Minggu, 22 Oktober 2017

GULA KELAPA



……………………………………….
“Sebuah mercusuar budaya, lahir dari kearifan lokal Nusantara Lama yang bertahan dari gempuran peradaban jaman yang silih berganti datang dan pergi di bumi pertiwi kinasih, bahkan makin mengkristal bertahan dan kokoh menjadi pemersatu bumi Indonesia yang terdiri dari 1340 suku bangsa, 736 bahasa, 6 agama dan Ratusan Penganut Kepercayaan Lokal, sebuah Negara bangsa yang tersebar di  17503 pulau besar dan kecil yang menghampar berserak bagai untaian zamrud mutu manikam di bumi khatulistiwa, mercusuar yang kini menjadi bendera negara kita, Merah Putih”
Kalimat yang meluncur itu penuh penekanan makna, sehingga segenap calon warga yang duduk dengan tertib dan takzim di balai agung kampung malam itu larut dalam buaian imajinasi tentang peradaban tanah tumpah darah leluhurnya yang silih berganti datang dan pergi berbagai peradaban dan mengkristal menjadi Negara modern, Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lambang benderanya Merah Putih.
Tiba-tiba seorang yang di anggap sebagai yang dituakan di antara deretan calon warga itupun berdiri, mohon keluar sejenak karena ada hal yang mengharuskan beliu meninggalkan ruangan yang malam itu makin senyap dan dingin.
“Baiklah, tadi uraian singkat tentang sejarah bendera Merah Putih, sekarang kita lihat sekilas sejarah lahirnya perguruan-perguruan pencak silat yang tergabung dalam Ikatan Pencak Silat Indonesia, pencak silat merupakan olahraga seni beladiri yang berasal dari bangsa Melayu, termasuk Indonesia. Jumlah perguruan pencak silat sangat banyak, berdasarkan catatan pengurus besar Ikatan Pencak Silat Indonesia sampai dengan tahun 1993 telah mencapai 840 perguruan pencak silat di Indonesia. Induk organisasi pencak Silat Indonesia adalah IPSI, didirikan pada tanggal 18 Mei 1848 saat terjadi revolusi kemerdekaan RI di Surakarta, Jawa Tengah, bahkan masih ada ratusan lagi yang belum bergabung, seorang peneliti pernah membuat angka perkiraan ada sekitar 1500 perguruan pencak silat yang ada di Indonesia, bahkan bisa lebih”.
Pemateri yang bersakral lengkap dengan sabuk warga itu berdiri, di tangan kanannya ada lembar-lembar berisikan materi pembekalan yang malam itu menjadi bagian dari pembekalan calon warga yang beberapa bulan lagi di sahkan dengan upacara resmi perguruan yang penuh ritual tradisi yang turun temurun tetap lestari, bahkan sampai jaman berganti menjadi era informasi kekinian.
“Sekarang, tengok halaman 5, sejarah PSCP Pusat, di situ di uraikan secara singkat, bahwa PSCP lahir akibat benturan-benturan yang terjadi di wilayah Mataraman, perlu kalian ketahui, wilayah Mataraman adalah daerah Madiun, Magetan, Ngawi, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek dan beberapa wilayah lain yang sekarang ini berdiri menjadi kabupaten-kabupaten yang modern dalam wilayah NKRI, dan Jawa Timur sendiri sejak jaman pra Indonesia modern berdiri sudah menjadi pusat peradaban dan pusat-pusat kekuasaan sejak jaman, Medang, Kadiri, Singasari dan Majapahit, bahkan sistem pemerintahan Islam sudah tegak sejak jaman Ampel Kedaton di Surabaya dan Giri Kedaton di Gresik, dan tradisi Pencak Silat menjadi bagian yang erat dengan tumbuh dan runtuhnya pusat-pusat kekuasaan masa lalu itu sejak era Pra Hindu, Hindu, Budha, Islam dll, dan ketika BKR dan TKR cikal Bakal TNI modern lahir, lahir pula satu batalyon laskar gerilya terdiri dari gabungan pendekar-pendekar dari wilayah Mataraman, Gabungan Pencak Mataram, yang ikut berjuang mempertahankan jabang bayi Indonesia yang baru saja lahir di 17 Agustus 1945”
“Interupsi kak, kenapa sampai ada ratusan bahkan ribuan perguruan pencak silat, kenapa ndak dijadikan satu saja menjadi Ikatan Pencak Silat Indonesia, sehingga benturan yang sering terjadi antara perguruan yang satu dengan yang lain bisa di selesaiakan dan pencak silat bisa menjadi warisan budaya dunia??”
Seorang siswa, berseragam sakral dengan tiba-tiba menyela, ia menjadi tak sabar mendengar uraian betapa masa lalu Negara ini di bangun oleh budaya pencak silat, namun ada noda-noda sejarah yang justru membuat nama pencak silat ternoda bahkan di wilayah utama, wilayah Mataraman!.
“justru IPSI lahir karena perebutan kekuasaan atara blok pendekar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali serta wilayah Jawa Barat, sehingga konggres di Solo tahun 1948 melahirkan IPSI yang menyatukan benturan-benturan Organisasi Pencak silat sejak revolusi kemerdekaan sampai hari ini walau hanya sebatas lahiriah semata, namun secara jiwani masih gagal mempersatukan mereka, benturan pendekar dari blok barat dan timur yang berusaha menjadi yang pertama dan menjadi mercusuar tunggal pencak silat di Indonesia, namun IPSI sampai hari ini masih belum mampu meminimalisir perbedaan yang ada, beberapa perguruan tidak rela ciri khas perguruan yang menyangkut ritual dan tradisi yang menajdi roh karakter pencak tradisinya akan punah jika semua perguruan yang ada di lebur menjadi satu dengan tradisi baru yang diusulkan dalam kongres-kongres IPSI, sehingga IPSI hanya berfungsi menjadi koordinator kegiatan belaka, hanya induk dari anak-anak yang ratuasan bahkan ribuan jumlahnya di seluruh nusantara, IPSI belum mampu menyatukan semua perbedaan yang di beberapa sisi masih sangat tajam, bahkan antara aliran padepokan dan pesantren pun masih di penuhi polemik yang tak ada ujung penyelesaiannya!!!”
Seluruh yang hadir menjadi terpaku, mata mereka memandang kosong pada lembar-lembar materi pemantapan calon warga yang ada di tangannya, segala imajinasi terbawa pada kisruh konflik yang tak kunjung selesai sejak IPSI di rintis sampai hari ini, masih semu, semua hanya organisasi lahiriah belaka, secara kebatinan belum mampu menyatukan semua sisi-sisi tajam perbedaan yang bahkan semakin runcing dari waktu ke waktu, uraian-uraian dari sang senior yang malam itu menyampaikan materi keorganisasian begitu menyentuh nurani kemanusiaan, nurani manusia yang hakekatnya sama, semua ingin  bersatu berjuang tanpa terkotak-kotak perbedaan bendera dan seragam perguruan yang berbeda, namun hakekatnya, manusia nusantara itu sama hak dan kewajibanya dalam berbakti kepada ibu pertiwi, Indonesia tercinta.
“interupsi kak, lalu di medsos saya sering baca ada Pasukan Perdamaian IPSI yang didirikan oleh pendekar-pendekar dari wilayah Mataraman itu bagaimana maksudnya kak, katanya mereka menjadi ajang komunikasi dan jembatan silaturahmi antar perguruan sehingga bisa bersatu membangun jati diri pencak silat Indonesia, bahkan banyak yang sudah kopi darat dan bawa bendera pasukan perdamaian IPSI, bahkan organisainya sudah di daftarkan secara hukum kak, lalu sikap kita sebagai pesilat dari organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih sebaiknya bagaimana kak”
Terdengar teriakan, seorang calon warga yang duduk bersila di pojok belakang tiba-tiba memecah hening!
“pertanyaan dan pemaparan data dan fakta yang bagus dari perwakilan ranting Bigung, memang secara kesejarahan, Matraman, wilayah Madiun dan sekitarnya yang dulu bernama Purabaya adalah salah satu trah Majapahit dari jalur Kesultanan Islam Demak Bintara di mana rajanya bergelar Sultan dan Kerajaan Majapahit Wilwatikta Kedaton Kulon di mana rajanya bergelar Prabu, dan jalur trah ini membuat Purabaya memiliki pusaka Majapahit dan Demak, pusaka keramat yang bernama Kiai Kala Gumarang atau di kenal dengan Keris Tundung Mediun menjadi momok yang menakutkan bagi Panembahan Senopati dari Mataram yang berjuang menyatukan Jawa di bawah songsong Agung Mataram, Purabaya yang kini di kenal sebagai Madiun, adalah sebuah wilayah perdikan yang subur dengan prajurit-prajurit yang kuat dan terlatih, bahkan adipati-adipati dari bang Wetan, Surabaya dan sekitarnya mendukung Purabaya dalam hal mempertahankan hak tahta warisan dari jalur darah Demak dan Mojopahit, hal ini membuat Mataram sangat sulit menakklukkan Madiun, sehingga dengan siasat cerdik dan licik, Purabaya bisa di taklukkan, dan keris Tundung Madiun atau Kiai Kala Gumarang pun luluh pamornya menyatu dengan Mataram, dan senopati putri, Raden Ayu Retno Djumilah  yang memegang sang pusaka keramat, dan berhasil mengobrak-abrik keperkasaan pasukan khusus Mataram di jadikan Permaisuri oleh Panembahan Senopati penguasa pusat kekuasaan kerajaan Jawa paska kesultanan Pajang di bawah kuasa Sultan Adiwijaya yang di masa mudanya di kenal sebagai mas Karebet atau Jaka Tingkir, dan di teruskan Panembahan Senopati yang di waktu mudanya bernama Danang Sutawijaya dan dijadikan anak angkat sultan Pajang dan berhasil meneruskan kekuasaan sang Ayah angkat dengan manyatukan Jawa di bawah kejayaan  Kasultanan Pajang yang baru, yakni Kasultanan Mataram.
Sang senior berhenti sejenak, berusaha mengatur nafas, segenap hadirin yang memenuhi balai agung malam itu larut dalam kesenyapan yang hening akibat terpesona akan uraian demi uraian yang di sampaikan seniornya malam itu.
“namun sayang, setelah Indonesia modern lahir, perguruan-perguruan pencak silat di wilayah Mataraman, terutama Madiun dan sekitarnya terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis, tokoh-tokoh dari padepokan dan perguruan yang ada ikut serta dalam hiruk pikuk gegap gempitanya euforia kemerdekaan dan revolusi paska kolonialisme hengkang dari Nusantara, puncaknya, tahun 1948, Muso dan Amir Syarifudin Prawiranegara memproklamirkan Negara Soviet Indonesia yang di dukung Front Demokrasi Rakyat yang pasukan perangnya juga tergabung dalam gabungan pencak Mataram, sehingga perang saudara antara laskar hitam Muso yang di perkuat pendekar-pendekar yang terjun di politik praktis berlangsung luar biasa dahsyat, Muso dengan Negara komunis Indonesianya berusaha menggeser Negara RI yang masih muda di bawah pimpinan Bung Karno dan Bung Hata, pecah perang saudara secara mengerikan dengab korban jiwa yang besar serta luar biasa berdarah-darah.
“Dan ini terulang di tahun 1965 di saat PKI memberontak kepada RI, sehingga sekali lagi ada noda dan pencemaran nama baik trah pendekar, khususnya di wilayah Mataraman, Madiun dan sekitarnya, yang sayangnya sekali lagi oknum-oknum pendekar dari berbagai perguruan mendukung berdirinya Negara Komunis Indonesia yang sejatinya adalah sebuah Negara jahat yang anti Tuhan dan Anti Pancasila, dan perang saudara antara para pendekar yang pro Komunis dan Pro RI ini berlangsung berbulan-bulan dan tetap nggegirisi dan berdarah-darah, bengawan Madiun di penuhi mayat-mayat putra-putra terbaiknya, jasad yang menjadi pupuk kejayaan bangsanya akibat melupakan jati diri dan kewajiban seorang kesatria pendekar yang seharusnya mengabdi pada kejaayan dan perdamaian bangsa dan negaranya”.
“Dalam sejarah perguruan kita, Eyang Mursid tahun 1965 ini menurunkan pendekar-pendekarnya dari padepokan Mardi Anoraga Sakti yang beliau pimpin, menumpas para pendekar pemberontak yang anti Tuhan dan Anti Pancasila ini, sehingga ikatan batin pendekar didikan Mardi Anoraga Sakti dengan semangat NKRI dan Pancasila ini menjelma menjadi semangat kewiraan yang di lestarikan oleh Pencak Silat Cempaka Putih menjadi Panca Setia, pertama Setia kepada Tuhan YME yang berbunyi Takwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, Setia kepada Orang Tua sebagai lantaran kita hadir di dunia dengan kalimat Setia Kepada Ibu bapak, Setia kepada Negara dan Panacasila berbunyi Setia Keada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Setia kepada PSCP dengan bunyi Setia Kepada Perguruan Pencak Silat Cempaka Putih, dan kesetiaan terhadap sesama manusia, mahluk hidup yang universal dengan bunyi kalimat ke lima dari Panca Setia, Setia Kepada Sesama Insan, jadi jika bicara tentang Setia dan Kesetiaan, inti sari dari ajaran Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih mendidik pendekar warganya untuk menjadi manusia yang berbakti kepada Negara dan kemanusiaan secara universal sehingga tercipta kondisi sejahtera lahir dan batin, menyatunya kondisi jagad besar dan jagad kecil manusia untuk menuju satu tujuan, sehingga kita menemukan jati diri dan tujuan untuk apa kita hidup dan akan kemana setelah hidup”.
“jika saya membaca dan mempelajari semangat Pasukan Perdamaian IPSI, saya menemukan satu semangat suci dan tulus untuk mengakhiri dendam sejarah yang tergurat secara mengerikan dan menyedihkan sejak era Purabaya melawan Mataram, Geger PKI 1948 dan PKI 1965, sehingga pendekar-pendekar yang ada harus melupakan dendam sejarahyang berdarah-darah dan bersatu membangun dunia baru, membangun budaya pencak silat yang kelak akan menjadi mercusuar yang membawa kejayaan bangsa dan Negara Indonesia tercinta, ingat darah yang mengalir di urat nadi pendekar-pendekar dari berbagai perguruan, pesantren dan padepokan yang tak terbilang jumlahnya adalah tetesan kejayaan Demak dan Majapahit Wilwatikta”
“maka jangan heran, jika kalian lihat di You Tube dan berbagai media komunikasi masa kini, pencak silat di Indonesia baik-baik saja hubungan antar perguruan yang ada di wilayahnya selain Mataraman, namun hanya wilayah Mataraman yang memiliki dan selalu memproduksi noda yang tiada habis-habisnya, karena sejarah kelamnya sendiri sangat berliku dan panjang sekali, kita berharap, semangat saudara-saudara yang aktif di Pasukan Perdamaian IPSI akan mampu berbuat dengan tindakan nyata, sehingga era tawuran, drop-dropan, pencegatan-pencegatan, perkelahian individu sampai massal yang mengatas namakan perguruan di masa lalu, bahkan sejak era pra Indonesia sampai revolusi di medio 1948 bahkan era 1965 yang lestari dengan budaya kekerasan dan luka berdarah yang tak jarang berujung pada kematian para oknum-oknumnya akan hilang dan berganti dengan terbitnya terang gemilang kesadaran baru para pendekar yang berjiwa prajurit kesatria yang mengabdikan ilmu dan kemampuannya demi kejayaan dan kesejahteraan masyarakat, nusa dan Bangsa serta negaranya Indonesia”.
Sang senior menghela nafas panjang, seakan-akan Oksigen yang ada di ruangan tersebut tak mampu menguraikan sesak dadanya akibat ia mengisahkan perjalanan panjang para pendekar di wilayah Mataraman sehingga menjadi noda tersendiri di dunia pencak silat modern saat ini belum benar-benar bisa di bersihkan.
Beberapa materi tambahan yang menyangkut Sejarah Organisasi, IPSI, AD/ART, Menejemen Konflik dll, silih berganti di sampaikan dari senior yang satu dan diganti oleh senior yang lain yang memegang materi masing-masing, sehingga jelang tengah malam baru usai, di akhir materi senior yang memaparkan materi Penggalangan Dana Organisasi bertanya kepada segenap calon warga yang masih duduk bersila dengan setia dibalai agung kampung yang malam itu makin senyap, beku dan dingin, mengiringi jatuhnya sang embun yang membagi dunia pada sisi keghaibannya, hadirnya dunia tak kasat mata yang oleh manusia awam sangatlah menakutkan, namun tidak bagi insan-insan yang gandrung pada kanuragan dan olah jiwa sejati.
“o iya kak, beberapa hari ini, Grup-grup PSCP ramai tentang seorang Warga Madya yang mengenakan sabuk mori merah dan konon katanya sudah ada ijin dari Eyang Wagiman, sebenarnya kayak apa sih kak secara AD/ART pemakaian sabuk warga Purwa, Madya dan Wasana itu kak, kami kan jadi bingung”
Semua terkejut, beberapa senior berbincang-bincang secara serius degan sesamanya, mereka sesekali mengangguk-angguk seperti membenarkan kata temannya yang sangat serius memaparkan sesuatu secara berganti, ada lima senior yang breafing singkat di pojok balai agung, sementara semua calon warga menunggu dengan tegang jawan apa yang akan di sampaikan oleh seniornya tersebut.
……………………………………………..
Lalu tampilah seorang senior bersakral lengkjap dengan bendera merah putih kecil di lengan kanannya:
“baik, untuk pertanyaan wakil ranting Barong Tongkok kami anggap sesuatu yang masih berupa isu-isu yang berkembang akibat semakin besar dan banyaknya jumlah cabang, ranting dan warga yang naik tingkat dari Purwa ke Madya, sehingga isu sabuk merah warga Madya yang kalian tanyakan barusan lewat perwakilan ranting Barong Tongkok kami pending sementara, tim kami akan melacak langsung ke Pusat, bagimana hal ihkwal asal muasal mula pertamanya sampai ada warga Madya yang mengenakan sabuk merah, namun untuk dasar-dasar menjawab agar kalian tak penasaran dan sedikit mendapatkan gambaran, baik kak Hendra, tolong di buka buku besar AD/ART Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih Pusat tahun 1995-1996”
Seorang senior bersakral lengkap dengan sabuk mori warganya segera cekatan meraih sebuah buku yang terletak di tumpukan buku-buku berisi materi-materi yang malam itu di sampaikan secara bergantian kepada segenap calon warga, lalu ia buka beberapaa lembar, agak kesulitan menemukan bab yang di maksud, sampai beberapa saat ruangan hening, semua mata memandang kepada seniornya yang sibuk membolak-balik halaman mencari apa-apa yang ia anggap ada sebuah kalimat atau tulisan yang tertera pada lembar yang bias menjawab pertanyaan calon warga yang masih dengan tegang melihat ke arahnya yang masih serius melihat lebar-demi lembar, sampai akhirnya ia bersuara nyaraing:
“baik, terimaksih banyak kepada kak Daniel yang mempercayakan kepada saya membaca lembar buku besar berisi AD/ART Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, lanjut, ini saya bacakan saja tentang  seragam siswa dan warga Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih, di sini tertulis:
1.      Pakaian Siswa
Atas hitam, krah melingkar hitam 4 cm, bawah hitam potongan slabruk longgar dengan sabuk menyesuaikan tingkatan siswa masing-masing, Hitam, Kuning, Hijau, Biru dengan panjang sabuk 200 cm lebar 4 cm.
2.      Pakaian seragam resmi Warga Purwa
Atas hitam, krah melingkar putih 4 cm, bawah hitam, potongan slabruk longgar, berlokal PURWA pada lengan atas sebelah kiri, sabuk dari mori putih dengan panjang 3 meter.
3.      Pakaian seragam Warga Madya
Hitam-hitam, potongan full dress berlokal MADYA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka Putih krem susu, bersepatu hitam.
4.      Pakaian seragam Warga Wasana
Hitam-hitam, potongan full dress berlokal WASANA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka Putih krem susu, bersepatu hitam”.

selanjutnya saya bacakan tentang arti dan makna pakaian seragam warga Organisasi Olah Raga Bela Diri Pencak Silat Cempaka Putih:
1.      Warna pakaian hitam memiliki makna bersifat kekal, abadi, artinya Warga Pencak Silat Cempaka Putih mempunyai keyakinan bahwa manusia akan mati dalam arti kerusakan jasadnya. Di dalam kematian merupakan awal kehidupan baru atau atau dengan kata lain kehidupan dalam kematian (alam baka), jadi di alam fana manusia hidup hanya bersifat sementara. Warga Pencak Silat Cempaka Putih di dalam jiwanya haruslah tertanam jiwa yang pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Warna pakaian putih krem susu memiliki makna iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3.       Sabuk mori putih merupakan selembaran bungkus fitroh jasad manusia untuk mensucikan diri dari semua dosa-dosa dan mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Esa. Sabuk mori putih merupakan tempat kekuatan ghaib dari-Nya”.

“ok, terimaksih kepada kak Hendra atas di bacanya aturan berseragam dan berpakaian siswa dan warga organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih, intinya, bagi warga Madya, pakaian seragam kependekarannya masih sama ketika ia masih di tataran warga Purwa, mengenakan sakral hitam bersabuk mori putih, dengan lokal Purwa diganti dengan lokal Madya, sedang pakaian organisasinya saat mengadakan kegiatan ruang adalah Hitam-hitam, potongan full dress berlokal MADYA pada lengan atas sebelah kiri, kaos Cempaka Putih krem susu, bersepatu hitam, jadi jelas di tuangkan dalam AD/ART atau anggran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi olah raga bela diri Pencak Silat Cempaka Putih, jadi menurut hemat kami berlima di runag materi malam ini sepakat bahwa warga Madya yang mengenakan sabuk Mori Merah itu belum di cantumkan dalam aturan AD/ART, namun kelak jika di pandang perlu bisa saja musyawarah nasional organisasi memutuskan pemakaian sabuk khusus warga madya manakala latihan dan berlatih di pakai warga dan jenis kain yang baru itu sangatlah memungkinkan dan sangat niscaya, karena organisasi yang baik dan berkembang akan selalu mengikuti nilai-nilai kekinian dan dapat menampung segala aspirasi positif yang menuju pada perkembangn organisasi itu sendiri, pun demikian dengan PSCP kita, itu pun di atur dalam aturan tambahan dan aturan peralihan AD/ART, sangat mungkin seragam dan aksesorisnya di rubah atau di ganti, atau hanya penyesuaian beberapa hal, coba tengok foto jaman dulu siswa dan warga tahun 1980-an, siswa berseragam putih-putih dari kain bekas karung gandum segitiga biru, dan warga berseragam hitam-hitam dengan kerah putih memanjang seperti baju kimono, dan kalian alami toh, saat ini siswa dan warga seragamnya sama-sama sakral hitam dan yang membedakan hanya warna sabuk dan tentu jika sabuk warga adalah mori besar dan di rajah langsung di pusat”.
“jadi, jika di cabang ada warga Madya yang bersabuk merah, tentu dengan alasan-alasan khsusus yang hanya bisa di jelaskan oleh warga yang bersangkutan, namun jika melihat sejarah warna merah dan putih, sebenarnya warna merah itu lebih tua usianya dari warna putih, simbol Negara Kerajaan Majapahit dan Demak adalah Gula Kelapa, Gula merah dan kelapa putih, gula merah di olah dari legen yang di ambil dari tangkai manggar/bunga kelapa, jadi dari sejarah terbentuknya gula merah, ia lebih duluan ada, ia hasil dari proses pengolahan legen kelapa, sedang buah kelapa harus menunggu lama untuk berproses menjadi kelapa tua, ia mula berupa manggar, buah bluluk, baru degan dan lama kelamaan tua menjadi kelapa tua, baru bisa di ambil santannya yang juga berwarna putih.

Daging buah Kelapa yang berwarna putih dan gula yang merah berasal dari sumber yang sama yakni pohon kelapa, jadi warna dasar kehidupan ini adalah warna merah dan putih, berani dan suci, merah adalah berani,  putih adalah suci, inti filosofinya, hidup berawal satu pohon, pohon tunggal kelapa yang tak bercabang melambangkan Keesaan Tuhan Yang Maha satu, hidup bermula dari hal yang berani/niat, berlanjut dalam proses di tataran suci dan berkembang menyatu menjadi merah putih, gula kelapa, getih putih dari ibu, getih abang dari bapa, justru lebih tua getih abang, dalam penciptaan, bapa derajatnya lebih dulu ada dari ibu, dan tulang rusuk sang Adam pun di ambil Tuhan manakala menciptakan sang Hawa, jadi sesungguhnya jika di ambil sejarah lebih ke belakang, warna merah dan putih itu menurut filosofi kearifan lokal nusantara sejatinya adalah satu, sama-sama bermula dari satu pohon, berasal dari pohon kelapa, menjadi gula merah manakala berproses lewat perebusan legen yang di rebus terus menerus sampai mengental dan di cetak.

Jadi secara simbolis filosofis, warga purwa lahir secara perlahan, prosesnya alami, dari manggar/bunga, bluluk, degan baru kelapa tua, ia perlahan-lahan terbentuk, lahir dan berwujud kelapa tua harus menunggu sabar dan batasan waktunya jelas, prosesnya tertata sesuai aturan dan prosedur.

Namun warga Madya ibarat legen yang di ambil dari tangkai bunga kelapa/manggar ini di paksa keluar dengan proses pemotongan tangkai manggar, di ambil air legennya yang menetes, pagi di kumpulkan, di rebus dalam api yang panas sampai mendidih bergolak, setelah mengental bisa di cetak menjadi gula,  di nikmati dalam bentuk gula merah, gula kelapa.
ibarat panas dan bergolaknya pendadaran di tingkat Madya yang meibatkan unsur tanah, air, api, kayu, udara dan logam, proses pendadaran yang berat sehingga melahirkan warga tingkat Madya, walau tak selama proses warga Purwa, namun laku batin yang di jalani luar biasa dalam dan berat, sehingga dari cairan legen itu beberapa saat dengan cepat mengental dan di hasilkan cetakan gula kelapa.

Jadi kembali kepada sabuk merah yang di pakai warga Madya, mungkin saja Dwija Wasana di Pusat memandang perubahan di Organisai yang sangat cepat dan bergairah sehingga melahirkan Warga Purwa dan Madya, juga lahirnya cabang-cabang dengan ranting-rantinnya yang dapat di ibaratkan bak jamur di musim penghujan, dan beliau memberi ijin khsus kepada warga Madya yang bersangkutan untuk mengenakan sabuk merah, dan hal ini tentu sang Dwija Wasana di pusat memiliki beberapa alasan khsusus, dan kami akan melacaknya malam ini juga ke pusat walau hanya sebatas melalui alat komunikasi jarah jauh, jadi rasa penasaran kalian tentang sabuk merah warga Madya akan bisa di tuntaskan”.
Uraian yang melingkar-lingkar dan bertele-tele itu di terima berbagai macam oleh calon warga yang malam itu hadir di pendadaran, ada yang mengerti, setengah paham dan tak kurang yang menjadi semakin bingung, namun seperti bermufakat, satu saja yang menjadi harapan mereka, penjelasan dan keputusan jawaban dari pusat, agar segenap keluarga besar yang ada di pelosok dapat mengambil hikmah dari kasus demi kasus yang timbul seiring dengan semakin berkembangnya organisasi.

Kelepak kelelawar terdengar lemah diiringi angin semilir berhawa beku, embun pertama telah jatuh, malam telah sesaat lewat di tengahnya, suasana muram, warna gelap yang makin kelam, hening, sunyi dan senyap, kegiatan pendadaran pun selesai untuk di lanjutkan di Sabtu yang akan datang di tempat yang sama dengan materi yang berbeda.

Kompak mereka mengadakan penutupan, setelah berdoa mereka berjabat tangan dengan erat, dan pulang kerumah dengan tertib tanpa suara bising motor yang di mainkan gasnya, tak lama balai agung senyap dan sepi, sampai orang terakhir mematikan lampu, keluar dan mengunci pintunya.

TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trisula Kembar

Sepasang Trisula Kembar, senjata yang menjadi lambangIkatan Pencak Silat Indonesia