……………………………………….
“Sebuah mercusuar budaya, lahir
dari kearifan lokal Nusantara Lama yang bertahan dari gempuran peradaban jaman
yang silih berganti datang dan pergi di bumi pertiwi kinasih, bahkan makin
mengkristal bertahan dan kokoh menjadi pemersatu bumi Indonesia yang terdiri
dari 1340 suku bangsa, 736 bahasa, 6 agama dan Ratusan Penganut Kepercayaan
Lokal, sebuah Negara bangsa yang tersebar di 17503 pulau besar dan kecil yang menghampar
berserak bagai untaian zamrud mutu manikam di bumi khatulistiwa, mercusuar yang
kini menjadi bendera negara kita, Merah Putih”
Kalimat yang meluncur itu penuh
penekanan makna, sehingga segenap calon warga yang duduk dengan tertib dan
takzim di balai agung kampung malam itu larut dalam buaian imajinasi tentang
peradaban tanah tumpah darah leluhurnya yang silih berganti datang dan pergi
berbagai peradaban dan mengkristal menjadi Negara modern, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan lambang benderanya Merah Putih.
Tiba-tiba seorang yang di anggap
sebagai yang dituakan di antara deretan calon warga itupun berdiri, mohon
keluar sejenak karena ada hal yang mengharuskan beliu meninggalkan ruangan yang
malam itu makin senyap dan dingin.
“Baiklah, tadi uraian
singkat tentang sejarah bendera Merah Putih, sekarang kita lihat sekilas
sejarah lahirnya perguruan-perguruan pencak silat yang tergabung dalam Ikatan
Pencak Silat Indonesia, pencak
silat merupakan olahraga seni beladiri yang berasal dari bangsa Melayu,
termasuk Indonesia. Jumlah perguruan pencak silat sangat banyak, berdasarkan
catatan pengurus besar Ikatan Pencak Silat Indonesia sampai dengan tahun 1993
telah mencapai 840 perguruan pencak silat di Indonesia. Induk organisasi pencak
Silat Indonesia adalah IPSI, didirikan pada tanggal 18 Mei 1848 saat terjadi
revolusi kemerdekaan RI di Surakarta,
Jawa Tengah, bahkan masih ada ratusan lagi yang belum bergabung, seorang
peneliti pernah membuat angka perkiraan ada sekitar 1500 perguruan pencak silat
yang ada di Indonesia, bahkan bisa lebih”.
Pemateri yang bersakral lengkap
dengan sabuk warga itu berdiri, di tangan kanannya ada lembar-lembar berisikan
materi pembekalan yang malam itu menjadi bagian dari pembekalan calon warga
yang beberapa bulan lagi di sahkan dengan upacara resmi perguruan yang penuh
ritual tradisi yang turun temurun tetap lestari, bahkan sampai jaman berganti
menjadi era informasi kekinian.
“Sekarang, tengok halaman 5,
sejarah PSCP Pusat, di situ di uraikan secara singkat, bahwa PSCP lahir akibat
benturan-benturan yang terjadi di wilayah Mataraman, perlu kalian ketahui,
wilayah Mataraman adalah daerah Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan,
Trenggalek dan beberapa wilayah lain yang sekarang ini berdiri menjadi
kabupaten-kabupaten yang modern dalam wilayah NKRI, dan Jawa Timur sendiri
sejak jaman pra Indonesia modern berdiri sudah menjadi pusat peradaban dan
pusat-pusat kekuasaan sejak jaman, Medang, Kadiri, Singasari dan Majapahit,
bahkan sistem pemerintahan Islam sudah tegak sejak jaman Ampel Kedaton di
Surabaya dan Giri Kedaton di Gresik, dan tradisi Pencak Silat menjadi bagian
yang erat dengan tumbuh dan runtuhnya pusat-pusat kekuasaan masa lalu itu sejak
era Pra Hindu, Hindu, Budha, Islam dll, dan ketika BKR dan TKR cikal Bakal TNI
modern lahir, lahir pula satu batalyon laskar gerilya terdiri dari gabungan
pendekar-pendekar dari wilayah Mataraman, Gabungan Pencak Mataram, yang ikut
berjuang mempertahankan jabang bayi Indonesia yang baru saja lahir di 17
Agustus 1945”
“Interupsi kak, kenapa sampai ada
ratusan bahkan ribuan perguruan pencak silat, kenapa ndak dijadikan satu saja
menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia, sehingga benturan yang sering terjadi
antara perguruan yang satu dengan yang lain bisa di selesaiakan dan pencak
silat bisa menjadi warisan budaya dunia??”
Seorang siswa, berseragam sakral
dengan tiba-tiba menyela, ia menjadi tak sabar mendengar uraian betapa masa
lalu Negara ini di bangun oleh budaya pencak silat, namun ada noda-noda sejarah
yang justru membuat nama pencak silat ternoda bahkan di wilayah utama, wilayah
Mataraman!.
“justru IPSI lahir karena
perebutan kekuasaan atara blok pendekar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan
Bali serta wilayah Jawa Barat, sehingga konggres di Solo tahun 1948 melahirkan
IPSI yang menyatukan benturan-benturan Organisasi Pencak silat sejak revolusi
kemerdekaan sampai hari ini walau hanya sebatas lahiriah semata, namun secara
jiwani masih gagal mempersatukan mereka, benturan pendekar dari blok barat dan
timur yang berusaha menjadi yang pertama dan menjadi mercusuar tunggal pencak
silat di Indonesia, namun IPSI sampai hari ini masih belum mampu meminimalisir
perbedaan yang ada, beberapa perguruan tidak rela ciri khas perguruan yang
menyangkut ritual dan tradisi yang menajdi roh karakter pencak tradisinya akan
punah jika semua perguruan yang ada di lebur menjadi satu dengan tradisi baru
yang diusulkan dalam kongres-kongres IPSI, sehingga IPSI hanya berfungsi
menjadi koordinator kegiatan belaka, hanya induk dari anak-anak yang ratuasan
bahkan ribuan jumlahnya di seluruh nusantara, IPSI belum mampu menyatukan semua
perbedaan yang di beberapa sisi masih sangat tajam, bahkan antara aliran
padepokan dan pesantren pun masih di penuhi polemik yang tak ada ujung
penyelesaiannya!!!”
Seluruh yang hadir menjadi
terpaku, mata mereka memandang kosong pada lembar-lembar materi pemantapan
calon warga yang ada di tangannya, segala imajinasi terbawa pada kisruh konflik
yang tak kunjung selesai sejak IPSI di rintis sampai hari ini, masih semu,
semua hanya organisasi lahiriah belaka, secara kebatinan belum mampu menyatukan
semua sisi-sisi tajam perbedaan yang bahkan semakin runcing dari waktu ke
waktu, uraian-uraian dari sang senior yang malam itu menyampaikan materi
keorganisasian begitu menyentuh nurani kemanusiaan, nurani manusia yang
hakekatnya sama, semua ingin bersatu
berjuang tanpa terkotak-kotak perbedaan bendera dan seragam perguruan yang
berbeda, namun hakekatnya, manusia nusantara itu sama hak dan kewajibanya dalam
berbakti kepada ibu pertiwi, Indonesia tercinta.
“interupsi kak, lalu di medsos
saya sering baca ada Pasukan Perdamaian IPSI yang didirikan oleh
pendekar-pendekar dari wilayah Mataraman itu bagaimana maksudnya kak, katanya
mereka menjadi ajang komunikasi dan jembatan silaturahmi antar perguruan
sehingga bisa bersatu membangun jati diri pencak silat Indonesia, bahkan banyak
yang sudah kopi darat dan bawa bendera pasukan perdamaian IPSI, bahkan
organisainya sudah di daftarkan secara hukum kak, lalu sikap kita sebagai
pesilat dari organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih sebaiknya
bagaimana kak”
Terdengar teriakan, seorang calon
warga yang duduk bersila di pojok belakang tiba-tiba memecah hening!
“pertanyaan dan pemaparan data
dan fakta yang bagus dari perwakilan ranting Bigung, memang secara kesejarahan,
Matraman, wilayah Madiun dan sekitarnya yang dulu bernama Purabaya adalah salah
satu trah Majapahit dari jalur Kesultanan Islam Demak Bintara di mana rajanya
bergelar Sultan dan Kerajaan Majapahit Wilwatikta Kedaton Kulon di mana rajanya
bergelar Prabu, dan jalur trah ini membuat Purabaya memiliki pusaka Majapahit
dan Demak, pusaka keramat yang bernama Kiai Kala Gumarang atau di kenal dengan
Keris Tundung Mediun menjadi momok yang menakutkan bagi Panembahan Senopati
dari Mataram yang berjuang menyatukan Jawa di bawah songsong Agung Mataram, Purabaya
yang kini di kenal sebagai Madiun, adalah sebuah wilayah perdikan yang subur
dengan prajurit-prajurit yang kuat dan terlatih, bahkan adipati-adipati dari
bang Wetan, Surabaya dan sekitarnya mendukung Purabaya dalam hal mempertahankan
hak tahta warisan dari jalur darah Demak dan Mojopahit, hal ini membuat Mataram
sangat sulit menakklukkan Madiun, sehingga dengan siasat cerdik dan licik,
Purabaya bisa di taklukkan, dan keris Tundung Madiun atau Kiai Kala Gumarang pun
luluh pamornya menyatu dengan Mataram, dan senopati putri, Raden Ayu Retno
Djumilah yang memegang sang pusaka
keramat, dan berhasil mengobrak-abrik keperkasaan pasukan khusus Mataram di
jadikan Permaisuri oleh Panembahan Senopati penguasa pusat kekuasaan kerajaan
Jawa paska kesultanan Pajang di bawah kuasa Sultan Adiwijaya yang di masa
mudanya di kenal sebagai mas Karebet atau Jaka Tingkir, dan di teruskan
Panembahan Senopati yang di waktu mudanya bernama Danang Sutawijaya dan
dijadikan anak angkat sultan Pajang dan berhasil meneruskan kekuasaan sang Ayah
angkat dengan manyatukan Jawa di bawah kejayaan
Kasultanan Pajang yang baru, yakni Kasultanan Mataram.
Sang senior berhenti sejenak,
berusaha mengatur nafas, segenap hadirin yang memenuhi balai agung malam itu
larut dalam kesenyapan yang hening akibat terpesona akan uraian demi uraian
yang di sampaikan seniornya malam itu.
“namun sayang, setelah Indonesia
modern lahir, perguruan-perguruan pencak silat di wilayah Mataraman, terutama
Madiun dan sekitarnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis,
tokoh-tokoh dari padepokan dan perguruan yang ada ikut serta dalam hiruk pikuk
gegap gempitanya euforia kemerdekaan dan revolusi paska kolonialisme hengkang
dari Nusantara, puncaknya, tahun 1948, Muso dan Amir Syarifudin Prawiranegara
memproklamirkan Negara Soviet Indonesia yang di dukung Front Demokrasi Rakyat
yang pasukan perangnya juga tergabung dalam gabungan pencak Mataram, sehingga
perang saudara antara laskar hitam Muso yang di perkuat pendekar-pendekar yang
terjun di politik praktis berlangsung luar biasa dahsyat, Muso dengan Negara
komunis Indonesianya berusaha menggeser Negara RI yang masih muda di bawah
pimpinan Bung Karno dan Bung Hata, pecah perang saudara secara mengerikan
dengab korban jiwa yang besar serta luar biasa berdarah-darah.
“Dan ini terulang di tahun 1965
di saat PKI memberontak kepada RI, sehingga sekali lagi ada noda dan pencemaran
nama baik trah pendekar, khususnya di wilayah Mataraman, Madiun dan sekitarnya,
yang sayangnya sekali lagi oknum-oknum pendekar dari berbagai perguruan
mendukung berdirinya Negara Komunis Indonesia yang sejatinya adalah sebuah
Negara jahat yang anti Tuhan dan Anti Pancasila, dan perang saudara antara para
pendekar yang pro Komunis dan Pro RI ini berlangsung berbulan-bulan dan tetap
nggegirisi dan berdarah-darah, bengawan Madiun di penuhi mayat-mayat
putra-putra terbaiknya, jasad yang menjadi pupuk kejayaan bangsanya akibat
melupakan jati diri dan kewajiban seorang kesatria pendekar yang seharusnya
mengabdi pada kejaayan dan perdamaian bangsa dan negaranya”.
“Dalam sejarah perguruan kita, Eyang
Mursid tahun 1965 ini menurunkan pendekar-pendekarnya dari padepokan Mardi
Anoraga Sakti yang beliau pimpin, menumpas para pendekar pemberontak yang anti
Tuhan dan Anti Pancasila ini, sehingga ikatan batin pendekar didikan Mardi
Anoraga Sakti dengan semangat NKRI dan Pancasila ini menjelma menjadi semangat
kewiraan yang di lestarikan oleh Pencak Silat Cempaka Putih menjadi Panca
Setia, pertama Setia kepada Tuhan YME yang berbunyi Takwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa, Setia kepada Orang Tua sebagai lantaran kita hadir di dunia dengan
kalimat Setia Kepada Ibu bapak, Setia kepada Negara dan Panacasila berbunyi
Setia Keada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, Setia kepada PSCP dengan bunyi Setia Kepada Perguruan
Pencak Silat Cempaka Putih, dan kesetiaan terhadap sesama manusia, mahluk hidup
yang universal dengan bunyi kalimat ke lima dari Panca Setia, Setia Kepada
Sesama Insan, jadi jika bicara tentang Setia dan Kesetiaan, inti sari dari
ajaran Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih mendidik
pendekar warganya untuk menjadi manusia yang berbakti kepada Negara dan
kemanusiaan secara universal sehingga tercipta kondisi sejahtera lahir dan
batin, menyatunya kondisi jagad besar dan jagad kecil manusia untuk menuju satu
tujuan, sehingga kita menemukan jati diri dan tujuan untuk apa kita hidup dan
akan kemana setelah hidup”.
“jika saya membaca dan
mempelajari semangat Pasukan Perdamaian IPSI, saya menemukan satu semangat suci
dan tulus untuk mengakhiri dendam sejarah yang tergurat secara mengerikan dan
menyedihkan sejak era Purabaya melawan Mataram, Geger PKI 1948 dan PKI 1965,
sehingga pendekar-pendekar yang ada harus melupakan dendam sejarahyang
berdarah-darah dan bersatu membangun dunia baru, membangun budaya pencak silat
yang kelak akan menjadi mercusuar yang membawa kejayaan bangsa dan Negara
Indonesia tercinta, ingat darah yang mengalir di urat nadi pendekar-pendekar
dari berbagai perguruan, pesantren dan padepokan yang tak terbilang jumlahnya adalah
tetesan kejayaan Demak dan Majapahit Wilwatikta”
“maka jangan heran, jika kalian
lihat di You Tube dan berbagai media komunikasi masa kini, pencak silat di
Indonesia baik-baik saja hubungan antar perguruan yang ada di wilayahnya selain
Mataraman, namun hanya wilayah Mataraman yang memiliki dan selalu memproduksi
noda yang tiada habis-habisnya, karena sejarah kelamnya sendiri sangat berliku
dan panjang sekali, kita berharap, semangat saudara-saudara yang aktif di
Pasukan Perdamaian IPSI akan mampu berbuat dengan tindakan nyata, sehingga era
tawuran, drop-dropan, pencegatan-pencegatan, perkelahian individu sampai massal
yang mengatas namakan perguruan di masa lalu, bahkan sejak era pra Indonesia
sampai revolusi di medio 1948 bahkan era 1965 yang lestari dengan budaya kekerasan
dan luka berdarah yang tak jarang berujung pada kematian para oknum-oknumnya
akan hilang dan berganti dengan terbitnya terang gemilang kesadaran baru para
pendekar yang berjiwa prajurit kesatria yang mengabdikan ilmu dan kemampuannya
demi kejayaan dan kesejahteraan masyarakat, nusa dan Bangsa serta negaranya
Indonesia”.
Sang senior menghela nafas
panjang, seakan-akan Oksigen yang ada di ruangan tersebut tak mampu menguraikan
sesak dadanya akibat ia mengisahkan perjalanan panjang para pendekar di wilayah
Mataraman sehingga menjadi noda tersendiri di dunia pencak silat modern saat
ini belum benar-benar bisa di bersihkan.
Beberapa materi tambahan yang menyangkut
Sejarah Organisasi, IPSI, AD/ART, Menejemen Konflik dll, silih berganti di
sampaikan dari senior yang satu dan diganti oleh senior yang lain yang memegang
materi masing-masing, sehingga jelang tengah malam baru usai, di akhir materi
senior yang memaparkan materi Penggalangan Dana Organisasi bertanya kepada
segenap calon warga yang masih duduk bersila dengan setia dibalai agung kampung
yang malam itu makin senyap, beku dan dingin, mengiringi jatuhnya sang embun
yang membagi dunia pada sisi keghaibannya, hadirnya dunia tak kasat mata yang
oleh manusia awam sangatlah menakutkan, namun tidak bagi insan-insan yang
gandrung pada kanuragan dan olah jiwa sejati.
“o iya kak, beberapa hari ini,
Grup-grup PSCP ramai tentang seorang Warga Madya yang mengenakan sabuk mori
merah dan konon katanya sudah ada ijin dari Eyang Wagiman, sebenarnya kayak apa
sih kak secara AD/ART pemakaian sabuk warga Purwa, Madya dan Wasana itu kak,
kami kan jadi bingung”
Semua terkejut, beberapa senior
berbincang-bincang secara serius degan sesamanya, mereka sesekali
mengangguk-angguk seperti membenarkan kata temannya yang sangat serius
memaparkan sesuatu secara berganti, ada lima senior yang breafing singkat di
pojok balai agung, sementara semua calon warga menunggu dengan tegang jawan apa
yang akan di sampaikan oleh seniornya tersebut.
……………………………………………..
Lalu tampilah seorang senior
bersakral lengkjap dengan bendera merah putih kecil di lengan kanannya:
“baik, untuk pertanyaan wakil
ranting Barong Tongkok kami anggap sesuatu yang masih berupa isu-isu yang
berkembang akibat semakin besar dan banyaknya jumlah cabang, ranting dan warga
yang naik tingkat dari Purwa ke Madya, sehingga isu sabuk merah warga Madya
yang kalian tanyakan barusan lewat perwakilan ranting Barong Tongkok kami pending
sementara, tim kami akan melacak langsung ke Pusat, bagimana hal ihkwal asal
muasal mula pertamanya sampai ada warga Madya yang mengenakan sabuk merah,
namun untuk dasar-dasar menjawab agar kalian tak penasaran dan sedikit
mendapatkan gambaran, baik kak Hendra, tolong di buka buku besar AD/ART
Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih Pusat tahun 1995-1996”
Seorang senior bersakral lengkap
dengan sabuk mori warganya segera cekatan meraih sebuah buku yang terletak di
tumpukan buku-buku berisi materi-materi yang malam itu di sampaikan secara
bergantian kepada segenap calon warga, lalu ia buka beberapaa lembar, agak
kesulitan menemukan bab yang di maksud, sampai beberapa saat ruangan hening,
semua mata memandang kepada seniornya yang sibuk membolak-balik halaman mencari
apa-apa yang ia anggap ada sebuah kalimat atau tulisan yang tertera pada lembar
yang bias menjawab pertanyaan calon warga yang masih dengan tegang melihat ke
arahnya yang masih serius melihat lebar-demi lembar, sampai akhirnya ia
bersuara nyaraing:
“baik, terimaksih banyak kepada kak Daniel yang
mempercayakan kepada saya membaca lembar buku besar berisi AD/ART Organisasi
Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, lanjut, ini saya bacakan saja tentang seragam siswa dan warga Organisasi Olah Raga
Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, di
sini tertulis:
1. Pakaian
Siswa
Atas hitam,
krah melingkar hitam 4 cm, bawah hitam potongan slabruk longgar dengan sabuk
menyesuaikan tingkatan siswa masing-masing, Hitam, Kuning, Hijau, Biru dengan
panjang sabuk 200 cm lebar 4 cm.
2.
Pakaian seragam resmi Warga Purwa
Atas hitam,
krah melingkar putih 4 cm, bawah hitam, potongan slabruk longgar, berlokal
PURWA pada lengan atas sebelah kiri, sabuk dari mori putih dengan panjang 3
meter.
3.
Pakaian seragam Warga Madya
Hitam-hitam,
potongan full dress berlokal MADYA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka
Putih krem susu, bersepatu hitam.
4.
Pakaian seragam Warga Wasana
Hitam-hitam,
potongan full dress berlokal WASANA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka
Putih krem susu, bersepatu hitam”.
“selanjutnya saya
bacakan tentang arti dan makna pakaian seragam warga Organisasi Olah Raga Bela
Diri Pencak Silat Cempaka Putih:
1.
Warna pakaian hitam memiliki makna bersifat kekal,
abadi, artinya Warga Pencak Silat Cempaka Putih mempunyai keyakinan bahwa
manusia akan mati dalam arti kerusakan jasadnya. Di dalam kematian merupakan
awal kehidupan baru atau atau dengan kata lain kehidupan dalam kematian (alam
baka), jadi di alam fana manusia hidup hanya bersifat sementara. Warga Pencak
Silat Cempaka Putih di dalam jiwanya haruslah tertanam jiwa yang pasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Warna pakaian putih krem susu memiliki makna iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.
Sabuk mori putih
merupakan selembaran bungkus fitroh jasad manusia untuk mensucikan diri dari
semua dosa-dosa dan mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Sabuk mori
putih merupakan tempat kekuatan ghaib dari-Nya”.
“ok,
terimaksih kepada kak Hendra atas di bacanya aturan berseragam dan berpakaian
siswa dan warga organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih,
intinya, bagi warga Madya, pakaian seragam kependekarannya masih sama ketika ia
masih di tataran warga Purwa, mengenakan sakral hitam bersabuk mori putih,
dengan lokal Purwa diganti dengan lokal Madya, sedang pakaian organisasinya
saat mengadakan kegiatan ruang adalah Hitam-hitam, potongan full dress berlokal
MADYA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka Putih krem susu, bersepatu
hitam, jadi jelas di tuangkan dalam AD/ART atau anggran dasar dan anggaran
rumah tangga organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih, jadi menurut
hemat kami berlima di runag materi malam ini sepakat bahwa warga Madya yang
mengenakan sabuk Mori Merah itu belum di cantumkan dalam aturan AD/ART, namun
kelak jika di pandang perlu bisa saja musyawarah nasional organisasi memutuskan
pemakaian sabuk khusus warga madya manakala latihan dan berlatih di pakai warga
dan jenis kain yang baru itu sangatlah memungkinkan dan sangat niscaya, karena
organisasi yang baik dan berkembang akan selalu mengikuti nilai-nilai kekinian
dan dapat menampung segala aspirasi positif yang menuju pada perkembangn
organisasi itu sendiri, pun demikian dengan PSCP kita, itu pun di atur dalam
aturan tambahan dan aturan peralihan AD/ART, sangat mungkin seragam dan
aksesorisnya di rubah atau di ganti, atau hanya penyesuaian beberapa hal, coba
tengok foto jaman dulu siswa dan warga tahun 1980-an, siswa berseragam
putih-putih dari kain bekas karung gandum segitiga biru, dan warga berseragam
hitam-hitam dengan kerah putih memanjang seperti baju kimono, dan kalian alami
toh, saat ini siswa dan warga seragamnya sama-sama sakral hitam dan yang
membedakan hanya warna sabuk dan tentu jika sabuk warga adalah mori besar dan
di rajah langsung di pusat”.
“jadi, jika
di cabang ada warga Madya yang bersabuk merah, tentu dengan alasan-alasan
khsusus yang hanya bisa di jelaskan oleh warga yang bersangkutan, namun jika
melihat sejarah warna merah dan putih, sebenarnya warna merah itu lebih tua usianya
dari warna putih, simbol Negara Kerajaan Majapahit dan Demak adalah Gula
Kelapa, Gula merah dan kelapa putih, gula merah di olah dari legen yang di
ambil dari tangkai manggar/bunga kelapa, jadi dari sejarah terbentuknya gula
merah, ia lebih duluan ada, ia hasil dari proses pengolahan legen kelapa,
sedang buah kelapa harus menunggu lama untuk berproses menjadi kelapa tua, ia
mula berupa manggar, buah bluluk, baru degan dan lama kelamaan tua menjadi
kelapa tua, baru bisa di ambil santannya yang juga berwarna putih.
Daging buah
Kelapa yang berwarna putih dan gula yang merah berasal dari sumber yang sama
yakni pohon kelapa, jadi warna dasar kehidupan ini adalah warna merah dan putih,
berani dan suci, merah adalah berani, putih
adalah suci, inti filosofinya, hidup berawal satu pohon, pohon tunggal kelapa
yang tak bercabang melambangkan Keesaan Tuhan Yang Maha satu, hidup bermula
dari hal yang berani/niat, berlanjut dalam proses di tataran suci dan
berkembang menyatu menjadi merah putih, gula kelapa, getih putih dari ibu,
getih abang dari bapa, justru lebih tua getih abang, dalam penciptaan, bapa derajatnya
lebih dulu ada dari ibu, dan tulang rusuk sang Adam pun di ambil Tuhan manakala
menciptakan sang Hawa, jadi sesungguhnya jika di ambil sejarah lebih ke
belakang, warna merah dan putih itu menurut filosofi kearifan lokal nusantara sejatinya
adalah satu, sama-sama bermula dari satu pohon, berasal dari pohon kelapa,
menjadi gula merah manakala berproses lewat perebusan legen yang di rebus terus
menerus sampai mengental dan di cetak.
Jadi secara
simbolis filosofis, warga purwa lahir secara perlahan, prosesnya alami, dari
manggar/bunga, bluluk, degan baru kelapa tua, ia perlahan-lahan terbentuk,
lahir dan berwujud kelapa tua harus menunggu sabar dan batasan waktunya jelas,
prosesnya tertata sesuai aturan dan prosedur.
Namun warga
Madya ibarat legen yang di ambil dari tangkai bunga kelapa/manggar ini di paksa
keluar dengan proses pemotongan tangkai manggar, di ambil air legennya yang
menetes, pagi di kumpulkan, di rebus dalam api yang panas sampai mendidih
bergolak, setelah mengental bisa di cetak menjadi gula, di nikmati dalam bentuk gula merah, gula
kelapa.
ibarat panas dan bergolaknya pendadaran di tingkat Madya yang meibatkan unsur tanah, air, api, kayu, udara dan logam, proses pendadaran yang berat sehingga melahirkan warga tingkat Madya, walau tak selama proses warga Purwa, namun laku batin yang di jalani luar biasa dalam dan berat, sehingga dari cairan legen itu beberapa saat dengan cepat mengental dan di hasilkan cetakan gula kelapa.
ibarat panas dan bergolaknya pendadaran di tingkat Madya yang meibatkan unsur tanah, air, api, kayu, udara dan logam, proses pendadaran yang berat sehingga melahirkan warga tingkat Madya, walau tak selama proses warga Purwa, namun laku batin yang di jalani luar biasa dalam dan berat, sehingga dari cairan legen itu beberapa saat dengan cepat mengental dan di hasilkan cetakan gula kelapa.
Jadi
kembali kepada sabuk merah yang di pakai warga Madya, mungkin saja Dwija Wasana
di Pusat memandang perubahan di Organisai yang sangat cepat dan bergairah
sehingga melahirkan Warga Purwa dan Madya, juga lahirnya cabang-cabang dengan
ranting-rantinnya yang dapat di ibaratkan bak jamur di musim penghujan, dan beliau
memberi ijin khsus kepada warga Madya yang bersangkutan untuk mengenakan sabuk
merah, dan hal ini tentu sang Dwija Wasana di pusat memiliki beberapa alasan
khsusus, dan kami akan melacaknya malam ini juga ke pusat walau hanya sebatas
melalui alat komunikasi jarah jauh, jadi rasa penasaran kalian tentang sabuk
merah warga Madya akan bisa di tuntaskan”.
Uraian yang
melingkar-lingkar dan bertele-tele itu di terima berbagai macam oleh calon
warga yang malam itu hadir di pendadaran, ada yang mengerti, setengah paham dan
tak kurang yang menjadi semakin bingung, namun seperti bermufakat, satu saja
yang menjadi harapan mereka, penjelasan dan keputusan jawaban dari pusat, agar
segenap keluarga besar yang ada di pelosok dapat mengambil hikmah dari kasus
demi kasus yang timbul seiring dengan semakin berkembangnya organisasi.
Kelepak
kelelawar terdengar lemah diiringi angin semilir berhawa beku, embun pertama
telah jatuh, malam telah sesaat lewat di tengahnya, suasana muram, warna gelap
yang makin kelam, hening, sunyi dan senyap, kegiatan pendadaran pun selesai
untuk di lanjutkan di Sabtu yang akan datang di tempat yang sama dengan materi
yang berbeda.
Kompak
mereka mengadakan penutupan, setelah berdoa mereka berjabat tangan dengan erat,
dan pulang kerumah dengan tertib tanpa suara bising motor yang di mainkan
gasnya, tak lama balai agung senyap dan sepi, sampai orang terakhir mematikan
lampu, keluar dan mengunci pintunya.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar