Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia
Jalan Perjuangan
Minggu, 08 Desember 2019
Sabtu, 07 Desember 2019
Cangkir Kopi
“Kopi Cangkir”
OWKP
Obrolan Warung
Kopi Pendekar
Hujan turun dengan derasnya, bahkan seharian sejak pagi buta, siang
berubah menjadi gerimis merintik namun hanya sejenak.
Dan hujan kembali turun lagi makin deras, sampai matahari terbenam
sempurna kian menggila bagai di curahkan dari langit, semua basah, jalanan
tergenang air, sungai dan selokan penuh aliran air yang berwarna gelap, aliran
air bercampur lumpur, menghasilkan warna aliran air yang kecoklatan menghitam.
Gunung Lawu hampir tak terlihat wujudnya sejak pagi sampai malam,
kawasan puncak tertutup awan tebal bahkan sejak pagi buta, matahari tak
sekejapun bersinar, hanya meremang kelabu warna langit sejak awal hari dimulai.
Udara sangat dingin, memaksa penduduk kerasan di rumah mereka, penghuni
lembah gunung Lawu lebih suka duduk santai di depan dapur menikmati minuman
panas, minuman yang mampu menghangatkan diri dari sergapan udara dingin akibat
hujan yang sejak pagi sampai malam mengguyur bumi.
Warga desa lebih suka menikmati hangatnya suasana di dalam rumah, malahan
mereka paling kerasan meriung di depan dapur yang bahan bakarnya kayu, sehingga
bara dan apinya mampu menjadi pemanas tubuh yang murah meriah.
Selepas makan siang, ditengah guyuran hujan pakdhe Wiro sibuk membenahi
gentingnya yang melosok, ia benahi dari bawah atap, bermodalkan dua buah meja
yang ditumpuk agar tanganya bisa menjangkau genteng yang bergesar.
Genteng dari tanah liat yang di beberapa lajur nampak bergeser karena si
loreng kucing kesayanganya suka memanjat atap dan kadang berlarian, menyebabkan
genteng-genteng dari tanah liat itu menjadi melosok.
Sehingga saat musim hujan aliran air dari ujung atap deras meluncur dan
ada saja yang merembes kebawah, membanjiri meja dan bangku-bangku panjang
tempat para pelangganya duduk.
Bangku-bangku yang basah karena gentengnya bergeser akibat dipakai
berlarian si Loreng, kucing kesayangan lelaki sepuh itu, bangku-bangku
sederhana yang selalu penuh di duduki jika hari sudah mulai merangkak menuju
malam.
Bangku-bangku kayu yang selalu nyaman dijadikan tempat cangkrukan mereka
yang jenuh di rumah dan keluar sekedar mengobrol di warung kopinya.
Ngopi jahe sambil bersosialisasi membahas jalanya hari, bersilaturahmi
dengan sesama manusia, sesama tetangga, sesama warga.
Berkisah secara akrab, dimana lagi lokasi paling baik, dan jawabanya
adalah paling asyik nyangkruk di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar milik
pakdhe Wiro.
“kopi alitipun pakdhe, ndamel jahe ingkang kathah, badan rasanya atis
banget, hujan kok sejak pagi sampai malam, sampai jemuran sarung ndak bisa
kering, masih malem terpaksa saya pakai, biar kering di badan saja, sarung yang
satunya malah baru di cuci simbokne tole”
Seorang pelanggan datang memakai payung, gerimis masih merintik, malam
sangat gelap, tubuhnya dibungkus jaket tebal, itupun ia masih berselimut
sarung, melapisi badan sedemikian rupa, menghindari dari sergapan udara beku
gunung Lawu.
Cuaca menjemukan, karena sejak pagi diguyur hujan tiada henti, hujan
yang tercurah sampai malam, dan kini baru berhenti, walau masih menyisakan
gerimis merintik halus.
“njanur gunung kang Warso kerso mampir di gubuk saya, monggo dipun sekecakaken
rumiyin, biar saya didihkan dulu airnya, jahenya biar saya tambahkan porsinya,
biar cepat anget kang, memang yo kang, sejak pagi gila-gilaan hujan mengguyur,
ini saya baru selesai membetulkan atap yang tergeser gentingnya, air hujan
merembes membasahi meja dan bangku duduk, biasa kang, si Loreng suka mainan
lari-lari di atap warung bikin genteng sering melosok”
Tak memerlukan waktu lama, arang batok di pawon rondo dari tanah liat
yang membara merah itu begitu di beri kepingan batok yang baru oleh pakdhe Wiro
langsung menyala, apinya menyembur-nyembur seperti kompor gas yang
dimaksimalkan setelan gasnya.
Sehingga tak menunggu sampai bosan, pelanggan yang dipanggil kang Warso,
warga PSCP angkatan tahun 1974, angkatan perintis yang sekarang sudah menjadi
seorang pria paruh baya.
Warga perintis PSCP yang oleh pakdhe Wiro di layani dengan gupuh,
cangkir yang segera cepat ia beri racikan, dan minuman panas itu segera
selesai.
Yang baru datang, yang dipanggil kang Warso itu segera menerima kopi
jahe pesananya, kopi jahe dalam porsi cangkir yang harum mengepulkan asap
beraroma khas.
Aroma yang bahkan mengembalikan mood yang hilang hanya dengan menghirupnya
secara sangat-sangat pelahan-lahan.
Menghirup aroma therapi minuman legendaris khas warung kopi ndeso, kopi
jahe dengan takaran gula yang pas, komposisi beberapa unsur pokok : air
mendidih, gula, kopi, jahe, wadah/cangkir dan lepek.
Seperti hidup, jika semua terukur dan pas, akan memperkuat fungsi
maksimal unsur yang satu terhadap unsur yang lain.
Pada secangkir kopi jahe, semua unsur akan dapat maksimal berfungsi
dengan ketepatan takaran, ketepatan racikan dan ketepatan penyajian.
Namun jika salah satu unsur terlalu berlebihan, semua unsur akan gagal
mencapai potensi terbaiknya dan daya gunanya akan sia-sia.
Sia-sia alias menjadi produk yang gagal, ibarat kopi yang kebanyakan
gula, teralu manis gagal, kebanyakan kopi jadi sangat pahit juga gagal, pun
begitu dengan serbuk jahenya, terlau banyak akan sangat pedas, juga gagal.
Juga air mendidihnya harus tepat dituang manakala air yang sudah mendidih
bergelembung mengeluarkan letupan-letupan uap panas itu masih di suhu 100 derajat
Celsius dan semua itu di satukan dengan cangkir.
Cangkir, mencancang rasa untuk berfikir hakikat hidup, mengikat rasa,
mengikat alam makrifat dalam jumenenging pangrasa, agar tahu bahwa kita hidup
bukan hidup untuk diri sendiri.
Kita hidup bukan hanya untuk egoisme pribadi, ada unsur lain yang harus
kita dukung, kita perkuat, kita perbaiki cita rasanya, sehingga mampu melahirkan
greget dalam hidup dalam rangka hamemayu hayuningrat.
Wujud cangkir ibarat jasad wadag manusia, wadah roh, roh yang senantiasa
di kelilingi keinginan-keinginan, dan keinginan itu akan berubah menjadi
krenteg atau niat.
Semua itu esensi pokok dari gumelaring jagad alit yang fana atau
temporer, badaniah itu hanyalah serpihan wujud yang paling fana dan sisi batiniah
yang menjadi bagian dari rohlah yang langgeng.
Dan jagad alit yang gumelar itupun juga bagian dari jagad agung yang gumelar
langgeng, dan keduanya manakala menyatu, akan menunjukkan siapa jati diri
kemanusiaan kita menuju jati diri sejati dan mampu menemukan esensi paling
murni sangkan paraning dumadi.
Esensi yang paling hakiki yang bahkan kita tak pernah mengetahui itu
semua diajarkan oleh filosofi ngombe wedang kopi, filsafat tingkat makrifatullah
manakala manusia menikmati secangkir kopi.
Cangkir Kopi, anyancang pikiran sejati kanggo mapak tekoning pati,
mengikat rasa spiritualitas ketuhanan dalam diri kita untuk menjemput ajal
sehingga sampai pada tahapan sampurnaning urip tumekaning pati, sempurna kehidupanya
juga sempurna memasuki tingkat atau tataran alam kematian pada saat bersatunya
roh dengan Dzat atau Wujud yang sejati, wujud yang senantiasa tan kena kinaya
ngapa.
Manakala kopi masih panas, kita tak pernah berani untuk meminumnya, maka
dibantu piring kecil bernama lepek, dieler neng nduwuring epek-epek, lepek kita
taruh di atas telapak tangan kiri yang terbuka, tangan kanan menuang minuman
kopi yang masih panas, sehingga menjadi turun suhunya, kita seruput
sedikit-demi sedikit sehingga bisa kita nikmati rasanya.
Seperti sanepan kehidupan, manakala kita dibakar amarah dan emosi yang
meledak-ledak, harus mampu kita redam, kita dinginkan dengan telapak tangan
terbuka yang menampung wadah kebijakan, bukan dengan tapak tangan terkepal
penuh rasa benci dan kemarahan.
Ngeler neng epek-epek, ngunggah
ngudunake rasa, menelaah, mendalami, memandang sambil menelaah lagi lebih
detail segala permasalahan kehidupan.
Berpikir dengan olah rasa, bukan dengan olah logika, berpikir mengolah
rasa lebih mendalam serta lebih jauh ke dasar-dasar karakter kosmis dan mistis sebagai pondasi kemanusiaan.
Sebuah proses kontemplasi manusia yang memiliki jiwa kesatria, jiwa
pendekar, jiwa pejuang kehidupan manakala masih dalam pencarian solusi jalan
keluar dari segala permasalahan dan tantangan hidup.
Agar masalah yang panas membakar itu bisa kita tuntaskan sedikit demi
sedikit sampai tuntas dan semua serba baik dan serba indah, enak di perasaan.
Sehingga membawa kebaikan bagi sesamining agesang, memayu rahayuningrat,
memerindah hidup yang sudah indah di dunia.
Sehingga tetap utuh di jalinan silaturahmi kita semua dengan teman,
tetangga, kerabat dan warga masyarakat.
Namun jika kita nekad melawan dengan egosime, membenturkan masalah
dengan hawa amarah meluap-luap berkobar-kobar dalam diri kita, bagaikan meminum
air panas minuman kopi yang baru dituang.
Air kopi yang baru mendidih jika berkeras kita meminumnya maka alamat
lidah dan mulut bisa terbakar.
Sehingga tidak ada kenikmatan, yang ada hanya luka bakar dan tidak dalam
satu tarikan nafas bisa disembuhkan, luka yang membuat kita tak mampu lagi
menikmati lezatnya makanan dan nikmat segarnya minuman.
Itu semua hanya sebuah simbolisasi, sebuah perlambang atau sanepan, sehingga ketika kriwikan jadi
grojokan, masalah sepele makin membesar, terjadilah benturan batin dan bahkan
fisik.
Jika kekuatan pendekar kita tak bisa lagi terkontrol, menghajar manusia
yang lemah, kita akan kena walat, kuwalat.
Dan hukum negara akan memasukkan kita di penjara karena kekerasan fisik
yang melukai bahkan menghilangkan nyawa manusia lain, suatu perkara yang kadang
sepele namun membuat kita tak bisa meraih ketentraman yag hakiki.
Unsur air yang dipanasi sampai mendidih itulah bahan utama kopi menjadi
nikmat, karena unsur air mendidih dari kobaran api itulah yang mampu menyatukan
unsur-unsur kewadagan dari bahan kopi, jahe dan gula sehingga larut, manjing
nyawiji dan menyatu.
Emosi, amarah, egoisme, merupakan bagian atau salah satu unur hawa napsu
yang dilambangkan dengan api, sekali menyala dan berkobar harus pandai-pandai
kita kontrol dan kendaliakan, agar tidak melahap habis seluruh rumah dan isinya,
cukuplah nyalanya mendidihkan air yang akan kita jadikan pemersatu
racikan-racikan bahan kehidupan.
Maka pakdhe Wiro selalu menempa ketajaman batin siswa-siswa PSCP yang
pinuju mampir di warung kopi pendekar itu dengan perlambang dan sanepan minuman
rakyat yang khas di sebut kopi alit, kopi cilik, wujud minuman berwarna hitam
dalam secangkir kopi.
Hitamnya kopi adalah kekuatan pengendalian diri, manisnya gula yang
larut adalah lambang anugerah Sang Pemberi Rejeki, pedasnya jahe adalah makna
hakekat dari cobaan kehidupan, jika disatukan dalam sebuah wadah cangkir maka
akan kita dapatkan sebuah filosofi tingkat hakekat, hakikinya sebuah proses
atau laku dalam medan perjuangan hidup yang serba tak mudah.
Bahwasanya semua cobaan ujian masalah dan tantangan kehidupan itu tidak
akan berpengaruh buruk bahkan akan menjadi pintu masuk kita belajar sebuah
laku.
Artinya ujian hidup itu malah akan menguatkan dan mempertajam jiwa raga
kita bilamana kita selalu mengendalikan diri tidak terbawa emosi dan amarah
dengan tetap ingat kepada karunia-Nya dan senantiasa mensyukuri segala
nikmat-Nya.
Sehingga semua ujian itu akan menjadi pupuk batin yang menyuburkan
tanaman yang menghasilkan buah yang baik.
Hasil buah kebaikan yang menyatu dalam diri kita, manjing nyawiji, lahir
batin, wadag dan roh sehingga menghasilkan nur, cahaya, pencerahan.
Hasilnya bahkan bukan hanya untuk diri pribadi namun untuk manusia lain,
bahkan lebih universal untuk jagad yang
gumelar yang langgeng.
Ibarat minuman dalam secangkir kopi, itulah kehidupan, macam-macam unsur
penyokongnya, macam rupa, macam warna. rasa dan wujudnya, namun jika semua
sudah menyatu dalam satu wadah wadag, di tuang air panas, usnur-unsur terpisah
itu melebur luluh leleh manjing nyawiji.
Sehingga akan muncul sebuah esensi baru, sebuah rasa baru, wujud anyar,
yang semuaanya itu berproses, makin bagus dan sempurna racikan dan
penyajiannya, makin kuat rasa sensasi nikmatnya, itulah hakekat paling dasar
menjalani sebuah laku kehidupan di dunia ini dalam usaha panjang kita menuju
Cahaya Illahiyah yang kekal abadi, langgeng dalam wujud baru, wujud dari
keniscayaan kekuatan Dzat Yang Maha Agung, wujud sejati yang tan kena kinaya
ngapa.
Apalagi calon warga Madya, pendekar pilihan sewu siji, tak sembarang
orang bisa di tataran tengah, karena hanya yang terpilihlah yang mampu naik di
tingkat itu, tingkat yang lebih dipertajam lagi mata batinya, di pertajam lewat
sebuah laku dan harus dilakoni, proses yang berat yang justru akan menempanya
menjadi sebuah wujud baru yang keramat.
Diperkuat lagi pengendalian dirinya, ditempa lagi budi pekertinya lewat
sebuah laku tirakat prihatin yang sangat intens dan penuh dengan mistisme kekeramatan
yang sangat khas dari ajaran-ajaran serta ilmu-ilmu kanuragan nuswantara.
Tak terasa pakdhe Wiro asyik berkisah dengan langgananya itu, kisah
manusia-manusia yang sudah tekan, kenyang menikmati asam garam kehidupan.
Berdua saja menyambung obrolan yang gayeng itu dengan berkisah dan berseloroh
ngalor ngidul membicarakan sawah, kebun, kehidupan khas warga di pedesaan
lembah gunung Lawu, bumi tapel wates brang wetan dan brang tengah.
Dan tanah keramat Jawadipa sendiri sesungguhnya oleh leluhur nuswantara hanya
di bagi dua zona, sabrang Wetan, Jawa Timur dan Sabrang Kulon, Jawa Barat tidak
ada sabrang tengah atau Jawa Tengah.
Namun hampir empat abad kita dijajah, Jawa di bagi menjadi tiga propinsi
oleh Belanda, yakni wilayah sabrang Kulon, Tengah dan Wetan, Barat, Tengah dan
Timur.
Sehingga bumi kulon zona tatar sunda dan bumi brang wetan tanah
wilwatikta lebih mudah di pisahkan, jika tetap ada dua zona, jika bersatu maka
tamatlah riwayat VOC dan gagal total untuk menguasai Batavia, Jakarta sekarang.
Dan mereka tentu akan angkat kaki dari Nuswantara sejak era pasukan
khusus Sultan Agung Hanyokrokusumo memenggal kepala gubernur jendral VOC di
Batavia, Jan Pieteerzoon Coen.
Dan kepala sang gubernur jendral itu di bawa ke Kota Gede, kemudian di
tanam di jalan masuk makam raja-raja Jawa di Imogori, dengan maksud agar setiap
kaki peziarah menginjakkan kaki-kakinya pada batok kepala sang Jendral VOC itu
sebagai wujud dan bukti kesuksesan prajurit kesultanan Mataram menghancurkan
benteng VOC di Batavia.
VOC memakai siasat belah bambu, Jawa Barat di pegaruhi, para raja dan
sultan di pisahkan dari Mataram dengan iming-iming emas, upeti dan wilayah yang
merdeka, lepas dari aliansinya dengan kesultanan mataram.
Sehingga bubar persekutuan itu, VOC mengirimkan gubernur jendral yang
baru, Mataram menyerang lagi, namun kekuatan sudah pecah, mata-mata pribumi
membakar lumbung-lumbung padi untuk perbekalan makan ratusan ribu prajurit
Mataram yang didukung brang Wetan, sehingga gagalah serangan itu, Bumi keramat
Jawadwipa bedah, hampir empat abad kita dijajah
Dan zona tengah yang notabene perbatasan, di pecah lagi menjadi
Jogjakarta, Surakarta, Semarangan dan Ngapakan, dengan di pecah-pecah, maka
etnis Jawa dan Sunda akan tercerai berai.
Dan suku sunda akan menyebut suku Jawa dengan penuh dendam kebencian manakala
mereka dipaksa selalu ingat tragedi Bubat, dimana pasukan khusus Gajah Mada
membantai rombongan pengantin tatar sunda calon permaisuri Hayam Wuruk, perkawinan
yang tujuan awalnya agar Sunda dan Jawa bersatu lebih erat lewat tali
pernikahan, sehingga menjadi besan, kerabat dan keluarag besar, namun sejarawan
Belanda membelokkan sejarah Bubat, agar urang Sunda memusuhi adiknya, wong Jowo.
Dan baru tahun Milenial, hampir lima ratus tahun setelah tragedi Bubat,
Gubernur Jawa Timur Pakdhe Karwo, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, bertemu dan menandataangani kesepakatan Rekonsiliasi
Budaya Jawa dan Sunda.
Rekonsiliasi Budaya, menjalin kembali silaturahmi yang lama di pendam,
agar kelak jika ada pemuda/pemudi Jawa mencintai gadis/pemuda Sunda bisa
langgeng, naik ke pelaminan dan sukses membina Rumah Tangga, lepas dari
mitologi yang sengaja di tulis Belanda dengan sebuah epos tragedi berdarah,
Tragedi Bubat, yang selama ini membuat Sunda anti Jawa.
Dan puncaknya dihembuskan mitos orang Jawa dan Sunda dilarang menikah,
padahal mereka sama-sama satu pulau, sama-sama satu leluhur dulunya, Sunda sang
kakak dan Jawa sang adik.
Seorang kakak yang sayang adiknya dan adik yang berbhakti pada sang
kakak, bersatunya adik kakak akan membuat VOC bubar morat-marit lari pulang ke
negaranya terbirit-birit hanya dalam hitungan jam.
Lari dalam waktu singkat, sak-kedheping netra bukan abad, karena jika
bersatu, prajurit bayaran VOC yang jumlahnya sedikit saja hanya puluhan ribu
tentara, walau tentara VOC itu bersenjata meriam dan bedil, akan habis tak
tersisa seorangpun di ganyang mentah-mentah oleh jutaan prajurit tangguh
Nuswantara yang memiliki bekal kanuragan keramat, pencak silat.
Sehingga saat merdeka, Ibukota Negara tetap di sabrang Kulon, bukan
tengah atau timur, agar sang kakak tetap menerima sembah bhakti sang adik,
nyata sudah, orang sunda yang halus bahasanya dan ramah keadabanya itulah kakak
kandung suku Jawa.
“woo, ngoten to cariyosipun pakdhe, pantesan, Pak Jokowi sampai sekarang
masih bisa memerintah di Jakarta, karena dukungan gubernur Jawa Barat Ridwan
Kamil yang dari suku sunda, Sunda yang sejatinya adalah kakak suku Jawa, jadi rintisan
menyatunya Jawa brang Kulon di wakili Ahmad Heryawan dan Brang Wetan diwakili
Pakdhe Karwo dan Ngarso Dalem kaping Sedasa dilanjutkan oleh Ridwan Kamil, gubernur
brang Kulon, dan brang wetan di wakili pak Jokowi, bisa lestari memimpin NKRI
ngantos dinten meniko pakdhe, dulu sempat di Jawa Tengah saat agresi Belanda,
di Yogjakarta, namun begitu Belanda hengkang, ibukota kembali ke kulon, Jakarta”
Pakdhe Wiro dengan antusias menanggapi pendapat dan uraian kalimat
pelanggan warungnya, pelanggan yang ia panggil kang Warso, pelanggan yang kini
sudah tidak kedinginan lagi, bahkan jaket tebal dan sarung ia lepas, hanya
menegenakan celana slabruk dan berkaus lusuh saja yang kini melekat di
tubuhnya, tubuh yang hangat setelah menikmati kopi cangkir racikan pakdhe Wiro,
guru besar PSCP pusat yang lebih suuka nylamur laku, menyembunyikan jati
dirinya.
“leres sanget kang Warso, sudah waktunya
Nuswantara bangkit dan bersatu untuk menuju kejayaanya kembali, agar kuat
persatuanya, salah satu syaratnya kita harus kompak dan bisa mempersempit ruang
gerak kelompok pro NKRI Bersyariah, negeri ini bukan negaranya orang yang hanya
satu agama, namun negaranya orang-orang yang beragama berbagai jenis, dan semua
di akui secara sah oleh Negara, sayangnya bulan ini kelompok Islam populis 212
segelar sepapan masih menguasai Monumen Nasional, bahkan tugu simbol perjuangan
semesta rakyat NKRI itu mereka jadikan logo PA 212, angka 2 yang mengapit tugu
monas, di baca 212, simbol angka pada kapak naga geni 212-nya Wiro Sableng,
legendanya pendekar fiksi nusantara, kelompok pro Khilafah itu dengan ciamik
dan cerdas menunggangi simbol budaya nusantara, 212, simbol senjata keramat pendekar
kanuragan pencak silat yang sinetronya dulu di perkuat pendekar-pendekar Persaudaraan
Setia Hati Terate”
“sayang banget pakdhe, politik menuju 2024 masih memerlukan mereka untuk
menghancurkan NU, karena NU selalu mendukung pemerintah, jika NU di belakang
pemerintah, maka sulit bagi kelompok pro Khilafah itu segera bisa menguasai
negeri ini, karena dari bansernya saja sudah merangkak ke angka 8 juta
personil, belum santri, pendekar Pagar Nusa, ulama, habib, kyai, simpatisan dan
keluarga besar NU, hampir 101 juta pakdhe, maka selama NU belum hancur,
kelompok pro Khilafah itu mokal bisa bikin Negara Islam di nusantara, itu fakta
yang saya simpulkan pakdhe”
“memang kelihatannya demikian kang Warso, menteri agama yang dari TNI
saja masih takut, atau berfikir ulang untuk menolak memberi rekomendasi surat
keterangan terdaftar Front Pembela Islam,
salah satu inisiator lahirnya gerakan 212, padahal jelas pada anggaran rumah
tangga ormas itu ingin mendirikan khilafah islamiyah di atas tanah ini, bumi
NKRI yang sudah kita sepakati berideologikan Pancasila, FPI yang makin kuat menguasai
Ibukota dan dipelihara oleh pemilik kekuatan politik yang tak kasat mata makin
jumawa, hal darurat yang memaksa pak Jokowi mempercepat perpindahan Ibukota ke
Kalimantan Timur, tanah keramat Kalimantan akan bisa menjadi ibukota yang bebas
dari kelompok pro Khilafah yang sekarang berjubel di Jakarta”
Teman bicara pakdhe Wiro itu menyeruput kopinya lagi, setelah beberapa
tegukan kecil, ia taruh cangkirnya di lepek, sambil tangan kananya meraih
singkong goreng yang baru di tuang di piring besar oleh pakdhe Wiro, ia
menanggapi kalimat terakhir sang pemilik warung itu.
“seandainya FPI tahu sejarah, ia akan berfikir ulang untuk ngeyel
menyerang NU dan Negara, ingat tidak panjenengan kisah pada saat Mataram
membantai ratusan orang yang pro Khilafah yang sangat intoleran saat kesultanan
Mataram di bawah Amangkurat, ulama-ulama garis keras yang kebelet dan ngebet
serta sangat ingin Jawa menjadi Khilafah ala mereka, hal yang membuat sultan
bertindak tegas, mereka diberi peringatan untuk guyup rukun, hidup berdampingan
antar pemeluk agama yang berbeda di nusantara, seperti cara hidup beragama yang
diajarkan wali sanga yang adem penuh toleransi antar pemeluk agama berbeda,
karena mereka menolak dan makin ngotot dan makin keras ngegas suaranya persis
seperti kelakuan FPI itu, raja Jawa dengan tegas memberi hukuman mati, bukan
hukuman dibubarkan atau di tolak SKT-nya, tapi di bunuh secara masal dengan
tajamnya mata tombak, keris, pedang dan panah, dan sangat menggetarkan
sejarawan menceritakanya pakdhe, sebelum mereka dibantai, meriam-meriam perang menggelegar
di bunyikan sebagai tanda di mulainya hukuman mati dan dalam sekedipan mata
ratusan ulama garis keras itu tenggelam dalam genangan darah yang kental, amis
dan anyir, darah mereka sendiri, darah yang dicap sang Sultan Mataram sebagai
darah pemberontak yang harus ditumpahkan agar menjadi teladan bagi mereka yang
masih keras kepala ingin merubah Nusantara menajdi negeri Khilafah ala mereka
yang terbukti sangat intolerasi terhadap pemeluk agama lain, ratusan
pemberontak yang di habisi pasukan khusus sultan Mataram era Amangkurat, mereka
dibantai habis dalam hitungan menit”
“benar kang Warso, di Era presiden Soekarno, DI/TII yang sudah
memproklamirkan khilafah di Indonesia di tindak tegas pemerintah lewat tindakan
operasi penyergapan militer prajuit TNI dan POLRI yang di kerahkan untuk
menumpasnya, 16 tahun gerilya kaum yang pro Khilafah di Jawa Barat ini baru
selesai setelah Imam Besar mereka tertangkap dan dijatuhi hukuman mati, SM. Kartosuwiryo di tembak dengan peluru
tajam dari senapan khusus eksekusi, peluru yang tepat melubangi jantungnya,
sang Imam Besar itu di eksekusi mati dengan wajah ditutup kain oleh regu tembak
aparat pemerintah era Bung Karno”.
“injih pakdhe, penjenegan bercerita DI/TII saya malah kemutan kasus
tanjung Priok, ratusan pendukung Khilafah di hujani peluru tajam dari senapan
serbu ABRI karena berani melawan pemerintahan orde baru, kajian-kajian
keagamaan dipakai untuk mengobarkan kebencian kepada pemerintah dan negara
pancasila, mereka ingin sistem khilafah di negeri ini, hasilnya presiden
Soeharto sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata memerintahkan untuk
segera menghabisi kelompok mereka, hasilnya ratusan mayat yang tubuhnya koyak
moyak di terjang peluru tajam senapan serbu itu menjadi bukti, betapa dari masa
ke masa, tekad keblinger mereka itu selalu di tunggangi kekuatan tak kasat mata
yang ingin Indonesia bubar dan jika sudah hancur mereka masuk dan bebas mengeruk
kekayaan alam negeri ini tanpa harus susah payah ngasih uang sogokan kepada
pejabat pemerintahan dan politikus partai di legeslasi yang korup di negeri
ini, negeri Pancasila yang korupsinya sudah mencapai tingkat dewa, tingkat 3
terbaik di dunia belum jawara tingkat 1, dan nampakanya sedang menuju ke
tataran yang terbaik dari yang terbaik korupsinya, korupsi yang menjadi salah
satu alasan sehingga gerakan pro khilafah makin subur menjamur merekrut
simpatisan dan anggota baru, kini TNI sudah hamir 4 % anggota dan keluarganya terpapar paham
khilafah mereka, POLRI juga sudah ditangkapi oknumnya yang sudah merakit bom,
ASN, pegawai BUMN, KPK, KPAI, Guru Ngaji, Pendidik di PAUD, SD, SMP, SMK, SMA
sampai Perguran Tinggi angka paparanya makin kuat meningkat tajam, mereka
sangat setuju dan pro jika Negara pancasila dirubah menjadi Negara Khilafah, mereka
bersatu guyub rukun makin intens mencari dukungan dan anggota baru bahkan sejak
usia dini, di TK dan PAUD, agar lima, sepuluh, duapuluh dan seratus tahun yang
akan datang mereka bisa menumbangkan Pancasila, diganti dengan Khilafah
Islamiyah, yang sejak era lampau, Khilafah ala mereka itu tak cocok dan tertolak
mentah-mentah di Nusantara ini, wilayah patirtan yang ribuan pulau, ratusan
suku bangsa, bahasa dan etnik dengan berbagai budaya tradisi keramat dan agama
yang sudah melebur manjing nyawiji, sedulur Minang menyebutnya sarak
bersendikan adat, adat bersendikan kitabullah, agama dan budaya melebur, dan jika
kelompok pro khilafah ala mereka di beri panggung akan serta merta menghancurkan
budaya nuswantara dan hanya ingin agama ala mereka saja yang ada di negeri
patirtan ini, negeri kepulauan terbesar di dunia, NKRI yang berdasarkan kepada
Pancasila dan UUD 1945”
Tak terasa saking asyiknya berkisah tentang seluk beluk sejarah tanah
Jawa dan gerakan pro khilafah islamiyah, tahu-tahu beberapa tetangga sudah
masuk warung, mereka mampir jelang tengah malam, dan pakdhe Wiro segera
membuatkan kopi jahe lagi, sehingga makin gayenglah obrolan di warung kopi
pendekar pakdhe Wiro malam itu.
“hmm, dados sakmeniko, leres sedaya
panjangkanipun prabu Jayabaya Saking Pamenang, bilih nuswantoro sampun
wancinipun ngancik jaman mbukak lawang kori, wancinipun napaki jaman kencana
rukminipun malih, kembali menjadi Negara yang kuat, makmur dan besar di dunia,
tak kalah hebat bahkan lebih hebat di banding dengan Negara maju lainya, negari
tanpa sisihan, dan dengan persatuan saya sangat-sangat yakin semua bisa pakdhe,
dimulai dari tanah keramat, bumi Jawi, se-jatining winih, Jawa se-jatining
wahyu”
Lelaki yang dipanggil kang Warso oleh pakdhe Wiro itu, yang seorang
pendekar PSCP pusat angkatan perintis tahun 1974, yang sangat bersahaja,
tampang ndeso yang semeleh dan nriman, nampak bersungut-sungut memerah wajahnya,
wajah yang masih menyiratkan sebuah tekad dan semangat juang tinggi.
Sosok pendekar kanuragan yang tersamarkan dari gemerlap dunia, hidup
sederhana di desa, hidup sebagai kadhang tani padesan namun memiliki rasa
patriotik dan nasionalisme kebangsaan melebihi ASN, prajurit TNI dan POLRI.
Nasionalisme mutlak, nasionalisme khas rakyat kawula alit negeri
nuswantara, negeri yang bahkan rela ia bela sampai matipun tak jadi soal, ia
bela sampai tumetesing ludira ingkang wekasan.
“inggih mekaten menika kang Warso saestu
leres sanget sedayanipun, dan kanca-kanca tani kisanak kadhang di karang
padesanlah yang akan mengemban wahyu keprabon satriyo piningit yang sanggup
mbukak lawang kori itu, ugi ing asto penjenegan, karena di tangan panjenegan
semua, tanah Jawa yang keramat dan wingit ini akan bisa kembali di sucikan dan
di ruwat dari segala malapetaka dan bahaya yang mengancamnya”
Sesuatu yang nampak sangat-sangat bersahaja, dalam kesederhanaan,
obrolan warung kopi khas ndeso itulah sejatinya jati diri bangsa nuswantara,
sesama manusia berinteraksi tanpa dipisahkan bising dering hape.
Tangan mereka tidak sibuk ngutak atik gadged mengup-date status, tangan
tidak sibuk memainkan jari-jemarinya larut di gempabji khas anak muda Milenial,
wajah tidak mecuca mecucu bibirnya monyang-monyong berselfi ria lalu diunggah
di media sosial untuk mendapat jempol ke atas, pengikut dan komentar, yang jika
pengikutnya 100 juta orang, mendapat uang em-eman yang ditransfer ke rekening
tabunganya, sangat milenial banget.
Mereka begitu fokus menikmati kopi cangkir, berbicara secara lembut
namun tegas tertata intonasinya, jelas struktur kalimatnya dan mudah dicerna
tata bahasanya.
Antar tetangga rukun guyup dalam keindahan lembah gunung Lawu yang gemah
ripah serta loh jinawi tanpa seorangpun memegang handphone, spirit sejati dari
sebuah warung kopi ndeso jaman purba yang masih hidup rohnya di lembah gunung
Lawu.
Puncak wukir Mahendra sedikit nampak meremang, karena kumpulan awan
kelabu yang menyelimutinya manakala angin selatan bertiup semilir membuatnya
menyibak.
Bintang-bintang satu dua bertabur, udara masih dingin, namun sangat
nyaman dan hangat di hati dan wadag sangat terasa bagi segenap yang masih gayeng
mengobrol di warung kopi ndeso, warung kopi pendekar yang dijaga sesepuh PSCP
pusat, pakdhe Wiro.
Malam makin menuju tengah, malam yang makin senyap namun justru itulah
awal dibukanya pintu sebuah laku tirakat, makin malam justru semakin mereka larut dan
asyik dengan obrolan-obrolanya itu, tirakat ngrame, tirakat makrifatullah, sebuah
laku sembah bhakti ing ndalem kasunyatan.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRA HANGRASA WANI.
(dari budaya warung kopi Ndeso itulah, oleh salah satu guru besar PSCP
pusat, kelak pendidikan calon warga Madya di tempa dalam suasana yang
sedemikian rupa, mereka para peserta calon pendekar Madya dilarang membawa hape
selama pendidikan dan latihan, sehingga lahir sosok-sosok pinunjul dan menjadi
legenda bagi adik-adik angkatanya, sosok sederhana yang digdaya dan mampu
menguasai aji Pameling, telepati yang wingit dan keramat, lebih dahsyat dari
teknologi modern sinyal handphone untuk berkomunikasi, mereka hidup dalam
kesederhanaan dalam lingkungan padepokan Bayangan, yang merupakan refleksi dari
padepokan pusat PSCP, padepokan bayangan yang didirikan sangat terpencil jauh
dari perkampungan penduduk, sehingga saat turun gunung, para pendekar itu
benar-benar menjadi sosok tangguh lahir batin yang sudah mapan secara fisik dan
spiritualitasnya, sosok sejati kesatria pencak silat Cempaka Putih yang membawa
semboyan agung, semboyan medan perang sejati, semboyan dan doktrin WIRO YUDHO
WICAKSONO).
TERJEMAHAN KATA SULIT
(bahasa Jawa ke bahasa Indonesia)
#gayeng =asyik
#kopi alitipun = kopi kecilnya
#atis = dingin
#malem =lembab basah
#njanur gunung = tumben
#monggo dipun sekecakaken rumiyin =
(arti luasnya : silahkan duduk dahulu dengan nyaman)
#ndamel = membuat
#wukir = gunung
#kang = kak/mas
#leres sanget = benar sekali
#sakmenika = sekarang juga
#sabrang = sebelah/seberang
#kulon = barat
#wetan = timur
#ndeso = kuno/jadul
#saking = dari
#wancinipun mbikak lawang kori =
waktunya membuka pintu utama
#inggih mekaten = iya seperti itulah
#inggih mekaten menika kang Warso saestu
leres sanget sedayanipun = iya seperti itulah mas Warso sangat benar semuanya
#ngunggah ngudunake rasa = menaik
turunkan rasa/menimbanng-nimbang perasaan
#ngalor ngidul = ke utara dan ke selatan (kesana kemari tak tentu
arah padanan katanya mrana mrene)
#kuwalat = terkena karma
#tekoning pati = datangnya ajal kematian
#sesamining agesang = sesama mahluk
hidup
#manjing nyawiji = bersatu/menyatu/lebur
#tan kena kinaya ngapa = tidak bisa
didefinisikan/tidak bisa disebut dengan kalimat.
#sangkan paraning dumadi = darimana kita
(roh) berasal dan akan kemana kita (roh) pergi setelah ajal kematian kita sudah
tiba
#panjangka = ramalan
#sanepan=perumpamaan
#ngoten = seperti itu
#cariyosipun = ceritanya
#sedaya = semua
#panjenengan = anda atau saudara
#ruwat = ritual kuno untuk membuang sial
dan menjauhkan malapetaka serta segala mara bahaya
#dinten meniko = hari ini
#kisanak kadhang = teman dan saudara
#gemah ripah loh jinawi = kesuburan yang
membawa kemakmuran
#wadag = nyata
#sesepuh = tetua
#memayu hayuningrat = membuat makin
indah dan memperjuangkan keselamatan alam semesta
#patirtan = perairan
#tirakat ngrame= ritual mengurangi tidur
di malam hari dengan mengobrol tentang esensi kehidupan semalaman sampai jelang
pagi
#makrifatullah = esensi sifat dan daya
kekuatan dzat-Nya yang terbiaskan pada mahluk ciptaan-Nya
#tumetesing ludira ingkang wekasan =
tetes darah yang terakhir
#tirakat makrifatullah = mengobrol malam
hari membahas spiritualitas yang mencerminan sifat-sifat dzat yang menciptakan
alam semesta
#sembah bhakti ing ndalem kasunyatan =
beribadah dengan melakukan perbuatan nyata yang kebaikanya bisa dirasakan manfaatnya
oleh orang lain bukan hanya bagi diri pribadinya sendiri
#kadhang tani padesan = kaum petani di
desa
#negari tanpa sisihan =negara yang tidak
ada bandinganya
#se-jatining winih = bibit yang murni
#se-jatinih wahyu = ajaran suci yang
murni
#keblinger = tersesat
#wahyu keprabon = pulung raja = daya
kekuatan darah biru/pemimpin
yang mentaati ajaran suci serta yang
menyelamatkan negara dan yang direstui Tuhan beserta semesta alam
#satriyo piningit = kesatria suci yang
tersembunyi dan terbatas gerak langkahnya
#wingit = suci dan keramat
#simbokne thole = ibunya anak
#melosok = tergeser
#tumanggal = masuk tanggal yang baru
#wujud anyar = bentuk baru
#jagad alit = manifestasi manusia lahir
batin
#jagad agung = manifestasi alam semesta
#nylamur laku = menyamar
#ngeyel = tak mau kalah
#jumawa = sombong
#semeleh = pandai mengendalikan diri
#nriman = selalu menerima dengan ikhlas
#panjenengan = anda
Selasa, 03 Desember 2019
Aji Pameling
OWKP
“ Aji Pameling “
Obrolan Warung Kopi Pendekar
Udara malam atis, bintang nampak penuh bertabur menghiasi langit,
bayangan gunung Lawu yang gagah nampak perkasa menjaga bumi tapal batas
Jawadwipa, Tengah dan Wetan.
Bulan sabit tumanggal menggantung malas, bayangan pepohonan dan
semak-semak menghitam, lembah gunung Lawu senyap sepi mamring manakala tengah
malam sudah melewati puncaknya.
Wibowo menyelesaikan sesi penutupan latihan di sanggar pamelengan, tahap
akhir menerima ilmu sinengker dari sang Dwija sudah sempurna ia terima dan
selesaikan.
Dan dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi Nikmat, ia cium tangan
sang pendiri PSCP, dari sekian banyak pendekar gunung Lawu yang terbaik, ia
malah yang dipercaya mewarisi Aji Pameling dari legenda hidup pendekar gunung
Lawu, sang Dwija Wasana.
Menjelang dini hari Wibowo undur diri, pamit kepada sang Dwija yang
telah memberinya begitu banyak warisan ilmu-ilmu langka warisan keramat
padepokan pencak silat Cempaka Putih pusat.
Begitu lepas dari padepokan, ia naiki punggung kudanya yang masih setia
menunggu sang tuan keluar dari padepokan.
Kuda setia yang ia rawat bahkan sejak baru lahir, kuda persilangan dari
jawara kuda pacu terbaik yang memiliki stamina tangguh dan nafas yang panjang
sehingga mampu di pacu larinya yang luar biasa sejak dari rumah sampai di
padepokan PSCP hanya dalam hitungan puluhan menit, lebih cepat bahkan dari
menaiki motor sport terbaik, karena sang kuda mampu melaju lari kencang lewat
jalanan setapak di persawahan, kebun dan gupitan-gupitan sempit di antara semak
dan pepohonan.
Sebelum pulang ia berbelok ke kanan, menuju warung kopi pakdhe Wiro,
untuk sekedar menyapa sesepuh padepokan yang lebih suka gentur menjalani tapa
ngrame terjun di tengah bebrayan agung, masih suka menjalani beratnya laku
sambil menyelami makna-makna kehidupan yang justru mudah beliau peroleh
mutiaranya manakala menjadi penjaga warung kopi di dekat padepokan PSCP pusat.
Sesampainya di warung, ia menambatkan kudanya di patok kayu yang
dipalang sedemikian rupa, patok dan palang kayu khusus untuk menambatan
kuda-kuda para pendekar gunung Lawu yang baru menyelesaikan latihan di
padepokan PSCP pusat.
“assalamualaikum, sugeng ndalu pakdhe, kopi jaenipun setunggal njih, kok
sepi pakdhe, biasanya jam segini masih ada yang nongkrong-nongkrong”
“Walaikumsalam anakmas, sugeng ndalu ugi, barusan mereka bubar, para
kisanak kadhang kanca tani yang sedang mengairi sawahnya mampir untuk sekedar
minum racikan kopi jahe andalanku, hehehe, mereka tuman rupanya anakmas setelah
merasakan sensasi racikan kopi jaheku itu, tunggu sebentar, panjenengan tengga,
ini baru saya didihkan airnya”
Tak lama meracik, Wibowo yang duduk terkantuk-kantuk, indera penciumanya
yang tajam mendekteksi wangi harum kopi jahe racikan salah satu gurunya di
padepokan PSCP pusat itu, racikan kopi jahe yang masih panas mengepul dalam
secangkir kopi dengan lepeknya.
“ini anakmas, kopi jahe spesial, sengaja
saya sediakan untuk panjenengan, kopi nongko Ngrayudan yang merah matang di
pohon, murni saya goreng di wingko dengan bahan bakar arang batok kelapa agar
kekhasan aromanya makin kuat manjing, monggo dipun cobi anakmas, jehe Empritnya
saya tanam dengan pupuk khusus, sehingga lebih tajam rasanya dari jahe jenis
Gajah anakmas, monggo dipun incipi”
Pakdhe Wiro memberikan secangkir kopi jahe kepada Wibowo yang sudah
lewat tengah malam itu mampir, singgah sebentar melepas penat setelah melalui
malam yang melelahkan.
Malam berat yang ia lalui dengan menempa diri di jalur kanuragan yang
keramat, wingit dan gawat keliwat-liwat.
Anak muda yang sudah dianggap anak sendiri oleh pemilik warung kopi yang
sudah sepuh tersebut menerima secangkir kopi itu dengan santun.
Minuman kopi jahe dalam cangkir tua itu ia
terima penuh subasita, keadaban sorang anak muda yang memundi sang gurunadi
tinggi-tinggi, bias murni dari jiwa kesatria sejati yang ia tunjukkan kepada
sesepuhnya, rasa berbhakti bercampur rasa bahagia.
Seraut wajah ikhlas dan takzim itu tersenyum tulus kepada pakdhe Wiro, Wibowo
yang mampir setelah hampir dini hari baru
menyelesaikan pendadaran di padepokan dengan sikap gupuh menerima cangkir kopi
jahe dari tangan sang guru.
Rasa kantuk mulai bergelayut di pelupuk matanya karena latihan berat
sejak matahari terbenam dan selesai hampir jelang dini hari.
Latihan berat penuh
tempaan-tempaan khusus khas warga Madya karena ia yang terpilih sebagai lulusan
terbaik di angkatanya, kini ia baru saja menerima ilmu sinengker yang hanya
sosok tertentu yang berhak dan sanggup untuk mempelajarinya, aji Pameling, ilmu
keramat yang tak sembarang pendekar kanuragan nusantara mampu menguasainya.
“sembah nuwun pakdhe, benjang enjing Sodoran dibuka pak bupati di
alun-alun Ki Ageng Mageti, minta doa panjenengen semoga mimpang pakdhe,
ibunipun genduk sudah siap lahir batin untuk turun laga besok sekaligus mempertahankan
gelar prajurit penunggang kuda terbaik monconegari wetan, saya mensuport saja
dari pinggir alun-alun sambil momong si genduk”
“tentu anakmas, semoga anakmas Ayu Rengganis akan diberi jalan serta
semua serba diberikan kemudahan buat pasukan PSCP umumnya dan ibunipun Genduk yang
turun laga di ajang tahunan ketangkasan menunggang kuda, lomba Sodoran yang
tahun ini di adakan di alun-alaun Ki Ageng Mageti, dimana penjenenganipun Bapak
Bupati sendiri yang kerso untuk membuka acara tersebut, semoga pendekar gunung
Lawu tetap juara dan anakmas ayu Rengganis bisa sukses berjaya seperti tahun
lalu”
“injih, sembah nuwun pakdhe, sekalian saya segera pamit untuk persiapan,
karena tinggal sehari lagi, saya akan cek semua perlengkapan dan taktik apa
saja yang hendak di pakai besok di alun-alun Ki Ageng Mageti, agar gelar juara
umum tahun lalu masih di pegang segenap kisanak kadhang pendekar wukir
Mahendra, karena skuad pasukan pendekar terbaik dari lembah gunung Wilis bumi
Madiun sampun segelar sepapan buat maju di palagan ketangkasan besok itu pakdhe,
mereka kini yang menjadi ancaman paling nyata bagi pasukan kami di kavaleri
Turangga Jurit PSCP pusat”
Wibowo menyeruput kopi jahenya, sensasi racikan kopi jahe yang sangat
unik , rasa unik yang sangat khas warung kopi ndeso itu segera menjalar di
tenggoraan sampai lambung dan menyebar ke seluruh jasad wadagnya.
Sensasi unik khas warung kopi ndeso, yang bahkan tak bisa digantikan
kafe-kafe modern yang menawarkan pelayanan internet gratis, internet yang membuat
pengunjung makin oon dan menjadi pemuja dunia yang egosentris, egois.
Kaum egosentor yang tak pernah puas mengejar ajang paling viral dan
pemburu jempol keatas yang 24 jam terus-terusan di burunya dengan kegilaan khas
generasi jaman now yang sangat milenial banget, generasi yang kehilangan
subasita keadaban adiluhung budaya leluhurnya yang njawani.
Mereka yang duduk di kafe namun perhatian dan fokusnya melanglang buana
di dunia maya, sahabat dan teman yang duduk di sisinya juga sama, raga berdekatan
namun rasa tak bisa di silaturahmikan dalam dialog yang hangat khas warug kopi
ndeso.
Generasi Milenial yang 24 jam asyik mengetik dan ngulik-ulik layar
androidya, bahkan di kafepun masih sama kelakuanya, kepala menunduk,
senyum-senyum sendiri, misuh-misuh sendiri, tak peduli kehadiran manusia lain
di sisinya #kasihanMereka.
Dan greget warung kopi ndeso itu masih di
ambil peranya secara utuh oleh warung kopi pendekar milik pakdhe Wiro di dekat
padepoan pencak silat Cempaka Putih pusat.
Pakdhe Wiro dengan antusias tinggi serta sikap gupuh memberi support dan
harapan, semoga pasukan pendekar gunung Lawu bisa meraih kejayaan di medan laga
lomba ketangkasan tahunan, lomba Sodoran yang menguji kemampuan prajurit perang
kaveleri berkuda jaman kerajaan dan kesultanan di era nusantara lama.
Hari yang ditunggu-tunggu pun sudah tiba, alun-alun kota Magetan penuh
sesak oleh warga masyarakat, wisatawan, peserta dan panitia yang tumpek blek
memenuhi jalanan dan area di sekitar alun-alun Ki Ageng Mageti, alun-alun
terbaik di bumi Jawa Timur.
Tempik sora menggelegar membahana,
manakala pemimpin pasukan pendekar gunung Lawu
memasuki arena perang tanding, kepala pasukan yang dipimpin sepasang pendekar
gunung Lawu, yang ujung gagang tombaknya mengibarkan sang panji Getih Getah dan
panji-panji Wiro Yudho Wicaksono, disusul barisan kuda pasukan khsusus Turangga
Jurit yang kepala pasukannya membawa panji– panji pasukan khsusus Pasmatih yang
terkenal dengan panji agungnya, panji Wira Cakti Turangga Yudha.
Gegap gempita makin menghebat, menggelegar seakan-akan hendak
meruntuhkan langit kota Manunggaling Rasa Suka hambangun, saat pasukan juara
umum tahun lalu memasuki arena perang tanding dengan membawa pataka Bajra
Kencana, simbol pemenang dan keperkasaan kesatria perang yang tangguh tanggon
yang menunggangi kuda kevaeri terpilih.
Itulah pasukan yang menjadi legenda tutur, pasukan khusus Srikandi
Cempaka Putih yang dipimpin Roro Rengganis, sang senopati putri pasukan Estri
Srikandi Cempaka Putih pusat yang manakala memasuki gelanggang dengan
mengibarkan panji-panji Getih Getah yang didampingi panji-panji pasukan Estri
Srikandi Cempaka Putih yang bahkan juga tak kalah mahsyur.
Panji-panji pasukan khusus pasukan estri kaveleri berkuda yang dua kali
juara pertama di semua kategori lomba ketangkasan.
Panji keramat Bhayangkari Estri dengan bendera panjinya berwarna terang
cemerlang kuning gading yang berlogo sepasang tombak dan anak panah beruleskan
cemeng, sepasang tombak dan anak panah yang saling menyilang mengapit logo
kembang kantil yang setengah mekar dengan tulisan jawa palawa, Satya Bhakti Nagari.
Disusul barisan pasukan pendekar lembah gunung Wilis dari bumi Madiun,
yang segelar sepapan menunjukkan panji-panji pasukanya penuh kemegahan yang
meluap-luap, pasukan pendekar yang tak bisa di pandang enteng, penantang yang
boleh dikatakan kuda hitam di ajang lomba Sodoran tahunan di kota Magetan.
Kemudian pasukan berkuda pemuda-pemudi dari klub-klub berkuda, pemandu
wisata berkuda dan pasukan kehormatan dari datasemen kavaleri berkuda dari Jawa
Tengah yang semuanya membawa panji-panji Getih Getah sang merah putih dengan di
damping panji-panji kebanggan mereka yang menunjukkan identitas dari mana
pasukan mereka berasal.
Dan spesial khusus pasukan kavaleri berkuda TNI AD tahun ini memang
menjadi ajang yang perdana, mereka penasaran dan sangat ingin menjajal ajang
ini, ingin mencicipi sensasi medan perang di era beahula, era nusantara purba
manakala pasukan perang tangguhnya masih berpedang, berkeris, bertombak dan
beranak panah serta jenis-jenis rupa macam senjata khas nusantara yang lainya.
Setelah ketua panitia, Bambang Wisanggeni, ketua panitia sekaligus
kepala dinas pariwisata kabupaten Magetan lomba membuka acara dengan
mengorbankan seekor ayam jantan cemani yang di sembelih di tengah alun-alun
kota sebagai ritual dimulainya ajang lomba Sodoran.
Bupati Kabupaten Magetan, jajaran
Muspika dan khususnya pak Bambang Wisanggeni, sebagai Kepala Dinas Pariwisata
Magetan bersama-sama melepaskan burung-burung lambang perdamaian, Merpati Putih
sebagai tanda dibukanya kompetisi resmi ajang ketangkasan berkuda memperebutkan
Pataka Bajra Kencana bupati Magetan, Jawa Timur.
Jawa Timur, bumi wingit Wilwatikta yang sukses menyatukan asia tenggara
di bawah kalimat keramat Mitreka Satata Bhinneka Tunggal Ika Tan Han Dharma Mangrwa.
Serasa pulang ke masa silam, menyaksikan derap langkah sosok-sosok
berkuda yang sangat menggetarkan, sosok-sosok penunggang kuda yang trengginas dan
cekatan di atas kuda-kuda tungganganya.
Kuda-kuda kaveleri yang terlatih, kuda perang terbaik yang melesat berlari
di lintasan alun-alun kota, berlari cepat bagaikan terbang saking cepatnya
melaju saling mengejar satu dengan yang lain, saling mengejar meraih kejayaan
dan kebanggaan prajurit perang sejati.
Dan lomba ketangkasan hari ini adalah lomba memanah dan mengambil sasaran
berupa gelang-gelang kecil dari rotan yang diikat di tali-tali gawang yang
berjajar di sepanjang lintasan dengan formasi lurus, berkelok standard dan
paling sukar dengan jalur yang berkelok tajam memutar.
Gelang-gelang kecil yang harus diambil dengan ujung tombak sang
penunggang kuda, gelang-gelang rotan yang ketinggianya di atur sedemikian rupa
sehingga mencerminkan sasaran mematikan dari target tubuh musuh, target
lambung, dada dan leher.
Sedang di kategori memanah, sasaran tertinggi adalah target jantung,
disusul leher dan nilai terendah target perut, juga dengan lintasan yang di
bagi tingkat kesulitanya, lurus, berkelok standar berkelok tajam memutar.
Lomba ketangkasan sodoran, sebuah arena menjaring prajurit berkuda terbaik
pada sebuah lomba yang di kemas dalam bentuk gladhen perang pasukan turangga
jurit di era peradaban nusantara purba.
Peradaban kemiliteran tradisional yang masih memiliki pasukan perang
berkuda yang mahsyur dan menggetarkan dengan kualifikasi dasar para kesatrianya
yang mesti mumpuni dan mahir di bidang teknik atau kemampuan memanah dan
menombak lawan di titik-titik paling mematikan.
Dan kini tradisi itu diuri-uri lagi, menjadi paket wisata yang bahkan
memaksa turis di Bali untuk berbondong-bondong ke Magetan di hari itu.
Hotel dan penginapan full bookingan, perajin cinderamata tradisional
khas Magetan, perajin seni rupa dan makanan unggulan Magetan laris manis,
ekonomi kerakyatan makin menggeliat menebar kemakmuran.
Dan sontak menjadi trending topik dunia karena begitu adegan video dan
gambar bergerak maupun gambar diam foto-foto lomba ketangkasan Sodoran itu di
unggah, lansgung memaksa para pengguan medsos dunia tertarik dan penasaran
tingkat dewa.
Ketertarikan yang ngedab-edabi, keadaan atau hal yang memaksa perhatian
wisata sejarah peradaban manusia yang sampai hari ini fokus di eropa teralihkan
dengan sontak dan kontak seketika.
Umumnya mata dunia terpikat akan kegagahan dan keperkasaan pasukan
Kaveleri berkuda Kerajaan Inggrir Raya saat pergantian tugas jaga di istana
ratu Elizabeth yang sudah mendunia menarik perhatian para wisatawan seluruh
penjuru bumi.
Kini wahyu keprabon itu pindah dari jantung Eropa ke sebuah kota kecil
di kaki gunung Lawu.
Sebuah perhatian dunia akan wisata sejarah yang kini menoleh ke Magetan
Jawa Timur, kota kecil di bumi tapal batas dua propinsi Jawadwipa, tengah dan
wetan, yang kini kemahsyuran kekuatan kesatria Turangga Juritnya telah bangun
dari tidur lelapnya selama berabad-abad mampu mencengangkan dunia.
Kedigdayaan dan ketangkasan yang bahkan lebih membuat melongo dan
menganga mata dunia, sebuah daya maha sakti dan ketrampilan maha tinggi yang di
kemas dalam kemampuan dasar kesatria berkuda, para kesatria pendekar turangga
jurit era milenial.
Daya sakti tuah keramat peradaban budaya militer purba nusantara yang
bikin kaget mata dunia yang selama ini hanya memandang suku Jawa adalah suku
bangsa kacung yang TKI dan TKW nya menjadi jongos hina di Asia dan Eropa.
Etnis Jawa yang mahsyur menjadi kuli dan kacung yang disiksa, diperkosa,
disetrika, disetrum, disiram air mendidih, disayat silet dan pisau khusus yang
tajam, digantung hidup-hidup, dipenggal dan dibunuh semena-mena manakala
dianggap melanggar bhaktinya pada sang taun majiakan, ndoro-ndoro kaya di Eropa
dan Asia.
Akibat dari kegiatan sodoran
panahan turangga jurit ini ternyata akan membuat sebuah hal tak terduga, suatu hal
yang membuat destinasi wisata Indonesia berpindah mata dan perhatianya.
Pulau Dewata Bali sebagai tujuan utama wisata di nusanatara hari itu di
tinggalkan turis-turisnya, hingga pulau para dewa-dewa itu kosong melompong bak
pulau hantu yang tanpa penghuni lagi, karena turisnya penasaran ingin melihat
kemampuan para pendekar muda era milenial menunjukkan ketangkasanya di atas kuda
perang terbaik, sebuah kemampuan khas turangga jurit peradaban masa lalu
nusantara saat masih berbentuk kerajaan dan kesultanan.
Babak pertama di awali dengan pacuan pembuka sekaligus pemanasan, hampir
berbarengan semua kuda dan penungangnya memasuki garis akhir, belum ada
penilaian, hanya pengenalan jalur pacu laga ketangkasan bagi sang kuda dan sang
penunggangnya.
Karena perlombaan ketangkasan hari ini bukan menilai daya tahan dan kecepatan
berlari kuda dan ketrampilan penunggangnya mengendalikan sang tunggangan, namun
lebih menekankan nilai dari tercapainya target sasaran di titik yang paling
mematikan yang di taruh di target-target sodoran yang di buat sedemikian rupa,
target perut/lambung, target jantung/dada dan target sasaran leher/kepala.
Gegap gempita dan sorak sorai membahana di alun-alun kota manunggaling
rasa suka hambangun, ribuan penonton memberikan aplaus yang panjang dan meriah
sebagai apresiasi terhadap kemenangan para penunggang kuda terbaik yang datang
dari berbagai kalangan pendekar dunia persilatan kawasan monconagari, yang
terbentang luas dari lembah gunung Wilis sampai lembah gunung Lawu.
Dan seperti tahun lalu, pasukan khusus kavaleri berkuda Turangga Jurit
dari perguruan Pencak Silat Cempaka Putih membawa pulang juara umum untuk semua
kategori mereka sapu bersih.
Dan untuk penunggang kuda terbaik masih di raih oleh sosok yang sama,
sosok srikandi Cempaka Putih yang mempertahankan gelarnya sebagai pemanah dan
penombak terbaik dan di kelas sodoran ia mengungguli nilai semua lawan-lawanya
di kelas umum, sehingga menyatukan dua gelar sekaligus, kelas memanah dan kelas
menombak.
Supporter srikandi Cempaka Putih gegap gempita, ribuan yang hadir dari Jawa
dan Sumatra serta perwakilan Kalimantan.
Dengan menggunaka busur khusus warisan korps berkuda pasukan estri
Mangkunaegarn, sang srikandi Cempaka Putih begitu tangguh untuk di lawan jajaran
para pendeker penunggang kuda yang masih muda didikan budaya Milenial yang
bahkan menggunakan teknologi busur modern dan kalah telak melawan busur era
lampau, busur pasukan khusus pura Mangkunegaran.
Sang Roro Rengganis, legenda hidup srikandi Cempaka Putih pusat yang
bahkan masih berusia muda namun sudah meraih gelar pemanah terbaik, sampi tahun
kedua mempertahankkan gelar itu, dan tahun ini, ia pertahankan gelar itu untuk
yang ketiga kalinya.
Dan sang suami lebih memilih momong sang buah hati yang asyik tertidur
pulas di gendongan sang ayahanda, sang ayah yang sangat mahsyur menjadi legenda
pendekar Madya terbaik di angkatan kelulusanya saat masih berjibaku di kerasnya
pendidikan kawah candradimuka, manakala masih di tempa kanuragan dan olah jiwa
kebatinan tingkat tinggi oleh sang Dwija Wasana dan segenap jajaran para guru
besar pencak silat Cempaka Putih di padepokan Wiro Yudho Wicasksono.
Hampir semua target dan sasaran yang berjajar di papan-papan bertanda
obyek tembak itu di habisi sang Srikandi Cempaka Putih dengan tuntas, kontan
tanpa ampun.
Dan hampir semuanya ia kenai tepat di inti jantung dan sebagian leher, hanya
beberapa bidikan saja yang terkena lambung perut, yang nihil tak kena sasaran
tidak ada sama sekali.
Dan lomba ketangkasan sodoran ini dengan nilai terbesar adalah target yang
tepat mengenai pusat jantung.
Semua itu harus ditebus dengan latihan yang panjang dan berat, sebuah
gemblengan yang harus mampu melatih ketrampilan menunggang kuda perang sambil
melepaskan senjata panah dan tombak ke jasad musuh sebagi target utamanya.
Bukan melulu adu kecepatan lari sang kuda perang sejak start sampai
finish, namun lebih dititik beratkan
pada kemampuan sang penunggang kuda melepaskan panah dan tombak untuk mengenai
sasaran.
Sambil memacu kudanya secepat kilat, sang penunggang kuda harus lihai
dan terampil sesekali memanah atau
menombak gelang-gelang rotan berbentuk lingkaran kecil yang digantung di
sepanjang jalur sejak start sampai finish.
Gelang-gelang rotan itulah yang harus di dapatkan oleh sang penunggang
kuda.
Mereka mesti mampu mendapatkanya dengan sapuan ujung tombak yang
disodor-sodorkan sambil melaju kencang di atas punggung kuda tungganganya,
sehingga gerak laku menyodor-nyodorkan ujung tombak itu di sebut Sodoran.
Gerak laku prajurit berkuda yang sesungguhnya sedang berlatih melubangi
jasad wadag musuh-musuhnya di garis depan palagan medan tempur, melubangi tubuh
lawan di titik-titik mematikan, jantung, leher dan lambung.
Keahlian
yang ngedab-edabi manakala sang penunggang kuda mengendalikan laju kencang tungganganya
itu sambil menombak gelang-gelang itu satu demi satu dengan ujung tombak di
tanganya yang satu, tangan yang lain sibuk mengendalikan laju sang kuda pada
tali kekangnya, satu gelang rotan nilainya sama dengan merobohkan satu patung
jerami ketan hitam, nilai tinggi yang sayang untuk dilewatkan begitu saja oleh
seluruh peserta.
Untuk pemanah berkuda, tantanganya tak kalah berat, karena di tuntut
adanya sebuah kemampaun mengendalikan kuda tingkat dewa, memacu kencang lari
kuda sambil melepaskan anak-anak panah ke bidang target dan sasaran.
Dan babak final kedua kemampuan itu dicampur, memanah dan menombak
target yang tak bisa dibilang mudah serta ringan, butuh latihan yang prosesnya
panjang bahkan berliku-liku serta sangatlah berat untuk sampai di tataran mapan
serta mahir.
Sebuah kemampuan mengambil anak panah, memasangnya di tali busur, menariknya
dengan satu tarikan nafas dan sambil menggebrak lari sang kuda, lesatan
anak-anak panah itu harus sempurna jika ingin menjadi jawara.
Sang legenda, srikandi Cempaka Putih mempertontonkan sebuah kelihaian
yang sudah mapan dan mahir, anak-anak panahnya berkesiung, berdesing-desing dan
melesat sekedipan mata lalu menancap kuat di papan-papan taget dan
patung-patung manusia dari jerami padi ketan hitam yang berjajar di sepanjang
jalur alun-alun Ki Ageng Mageti.
Alun-alun kota kebanggaan warga kabupaten Magetan Jawa Timur yang di
rintis Ki Ageng Mageti di masa-masa mataram terlibat perang brubuh dengan
Aliansi Dagang Terkaya di Dunia, VOC dengan tentara bayaran yang terkuat di
bumi dengan bedil dan meriam yang menggetarkan medan laga di garis depan.
Begitu sang srikandi lepas dari garis start, ia langsung menggebrak
dengan kekuatan maksimal, kedua tumit kakinya ia sentak-sentakkan di sisi tubuh
sang kuda Sembrani kesayanganya, sang kuda perang melesat menggila menyusuri
dataran berumput tebal hijau, rumput alun-alun terbaik di Jawa Timur dengan
rumputnya yang sehat subur dan terawat.
Sambil menggebrak, ia gigit kekang kudanya, tangan kiri memegang busur, tangan kanan
cepat mengambil anak panah di pinggang kirinya.
Endong yang sarat anak-anak panah
itu ia ikat sedemikian rupa sehingga memudahkannya mengambil anak panah jika di
bandingkan jika endong itu ia taruh di punggung.
Sambil memanah, manakala di depan nampak boneka patung manusia dari
jerami ketan hitam, tangan kanannya terampil mengambil tombak, busur ia simpan
dengan kaitan khusus di sisi sebelah kiri kudanya.
Dengan masih melesat memacu kuda, tombak ia hentakkan ke dada patung
jerami ketan hitam itu, satu sentakan kuat sehingga tembus dan roboh tanpa
ampun.
Kemudia ia simpan lagi sang tombak, ia kaitkan sang tombak di sisi kiri
lambung Sembrani kuda kebanggaanya itu, kemudia sambil ia ambil lagi busurnya sang
kuda masih digebrak-gebrak agar terus melesat.
Rengganis menggebrak lari kudanya
bagai kesetanan, darah srikandi perang di medan laga, dan sang Sembrani yang laksana
terbang berlari cepat makin kilat melintasi jalur medan laga ketangkasan memanah
dan menombak.
Makin lama makin panas, Rengganis makin menggila menggebark laju lari kudanya
sambil melontarkan mata anak-anak panahnya di seling sesekali menombak target
patung boneka manusia tepat di jantungnya.
Dada patung yang hancur berantakan di tembus tajamnya mata ujung tombak
sang srikandi Cempaka Putih, boneka patung jerami sebagai simbol lawan di medan
laga, ujung tajam mata tombak Rengganis sudah memakan puluhan bahkan ratusan
boneka patung dari jerami ketan hitam, rubuh berantakan, lepas ikatan-ikatanaya
di hajar tajam mata tombak senopati putri turangga jurit.
Dihajar tuntas oleh sang penunggang kuda perang terbaik tempaan
padepokan PSCP pusat yang begitu titis, tatag dan tagguh melesat di atas
punggung kuda perangnya, si Sembrani.
Jalur lurus mudah ia taklukkan, jalur
berkelok masih bisa ia tundukkan dan jalur melingkar berbelok tajam dengan
beberapa papan rintang bahkan ia sanggup memaksa sang Sembrani melompatinya,
sesaat terbang melompat tinggi dan begitu menapak bumi terus berlari mengejar
target-terget mematikan bernilai tertinggi, menghunjamkan ujung tombak dan mata
panahnya di jantung sang target.
Gelang-gelang rotan banyak yang ia koleksi nilai tingginya, sebuah nilai
yang digabungkan dengan nilai mengenai target memanah dan menombak patung
jerami ketan hiatm membawanya menjadi juara untuk ketiga kalinya, nilai yang
sangat-sangat telak yang membuatnya membawa pulang pataka kebanggaan prajurit
perang berkuda, pataka Bajra Kencana,.
Pataka terbuat dari kayu jati yang dibentuk menjadi sebuah tongkat
sepanjang lima meter yang ujungnya berhiaskan seekor kuda dari emas dengan
penunggangnya yang memegang tombak dan punggungnya bergelayut endong penuh anak
panah.
Saat panitia membaca pengumuman nilai tertinggi, sang bayi buah hati
yang lelap di gendongan sang ayah bangun, merengek manja minta ASI sang bunda yang
masih berjuang di medan laga.
Dan dengan kemampuan aji Pameling, Wibowo memejamkan mata, mengetuk
dimensi kesadaran indera perasa dan pendengaran sang isteri tercinta yang masih
di medan perang alun-alun Ki Ageng Mageti.
“dinda, genduk minta nenen, baru bangum mendengar riuh rendah sorak
sorai penonton dan kerasnya panitia mengumumkan nilai-nilai lewat pengeras
suara, tolong cepat merapat, kamu sudah menang mutlak, minta ijinlah pada pak
Bambang Wisanggeni sebagai ketua panitia, beliau pasti memberi ijin”
Di tempat lain, Rengganis seperti mendengar suara sang suami yang kuat
menggema di dekat gendang telinganya,
hmmm, apakah ini ilmu paling rahasia itu, mengirim pesan lewat telepati.
Bahkan saat suasana begitu hingar-bingar oleh tempik sorak manusia yang
ribuan jumlahnya di alun-alun, suara suamiku masih bisa menembus dimensi yang
mustahil, dimensi telepati, yang tak memerlukan gadged dan pulsa, langsung on
dan suara sang suami tercinta bergema kuat di gendang telinganya, sebuah ilmu
yang menggetarkan, batin Renganis sambil memacu kudanya mendekati panitia,
meminta ijin, genduknya nangis minta ASI karena baru bangun tidur.
Dengan cekatan setelah mendapat ijin, Rengganis memacu kudanya keluar
dari gelanggang, menuju suaminya yang setia menggendong si Genduk, anak buah
cinta kasih mereka.
Rengganis menemui kedua sosok yang sangat ia cintai itu, cekatan ia
turun dari punggung Sembrani.
Bertiga mereka mlipir-mlipir dari depan masjid Agug yang penuh sesak
oleh lautan manusia, mlipir-mlipir menuju sebelah kanan Pendopo Surya Graha.
Rengganis masih mencerna kedigdayaan aji Pemeling yang baru saja di
unggah sang suami, ilmu sinengker yang terlarang, karena jika diberikan kepada
semua warga PSCP dan pendekar IPSI, Telkomsel, Indosat dan para penjual pulsa
serta gadged seperti Samsung, Iphone dan produk-produk lainya banyak yang tak
laku, karena manusia sudah menjelajahi dimensi keramat telepati yang sangat
wingit.
Kini sang suami sudah menunjukkan kekuatan ilmu aji Pameling itu, sang
suami yang telah memberikan petunjuk lewat aji itu di mana ia dan Genduk berada,
sehingga sang isteri tercintanya segera menemukan posisinya, teknologi purba
yang lebih efesien daripada sinyal hape yang kadang lemot seharian di pedalaman.
“sebentar nduk, ibu mendinginkan darah sebentar saja, jangan nangis ya,
nanti pak bupati marah lho ada bayi secantik kamu menjerit-jerit dekat pendopo
agung”
Rengganis segera duduk bersila, debar jantung dan aliran darahnya masih
tak beraturan, darahnya masih mengalir cepat dan panas.
Sangat tak pantas ia memberi ASI yang masih dalam pengaruh aura medan perang,
biar ia dinginkan sejenak dengan sebuah
patrap, agar selamat sang anak kelak, jika ia paksa memberi ASI sekarang, akan berakibat
sang anak kelak menjadi getapan, candala dan mudah marah jika dewasa nantinya.
Dengan cepat, ia meditasi, memanjatkan doa dan fokus pada nafasnya, tak
lama semua sudah berhasil ia kendalikan, kini ia bukan lagi senopati putri dari
pasukan khsusus kaveleri berkuda Srikadi Cempaka Putih yang mahsyur itu, ia
hanyalah seorang ibu muda yang sangat penuh belas kasih terhadap si buah hati
yang kini nampak sangat kehausan.
Wibowo memberikan si Genduk yang merajuk nangis mintak nenen, Rengganis
menerima balita lucu dan montok itu dengan senyum manis, balita yang tangisanya
kekejer tanda ia sudah kehausan, menangis marajuk mencari sang ibunda yang
sesaat tadi masih berjibaku mengadu ketangkasan di madan laga Sodoran di alun-alun
kota Manunggaling Rasa Suka Hambangun.
Di susuinya sang buah hati di bawah rindangnya pohon mangga Santok di
samping Surya Graha, di tutupnya separuh dadanya yang setengah terbuka dengan
ikat kepala gadung melati yang tadi ia pakai sebagai panutup separuh mukanya, cadar
wajah yang sengaja ia kenakan agar ia lebih fokus pada target.
Sesaat kemudian, si Genduk bagai anak singa yang kehausan, dengan
semangat menyusui pada sang ibunda, air susu prajurit putri yang kelak akan
menurunkan generasi terhebat di nusantara, generasi yang akan membawa nusantara
ke era kejayaan barunya, era Kancana Rumi, menjadi mercusuar peradaban dan
perdamaian dunia.
WIRO YUDHO WICAKSONO.
SURO DIRO DJOYONINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI.
RUMONGSO HANDARBENI HANGRUNGKEPI NGULAT
SARIRO HANGROSO WANI.
#ajiPameling
#TuranggaJurit
#SatyaBhaktiNegari
#BambangWisanggeni
#RoroRengganis
#PatakaBajraKencana
#WiraCaktiTuranggaYudha
#BhayangkariEstri
#KudaSembrani
#SrikandiCempakaPutih
#Pasmatih
#PasukanLembahGunungWilis
#PendekarGunungLawu
#PrajuritMonconegariWetan
#LeherJantungLambung
#GelangRotan
#PatungBonekaKetanHitam
#KiAgengMageti
#ManunggalingRasaSukaHambangun
#PendopoAgungSuryaGraha
#AlunAlunMagetan
#MasjidAgungMagetan
#BusurEndongMataPanahBedor
#TombakMataTombakLandeyan
Langganan:
Postingan (Atom)
Trisula Kembar
Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia
-
MARS PENCAK SILAT CEMPAKA PUTIH PUSAT IKATAN KELUARGA CEMPAKA PUTIH BUNGA YANG SEDANG MEKAR BERBAKTI PADA NUSA BANGSA D...
-
Lembah Gunung Lawu, okasi Padepokan PSCP Pusat, Magetan Jatim. ANGGARAN RUMAH TANGGA ORGANISASI OLAH RAGA BELA DIRI PENCAK SILAT C...