orang, ditambah yang datang telat jadi 756, maka
saya tawarkan, total hutang push up dan keliling lapangan dari seluruh ranting
di total di cabang sampai hari ini ada 10.000 push up dan 1000 kali berlari
keliling lapangan, kami seluruh senior menawarkan kompensasi, jika semua yang
hadir bersedia membayar hutang secara kerjasama, kolektif dan bareng-bareng,
silahkan yang bersedia membayar hutang ramai-ramai segera mengambil posisi push
up, push up dengan tangan mengepal, push up dengan sikap melompat atau
gejrugan, jadi kalian push up dengan tangan mengepal dan pada hitungan
selanjutnya kalian angkat tubuh setapak demi setapak maju ke depan sambil
mengatur nafas sampai ujung lapangan, jika separuh dari seluruh yang hadir atau
minimal 378 orang atau lebih lagi mampu mencapai ujung tanah lapang ini, maka
hutang 10.000 push up dan 1000 kali keliling lapangan di anggap lunas dan tidak
akan di tagih lagi setiap latihan gabungan, kecuali ada pelanggaran baru sejak
kalian semua melunasi hutang hukuman, siapa yang tidak setuju angkat tangan
tanpa suara mulut"
Suasana senyap, hening, sepi, tidak
ada yang bergerak, sangat tenang, semuanya rela ndak rela diam menurut saja,
tidak ada yang keberatan, semua paham, satu saja siswa yang melanggar, semua
pasukan besar ini akan menanggung akibatnya beramai-ramai, konsekuensi sebuah
kekeluargaan, jika protes akan di tambah hutangnya dengan angka yang lebih
fantastis lagi, busyettt....!!!!!.
Hampir setahun latihan di ranting
masing-masing, baik siswa yang aktif maupun yang sering bolos jadi kaget
sekaget-kagetnya, hutang push up mereka sedemikian gila-gilaan membengkak
tajam, ngalah-ngalahin hutang di rentenir saja layaknya, mampus mendadak jika
push up 10.000 kali masih di tambah 1000 kali keliling lapangan bola yang luas
membentang ini, gilaaa, busyetth dah, benar-benar gilaaaa!!!!!!!!.
“Kenapa kalian diam dan membisu,
tidak bergerak seorangpun, sudah tradisi di cabang kita ini, hutang hukuman
push up dan lari keliling lapangan bola bagi setiap pelanggraran aturan akan di
akumulasikan per siswa menjadi satu, jadi semua di tanggung seluruh siswa
ranting, maka kesalahan satu siswa di tangung satu ranting, dan setiap latihan
gabungan kesalahan satu ranting di tanggung satu cabang, jadi ini masih pagi,
suasana masih segar, saya berharap kalian semua bersikap kesatria, mau mentaati
aturan yang sudah kalian sepakati bersama-sama sejak masuk menjadi siwa Pscp,
akumulasi seluruh ranting di kegiatan gabungan ini ada 10.000 push up dan 1000
kali keliling lapangan bola, ini menunjukkan tingginya pelanggran dan ketidak
disiplinan kalian semua, heeeeiiiiii..dengar tidak itu yang pojok
barat....siapa itu yang ribut sendiri tidak mendengarkan instruksi dan
kata-kata saya,,,,sekarang juga, perhatian, khusus bagi seluruh calon warga di
barisan pojok barat, .....siaaaaapppppp graaakkkk, ambil posisi push up cepat
saya hitung..satu…dua…tiga…………....lima puluh, cukup”
Di tengah suasana tegang, seorang
calon warga sibuk ngobrol berdebat dengan kawan di sisi kanannya, ketahuan sang
senior yang sedang teriak-teriak, maka satu barisan calon warga kena push up
awal 50 kali, di hitung secepatnya hitungan, semua yang mengikuti hitungan push
up terpaksa bergerak sambil menahan nafas agar bisa menyesuaikan gerakan push
up dengan hitungan sang senior, maka selesai hitungan ke 50 muka mereka panas
bagai di bakar, nafas memburu, namun badan terasa sangat ringan.
……………………..
……………………………..
Matahari cemerlang, sinar hangatnya
menyirami muka mayapada, hutan, kebun, pekarangan, semua tersiram cahaya
gemilang, cahaya terang benderang keemasan, dan di tanah lapang yang luas
membentang itu, beratus-ratus pemuda dan remaja berbagai usia sedang menjalani
proses pendewasaan diri, mau tidak mau, yang disiplin rajin, dan yang malas
alias yang tidak disiplin akhirnya merasakan juga hukuman massal, bukan main
sensasinya menanggung bareng-bareng hukuman gila-gilaan itu.
Mereka mengambil posisi push up, di
hitung satu maka naik sambil menggejrugkan kepalan tangannya ke atas permukaan
tanah lapang yang berumput hijau segar, mereka serempak melompat semampunya ke
depan, dan di hitung lagi dua, sampai di hitungan ke 28 banyak siswa yang
tercecer, tidak mampu bergerak, hanya mampu push up di tempat saja, di hitungan
ke 107 menjelang pertengahan tanah lapang, separuh lebih yang mampu
mencapainya, dan di akhir tanah lapang, di hitungan ke 314, separuh lebih
sedikit yang mampu mencapai ujung tanah lapang itu.
Semua tergeletak, semua menahan
penat dan kebas di ujung kepalan tangan akibat benturan dengan rumput di atas
tanah yang kadang terselip batu kerikil yang membuat lecet di sana sini, perih,
perih dan kebas.
Baju sakral yang mereka gunakan
membasah, terasa kontras dengan hangatnya sinar sang surya yang menyengat kulit
wajah mereka, nafas terengah-engah, satu dua yang sudah tataran siswa sabuk
hijau dan biru mulai mengatur nafas untuk theraphy pemulihan cidera, merasakan
energi alam yang berkesiur di sekeliling mereka, menyalurkanya di paru-paru dan
lambung, memampatkan untuk sesaat lamanya, menghembuskan dan lalu diam sesaat
lamanya merasakan lecet dan pegal yang berangsur-angsur mulai berkurang dan
pelan-pelan rasa sakit perih dan kebas muali hilang.
Satu dua siswa yang masih tataran
sabuk hitam dan kuning ada yang berhasil mencapai ujung tanah lapang, di bantu
senior pelatihnya mereka berusaha menutup rasa sakit dan penat dengan olah
pernafasan dasar yang langsung di berikan saat itu juga, kawan-kawannya yang
gagal hanya mampu memandang dari kejauhan sambil mengatur nafas di bimbing
senior-senior mereka.
Tepat jam 9 pagi, semua hutang lunas
terbayar, mereka tertib memasuki balai kampung, guna mengikuti acara pelantikan
warga purwa, hutang lunas, dan di dada mereka tergurat satu tekat yang bulat,
mereka telah bertekat untuk disiplin mentaati tata tertib latihan dan semua
aturan yang telah mereka sepakati bersama, kapok jika menumpuk hutang, ngilu,
sakit, perih dan sejuta rasa tidak enaknya hukuman akan menjadi hidangan wajib,
kapok...kapok dan kapoklah mereka yang bandel.....semoga bukan kapok
lombok....!!!!!
Jiwa korsa yang di tempa di kawah
candradimuka Wiro Yudho Wicaksono sejak mula pertama mereka menandatangani
surat permohonan dan pernyataan bergabung menjadi bagian dari perguruan pencak
silat Cempaka Putih!.
WIRO YUDHO WICAKSONO-SURO DIRO
JAYANINGRAT LEBUR DENING PANGASTUTI.
(Dokumentasi kenaikan tingkat PSCP
Kubar Wilayah Kalimantan Timur, Minggu 21 Januari 2017 di Kampung Sekolaq
Joleq, fotografer by: Eksel Pasmatih Ranting Joleq).
Selesai
(keterangan istilah, Kapok Lombok,
untuk memberi istilah bagi pelanggar yang kapok sesaat setelah di kenai sanksi
hukuman, namun di lain hari mengulangi lagi, terus menerus sehingga terbiasa,
seperti orang makan sambel atau cabe, merasa pedas sekali sesaat memakannya
namun karena ada sensasi enak di ulang lagi makan lombok untuk esok dan esok
seterusnya).
Salam Tunggal Jiwa, Wiro Yudo
Wicaksono.
Kutai Barat 2016-2017
Terinspirasi kegiatan di hari
Pelantikan Warga Purwa Pencak Silat Cempaka Putih Cabang Kutai Barat-Kaltim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar